Disukai
4
Dilihat
5,695
Pojok Kafe Malam Itu
Drama

Setiap meja punya cerita yang berbeda, begitu pula spot meja kafe yang aku tempati. Meja yang cukup lebar untuk duduk berkelompok, tepat di sudut salah satu sisi bagian luar dari kafe unik ini, posisi yang paling banyak diincar karena dekorasinya yang apik dengan hiasan kayu yang beradu dengan mural di tembok yang sangat memukau. Aku datang tepat waktu disaat sahabat-sahabatku tidak disiplin dengan janji yang telah disepakati. Aku memesan minuman favorit di kafe ini, green tea latte dengan sedikit es didampingi pancake yang disajikan dengan madu. Aku bisa menikmati suasana tenang dan alunan lagu jazz di kafe ini sebelum mereka datang. Benar-benar lokasi yang cocok untuk work from cafe, walau sejatinya aku kesini bukan untuk itu.

Ponselku berdering, salah satu dari mereka akhirnya menelfon setelah 20 menit aku menunggu. Aku mengangkat panggilan tersebut, “Assalamu’alaikum Dik kamu dimana? Lama banget.” Ucapku ketus sebelum dia memulai percakapan.

“Ini udah di depan, kamu duduk dimana seh?”

“Pojokan seperti biasa,” Aku menjawab.

Okelah, aku pesen minum dulu.”

Hmm ...,” gumamku singkat sebagai jawaban.

Seorang pria dengan tinggi sekitar 160 sentimeter berjalan kearahku memakai celana blue jeans berlubang dikedua lutut dan hoodie hitam, style yang telah menjadi ciri khasnya.

"Dikaaa..., jam berapa kamu bangun heh!?” tanyaku dengan mengomel.

"Jam dua belas kayaknya, ga liat jam," jawabnya santai sambil mengeluarkan satu pak rokok dan korek dari sakunya.

“Kemarin kita janjian di sini jam 12 terus kamu baru bangun jam segitu, hebat! Yang lain sama sekali nggak jawab pesan atau telfonku. Kemana mereka semua?”

“Kamu kayak nggak kenal mereka aja nas,” jawab Hendika tertawa kecil.

Aku menghela nafas kesal karena waktuku terasa terbuang dihari mingguku yang berharga. Kalau bukan untuk ketiga sahabat yang sabar dengan tingkahku yang unik serta watak yang keras ini, malas sekali aku menuruti ajakan untuk keluar disaat aku ingin tidur lebih lama. Disamping itu, aku merasa harus bersyukur diberkati Tuhan memiliki mereka. Ternyata aku bisa punya teman juga, walau aku selalu merasa diriku ini tidak seru dan baik untuk layak memiliki teman.

Dahlah, kapan lagi kita ketemuan kayak gini, kita loh sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kerjaan yang melelahkan, menguras pikiran, tenaga. Ya kan!?” Hendika membela, entah membela dirinya atau sahabatku yang lain. Ya, sebenarnya Aku paham situasi ini, karena itu kami selalu berusaha ada untuk membantu satu sama lain semampu kami, begitulah memang yang membuat kami dekat. Terkadang sebuah kedekatan hubungan pertemanan dan kecocokan seperti sebuah kebetulan, mengapa bisa terjadi. Dipertemukan dengan obrolan receh yang ternyata saling paham satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, kami akan menua dan semakin fokus dengan kehidupan masing-masing. Sebelum itu datang, kami manfaatkan waktu yang tampak singkat ini untuk membuat sebanyak mungkin kenangan.

Terdengar langkah mendekat dan tangan yang memegang pundakku. "Eh, ada yang mengenang mantan nih kayaknya. Katanya udah lupain dan ngga inget-inget?" suara serak seperti remaja yang baru saja pubertas mengagetkanku dari belakang.

"Apaan sih Bri! ga ada hubungannya. Kita kan sering kesini juga," sahutku sembari menyentil tangan Brian di pundakku dengan tatapan manyun dan risih.

