Disukai
2
Dilihat
5,612
Priceless Time
Drama

Tirai tipis itu bergerak pelan tertiup angin. Sinar matahari pagi masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Di dalam sebuah ruangan, terbaring sosok wanita renta yang tengah tertidur lelap. Sekujur tubuhnya terbalut selimut putih, walau pagi hari di awal musim panas ini, suhu udara sudah mulai menghangat. Kerutan-kerut di sekitar matanya semakin nampak saat ia membuka perlahan kelopak matanya. Suara kicau burung di luar pada akhirnya mengusik tidur damainya, dan membuat wanita itu pun bangun.

Keheningan menyambutnya seperti biasa. Ia selalu mendapati dirinya berada sendirian di ruangan dengan dekorasi serba putih ini. Manik hitamnya mengedar. Ia menghela nafas sambil menggerakkan pelan tubuhnya. Di usianya yang sudah menginjak tujuh puluh tahun ini, ia malah jadi semakin kesulitan bergerak bebas. Bahkan untuk membalikkan badannya agar menyamping ke jendela. Keheningan ini membuatnya ingin melihat ke luar jendela saja. Pemandangan di luar mungkin bisa menghiburnya dari kesepian. 

Hingga di tengah lamunannya, ia merasakan ada seseorang yang mendatanginya. Walau sudah tua, telinganya masih cukup tajam untuk mendengar suara pintu di belakangnya. Namun, ia tak medengar apapun, hanya ada sekelebat angin di balik punggungnya, seperti seseorang yang melintas cepat begitu saja. Ia ingin menoleh, namun tubuhnya terlalu sulit untuk bergerak.

“Selamat pagi.” Suara panggilan bernada formal itu membuatnya terhenyak. Di tengah kekakuan tubuhnya, hanya bola matanya yang mengedari ruangan, mencari-cari siapa sosok yang memanggilnya. Suster-kah? Pasien lain? atau ….

“Haru?”

Ia memanggil nama itu dengan suara lirih dan seraknya. Tepat setelah itu, hanya keheningan yang meresponnya. 

“Nyonya Youko, saya di sini.” Wanita tua itu kembali tersentak mendengar sumber suara itu ada di dekatnya. Ia berpaling ke depan jendela tadi dan menemukan sosok pria berpakaian serba hitam berdiri di hadapannya. Sosok tinggi itu dalam sekejap menghalangi pemandangan halaman yang terbentang. Wanita itu fokus menilik penampilan pria misterius itu. Sosok itu membuka topi bowlernya, lalu membungkuk hormat sambil memperkenalkan dirinya.

“Maaf sudah mengagetkan anda. Perkenalkan, saya shinigami.”

Sebuah perkenalan formal yang biasa. Pria itu tanpa canggung menyebutkan nama mengerikan itu pada si wanita renta yang tengah kepayahan di sebuah rumah sakit. Jelas saja, nama itu menimbulkan sebuah tanda tanya bagi nyonya Youko. Shinigami itu bertugas mengambil nyawa seseorang bukan? 

Sekali lagi, yang ia saksikan memang sulit untuk dipercaya. Namun, nyonya Youko sangat yakin kalau ia sedang tidak bermimpi ataupun berhalusinasi. Pria itu benar-benar nyata berdiri di depannya, bahkan kini mulai mendekatinya. Nyonya Youko hanya bergeming dengan mata yang membelalak. Ia tak bisa bereaksi, bahkan setelah sosok itu mengambil kursi lalu duduk di sampingnya. 

“Kedatangan saya kemari adalah untuk mengabarkan kalau dalam lima hari, anda akan meninggalkan dunia ini.” Pria bertuksedo hitam itu kembali bicara dengan sopan. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit agar sang wanita bisa lebih mendengar ucapannya. 

Nyonya Youko masih tak bisa bereaksi apa-apa. Ia seperti patung, hanya saja bola matanya masih bergerak menilik penampilan shinigami itu, sambil berusaha meyakinkan dirinya kalau ia memang tidak bermimpi. 

“Anda sedang tidak bermimpi, Nyonya.” Shinigami itu meyakinkannya. Ia tersenyum untuk mencairkan suasana. Tapi, tetap saja siapa yang tidak kalut mendengar kabar kematian.

“Saya berharap, Anda tidak sedang bergurau, tuan berpakaian aneh.” Nyonya Youko akhirnya angkat suara. Nada bicaranya tegas walau suara yang terdengar amat lirih dan pelan. Wajah penuh keriput itu berubah gusar.

Shinigami itu menanggapinya tenang. Ia kembali membungkukkan badannya, lalu kembali menghadapi sosok yang menatapnya tajam dengan wajah penuh senyum. 

“Tidak ada yang boleh mengguraukan kematian. Yang saya ucapkan itu bukanlah candaan, Nyonya,” jelasnya lagi. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Sebuah jam saku ia genggam dan tunjukkan pada wanita itu. Ia membuka penutup jam tembaga berukir tengkorak itu. Nyonya Youko menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangan. Ia melihat waktu menunjukkan pukul lima sore, namun anehnya jarum detik justru bergerak dari kanan ke kiri, dan jarum menit yang bergeser ke belakang, seolah jam itu bergerak mundur. 

“Dalam lima hari, pukul lima sore, saya akan membawa anda meninggalkan dunia ini.”

Pria itu kembali menjelaskan, lagi-lagi dengan nada tenang dan formalnya. 

“Jam ini menjadi penunjuk sisa waktu anda di dunia ini. Tinggal 4 hari, 9 jam, lima detik.”

“Tuan, saya mohon ….. Jangan mempermainkan saya.” Nada bicara Youko mulai terdengar lirih. Air mata menggenang di pelupuk matanya lalu terjun bebas begitu saja. Wajah penuh keriput itu sudah berurai air mata di hadapan sosok yang masih memandangnya tenang.

“Saya sendirian di tempat ini. Dan sudah bertahun-tahun.” Wanita itu bicara di tengah isak tangisnya “Tak ada siapapun yang mengunjungi saya, termasuk … Haru.”

“Haru, putera anda, bukan?” Pria itu menimpali. Nyonya Youko sesaat berhenti menangis. Ia menatap shinigami itu heran. Bagaimana sosok asing itu bisa tahu, sedangkan ia jarang sekali menceritakan anaknya pada orang lain, bahkan suster-suster di rumah sakit ini.

Sorot mata pria itu melembut. Ia kembali mengguretkan seulas senyum. Jari-jarinya bergerak menghapus cairan bening di wajah penuh gelambir itu. 

“Anda sangat menyayanginya, bukan?”

Nyonya Youko mulai terkesan dengan sikapnya. Senyuman lembut, sorot mata yang penuh perhatian, lalu usapan tangannya. Pemuda itu sepertinya bukan orang jahat. Dan, ia sepertinya tidak mencoba menipu atau mempermainkan sosok renta ini.

“Tuan shinigami.” Youko pun memanggilnya. “Apakah anda mau menemani saya dalam sisa waktu ini?”

Pria itu masih tersenyum. Ia mengangguk pelan. “Saya memang akan berada di sisi anda, nyonya.” Ucapan itu dalam sekejap membuat Youko tersenyum lega. Jika memang dalam lima hari ia benar-benar meninggal, tetap saja ia merasa senang ada yang mau tinggal bersamanya, sekalipun itu adalah sosok dewa kematian. Yang jelas, ia tak akan meninggal dalam kesepian.

“Saya akan menemani anda, bahkan jika anda mau berbagi cerita dengan saya. Saya akan senang menanggapinya.”

Youko tersenyum haru. Ia mengangguk pelan sambil mengusap sisa air matanya. Ia memang sudah tua, dan sebentar lagi akan meninggal. Jadi, untuk apa meratapi nasibnya? Jikalau shinigami itu mau menemani sisa hidupnya, ia tak akan takut menghadapi kematiannya. 

***

“Haru-chan, maaf kita tidak bisa merayakan ulang tahunmu yang ke-lima.”

Sebuah suara mengalun dari speaker telepon. Sekejap, anak laki-laki berseragam TK itu langsung berseru kecewa. Ia ingin menangis, tapi segera dihapuskannya cairan bening di matanya itu. Di sekitarnya para guru dan teman-temannya memperhatikannya. Akan sangat memalukan kalau ia menangis tersedu-sedu di hadapan mereka.

“Mama kan sudah janji!” Haru membalas. “Kita mau makan spaghetti dan kue, lalu jalan-jalan membeli mainan.”

“Haru-chan.” Suara di seberang sana menegur lembut. “Mama ada rapat mendadak.” Penjelasannya langsung direspon dengan seruan kekecewaan dari anak semata wayangnya itu. 

“Nee, Haru-chan, tahun depan ya jalan-jalannya. Mama janji.”

Anak laki-laki itu tak menjawab. Di sana ia hanya memanyunkan bibirnya. Ibunya yang tak bisa melihat wajah kecewa anak itu kembali membujuknya.

“Haru-chan, maafkan mama ya.”

Mou!” Haru segera mengakhiri percakapan. Ia meletakkan gagang telepon lalu kembali ke kelas dengan wajah merengut. Sorot matanya sinis. Pipi bulatnya semakin bulat saat menggembung. Para guru yang melihat reaksi anak itu tentu tersenyum geli lalu berusaha menghiburnya. Namun, sang anak sebenarnya merasakan satu kekecewaan besar dari kejadian itu. 

***

Terik mentari kembali menjadi cahaya yang menyinari ruangan itu. Semilir angin siang kembali menggoyangkan tirai tipis. Suasana yang sama selalu ia temukan di awal musim panas. Apalagi, berada di tempat ini selama bertahun-tahun membuatnya hafal apa saja yang bisa ia saksikan dalam ruangan kamarnya. Sebuah jendela besar yang menjadi bingkai dari halaman di luar rumah sakit, tirai tipis yang selalu bergerak saat tertiup angin, sampai furin yang selalu berdenting.

Yang berbeda dari hari-hari sebelumnya adalah kehadiran dari pria berpakaian serba hitam itu. Sehari yang lalu, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai shinigami yang akan menjemputnya dalam lima hari ke depan. Kalau dihitung, sekarang mungkin tersisa sekitar kurang dari empat hari lagi. Kehadiran pria itu awalnya membuat Youko takut, namun janji dari sosok itu yang akan berada di sisi wanita kesepian itu, dalam sekejap membuat Youko berani menghadapi kematiannya. 

Dan saat ini, ia sudah bercengkrama dengan tuan shinigami selama berjam-jam, sejak pagi. Jika awalnya saat terbangun, hanya ada ia sendirian. Kali ini, si dewa kematian sudah menyambutnya dengan bungkukan hormat sekaligus sapaan selamat pagi. 

Setelah itu, ia akan duduk di samping sang wanita tua. Mereka mengobrol akrab, ngalor ngidul ke berbagai topik. Namun, percakapan itu tak terasa membosankan. Justru sang nenek sangat terhibur dari kesepiannya. Tawa dan senyum menghiasi wajah keriputnya. Ia sudah tak muda lagi, seperti halnya sebuah bunga yang sebentar lagi akan layu, tetapi ekspresi penuh senyum itu memberi kesegaran pada wajahnya. 

"Ya ... Swiss itu tempat yang amat indah. Aku ingin kembali ke sana suatu saat nanti." Youko bergerak lalu duduk di atas tempat tidurnya. Shinigami itu menopang tubuh rentanya. 

"Dulu saat masih bekerja, sering sekali aku berkeliling dunia, karena perusahaanku sering mengadakan studi banding." Shinigami itu kembali duduk dan mendengarkannya. 

Sampai akhirnya pintu ruangan terbuka. Seorang suster masuk sambil tersenyum ramah padanya. Ketukan sepatu heelsnya menggema. Ia mendekati Youko sambil mendorong kereta kecil berisi makan siang para pasien. 

"Ah ... Suster Mari." Youko langsung membalas sapaanya. Reaksi itu baru pertama kali disaksikan oleh sang suster. 

"Anda terlihat sangat segar, nyonya Kawashima," suster itu berkomentar seraya memperhatikan sosok renta yang terlihat penuh semangat. Padahal biasanya nyonya Youko jarang membalas sapaannya. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum lemah saat suster itu mengantar makanan, bahkan menawarkan diri untuk menyuapinya.

Dan kali ini, nyonya Youko juga mulai bercerita macam-macam pada sang suster yang tengah menyuapinya makan. Suster itu sedikit kewalahan menanggapi cerita wanita itu, namun ia tetap memasang wajah ramah. 

Shinigami itu memperhatikan mereka dari sudut ruangan. Keberadaannya tak akan bisa dilihat oleh suster itu, atau orang lain yang belum mengalami kematian. Hanya nyonya Youko saja yang bisa melihatnya. Ia melirik jam saku di telapak tangannya. Jarum jam terus bergerak mundur. Saat ini hanya tersisa 3 hari 9 jam 45 detik bagi nyonya Youko. Seraya memikirkan itu, bola mata hitamnya melihat sosok penuh tawa dari wanita tua yang tengah mengobrol dengan sang suster. Bibirnya terkunci rapat. Ia menghela nafas.

"Anda harus selalu bersemangat seperti ini, Youko-bachan," Suster itu memberi nasihat saat melihat perubahan sikap positif dari pasien itu. "Kalau begini terus, penyakit anda akan cepat sembuh, dan anda bisa kembali ke rumah,"

Suster Mari membereskan peralatan bekas makan siang nyonya Youko. Setelah memberikan wanita tua itu obat, ia hendak beranjak ke ruangan lain untuk mengatarkan makan siang ke pasien lain. Namun suara serak nenek itu menghentikan langkahnya.

"Suster, aku bersemangat karena shinigami di dekatku," Bola mata suster Mari melebar. Ia langsung membantah ucapan mengerikan dari nyonya Youko.

"Oba-chan," tegurnya "Anda terlihat sehat dan segar. Anda pasti segera sembuh," Ia mulai menyemangati agar wanita tua itu tidak lagi mengatakan hal yang macam-macam.

"Kalau sembuh pun aku akan sendirian lagi." Wanita itu menggumam sambil tertunduk. Suster itu ingin membantah lagi, namun nyonya Youko segera menyela.

"Terima kasih suster. Besok temani aku ke halaman ya,"

Raut wajah suster itu masih menunjukkan kecemasan, namun ia tetap mengiyakan permohonan itu. Ia pun membungkuk dalam untuk mohon diri. 

Setelah pintu ruangan tertutup rapat, keheningan pun menyeruak. Nyonya Youko berpaling ke sudut ruangan. Pria berpempilan serba hitam itu masih ada di sana. Menyadari tatapan sang nenek, shinigami itu kembali menghampirinya.

"Aku tinggal sendirian. Rumahku besar dan nyaman. Namun aku sendirian di masa pensiunku," Nyonya Youko mulai bercerita. Shinigami itu hanya diam mendengarkan.

"Kalau tidak pingsan di bus, mungkin saja aku sudah ditemukan menjadi mayat di dalam rumahku," Nenek itu terkekeh pelan. Ia geleng-geleng kepala menanggapi sendiri lelucon sarkasnya. 

"Orang-orang membawaku ke sini, dan sampai sekarang, ini menjadi rumahku,"

Nyonya Youko berhenti bicara sebentar. "Entah bagaimana sekarang kondisi rumahku, aku tak terlalu memikirkannya lagi," Ia kembali terkekeh pelan.

"Tak ada kebahagiaan saat kau hidup berkecukupan namun kesepian," Manik hitam itu beriak saat menatap mata lawan bicaranya. Shinigami itu terdiam sejenak, tertunduk, lalu mengangguk pelan.

***

Senja hari menampilkan pemandangan yang indah di halaman rumah sakit. Langit memancarkan warna orange. Matahari mulai menenggelamkan dirinya, terlihat seperti bersembunyi perlahan di salah satu gedung pencakar langit. Suara gagak terdengar. Angin dingin mulai berembus. Halaman rumah sakit ini juga mulai ditinggalkan oleh para pasien.

Kecuali seorang tua renta yang berada di sebuah kursi roda. Tubuhnya berbalut syal dan baju hangat rajut. Ia tampak menyaksikan tenggelamnya bintang yang paling terang itu. Seterik apapun sinarnya, suatu saat matahari pun akan terbenam juga.

Suster Mari setia menemaninya. Ia duduk di sebuah kursi taman, tepat di samping wanita itu. Awalnya sang suster ingin menenaninya jalan-jalan di siang hari, namun karena sibuk, ia baru bisa membawanya berkeliling rumah sakit di senja hari seperti ini. Sang suster sebenarnya merasa bersalah. Ia meminta sang nenek agar jalan-jalannya ditunda pada hari lain saja. Namun nenek itu berkeras meminta ke luar. Pada akhirnya, suster itu pun menyanggupi.

Karena hari semakin gelap, suster itu berdiri lalu membujuk sang nenek untuk meninggalkan halaman. Tetapi sepertinya sosok itu masih betah berada di tempat ini. Ia menghentikan tangan sang suster saat akan menggenggam pegangan kursi roda.

"Sebentar lagi, suster," Pintanya. Sang suster sedikit cemas, namun ia menyanggupi. 

"Waktu itu amat berharga ya," Nyonya Youko mengajak bicara wanita muda yang berdiri di belakangnya.

"Ketika kau memiliki orang yang paling kau sayangi, manfaatkan waktumu dengannya," Ucapan nyonya Youko tak terlalu dimengerti oleh sang suster. Kenapa tiba-tiba topik pembicaraannya begini? Namun nasihatnya membekas di ingatannya.

"Ya, nyonya. Karena waktu tak bisa diputar kembali,"

Nyonya Youko terkekeh pelan dan lirih. Ia manggut-manggut sambil berpaling ke belakang. Bola matanya berkaca-kaca menatap wajah suster itu.

"Kau benar suster. Uang yang hilang bisa kau cari lagi. Namun waktu yang hilang tak bisa kembali lagi,"

***

"Mama...ada perlombaan lari ibu dan anak minggu depan. Guru mewajibkan semua murid ikut,"

Youko yang tengah mengetik lembaran presentasinya di balik laptop langsung berpaling ke belakang. Kawashima Haru, anak laki-laki semata wayangnya yang kini sudah berusia tujuh tahun menggelayut di leher ibunya. Ia menggumamkan permintaannya tepat setelah sang ibu mengusirnya halus agar tidak mengganggunya bekerja.

"Kapan? Lomba apa, Haru-chan?" Youko yang tak terlalu menangkap ucapan anaknya kembali bekerja. Wanita berpotong pixy itu kembali terarah pada layar laptopnya. 

Menjalani dua peran memang sangat melelahkan. Sebagai wanita karir yang merangkap seorang ibu, Youko dituntut untuk bisa mengimbangi waktunya bekerja dan menemani anak laki-lakinya. Setelah bercerai dari suaminya, hak asuh memang jatuh ke tangan Youko, namun kehidupan setelahnya ternyata lebih menguras energi. Sang anak yang memang butuh kasih sayang itu sering memintanya macam-macam, tak peduli dengan tumpukan pekerjaan ibunya yang menggunung. 

"Minggu depan. Lomba lari ibu dan anak," Haru mengulangi ucapannya, sedikit kesal karena ibunya hanya manggut-manggut sambil ber'oh' pelan lalu melanjutkan ketikannya.

"Mama," panggilan Haru kembali mengusiknya. Ia memaksa sang ibu untuk menjawab permintaanya. 

"Ya, Haru-chan. Minggu depan mama ada dinas," Jelas ibunya lembut. Ia menghentikan pekerjaannya, berpaling memandang wajah Haru yang berubah gusar. Sambil tersenyum, ia mengusap rambut anak itu untuk menghiburnya. 

"Tahun depan ya," Janjinya lagi.

"Tidak bisa kalau dinas yang diganti tahun depan?" Haru mulai protes dengan janji ibunya itu. Sudah berapa kali sang ibu yang sering tak bisa memenuhi permintaannya itu, merapalkan janji mengenai rentang waktu tidak jelas. Tahun depan, lain waktu, nanti. Haru mulai gerah mendengarnya.

"Haru-chan," Ibunya kini memegang kedua pipi anaknya. "Ini dinas yang amat penting. Kalau mama tidak ikut, mama bisa dipecat,"

"Tapi…." Nada bicara anak itu meninggi. "Mama selalu sibuk bekerja,"

"Haru...mama bekerja untukmu juga. Agar kau bisa sekolah, bisa membeli mainan baru, makanan yant enak, jalan-jalan dengan teman-temanmu," Ibunya mencoba sabar menjelaskan. Ia menatap lembut mata anaknya.

"Mou!" Haru justru semakin kesal mendengarnya. Ia menggeleng cepat sambil melepas sentuhan lembut ibunya. "Aku ingin mama datang! Aku tidak mau baju bagus, tidak mau makan enak,"

"Haru-chan," 

"Mama berhenti kerja saja. Mama temani aku!" 

"Haru!" Suara ibunya meninggi. Tanpa sadar ia kesal dan membentak anak itu. Haru hanya diam di tempat sambil menatap takut ibunya. Keheningan muncul di antara mereka, sampai akhirnya Haru mulai terisak. Youko menyesal sudah membentaknya. Ia mendekati Haru untuk memeluk anak itu dan meminta maaf, namun sang anak keburu lari meninggalkannnya. Haru masuk ke kamar, mengunci dirinya di ruangan itu. 

"Maafkan ibu, Haru…" Sang ibu mengetuk pintu. "Haru, kita bisa bicarkan ini ya nak,"

Bujukan Youko tetap tidak mempan pada sang anak. Hatinya sudah terlalu kecewa. Pada akhirnya Youko melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan kalut. Sesekali, ia mengintip ke dalam kamar, berharap agar anaknya itu mau ke luar.

Sampai di malam hari, Haru akhirnya mau ke luar kamarnya. Youko tersenyum lega, menyambutnya dengan pelukan. Ia meminta maaf berulang kali, namun anak itu tidak menjawab apapun, hanya menatapnya kaku. Raut kekecewaan masih membekas. Mungkin Haru tidak mau bicara dengannya selama beberapa hari. 

***

"Berapa lama lagi waktu saya, tuan shinigami," Nyonya Youko bertanya pada sosok yang setia duduk di samping ranjangnya. Pria bertopi bowler itu mengeluarkan jam sakunya. Memperhatikan laju menit dan detik, shinigami itu menjawab.

"Satu hari,"

Ini memang tepat pukul lima sore, di hari keempatnya bersama shinigami itu. Waktu yang berjalan semakin mendekatkannya pada maut. Dan shinigami yang menemaninya selalu mengingatkannya kalau hidupnya tersisa tak lama lagi. Jujur saja, ia mulai ketakutan, apalagi membayangkan bagaimana rasanya kematian itu. Menyakitkan-kah? Atau damai-kah?

"Tuan. Apa orang mati bisa saling bertemu?" Wanita yang terbaring lemah itu kembali bertanya. Selimut menutup tubuhnya sampai ke bagian leher. Wajahnya keriputnya memucat. Tenaganya gampang sekali menguap, padahal ia hanya mengeluarkan suara saja. 

"Saya tidak tahu, nyonya. Saya hanya bertugas menjemput anda saja," Pemuda itu menjawab sambil membungkuk sopan. Nyonya Youko pun berpaling melihat langit-langit kamarnya. Nafasnya mulai berat dan tersengal, terlebih saat memori masa silamnya terputar. Sebuah penyesalan mendalam yang membuatnya tak bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Kalau saja saya lebih memperhatikannya. Kalau saja saya mau meluangkan waktu saya bersama dengannya…."

Sang shinigami mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mendengarkan ujaran lirih itu. Bola mata nyonya Youko berkaca-kaca. Tangannya gemetar bergerak, sedikit kesusahan untuk menyeka cairan bening yang nyaris terjun bebas ke wajahnya.

"Aku ingin bertemu Haru," Nyonya Youko menggumam. Shinigami itu tak bereaksi mendengarnya. Sangat mustahil untuk memenuhi permintaan terakhirnya itu, karena Haru Kawashima memang sudah tak berada di dunia ini lagi.

***

Malam itu seperti biasa, Youko lembur di kantornya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia yang tengah mengetik laporan di komputer langsung tersentak mendengar sebuah nada panggil dari ponselnya.

Layar ponsel menyala. Nama Haru terpampang di sana. Youko menyiritkan alis sebelum akhirnya menjawan panggilan itu.

"Ya...Haru?" Respon lembutnya tak langsung dijawab oleh si pemangil. Youko menunggu dengan sabar sampai puteranya yang kini sudah menginjak usia dua belas tahun itu mengeluarkan suaranya. 

"Ibu," Suara kekanakan Haru kini berganti dengan suara sedikit berat khas remaja. Ia sedikit gugup untuk memulai percakapan dengan ibunya.

"Hari ini lembur lagi?" Haru berbasa-basi. 

"Ya...kau siapkan makan malam sendiri ya. Mungkin ibu akan makan di luar,"

"Ya," Haru merespon. Ia diam sejenak lalu mendehem pelan.

"Besok...aku ada pertandingan basket," Haru mulai mengatakan tujuannya menelepon sang ibu. Ia sedikit canggung, namun tetap melanjutkan ucapannya. Youko mendengarkan baik-baik.

"Mungkin kalau sempat, ibu bisa melihatku,"

"Besok?" Youko langsung melihat kalender. Ternyata besok hari Sabtu. Youko berpikir sejenak. Ajakan sang anak mendadak sekali. Besok ia akan dinas dari pagi sampai sore, apalagi akhir-akhir ini mendekati deadline tugas dari kantor. 

"Maaf, Haru-chan. Besok ibu ada dinas," Youko tak bisa melihat wajah anaknya, namun ia yakin kalau puteranya pasti amat kecewa. Ia merasa amat bersalah, namun Youko tak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya. Ia tak ingin kena marah atasan karena ijin seenaknya pada deadline ini. 

"Tak apa. Selamat bekerja, bu," Haru menjawab singkat. Suaranya tetap terdengar tenang. Ia sudah tumbuh menjadi sosok dewasa, bukan anak kecil yang langsung merengek marah saat sang ibu tak bisa menemaninya ke suatu acara. 

"Haru semangat ya. Semoga tim kamu menang!" Youko hanya bisa memberi semangat dari jauh. Haru tertawa pelan.

"Terima kasih,"

Mereka mengakhiri percakapan. Youko menutup telepon sambil menghela nafas. Ia memandang bingkai foto di meja kerjanya. Ia dan Haru terlihat bahagia berfoto bersama di sebuah taman ria. Kalau tidak salah, ini adalah foto yang diambil saat Haru masih berusia empat tahun. Dan mungkin saja itu satu-satunya momen di mana ia bisa menghabiskan waktu dengan puteranya. Setelah itu, Youko kebanyakan sibuk dengan pekerjaannya. 

Dalam sekejap, rasa bersalahnya kembali muncul. Kesibukannya ternyata amat menyita waktu, bahkan waktu bersama dengan anaknya itu. Sudah bertahun-tahun Youko tidak pergi berdua dengan Haru. Mungkin setelah ini, ia akan mencoba ijin ke atasannya untuk cuti beberapa hari. Kesempatan itu akan ia gunakan untuk jalan-jalan ke suatu tempat bersama Haru. Mungkin saja menyewa penginapan di pegunungan, atau ke laut. 

Youko mengangguk pelan setelah menyusun rencana itu. Ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Setelah peerjaannya selesai, ia akan membicarakan rencana liburan ini dengan Haru. Pasti anak itu akan sangat senang.

***

Tepat esok sore, Youko tiba di rumahnya terlebih dahulu. Ia sedikit heran karena biasanya Haru-lah yang sudah menempati rumah itu. Youko melirik arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Mungkinkah Haru pergi bersama teman-temannya? Hari ini bukankah ada pertandingan di sekolahnya? Mungkin saja tim Haru menang, dan mereka merayakannya dengan makan-makan di suatu tempat.

Kesimpulan itu melegakan hati Youko. Ia pun memasuki rumah. Youko berberes sejenak lalu menyiapkan makan malam. Sekitar satu jam kemudian, Haru belum juga kembali. Youko mulai cemas. Ia mengecek ponsel dan tidak menemukan adanya pesan atau panggilan dari anaknya. Ke mana Haru? Apa sesuatu terjadi dengannya? Sekalipun ia amat tertutup, Haru akan tetap mengabarkan ibunya kalau ia pergi ke suatu tempat. 

Youko pun berinisiatif untuk menghubunginya. Ia mendengar nada sambung cukup lama. Apakah anak itu sangat sibuk sampai-sampai tidak menjawab panggilannya?

Youko kembali meneleponnya. Ia tetap mendapat hasil yang sama. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan kalau puteranya berada dalam bahaya. Youko ingin mengusir perasaan negatif itu. Namun, ia tak bisa. Firasatnya buruk. 

Youko pun beralih mengetik pesan. Setelah terkirim, ia tak beranjak sedikitpun dari ponselnya. Youko memandangi layar ponsel dengan raut cemas. Jantungnya terus berdegup. Ia berharap agar semua firasatnya salah. Haru baik-baik saja. Ia sedang sibuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya sehingga tak sempat menjawab panggilannya. 

Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Youko segera menjawab panggilan, terlebih Haru-lah yang menghubungi. Tanpa menunggu, Youko segera membeberkan pertanyaan pada si pemanggil.

"Haru….kau ke mana? Kenapa belum pulang? Kenapa panggilan dari ibu tak dijawab?"

"Halo…. Ini dengan nyonya Kawashima?" Suara orang lain terdengar, menjadi lawan bicaranya. Bukan Haru! Siapa orang asing ini? Youko tercekat, tak mampu merespon sampai suara di seberang sana melanjutkan ucapannya.

"Nyonya Kawashima…. Saya dari kepolisian, ingin mengabarkan kalau putera anda berada di rumah sakit,"

Wajah Youko berubah pucat. Jantungnya berdegup semakin kencang.

"Putera anda mengalami kecelakaan," 

Youko langsung jatuh lemas. Matanya menatap kosong. Kabar itu mengguncangnya seketika.

"Nyonya kawashima…."

"Rumah…rumah sakit mana?" Youko merespon terbata. Nafasnya memburu. Ia menahan isak tangis. 

Sosok di telepon menyebutkan nama sebuah rumah sakit. Youko segera memutus sambungan lalu menghambur ke luar rumahnya. Ia mencari taksi yang bisa mengantarkan dengan cepat ke rumah sakit itu. Di dalam perjalanan, Youko yang kalut mulai menangis. Ia tak habis pikir kenapa semua ini bisa terjadi pada puteranya. Padahal ia baru saja berencana mengajak Haru jalan bersamanya. Kenapa garis takdir begitu kejam? Kenapa ia tak diberikan kesempatan sekali saja untuk menebus kesalahannya?

Saat tiba di rumah sakit, Youko langsung berlari keluar dari taksi. Ia menelusuri lobi. Dalam kondisi panik, Youko mendatangi resepsionis lalu menanyakan keberadaan anaknya. Melihat raut wajah wanita itu, sang petugas berinisiatif mengantarnya menuju ke sebuah kamar. Di sana ada petugas polisi yang berjaga di lorong depan kamar itu. Salah seorang menyambut Youko lalu menjelaskan detail kejadian. Ternyata Haru tertabrak sebuah mobil yang melintas saat bersepeda menuju ke rumahnya. Kondisinya saat ini kritis. Sejak kejadian ia sudah tak sadarkan diri. 

Youko memasuki ruang kamar dengan langkah gontai. Ia melihat tubuh kaku Haru. Air mata tak henti berlinang deras. Saat menyentuh lengan dinginnya, Youko tak bisa menahan diri. Ia menangis histeris sambil menelungkupkan wajahnya, memanggil nama Haru berulang kali.

Semua sudah terlambat. Satu jam kemudian, Haru mengembuskan nafas terakhirnya. Kejadian itu seperti mimpi. Youko pun hanya bisa menerawang dengan mata yang terus basah oleh cairan bening. Ia masih tak percaya kalau sosok berharga itu sudah pergi, meninggalkan Youko selamanya. 

***

"Tuan, seandainya mungkin...aku ingin bisa kembali ke masa itu," Nenek Youko berkata getir sambil menatap langit-langit putih. Ini sudah hari yang kelima sejak Shinigami itu mendatanginya. Tepat pukul lima sore nanti, sosok itu akan menjemput rohnya. Berarti, sisa waktunya di dunia tinggal dua belas jam lagi. 

Sekujur tubuhnya sudah lemah, tak bisa melakukan banyak pergerakan. Napasnya tersengal. Bahkan untuk meraup oksigen saja ia sudah kepayahan. Mungkin saja sebentar lagi ia akan kehilangan kesadarannya sampai mati. Atau, bisa jadi ia akan berada dalam kondisi seperti ini, lalu mengalami sakit yang luar biasa sebelum akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya.

Bahkan ia masih belum tahu bagaimana caranya ia mati. Yang jelas, ia mulai merasa cemas. Jarum jam yang membuat pergerakan barang semenitpun membuat sang nenek ketakutan. 

Yang membuatnya belum siap berhubungan dengan kejadian di masa lalunya. Ia ingin bertemu dengan Haru untuk yang terakhir kalinya, atau kalau bisa ia ingin memutar kembali waktu yang telah lewat, ketika ia tak bisa sedikitpun meluangkan waktunya untuk anak semata wayangnya itu. Ia ingin memperbaiki semua. 

Shinigami itu tidak menjawab. Dari raut wajahnya, Youko menebak kalau permintaan terakhirnya itu mustahil akan terwujud. Sang nenek mendesah kecewa. Bola matanya basah karena menahan tangis. Pikirannya memutar memori-memori indah bersama puteranya. 

Waktu ternyata adalah sesuatu yang amat berharga. Jika sudah lewat, tak akan ada yang mampu mengembalikannya, termasuk sosok dewa yang ada di dekatnya itu. Kebersamaan bersama orang yang paling disayangi memang seharusnya tidak terlewat dengan sia-sia. Jika mereka sudah tidak ada lagi, tinggal penyesalan yang menggantikan. 

Nenek Youko terisak pelan. Ia membiarkan air matanya mengalir deras, tanpa mampu menyekanya lagi. Di jam-jam akhir hidupnya, ia merasa sangat menyesal. Dan ia akan meninggalkan dunia dalam keadaan penuh rasa bersalah. 

Perlahan, wanita itu memejamkan matanya. Pandangan terakhir yang ia lihat hanyalah sang Shinigami yang menghapus cairan bening di pipinya. Selebihnya, hanya kegelapan saja yang menyambutnya. 

***

Dering telepon berbunyi di sebuah kantor. Wanita itu langsung tersadar dari alam lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya pada benda yang ada di dekat komputer. Wanita itu pun langsung mengangkat teleponnya. 

"Mama...hari ini apakah bisa merayakan ulang tahunku?" Wanita itu membulatkan matanya mendengar suara seorang anak laki-laki. Ia langsung beralih melihat kalender. Tanggal 4 Juli 1995. Di samping kalender itu ada fotonya bersama si anak laki-laki itu.

"Mama!"

"Haru-chan!" Youko seketika linglung. Apa yang terjadi sebenarnya? Ia tak ingat jelas. Ia hanya bermimpi ketika ia sudah menjadi tua dan sendirian di rumah sakit. Lalu ada shinigami yang mengabarkan kematiannya lima hari lagi. Lalu….

"Mama!" suara di telepon itu kembali menyadarkannya. Youko tergagap. Ia pun terdiam sejenak, melirik arlojinya.

"Baik, Haru-chan...mama akan segera ke sana!"

Suara di seberang sana terdengar bersorak gembira. Youko tersenyum simpul lalu meminta sang anak untuk menunggunya di halaman sekolah. Setelah itu, mereka pun mengakhiri percakapan.

Youko meletakkan gagang telepon. Ia beralih kembali ke kalender meja. Memperhatikannya seksama, wanita itu mengambilnya. Ia mencubit pelan pipinya, untuk meyakinkan kalau kejadiannya saat ini bukanlah mimpi.

Jadi benar, sosok tua-nya itu hanyalah mimpi. Dan dirinya yang saat ini adalah kenyataan. Youko menyimpulkan. Tanpa berpikir lebih lama, ia bergegas meninggalkan meja kerjanya menuju ke ruangan atasannya. Sesuatu seperti menariknya untuk bergegas ke sekolah anaknya. Padahal, hari ini ia ada rapat. Youko lebih memilih untuk merayakan ulang tahun bersama putera tercintanya itu, sehingga ia akan meminta ijin pada bosnya untuk tidak menghadiri rapat. 

Youko melirik arlojinya, memandangi pergerakan jarum detik. Dalam mimpi tadi, Youko seperti diingatkan tentang berharganya sebuah waktu bersama sosok yang ia sayangi. Ia tak ingin penyesalannya dalam mimpi itu menjadi kenyataan. Ia tak ingin kehilangan Haru. 

Youko pun tiba di depan pintu ruangan bosnya. Ia mengetuk dua kali lalu menunggu sosok di dalam ruangan itu mempersilakannya masuk. Ia memandang pintu itu dengan harap-harap cemas. Tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan kirinya, menyentuh arloji kulit yang terpasang di situ. 

Aku tak ingin kehilangan momen berharga bersamanya.

***

Suara kepak sayap serangga terdengar di pekarangan. Sore itu, seorang anak nampak bermain sendirian di pekarangan sebuah sekolah. Langit senja berwarna orange tua menudunginya. Sekitarnya mulai sepi. Sambil mengais pasirnya, sesekali mata bulat anak itu melirik ke jalanan yang terbentang di hadapannya. Sosok yang ditunggu belum juga muncul setelah hampir dua jam ia menunggu. 

Wajah anak itu mulai murung. Ia kembali bergelut dengan pasir di sekitarnya. Tadi, ia tak salah dengar 'kan? Ibunya akan menjemput Haru di sini, lalu mereka akan merayakan ulang tahunnya yang ke-lima. Tapi, anak itu sudah menunggu cukup lama. Sang ibu yang dinanti tetap tak menunjukkan dirinya. Apakah mungkin keluarga satu-satunya itu ingkar janji?

Sosok yang bosan itu mulai beralih meninggalkan mainannya. Ia membersihkan tangannya dari noda pasir. Setelah itu, sang anak beranjak ke ayunan. Ia duduk di situ sambil menggerakkan ayunan dengan kedua kaki mungilnya. 

Anak itu terus tertunduk dalam, sampai akhirnya ia mendengar suara panggilan namanya.

"Haru!"

Anak itu menengadah. Seorang wanita berblazer hitam, mengenakan rok span, tampak berlari pelan ke arahnya. Sepatu haknya mengeluarkan bunyi berdetak. Ia menjinjing sebuah plastik putih. Anak laki-laki bernama Haru itu berdiri untuk menyambut kedatangan sosok yang sudah dinantikannya. Ia pun memeluk pinggang wanita itu.

"Selamat ulang tahun, Haru-chan,"

Wanita itu berjongkok, menyamakan tingginya dengan sang anak, lalu menyodorkan plastik putih yang berisi sebuah kado. Sang anak menerimanya dengan wajah berseri. Setelah itu, ia pun mendekap erat anak itu dalam dekapannya.

"Mama sangat menyayangi Haru…. Sangat sayang,"

***

Minggu pagi, Youko berjalan bergandengan dengan Haru menuju ke sekolah anaknya itu. Hari ini ada acara lomba di sekolah Haru, salah satunya adalah lomba lari ibu dan anak. Sebulan yang lalu, Haru meminta agar sang ibu mendampinginya ikut lomba tersebut. Youko pun langsung menyanggupinya. 

Saat lomba dimulai, Youko tampak antusias berlari berdampingan dengan anaknya. Kaki mereka diikat sehingga mereka harus menyamakan ritme agar tidak saling terjatuh. Gelak tawa menghiasi pertandingan. Para ibu dan anak mereka tampak antusias mengikuti lomba tersebut, termasuk Haru dan Youko. Mereka kesulitan menyamakan ritme langkah. Beberapa kali kaki mereka saling tersangkut. Namun, hal itu tak mengurangi rasa bahagia dalam hati mereka. Menikmati waktu bersama dengan orang yang disayangi rasanya lebih dari cukup dibandingkan dengan kemenangan perlombaan. 

Ya, mereka memang kalah, namun momen pertandingan itu tetap terekam dalam ingatan mereka, menjadi sesuatu yang berharga untuk dikenang di masa depan.

Sampai Haru beranjak dewasa, Youko terus menyempatkan diri untuk mendampingi anaknya di tiap kesempatan. Saat Haru memintanya datang ke sebuah acara, Youko berusaha menyanggupinya. Di sela-sela kesibukannya, Youko selalu berusaha menyisihkan waktu berdua dengan anaknya, entah itu mengobrol atau sekedar jalan-jalan. 

Sampai Haru memintanya untuk menonton pertandingan basket, Youko pun menyanggupi. Ia menyemangati Haru dari kursi penonton saat Haru berlagak di pertandingan basket itu. Haru yang mendapat dukungan dari sang ibu berusaha menampilkan performa yang terbaik dalam pertandingannya. Pada akhirnya, tim sekolah Haru pun memenangkan pertandingan. 

Momen kebersamaan mereka terus terekam. Sampai akhirnya Youko beranjak tua dan mulai sakit-sakitan. Ia pun tinggal di rumah sakit. Namun, kehadiran Haru membawa semangat bagi Youko. Anak semata wayangnya-lah yang kini gantian mendampinginya. Saat kondisi Youko semakin lemah, dan petugas medis membawanya ke ruang ICU, wanita itu masih bisa merasakan genggaman tangan anaknya. 

"Ibu…."

Bola mata Youko membuka. Ia tersenyum lembut menemukan wajah dewasa Haru terefleksi di kedua bola matanya. Haru terus menggenggam lengan Youko, bahkan saat wanita itu terbaring kritis di ruang ICU. Youko sangat senang bisa mengubah masa lalunya. Haru tidak meninggalkannya sendirian. Ia masih tetap berada bersamanya, bahkan sampai saat-saat terakhirnya berada di dunia ini.

***

Shinigami itu masih duduk di samping sosok yang sudah tidur dalam damai. Ia menggenggam jam saku tembaganya. Jarum panjang dan pendeknya membentuk sebuah garis lurus. Tepat satu jam yang lalu, Youko mengembuskan nafas terakhirnya. Para petugas medis membawanya ke kamar mayat lalu meninggalkannya sejenak di situ untuk mengurus penguburannya. Dalam kesendirian, hanya sang Shinigami-lah yang masih mendampinginya, menggenggam lengan keriput itu. 

Youko tersenyum dalam tidur panjangnya. Mungkin ia merasakan genggaman sang shinigami sebagai genggaman tangan Haru. Pria berpenampilan serba hitam itu memejamkan matanya. Ia menghela napas saat membuka matanya kembali.

"Waktu tak bisa diputar kembali, Nyonya Youko. Tapi, saya harap Anda merasa senang dengan mimpi indah ini,"

Shinigami itu berdiri. Ia melepas topinya seraya membungkuk dalam.

"Semoga anda beristirahat dengan tenang,"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi