Disukai
0
Dilihat
552
Polaroid
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Mbak?”

Aku menoleh, mengalihkan pandangan dari jajaran kamera di etalase toko terdekat. Pandanganku bersibobrok dengan tatapan kusam gadis kecil yang keningnya basah berkeringat. Anak kecil itu memakai tas Barbie Fairytopia yang diselempangkan di bahu, rambutnya yang pendek diikat longgar di kedua sisi kepala dan ditambah jepit polos. Sepatunya hitam dan agak kusam karena debu, persis seperti sepatu impianku saat umur tujuh tahun—setidaknya bukan dalam keadaan kusam. Lagi pula model sepatu seperti itu sudah lumayan ketinggalan zaman.

“Mbak mau jual kamera?”

Aku mengerjap sekali, tidak mengerti dengan pertanyaan tiba-tiba itu.

Mungkin karena merasa pertanyaannya salah atau murni rasa penasarannya, anak itu bertanya lagi, “Mbak mau beli kamera baru?”

Aku menggeleng. Aku sudah punya satu, bahkan hampir belum tidak digunakan selama setahun penuh.

“Mbak suka foto-foto?” Dia menunjuk kamera di tanganku.

Aku menunduk mengikuti arah pandangnya dan mengangguk pelan. “Sedikit. Kenapa?”

Memotret bukan benar-benar keahlianku. Lagi pula kamera ini bukan milikku, aku bahkan baru memilikinya setahun belakangan, dan belum pernah memakainya—lebih tepatnya tidak bisa memakainya dengan pasti. Bagaimana caranya mengambil potret yang bagus? Bagaimana menentukan angle photo yang tepat? Apa hasilnya akan bagus?

Ah, kalau sudah begini aku ingin meminta pendapatmu. Kamu kan paling tahu soal fotografi. Fotografi itu duniamu. Kamu tersenyum lebar, bahkan tertawa sangat lepas saat membicarakan banyak hal tapi hanya fotografi yang membuat tawamu benar-benar lega. Apa asyiknya memotret buatmu? Bukankah itu hanya sekadar kegiatan mengambil potret sebuah objek dengan bantuan alat, lalu menyimpannya sebagai kenang-kenangan? Atau ini lebih dari sekadar?

“Mbak, Mbak?”

Aku mengerjap, sedikit kaget, otomatis mengeratkan pegangan pada tali kamera. Anak kecil itu masih di depanku, kelihatan tertarik pada kamera yang kupegang. Aku tidak tahu apa yang dia mau, mencurinya barangkali? Tidak, ah! Mana mungkin dia melakukan itu dengan kaki-kaki kecil yang kelihatan lemah. Dia tidak akan kuat berlari seperti saat aku kecil dulu. Seperti waktu kita bermain-main di taman untuk menghindar dari rumah yang kejam, berlari-lari mengejar layangan khayalan lalu berbaring di bawah pohon dan terpanggang matahari. Lalu saat matahari mulai jingga, merayap seperti keong, kita kembali ke rumah yang tidak menyenangkan, kembali berkumpul dan diam menahan segala tawa. Bayangan rumah itu membawaku kembali ke dunia nyata, berhadapan dengan gadis kecil bermata hitam.

“Kamu mau difoto?” tanyaku pelan.

“Boleh, Mbak?” Bocah itu berbinar. Dia tersenyum lebar, membuatku lagi-lagi ingat masa kecil. “Beneran nih, Mbak?”

Entahlah. Apa aku bisa memotret dengan baik? Katamu aku ini payah soal kamera, hasil gambarku bisa kalah bahkan oleh pemula. Aku juga tidak punya waktu memenuhi rasa penasaran bocah kecil yang tidak kukenal. Bukan untuk ini aku pergi.

Jangan tekan perasaanmu, Kim. Tersenyum tidak akan membuatmu cepat mati, kok.

Aku tersenyum, berusaha melembutkan sedikit hatiku seperti katamu. Dan lagi, aku yang menawarkan jasa padanya. “Ini kamera polaroid, nanti hasilnya bisa langsung jadi,” kataku sok, entah untuk apa. Mungkin aku mau meniru gayamu, seperti dulu waktu memamerkan kamera pertamamu. “Satu kali saja, ya?”

Dia tersenyum. Nah, lihat! Aku bisa juga kan membuat orang tersenyum.

Anak itu tertawa lebar dan kelihatan bahagia saat aku memberikan lembaran foto padanya. Berkali-kali dia mengusap lembar foto itu sambil tersenyum. Aku diam saja, memperhatikannya dengan khusyuk. Dia persis kamu tahu! Waktu kamu memotret untuk pertama kalinya dengan kamera, kamu juga seperti itu.

“Lihat? Bagus, ya? Aku ini memang punya bakat memotret, aku bisa jadi fotografer profesional kalau sudah besar,” begitu katamu waktu itu. Sepertinya. Aku sudah hampir lupa. Mungkin kita sama-sama dua belas tahun waktu itu. Kamu selalu memperlihatkan hasil-hasil gambarku padaku, memberinya untuk disimpan sebagai kenangan. Aku melakukannya. Semua hasil gambar milikmu. Pemandangan sepanjang jalan, permukaan sungai yang beriak, arakan awan, kumpulan orang berkostum karnaval, semuanya yang menarik perhatianmu.

Kamu suka memotret apa saja kecuali wajah orang. Kenapa, sih? Padahal koleksimu bisa banyak kalau kamu memotret momen saat orang tertawa atau sedih, atau melakukan hal konyol mungkin. Aneh. Aneh sekali buatku. Meskipun menurutmu itu cuma masalah selera. Selera, ya?

“Mbak gambarnya bagus. Terimakasih.” Suara bocah kecil itu mengalun nyaring, memecah ingatanku.

Aku tersenyum tipis, hampir tanpa jeda. Aku suka ucapan terimakasih itu, rasanya tulus sekali. “Kamu suka?”

Dia mengangguk dan tersenyum. Dengan cekatan dia membuka tasnya, mengeluarkan buku catatan kecil dan menyelipkan lembaran foto itu ke dalam buku lalu menyimpannya lagi di dalam tas dengan hati-hati.

Aduh! Kenapa dia benar-benar mirip kamu, sih? Aku kan jadi gemas. Dulu kamu juga selalu menyimpan foto hasil jepretan iseng di dalam buku catatanku. Aku masih menyimpan semuanya, tenang saja, aku tidak terlalu jahat untuk membuang polaroid-polaroid itu. Lagi pula hasil jepretan kamu kan selalu bagus. Meskipun waktu itu kamu hanya memotret rumput liar yang berbunga di pinggir selokan tepi jalan.

Anak itu tersenyum sekali lagi, lalu pergi dengan senandung kecil. Cara jalannya yang kadang melompat-lompat di tiap langkah dan gerakan kepalanya itu hampir mirip aku waktu kecil, ya? Aku suka berjalan begitu. Katamu aku konyol. Sayangnya tidak ada foto soal itu, kamu kan tidak suka memotret seseorang. Atau waktu itu kamu malah belum punya kamera? Aku tidak ingat pasti, sih.

Aku menghela napas, menatap lagi jajaran kamera di etalase lalu kamera di tanganku.

Aku menggeleng. Aku memang payah fotografi, tapi aku sayang kamera ini. Lagi pula aku pergi bukan untuk menyingkirkannya sih. Aku tahu kamu akan marah kalau melihat salah satu dari sekian barang kesayanganmu dijejerkan dengan barang-barang milik orang lain untuk diperdagangkan sebagai barang bekas. Kamu pasti mengomel panjang lebar mengatakan bahwa benda ini yang paling berharga dan menyimpan banyak kenangan. Kamu tipe orang yang seperti itu.

Langit sudah mulai gelap dan warnanya hampir ungu. Kamu paling suka yang seperti ini. Bagaimana kalau kuambil satu gambar untukmu? Tenang saja, tidak akan susah. Kusimpan lembaran foto langit itu di dalam buku catatanku, bersama sisa-sisa foto lama punyamu.

Aduh, aku mau melihat wajahmu lagi tapi dimana? Tidak ada satupun foto wajahmu dimana-mana, bahkan kamera ponselku. Apa seharusnya dulu aku memotret kamu diam-diam saja? Tapi katamu itu kan melanggar privasi seseorang, tindakan legal yang tak termaafkan kamu bilang.

Ah! Merepotkan benar!

Aku kan mau mengenang kamu, menyimpan fotomu di dalam liontin atau apapun yang kelihatannya manis. Pasti bagus, kan? Seperti yang dilakukan orang-orang dalam serial televisi atau novel romansa. Meskipun aku tahu kisah kita tidak akan menjadi sebuah cerita bergenre romansa, apalagi yang berakhir bahagia. Lihat? Aku berakhir sendirian di sini. Membayangkan kamu turun dari langit dan kembali menemaniku jalan-jalan, mengatakan kalau yang kemarin-kemarin itu hanya mimpi. Ah, yang ini rasanya memang seperti ini mimpi. Sebuah mimpi yang terlalu mustahil untuk jadi kenyataan.

Nah, di sana kamu pasti menertawakan aku sekarang. Minum teh bersama malaikat dan kawan-kawan lama kita, menertawakan aku yang sekarang sendirian mondar-mandir dengan kamera milikmu padahal aku tidak berbakat mengambil foto. Lucu sekali pasti melihatku seperti tadi, dengan anak kecil itu.

“Kamu menipunya Kim, kamu bukan fotografer ahli.”

Aku bisa membayangkan kamu mengatakan itu sambil terbahak, laku tersedak teh, malaikat dan teman minum-mu juga ikut menertawakan kebodohanku.

Aduh, aku kangen kamu. Jangan tertawakan aku, ya.

***


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)