Kafe ini tempat favorit kami saat kuliah, disini juga aku dan mantan pacarku pertama kali bertemu, mantan satu-satunya. Tentu saja Brian mengatakan hal itu hanya karena usil ingin menggodaku saja. Lima menit kemudian Tya datang tampak dengan rambutnya yang baru, gaya curly perpaduan warna hitam dan coklat dengan sedikit garis vertikal silver di sisi depan rambutnya. Aneh, tapi memang penampilan dia seeksentrik itu. Oke, sekarang semua lengkap dan pemeran utamanya sudah datang. Tya yang paling mudah bergaul dan cerewet diantara kami, ada saja topik yang membuatnya bisa terus membuat obrolan kami mengalir. Mungkin di setiap circle pertemanan pasti ada karakter seperti ini.

Suasana obrolan hangat nan jenaka yang selalu kurindukan, bersama tiga orang sahabat unik yang terlalu sulit untuk dideskripsikan karakternya. Kami memiliki perbedaan karakter yang tidak terbayangkan akan bisa bersatu seperti ini. Aku merasa karakterku cenderung diam dan tampak tenang saat bertemu orang lain, tetapi di depan mereka aku merasa lebih bebas berekspresi tanpa harus takut dianggap buruk. Cara kami menyebut satu sama lain saat mengobrol berubah-ubah, kamu, loe, kampret, dengan segala bahasa formal, tidak formal, kasar, halus yang kami ucapkan. Tidak ada sakit hati yang berlarut lama, semuanya akan terselesaikan dengan cepat. Kuncinya adalah komunikasi yang terbuka, jika ada yang tidak cocok akan sikap salah satu diantara kami, harus langsung diutarakan. Begitulah aku belajar dari mereka, untuk tidak selalu memendam perasaan sebal, amarah, dan kecewa. Sejauh ini, kami tidak mudah membenci dengan sikap individu yang nyatanya hanya sekilas buruk pada situasi tertentu. Sikap pasti ada sebab.

Aroma rokok yang menyengat sudah mulai tercium, menandakan obrolan kami yang semakin lama dan semakin larut. “Gue nggak tahu kalau mereka gay guys !" ucap Tya dengan nada suara cukup keras.

Sttt ... tt ..., mulut loe njir,” Brian menutup mulut Tya dengan sigap. 

Eh, Dik kamu nggak mau pesen minum lagi?” Aku memotong pembicaraan.

“Iya, tapi setelah sebatang ini abis, kenapa? Mau nitip?” jawab Hendika sembari menunjukkan rokok ditangannya yang tinggal seperempat.

"Yep! " Aku mengangguk.

Topik awal obrolan kami bertemu di sini adalah Tya dan kisahnya. Seminggu yang lalu sesi video call rutin kami telah ribut karena curhatan tentang gebetan Tya yang ternyata gay. Lebih tepatnya, cowok yang dia incar di tempat kerjanya sekarang. Sehari setelah dia dilabrak oleh pasangan laki-laki, cowok yang tengah dia dekati pada waktu itu. Teror chat mengganggu hari-harinya dan rasa nyaman Tya di tempat kerja berkurang karena ada yang menyebarkan rumor bahwa dia merebut pacar orang dari kantor sebelah, dia memang sensitif dan mudah terbawa perasaan. Semua mereda saat kemarin Tya memposting foto akrab dengan sepupu laki-lakinya di Instagram diimbuhi dengan caption manis, untuk membuat seolah-olah mereka memiliki hubungan khusus, dan itu berhasil. Sesimpel itu meredam kehebohan, untuk efek selanjutnya mari kita pikirkan nanti saja.

“Terus ada lagi, baa ... ruu ... aja kemarin gue ketemu Ardi! dia lagi pulang ke Indonesia dan nanyain loe nas,” ucap Tya membuatku tersedak.

"Woylah, aku lupa wajahnya. Udah 5 tahun berlalu, mungkin dia sudah berubah. Kok kamu bisa ngenalin dia?”

"Wajahnya mah sama aja kayak dulu, loe-nya aja yang lebay! Sok bilang ngelupain tapi sampai sekarang nggak pernah pacaran lagi setelah putus sama dia kan,” sahut Tya membuatku tersentil dengan ucapannya.

"Loe seharusnya sudah nggak perlu takut sakit hati lagi nas, udah harus bisa berani jalin hubungan, tepatnya tuh harus sadar sama umur.” Tambah Brian menyahut.

“Kok kamu nambah-nambahin sih Bri!” Aku protes kepada Brian. Siapa yang tidak kesal jika disinggung perkara usia.

Mereka terdiam sembari memalingkan wajah setelah aku meninggikan suaraku, aku menghela nafas panjang kemudian mengulurkan kepalan tangan kearah mereka satu persatu, kami saling memberikan tos lalu obrolan kembali mencair sepuluh detik setelahnya. Begitulah kami mengaturnya secara otomatis. Aku adalah orang yang paling sering memberikan ketiga sahabatku solusi tentang segala masalah yang mereka punya, jarang sekali berbicara dengan nada tinggi. Dianggap paling dewasa, rasional berpendapat dan bijak menghadapi permasalahan. Tetapi, aku tidak menyadari bahwa diriku ini juga membutuhkan jalan keluar atas masalah yang aku miliki. Terlalu terbiasa menyendiri, menganggap semuanya akan baik-baik saja jika dibiarkan, mengikuti alur seakan jiwa ini tidak mengenal adanya emosi. Sosok yang terlihat tenang namun pada hakikatnya penuh gejolak ambisi dan kesedihan. Terkadang sisi diriku yang lain hanya mereka saja yang tahu. Secara umum hanya sikap manusia dengan adab bersosial seperti biasa.

Matahari terlihat akan terbenam sebentar lagi, topik obrolan kami sudah mulai habis, Tya pulang terlebih dahulu karena ada acara keluarga. Brian ada kencan dengan pacarnya malam ini, jadi dia pulang karena harus menjemput pujaan hatinya. Tinggal aku dan Hendika yang masih menikmati sisa kopi kami.

"Dik, kamu nggak ingin berpendapat?" tanyaku secara spontan.

"Apa nas? oh! Ubah fokusmu. Kamu nggak perlu ada alasan lagi ngga mau pacaran karena ingin fokus menggapai cita-cita. Sekarang kan sudah dapat pekerjaan yang kamu inginkan. Coba buka hatimu untuk seseorang. Nyatanya banyak banget yang sering nanyain kamu ke kita bertiga, malah kadang mereka bilang kita yang posesifin kamu,” Hendika menjawab.

"Yap! agak geli dengernya, nanti aku pikirkan lagi.” Aku masih suka terheran mengapa ada yang bisa tertarik dengan diriku yang dingin dan paras pas-pasan ini.

"Aku harus cek proyek malem ini gantiin orang. Balik duluan boleh kan?” ucap Hendika pamit.

"Ya, ngga apa-apa. Besok di kantor salamkan ke Nina ya, aku kangen ngobrol sama dia." Nina adalah temanku di organisasi saat masa kuliah yang kebetulan satu kantor dengan Hendika.

Hendika menggangguk sambil membereskan rokok dan tasnya, menjitak kepalaku lalu pergi. Aku memutuskan menetap karena harus menyelesaikan draf cerpen. Terasa sulit saat seorang penulis thriller dan horror sepertiku mendapatkan tantangan menulis genre romantis, sedangkan diri sendiri sudah lama tidak pernah menjalani hubungan yang bisa dibilang romantis. Ini merupakan tantangan iseng dari sesama teman penulis di kantor untuk terbitan edisi khusus April Mop, jadi aku berusaha mengikuti.

Terdengar notifikasi, ada pesan dari Tya. Dia meminta izin untuk memberikan nomorku kepada Ardi, katanya sejak lama dia mengirimiku pesan tetapi mungkin ke nomor lamaku yang sudah tidak terpakai. Aku membolehkannya, kupikir itu bukan masalah. Lima menit kemudian ada pesan masuk, dari nomor tidak dikenal.

Assalamu’alaikum nas, ini Ardi. Dapet nomormu dari Tya. Kamu masih di kafe? Aku kesana ya, pengen ngobrol.

Aku membolehkan Ardi datang menghampiriku di kafe. Dia datang sendiri malam itu. Aku sedikit tertawa dalam hati. Lima tahun ternyata bukan waktu yang lama, aku masih bisa mengenalinya saat dia datang menghampiriku. Benar juga, aku membohongi diriku sendiri, ternyata aku hanya pura-pura move on.

Malam yang tidak terduga menjadi sebuah jawaban akan penantian. Ardi telah lama aku anggap masa lalu, tetapi malam itu bagaikan kejutan dengan sejuta cerita dan banyaknya rahasia yang terbongkar. Tidak ada di antara kami berdua yang melupakan setiap detail kisah kedekatan kami saat berpacaran, dan tidak ada yang berkhianat selama ini. Bahkan alasan kami berpisah karena ingin fokus meraih cita-cita benar adanya. Aku merasa, akulah yang terlalu berburuk sangka. Ardi tidak akan mungkin setia saat ingin berpisah dengan alasan karena cita-cita. Ya, sulit mempercayai pria tanpa ikatan akan kembali padamu setelah melalui proses panjang kehidupan. Kafe ini adalah saksi tempat kami pertama kali kenal dan lokasi saat kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Salah satu alasan mengapa aku tidak benar-benar melupakannya adalah ternyata selama ini aku masih berharap, walau berusaha berpikir rasional bahwa menunggu adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin dalam jangka waktu yang lama sebuah kisah cinta yang terputus akan terhubung kembali, realistis saja. Aku kalah dengan sugesti yang aku rancang, terlalu keras pada diri yang sebenarnya lemah dan terus berharap dengan membayangkan kisah cinta pertama yang berakhir indah.

Proses perjalanan menjadi lebih dewasa yang cukup sulit, dengan melihat ketiga sahabatku merasakan lika-liku percintaan, membuatku tidak ingin berpacaran selama aku bisa bertahan sendiri. Melihat drama mereka berpacaran saja sudah terasa lelah. Membiarkan perasaan dipermainkan, keluar masuk kehidupan seseorang seenaknya. Selain itu, aku punya fokus untuk mencapai cita-cita yang menurutku cukup rumit untuk meyakinkan orangtuaku bahwa aku akan berhasil dengan profesi itu. Sejauh ini tidak bisa menerima orang baru, hati rasanya beku dan sulit mencair. Seolah menjadi manusia anti romantic.

Aku seakan menemukan ide untuk melanjutkan draf cerpenku. Malam ini aku dan Ardi tahu ternyata kami masih saling menanti, walau sama sekali tidak berkomunikasi setelah terakhir kami bertemu. Meskipun selama ini kami saling diliputi keraguan, kini bertemu dengan wujud individu yang lebih dewasa serta pemikiran yang sudah semakin memiliki komitmen. Ardi sejak lama mencari tahu kembali tentangku setelah dia menyelesaikan studinya di Turki.

"Aku baca semua novelmu. Setiap ada terbitan baru, aku minta tolong adek untuk menitipkan kepada temanku yang lagi liburan ke Indonesia, terus minta bawain ke Turki" ungkap Ardi dengan nada canggung yang masih tersisa.

"Iya kah? aku sedang menulis cerita pendek untuk project terbaru. Awalnya aku tidak mendapatkan ide apapun karena ini cerpen romantis. Aku tidak punya cerita hidup yang membuatku cukup berpengalaman untuk menuliskan hal-hal itu." Aku mencoba menyampaikan keluhan yang kualami padanya disaat pembicaraan kami semakin terbuka.

"Hmm ..., jadi hari ini dan seterusnya, beri aku kesempatan ya. Aku akan membantu berikan banyak ide. Mari kita mulai hal-hal yang biasa sepasang kekasih lakukan sebagai referensi untuk novelmu." Ardi mengucap dengan wajah berseri bersama dengan senyum tipisnya yang manis. Sangat berhasil membuat perutku penuh dengan kupu-kupu. Akupun tersipu mendengar kalimatnya dan tertawa kecil. Kalimat yang diucapkan Ardi terasa menggelikan, tapi kurasa aku berharap akan hal itu. Seakan kisah yang pernah terputus, saling mengaitkan ujungnya kembali untuk bersama menemukan akhir cerita. Aku berharap ini adalah awal dari hubungan yang baik dan bisa menuju lebih serius diusiaku yang sudah seperempat abad ini.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar