Disukai
0
Dilihat
6
Pilihan Nion
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Malam di Desa Akitsuki diselimuti kabut tebal yang bergerak perlahan, mengaburkan pemandangan gunung-gunung menjulang di sekitarnya. Angin malam berhembus lembut, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang, serta aroma tanah basah dan dedaunan lembab yang memberikan firasat buruk. Desa itu terlihat tenang, namun di kejauhan, samar-samar terdengar suara perang. Denting pedang beradu, teriakan prajurit, dan gemuruh kuda-kuda yang berderap, membuat siapapun yang mendengarnya tahu bahwa kehancuran tengah mendekat.

Akitsuki pernah menjadi surga kecil, sebuah desa damai di antara lembah yang terlindungi oleh pegunungan. Namun, perang yang menjalar dari satu wilayah ke wilayah lain dalam zaman Sengoku yang penuh kekacauan mengubah segalanya. Penduduk desa yang tersisa bergerak dengan hati-hati, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata musuh yang tak terlihat. Beberapa wanita tua duduk di depan rumah mereka, mencoba menjahit pakaian atau memperbaiki alat-alat pertanian, namun tangan mereka gemetar. Anak-anak yang biasanya berlari dan tertawa kini hanya berbisik di antara mereka, takut membuat suara terlalu keras. Desa yang dulu penuh dengan kehidupan sekarang dipenuhi dengan ketakutan yang membisu. Di kejauhan, suara perang seperti bayangan gelap yang menutupi langit, mengancam untuk menelan desa kecil ini kapan saja.

Sekarang, desa itu bagaikan oase di tengah badai. Dari segala penjuru, konflik berkecamuk, meski tempat ini masih dipeluk oleh keheningan palsu yang terasa seperti ilusi. Pohon-pohon sakura yang dulu menjadi simbol kehidupan kini terlihat layu. Kelopak-kelopaknya yang jatuh menciptakan karpet merah muda di atas tanah yang dingin, seperti air mata yang tumpah untuk mengenang masa lalu yang damai.

Nion, seorang pemuda yang lahir dari keluarga samurai terhormat, berdiri di tepi desa, matanya tertuju pada puncak gunung yang tertutup kabut tebal. Langit malam di atasnya tampak berat, penuh dengan awan kelabu yang menggantung rendah, seolah menekan tanah di bawahnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, desa itu terlihat seperti dunia lain, seolah terjebak di antara kedamaian yang rapuh dan perang yang akan datang. Di kejauhan, gemuruh pertempuran semakin jelas terdengar, mendekati desa ini dengan pasti.

“Perang tidak pernah memilih siapa yang terlibat,” pikir Nion dalam diam. Kata-kata itu bergema di dalam dirinya, mencerminkan kebimbangannya yang semakin mendalam. Sebagai seorang samurai, ia diajari bahwa kehormatan adalah segalanya, dan kehormatan hanya bisa ditebus dengan darah. Namun, di malam yang penuh firasat ini, ia mulai meragukan semua yang diajarkan kepadanya.

Pohon sakura di dekat Nion bergoyang pelan, kelopak-kelopaknya jatuh perlahan, terbawa oleh angin yang dingin. Setiap kelopak yang gugur bagaikan pengingat pahit bahwa segala sesuatu yang indah bisa hancur dalam sekejap. Nion menarik napas dalam-dalam, merasakan dinginnya udara yang masuk ke paru-parunya, memberikan sedikit kelegaan di tengah ketegangan yang meliputi desa. Pedang keluarganya, sebuah katana yang diwariskan turun-temurun, tergantung di dalam rumahnya. Pedang itu adalah simbol kehormatan dan kekuatan keluarganya, namun bagi Nion, pedang itu mulai terasa seperti kutukan.

Di kejauhan, api mulai terlihat di kaki pegunungan tanda bahwa pasukan dari klan Takahiro, yang dikenal karena kekejaman dan ambisi mereka, semakin mendekat. Klan-klan besar yang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan tidak lagi membedakan samurai dari petani semua terlibat dalam peperangan yang seolah tiada akhir. Desa-desa di sekitarnya telah rata dengan tanah, dan Nion tahu bahwa desanya tidak akan lama lagi mengalami nasib yang sama.

Namun, meskipun Nion tahu bahwa waktunya semakin menipis, hatinya masih dibebani oleh kebimbangan. Sejak kecil, ayahnya mengajarkannya bahwa seorang samurai harus selalu siap mengangkat pedangnya untuk membela kehormatan.

Malam semakin larut, tetapi suara perang di kejauhan tidak kunjung reda. Nion memandang ke arah cakrawala, di mana api dari pasukan Takahiro mulai terlihat. Di bawah cahaya bulan yang mulai memudar, pohon sakura yang menggugurkan kelopaknya mengingatkan Nion pada cerita tentang Kouzuki Oden, seorang samurai yang memilih jalan damai. Kelopak bunga yang berjatuhan menjadi simbol waktu yang terus berjalan dan dunia yang terus berubah, seperti hidupnya yang juga akan berubah seiring dengan pilihan yang ia buat malam ini.

Klan Takahiro, meski mundur sementara, tidak akan hilang sepenuhnya. Ancaman mereka tetap ada, dan Nion tahu bahwa apa pun yang terjadi malam ini, mereka akan kembali suatu hari nanti. Ia hanya bisa berharap bahwa desa ini siap menghadapi serangan mereka di masa mendatang, dengan cara yang berbeda cara yang mungkin tanpa kekerasan.

Tapi sekarang, berdiri di bawah pohon sakura yang layu, ia mulai mempertanyakan apakah benar kehormatan hanya bisa ditebus melalui kekerasan. Apakah tidak ada cara lain selain perang?

Bayangan Kouzuki Oden, seorang samurai legendaris yang pernah melepaskan jalannya sebagai seorang pejuang demi mengejar pengetahuan dan kebijaksanaan, muncul di pikirannya. Oden memilih jalan damai, meskipun dikelilingi oleh kekacauan dan pertumpahan darah. Nion bertanya-tanya, apakah ia bisa memilih jalan yang sama? Apakah mungkin bagi seorang samurai untuk mempertahankan kehormatannya tanpa harus menumpahkan darah?

Langit malam semakin kelam, awan-awan gelap bergerak perlahan menutupi bulan yang sebelumnya bersinar redup di balik kabut. Gemuruh pertempuran semakin jelas terdengar, mengalun seperti musik kematian yang semakin mendekat. Suara-suara dari kejauhan itu menciptakan irama yang mengganggu keheningan desa, seolah menjadi pengingat bahwa waktu untuk membuat keputusan semakin dekat.

Di tengah ketegangan yang meliputi malam, Nion merasa dirinya terjebak di antara dua dunia. Di satu sisi, dunia samurai yang penuh dengan tradisi, di mana kehormatan hanya bisa ditegakkan dengan pedang. Di sisi lain, dunia yang ia impikan dunia di mana kedamaian dapat diraih tanpa harus ada korban yang jatuh. Desa Akitsuki, dengan segala keindahan dan kedamaiannya yang rapuh, adalah cerminan dari konflik batin yang dirasakannya. Pohon sakura yang terus menggugurkan kelopak-kelopaknya mencerminkan hati Nion yang terus menerus dihantui oleh keraguan. Nion menatap kelopak-kelopak bunga yang jatuh, merasa bahwa dirinya sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada dorongan untuk mengikuti jejak ayahnya dan mempertahankan kehormatan keluarga dengan pedang di tangan. Namun, di sisi lain, ia merasakan kekosongan dalam ajaran itu. “Apakah benar hidup hanya sekedar untuk menumpahkan darah demi harga diri?” pikirnya. Mungkin kehormatan yang sejati adalah mempertahankan hidup tanpa harus merenggut nyawa orang lain. Tapi, jika ia gagal, ia tahu bahwa seluruh desanya akan hancur. Pilihannya bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang masa depan semua orang yang ia cintai.

Saat Nion duduk di tepi sungai, ia melihat refleksi dirinya di permukaan air yang keruh. Refleksi itu tampak kabur, terdistorsi oleh arus air yang lambat tetapi tidak pernah berhenti. Sama seperti dirinya yang terombang-ambing di antara pilihan untuk mengikuti jejak ayahnya atau mencari jalannya sendiri. Sungai yang biasanya jernih kini menjadi lambang kekacauan batin yang ia rasakan kekacauan yang harus segera ia selesaikan sebelum terlambat.

Nion memandang ke arah rumah keluarganya, di mana pedang samurai tergantung di dinding. Pedang itu tampak bersinar di bawah cahaya bulan yang pucat, tetapi bagi Nion, itu bukanlah kilauan kehormatan, melainkan bayangan masa lalu yang ingin ia hindari. Kelopak bunga sakura yang berjatuhan di sekelilingnya seolah menyimbolkan setiap pilihan yang ia lepaskan, satu demi satu, sampai ia menemukan jawabannya.

Kehancuran sudah pasti akan tiba. Tapi, Nion mulai bertanya-tanya apakah ia bisa menemukan kekuatan untuk memilih jalan yang berbeda. Apakah ia akan mengikuti jejak ayahnya dan mengangkat pedang untuk melawan? Ataukah ia akan mencari jalan baru, jalan yang mungkin lebih sulit, tetapi lebih sesuai dengan hati nuraninya?

Suasana desa yang tenang di bawah kabut tipis dan sinar bulan yang pucat membuat Nion semakin sadar bahwa dunia di sekelilingnya sedang berubah. Desa-desa yang dulu penuh dengan kehidupan kini hanya tinggal puing-puing, dilahap oleh api perang yang berkobar di mana-mana. Akitsuki, meskipun masih berdiri, adalah lambang dari dunia yang terpecah belah. Sisa-sisa kedamaian di desa ini hanyalah ilusi, sebuah kedamaian yang kapan saja bisa dihancurkan oleh kekerasan yang semakin mendekat.

Malam semakin larut, dan suara-suara perang di kejauhan semakin mendekat. Nion duduk di bawah pohon sakura, dikelilingi oleh kelopak-kelopak bunga yang berguguran. Ia merenungi segalanya perang, kehormatan, keluarganya, dan nasib desanya. Apakah ia harus mengangkat pedang dan berjuang seperti yang dilakukan ayahnya? Ataukah ia bisa memilih jalan yang lebih damai, meskipun jalan itu penuh dengan ketidakpastian?

Pohon sakura yang tumbuh di tengah desa adalah saksi bisu dari segala tragedi yang telah dan akan terjadi. Bunga-bunga yang berguguran dengan indah menciptakan kontras dengan tanah desa yang kotor oleh debu dan lumpur. Keindahan yang memudar itu menjadi pengingat bagi Nion bahwa dunia tidak selalu seperti yang terlihat di permukaan. Di balik keindahan, ada kehancuran yang menanti.

Nion memandang ke arah rumah keluarganya yang tidak jauh dari tempat ia duduk. Di dalam rumah itu tergantung pedang keluarganya, sebuah katana yang penuh dengan sejarah pertempuran dan darah. Tapi, Nion merasa bahwa pedang itu bukanlah jawaban dari semua masalah. “Pedang tidak pernah menumbuhkan apa-apa selain luka,” pikirnya. Ada perang yang lebih besar yang sedang terjadi di dalam dirinya perang antara apa yang ia yakini sebagai kewajiban dan apa yang ia rasakan sebagai kebenaran.

Kabut yang menyelimuti desa mulai menipis, dan bintang-bintang samar terlihat di langit yang hitam. Nion tahu bahwa perang tidak akan menunggu lebih lama lagi. Pasukan Takahiro akan segera tiba, membawa kehancuran seperti yang telah mereka lakukan di tempat lain. Tapi, bagi Nion, perang yang sesungguhnya bukan hanya terjadi di medan pertempuran. Perang yang paling penting terjadi di dalam hatinya sebuah pertempuran antara tradisi dan perubahan, antara kehormatan dan kedamaian.

Saat malam semakin dalam, Nion tahu bahwa pilihannya akan segera tiba. Apakah ia akan menjadi samurai seperti yang diinginkan ayahnya, ataukah ia akan menciptakan jalannya sendiri, jalan yang mungkin tidak pernah diajarkan kepadanya? Satu hal yang pasti  tak peduli jalan mana yang ia pilih, dunia akan berubah baik bagi desanya, maupun bagi dirinya sendiri.

Angin malam yang lembut terus mengalir di antara pohon-pohon sakura yang mulai layu, sementara Nion tetap duduk di bawah salah satu pohon terbesar di dekat rumahnya. Malam yang dingin ini membawa serta keraguan yang menghantui pikirannya. Di dalam rumahnya yang sederhana, katana keluarganya tergantung di dinding, berkilauan redup terkena cahaya bulan yang menyusup melalui celah-celah pintu. Pedang itu, seperti bayangan masa lalu yang tak pernah pergi, seolah terus memanggilnya. Itu adalah pengingat tak berkesudahan akan kewajiban yang tertanam kuat dalam dirinya sejak kecil sebuah kewajiban yang ia warisi dari garis keturunan samurai keluarganya.

Nion memandang pedang itu dari kejauhan, matanya tertuju pada detail-detail ukiran di gagangnya. Ukiran itu tidak hanya menceritakan kisah leluhur keluarganya, tetapi juga memikul beban dari setiap pertarungan yang pernah dihadapi oleh pemiliknya terdahulu. Setiap goresan adalah tanda dari perang, kehormatan, dan darah. Ayahnya sering berkata, "Seorang samurai tanpa pedang ibarat burung tanpa sayap." Kata-kata itu berulang kali bergema di dalam benaknya. Namun, semakin sering ia mengingatnya, semakin hampa makna kata-kata itu terasa.

Di masa kecilnya, Nion sangat mengagumi ayahnya seorang samurai yang disegani, dihormati bukan hanya oleh penduduk desa tetapi juga oleh klan besar yang menguasai wilayah ini. Nion ingat bagaimana ayahnya dengan penuh kebanggaan menunjukkan cara menggunakan pedang. Ayahnya mengajarkan cara menebas, cara bertahan, bahkan cara menghormati lawan sebelum menghabisinya. "Kehormatan adalah segalanya," ujar ayahnya, wajahnya bersinar dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Tanpa kehormatan, kita bukan siapa-siapa. Dan kehormatan, Nion, hanya bisa ditebus dengan darah."

Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai merayap masuk ke dalam pikiran Nion. Apakah benar kehormatan hanya bisa dicapai melalui perang dan kekerasan? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin kuat, terutama setelah mendengarkan cerita-cerita yang sering ibunya sampaikan cerita tentang Kouzuki Oden, seorang samurai legendaris yang pernah menempuh jalan pedang, namun akhirnya meninggalkan jalur kekerasan demi mencari pengetahuan dan kebijaksanaan. "Ada kehormatan dalam mencari kedamaian," kata ibunya suatu malam ketika mereka duduk di depan perapian, "dan kehormatan itu sering kali lebih sulit diraih daripada kemenangan di medan perang."

Cerita-cerita ibunya selalu terasa seperti dunia lain sebuah dunia yang tidak terikat oleh pedang dan darah. Namun, setiap kali Nion mencoba mempercayai jalan damai itu, bayangan ayahnya muncul, menggantikan kebimbangannya dengan tegasnya prinsip samurai yang diajarkan padanya sejak kecil. Ayahnya, keras dan penuh disiplin, sering mengabaikan cerita-cerita tentang Oden dengan tawa kecil. “Itu hanya mitos,” katanya, “dibuat untuk mereka yang takut mengangkat senjata. Kehormatan hanya bisa diraih dengan kekuatan dan keberanian. Jika kau memilih jalan yang lain, maka kau sudah mati sebelum bertarung.”

Kata-kata ayahnya selalu menghantam keras, meninggalkan Nion terjebak di antara dua dunia dunia ayahnya yang penuh dengan kekerasan dan darah, serta dunia ibunya yang penuh harapan akan kedamaian. Bagaimana mungkin dua pandangan yang begitu bertolak belakang bisa ada dalam satu keluarga? Bagaimana mungkin ayah dan ibunya, yang saling mencintai dan menghormati, memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang kehidupan ini?

Suara langkah kaki yang mendekat memecah keheningan malam itu. Nion mengalihkan pandangannya dari pohon sakura di atasnya. Shin, sahabatnya sejak kecil, muncul di kejauhan dengan wajah penuh kekhawatiran. Pakaian prajurit Shin tampak kotor, berdebu akibat perjalanan panjang, dan pedangnya tergantung longgar di pinggangnya seolah tak ada artinya di hadapan ancaman besar yang akan datang.

“Kau masih di sini, Nion?” tanya Shin dengan suara pelan, tetapi ada ketegangan dalam nadanya. "Kau tak bersiap?"

Nion mengangguk pelan, matanya kembali terfokus pada sungai yang mengalir perlahan di kejauhan. Sungai itu, yang biasanya tenang dan jernih, sekarang terlihat keruh, seperti mencerminkan kekacauan batin Nion. Pikirannya terus berkelana, mencoba mencari jawaban dari dilema yang semakin dalam, yang mengurung dirinya.

“Desas-desus itu benar,” kata Shin, matanya menatap ke cakrawala gelap yang terbentang jauh di depan. “Klan Takahiro akan tiba sebelum fajar.” Suara Shin penuh kecemasan, tetapi juga ada nada putus asa yang ia coba sembunyikan.

Nion hanya menundukkan kepala. “Apa kita harus selalu melawan dengan pedang?” tanyanya pelan, hampir seperti gumaman yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Kata-katanya mencerminkan kegelisahan yang semakin membelit hatinya. Ia tahu keputusan harus segera diambil, tetapi di dalam batinnya, ia belum siap memilih jalur mana yang akan diambil.

Shin duduk di samping Nion, matanya memandangi sungai yang keruh. “Perang memang tidak adil,” kata Shin setelah beberapa saat, suaranya lembut tetapi tegas. "Tapi kita tak punya pilihan lain. Ini takdir kita sebagai samurai."

“Takdir?” Nion menoleh, tatapannya tajam tetapi penuh keraguan. “Apakah benar takdir kita hanyalah menumpahkan darah? Bukankah ada cara lain untuk menjaga kehormatan tanpa harus membunuh?”

Shin terdiam sejenak, menimbang kata-kata sahabatnya. Akhirnya, ia menghela napas panjang. “Aku tak tahu, Nion. Mungkin kau benar, mungkin ada cara lain. Tapi saat ini, kita tidak punya waktu untuk mencari cara itu. Takahiro tidak akan menunggu sampai kita menemukan jawaban.”

“Pedang… tidak pernah menumbuhkan apa-apa selain luka,” gumam Nion pelan, matanya kembali tertuju pada sungai yang kini mengalir lebih lambat. Di dalam aliran air yang keruh itu, Nion melihat bayangannya sendiri seorang pemuda yang terjebak di antara dua jalan hidup, terjebak di antara tradisi dan impiannya sendiri.

Shin menatap Nion dengan serius. Ia tahu Nion selalu berbeda dari yang lain. Sejak kecil, sahabatnya ini sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tidak seperti anak-anak lain. Ketika anak-anak lain berlatih menjadi samurai dengan penuh semangat, Nion sering duduk di bawah pohon sakura, merenungi dunia di sekelilingnya. Ia bukan pengecut, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang selalu mempertanyakan jalan kekerasan yang diwariskan oleh leluhur mereka.

“Nion,” kata Shin akhirnya, memecah keheningan. "Kehormatan memang mulia, tapi kita harus bertanya  untuk siapa kehormatan itu diperjuangkan? Untuk keluarga kita? Untuk desa ini? Atau hanya untuk membuktikan bahwa kita tidak takut mati?"

Kata-kata Shin menggema di dalam kepala Nion. Itu bukan hanya pertanyaan tentang perang, tetapi tentang keseluruhan hidupnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa kehormatan yang ia cari adalah demi memenuhi harapan ayahnya. Namun, semakin dalam ia merenungkannya, semakin ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada hanya sekadar pertarungan dan kekerasan.

Malam semakin larut, dan gemuruh pertempuran di kejauhan semakin terdengar jelas. Suara-suara itu terasa seperti detak waktu yang berderap, mendekat menuju kehancuran yang tak terhindarkan. Nion berdiri perlahan dari tempatnya duduk, lalu berjalan perlahan menuju rumahnya. Shin mengikutinya dari belakang, masih memandang Nion dengan rasa prihatin.

Di dalam rumah, Nion berdiri di hadapan pedang keluarganya yang tergantung di dinding. Pedang itu bersinar redup di bawah cahaya bulan, seperti monster raksasa yang menunggu untuk dibangunkan dari tidur panjangnya. Namun, bagi Nion, pedang itu sekarang lebih terasa seperti beban daripada simbol kehormatan. Ia merasa terperangkap di antara dua dunia dunia ayahnya yang penuh dengan darah dan kekerasan, serta dunia ibunya yang penuh dengan kebijaksanaan dan kedamaian.

Shin berdiri di ambang pintu, menatap sahabatnya yang masih terpaku pada pedang keluarganya. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Shin pelan. “Klan Takahiro tidak akan menunggu. Kau tahu apa yang akan mereka lakukan jika kita tidak melawan.”

Nion menghela napas, tangannya terangkat perlahan, menyentuh gagang pedang itu dengan hati-hati. “Aku tidak tahu, Shin,” gumamnya. “Aku merasa ada lebih dari sekadar mengangkat pedang. Tapi di saat yang sama, aku tahu bahwa dunia ini tidak akan berhenti hanya karena aku ingin berdamai.”

Shin menatapnya dengan serius, kemudian berkata, “Mungkin kau benar, Nion. Mungkin ada kehormatan di luar pedang. Tapi kita harus membuat keputusan sekarang keputusan yang akan menentukan nasib kita semua.”

Nion menatap pedang itu sekali lagi sebelum akhirnya menurunkan tangannya. Di dalam dirinya, perang batin yang sebenarnya semakin berkecamuk. Ia tahu bahwa apa pun keputusan yang ia ambil, itu akan mengubah segalanya bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi keluarganya, desanya, dan bahkan masa depannya.

Nion menarik napas panjang, menatap sungai di hadapannya yang keruh. “Apa gunanya pedang ini jika hanya menghasilkan luka?” pikirnya. Suara langkah kaki yang mendekat memecah keheningan. Shin muncul dengan pakaian prajuritnya yang berdebu, tatapannya penuh ketegangan.

“Kau masih di sini, Nion?” tanya Shin, suaranya rendah namun tegas. “Mereka sudah semakin dekat. Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Nion mengalihkan pandangan dari sungai. “Apa kita harus selalu bertarung, Shin? Apakah tidak ada jalan lain?”

Shin terdiam sejenak, lalu duduk di samping Nion, menatap sungai yang sama. “Perang memang tidak adil, tapi kadang kita tidak punya pilihan lain. Ini adalah takdir kita sebagai samurai.”

“Kehormatan… hanya bisa ditebus dengan darah, begitu kata ayahku. Tapi aku tak yakin,” kata Nion. Matanya masih tertuju pada sungai yang keruh, aliran air yang lambat mencerminkan kebimbangan dalam dirinya.

Shin menghela napas panjang, berjalan mendekat lalu menepuk bahu Nion. “Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu. Dan selalu berdiri di sampingmu, sahabatku,” kata Shin dengan tegas.

Nion menatap sahabatnya dengan penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Shin. Tapi aku harus memikirkan apa arti kehormatan bagiku. Bukan hanya sebagai samurai, tetapi sebagai manusia.”

Malam semakin gelap, dan suara perang di kejauhan semakin mendekat. Di dalam hati Nion, cahaya harapan mulai menyala, meskipun samar. Sementara perang yang sebenarnya semakin dekat, Nion tahu bahwa perang yang paling penting adalah perang yang terjadi di dalam dirinya sendiri perang antara jalan yang telah digariskan oleh tradisi, dan jalan yang ia impikan, sebuah jalan yang mungkin tidak diwarnai oleh darah.

Shin meninggalkan rumah Nion, menuju persiapan pertempuran. Nion tetap berdiri di dalam rumah, matanya kembali tertuju pada pedang keluarganya. Dengan hati yang masih penuh keraguan, Nion tahu bahwa pilihan yang ia buat malam ini akan menentukan segalanya. Apakah ia akan mengangkat pedang dan memenuhi harapan ayahnya, ataukah ia akan menemukan jalannya sendiri, mengikuti jejak Kouzuki Oden yang memilih kebijaksanaan di atas kekerasan?

Langit di luar semakin gelap, dan malam terus berlanjut. Tetapi bagi Nion, cahaya dari dalam hatinya perlahan mulai memberikan jawaban.

Pagi menjelang, tapi keheningan malam masih menyelimuti desa. Kabut tipis mengambang di atas tanah, seolah menyembunyikan ancaman yang tak terlihat. Nion berdiri di tepi sungai, menatap refleksinya yang kabur di permukaan air yang keruh. Di balik bayangan dirinya, tampak siluet pepohonan sakura yang layu, dan di atasnya, langit mulai berubah warna menjadi abu-abu pucat. Seiring dengan datangnya fajar, suara-suara dari lembah semakin keras terdengar. Denting logam beradu dan gemuruh langkah-langkah berat para prajurit mendekat seperti badai yang bergerak perlahan, tapi pasti.

“Aku harus membuat pilihan,” pikir Nion, sambil mengepalkan tangannya. Namun, kepalan itu segera mengendur ketika ia merasakan perlawanan dalam dirinya sendiri. Setiap kali ia mencoba berpikir untuk mengangkat pedang, hatinya berontak. Pedang yang tergantung di rumah, pedang keluarganya, terasa semakin berat bukan karena fisiknya, tetapi karena makna yang tersemat di dalamnya.

Di dalam rumah keluarga Nion, suasana tegang. Ayahnya, Ryuza, duduk di hadapan meja kayu dengan wajah penuh ketegasan. Di depannya, ada beberapa gulungan peta yang telah dibentangkan, menunjukkan posisi desa dan medan di sekitar lembah. Sementara itu, para tetua desa yang tersisa berkumpul di sekitar meja, membicarakan langkah-langkah pertahanan.

“Kita tak bisa membiarkan Takahiro menginjak-injak kehormatan desa ini,” kata Ryuza dengan nada yang dingin dan penuh keyakinan. “Jika kita membiarkan mereka masuk tanpa perlawanan, kita akan mati sebagai pengecut. Kehormatan kita, tanah ini, semuanya akan hancur tanpa arti. Kita harus melawan.”

Salah satu tetua, seorang lelaki tua dengan jenggot panjang yang mulai memutih, mengangguk setuju. “Kita tidak punya pilihan lain. Desa-desa lain yang menyerah kepada Takahiro kini hanya tinggal abu. Mereka tak menunjukkan belas kasihan.”

“Tapi kita tidak punya cukup prajurit!” protes seorang warga desa lain yang terlihat putus asa. “Semua orang sudah pergi berperang atau terbunuh. Yang tersisa hanya kita beberapa samurai yang tua dan lelah.”

Ryuza menatap tajam ke arah orang itu, tatapannya sekeras baja. “Seorang samurai tidak mengukur kekuatan dari jumlahnya, tetapi dari keberaniannya. Jika hanya ada segelintir dari kita yang bertarung, maka segelintir itu akan cukup. Selama kita tidak menyerah, kita masih memiliki kehormatan.”

Nion berdiri di ambang pintu, mendengar setiap kata yang diucapkan oleh ayahnya dan tetua desa. Di satu sisi, ia merasa kagum dengan keteguhan ayahnya, dengan semangat juangnya yang tak pernah pudar. Tapi di sisi lain, ada rasa sakit yang meresap dalam dadanya. Semua pembicaraan tentang kehormatan ini semuanya tampak seperti dalih untuk mengorbankan nyawa demi prinsip yang, menurutnya, mungkin tidak lagi relevan.

“Ayah,” Nion memecah keheningan. Semua mata menoleh ke arahnya. “Apa kau yakin melawan adalah satu-satunya cara untuk menjaga kehormatan?” Nion melangkah mendekati pedang keluarganya yang tergantung di dinding, namun tangannya berhenti di udara, enggan menyentuh gagangnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memegang pedang ini lagi, Ayah,” gumamnya. Bagi Nion, pedang itu bukan lagi lambang kehormatan, melainkan beban berat dari generasi yang selalu mengorbankan darah demi harga diri. Ia merasakan dorongan dalam dirinya untuk mencari cara lain, meskipun tidak tahu pasti apa jalan yang tepat.

Ryuza memandang putranya dengan tatapan yang tak terbaca. “Apa maksudmu, Nion?” suaranya terdengar tegas namun dingin. “Kita samurai. Kehormatan kita terletak pada kemampuan kita untuk bertarung dan melindungi desa ini. Takahiro tidak akan berhenti sebelum kita semua mati. Jika kita tidak bertarung, kita sudah kalah sebelum mulai.”

“Tapi ada cara lain,” Nion melanjutkan, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya bergejolak. “Kita bisa mencoba berdiplomasi, mencari cara untuk berdamai tanpa harus mengorbankan nyawa.”

Ryuza tertawa pendek, sebuah tawa tanpa humor. “Diplomasi? Dengan Takahiro? Mereka hanya menghargai satu hal, Nion kekuatan. Jika kita datang dengan tangan kosong dan niat damai, mereka akan menganggap kita lemah, dan desa ini akan terbakar lebih cepat dari yang kau bayangkan.”

“Lalu apa gunanya semua ini?” Nion mendesak, suaranya mulai meninggi. “Apa gunanya mempertahankan kehormatan jika semua orang mati? Apakah benar kita harus selalu bertarung, hanya karena itulah yang diharapkan dari kita?”

Warga desa yang lain saling memandang, bingung dengan kata-kata Nion. Bagi mereka, ide untuk berdamai dengan Takahiro adalah hal yang tidak masuk akal mereka telah mendengar kisah-kisah tentang kekejaman klan itu, bagaimana mereka membantai desa-desa yang menolak tunduk. Tetapi, di sisi lain, mereka juga tahu bahwa kekuatan desa mereka sendiri sangat terbatas. Ada keraguan yang mulai merayap di hati beberapa dari mereka, meskipun hanya sedikit.

Ryuza berdiri dari tempat duduknya, tatapannya penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Nion,” katanya dengan nada rendah namun berbahaya, “kau berbicara seperti pengecut. Seorang samurai tidak takut pada kematian, tidak takut pada pertempuran. Kau seharusnya bersiap mengangkat pedang, bukan merenung seperti ini.”

“Aku tidak takut pada kematian, Ayah,” jawab Nion, suaranya lebih tenang, namun tak kalah tajam. “Aku hanya bertanya apakah kematian itu harus selalu menjadi pilihan terakhir kita. Apakah kita benar-benar tidak bisa menemukan jalan lain?”

Ryuza mendekat ke arah Nion, berdiri tepat di hadapannya. “Kehormatan kita bukan untuk dipertanyakan. Kau sudah dewasa, Nion, sudah saatnya kau mengerti bahwa dunia ini tidak sesederhana yang kau bayangkan. Takahiro tidak akan mendengarkan alasan. Mereka datang untuk menghancurkan kita. Jika kita tidak bertarung, kita tidak punya masa depan.”

Ketegangan di antara ayah dan anak itu terasa begitu tebal, seolah udara di antara mereka bisa dipotong dengan pedang. Nion memandang lurus ke mata ayahnya, berusaha memahami motivasinya. Ia tahu bahwa ayahnya adalah seorang samurai sejati, yang hidup dan mati demi kehormatan. Tetapi apakah itu benar-benar jalan yang harus ia tempuh juga?

“Aku akan berpikir,” kata Nion akhirnya, sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan para tetua desa dan ayahnya yang masih berdiskusi tentang strategi perang.

Setelah percakapan intens dengan ayahnya, Nion berjalan keluar dari rumah menuju ke arah sungai. Pohon sakura di sekitar desa bergoyang lembut diembus angin malam yang dingin. Kelopak-kelopak sakura yang jatuh seakan menggambarkan ketenangan palsu di tengah ketegangan batin yang semakin merongrong dirinya.

Langkah Nion melambat saat ia mendekati sungai. Di kejauhan, denting pedang dan jeritan perang semakin jelas terdengar. Suara-suara itu seperti gemuruh badai yang terus mendekat, sementara Nion masih berusaha memisahkan dirinya dari dunia yang penuh darah itu. Ketika ia duduk di bawah pohon sakura, suasana sekitar berubah perlahan. Langit yang tadinya gelap mulai berubah menjadi kebiruan, sementara bulan bersinar lemah di balik awan. Sakura terus menggugurkan kelopaknya, menandai waktu yang berlalu dengan tenang, seakan menegaskan bahwa keputusan harus segera diambil.

Di luar rumah, Nion berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai, di mana dia bisa menyendiri sejenak. Pikiran-pikiran berdesakan di kepalanya, mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini. Desa ini bukan hanya tempat di mana ia tumbuh besar, tetapi juga rumah bagi banyak orang yang tidak bersalah anak-anak, wanita, dan orang tua yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Mereka semua akan menjadi korban jika pertempuran pecah. Hatinya terasa berat membayangkan desa yang penuh dengan abu dan mayat.

“Bagaimana jika kita mencoba strategi yang berbeda?” pikir Nion. Pikiran itu melintas begitu cepat, tapi ia merasa itu adalah satu-satunya jalan yang masuk akal. Jika kekuatan fisik desa ini tidak cukup untuk melawan Takahiro, maka mungkin mereka bisa menggunakan cara lain cara yang lebih cerdik.

Nion kembali ke rumahnya, di mana ibunya tengah duduk di depan perapian, memintal benang seperti yang sering dilakukannya di malam hari. Ibunya selalu tenang, penuh kebijaksanaan, seperti cahaya yang menenangkan di tengah kekacauan. Nion menghampirinya, lalu duduk di dekatnya, merasakan kehangatan api yang membakar kayu di perapian.

“Apakah kau sudah menemukan jawaban, Nak?” tanya ibunya tanpa menoleh, seolah bisa merasakan kebimbangan yang masih melingkupi hati Nion.

“Aku belum tahu, Bu,” jawab Nion pelan. “Ayah yakin bahwa satu-satunya jalan adalah pertempuran. Tapi aku merasa ada cara lain… cara yang tidak melibatkan pedang.”

Ibunya tersenyum samar, masih memintal benangnya. “Ayahmu adalah seorang pejuang, Nion. Dia selalu percaya bahwa kehormatan hanya bisa ditebus di medan perang. Itu adalah jalannya. Tapi kau... mungkin kau ditakdirkan untuk menemukan jalanmu sendiri.”

Nion terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Berdamai dengan Takahiro mungkin terlihat seperti hal yang mustahil, tetapi ia tidak bisa membiarkan desa ini hancur tanpa mencoba. “Mungkin,” pikirnya, “jalan yang berbeda membutuhkan strategi yang berbeda.”

Nion mulai merencanakan sesuatu yang berbeda. Ia tahu bahwa menghadapi Takahiro dengan kekuatan fisik semata adalah bunuh diri. Desa ini tidak punya cukup prajurit, tidak punya cukup persenjataan untuk melawan pasukan besar. Tapi mungkin, ada cara untuk memanfaatkan sesuatu yang Takahiro inginkan bukan hanya kekuatan, tapi juga kekuasaan dan keuntungan.

“Jika aku bisa membuat Takahiro berpikir bahwa menyerang desa ini tidak menguntungkan bagi mereka,” pikir Nion, Nion merenungkan berbagai cara untuk meyakinkan Takahiro. Ia tahu klan itu bukan hanya haus akan kekuasaan, tapi juga sumber daya. Sungai yang mengalir melalui desa ini sangat penting bagi pertanian dan kehidupan di sekitar wilayah tersebut. Jika ia bisa menawarkan akses Takahiro ke sungai itu, bukan sebagai musuh, tapi sebagai mitra yang saling menguntungkan, mungkin ada jalan untuk menghentikan pertumpahan darah. Dia juga mempertimbangkan untuk memperkuat posisi desanya melalui perdagangan atau aliansi dengan klan lain, memberikan kekuatan ekonomi yang bisa menarik perhatian Takahiro. “mungkin kita bisa menghindari pertumpahan darah.”

Ia tahu bahwa Takahiro, seperti kebanyakan klan lain, menginginkan kekuasaan, harta, dan pengaruh. Desa ini mungkin kecil, tapi tanahnya subur, dan sungainya mengalirkan air yang sangat penting bagi desa-desa sekitarnya. Jika Nion bisa meyakinkan Takahiro bahwa desa ini bisa menjadi lebih berharga sebagai sekutu daripada sebagai reruntuhan, maka mungkin ada peluang untuk menyelamatkan semua orang tanpa pertempuran.

Dengan rencana di kepalanya, Nion memutuskan untuk bertemu dengan utusan Takahiro yang akan segera tiba di desa. Tapi rencana itu penuh dengan risiko. Jika dia gagal, jika dia salah langkah, seluruh desa akan hancur. Tapi jika dia berhasil, dia mungkin bisa menyelamatkan nyawa banyak orang tanpa harus menghunus pedang.

Saat fajar mulai merekah, langit yang kelabu perlahan memudar, menyisakan warna oranye samar di balik gunung-gunung. Burung-burung berkicau dari kejauhan, meskipun keindahan pagi itu terasa aneh di tengah ketegangan yang menyelimuti desa. Api yang membakar di perapian rumah-rumah penduduk mulai padam satu per satu, digantikan oleh kegelisahan yang semakin nyata ketika langkah-langkah pasukan Takahiro mendekat.

Nion sudah membuat keputusan. Di dalam dirinya, pertempuran telah berakhir pertempuran yang lebih dari sekadar pilihan antara angkat pedang atau berdamai. Ini adalah pertempuran melawan tradisi keluarganya, melawan tekanan yang selalu memaksanya untuk menjadi samurai seperti ayahnya. Tapi Nion tahu, meskipun ia lahir dalam garis keturunan samurai, jalan hidup yang harus ia tempuh tidak selalu harus sama.

Ia berdiri di halaman rumah keluarganya, menatap pohon sakura yang mulai gugur lebih cepat dari biasanya. Kelopak-kelopak bunga yang jatuh mengingatkannya pada kehidupan yang rapuh hidup yang bisa berakhir sewaktu-waktu jika dia memilih jalan yang salah. Dengan langkah mantap, ia masuk ke dalam rumah, menuju tempat di mana pedang keluarganya tergantung.

Di dalam rumah, ayahnya sudah siap dengan pakaian perangnya. Ryuza, seorang samurai yang telah hidup dan mati demi pedang, tidak menunjukkan sedikit pun keraguan di wajahnya. Di belakangnya, tergantung pedang leluhur mereka, yang seakan menunggu untuk kembali dicabut dari sarungnya. Nion memandangi pedang itu, lalu menatap ayahnya. Ada kekosongan di matanya sebuah pertanyaan yang tidak pernah terucap, namun terasa jelas. “Apakah benar, hanya melalui pedang kita bisa mendapatkan kehormatan?”

Ayahnya tidak menatapnya. Ia sibuk mempersiapkan baju besinya, menyisipkan pedang di pinggangnya dengan gerakan yang sudah ia lakukan ribuan kali sebelumnya. “Ini adalah waktu kita, Nion,” kata Ryuza dengan nada tegas. “Pasukan Takahiro mendekat, dan kita harus siap.”

Namun, Nion tidak mengangkat pedang yang digantung di tembok itu. Sebaliknya, ia hanya memandangnya, dan kemudian berbalik, berjalan keluar dari rumah. Ryuza menatapnya sebentar, lalu menggelengkan kepalanya. Baginya, keraguan adalah kelemahan, dan kelemahan adalah musuh yang lebih berbahaya daripada Takahiro.

Di luar, Shin sudah menunggu di depan rumah Nion. Ia mengenakan baju perang, dengan pedang tergantung di pinggangnya, siap untuk apa pun yang akan terjadi. Wajahnya sedikit cemas, tetapi penuh dengan tekad. Dia selalu tahu bahwa Nion berbeda dari yang lain, tetapi dia juga tahu bahwa saat ini bukanlah waktu untuk keraguan. Klan Takahiro sudah semakin dekat, dan setiap keputusan harus diambil dengan cepat.

“Kau akan bergabung dengan kami, Nion?” tanya Shin, meskipun dalam hatinya, dia sudah tahu jawaban sahabatnya.

Nion menatap Shin sejenak, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. “Aku punya rencana lain, Shin,” katanya dengan nada tenang, meskipun jantungnya berdetak kencang. “Aku tidak akan angkat pedang kali ini. Tapi aku berjanji, aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan desa ini.”

Shin menghela napas panjang, mencoba memahami maksud Nion. “Apa rencanamu?” tanyanya, dengan nada yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran. “Mereka tidak akan berhenti hanya dengan kata-kata, Nion. Klan Takahiro dikenal karena kekejamannya. Kau tahu itu.”

Nion mengangguk. “Aku tahu, dan itulah sebabnya aku akan mencoba sesuatu yang berbeda. Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk melawan mereka secara langsung, tapi mungkin kita bisa memberi mereka sesuatu yang lebih berharga daripada darah kita.”

Shin memandang sahabatnya dengan kebingungan. “Apa maksudmu? Apa yang bisa kita tawarkan pada mereka?”

“Aku akan menemui utusan Takahiro,” jawab Nion, penuh keyakinan. “Aku akan mencoba berbicara dengan mereka. Aku akan menawarkan kesepakatan yang lebih menguntungkan daripada sekadar menghancurkan desa ini.”

Shin terdiam, menatap Nion dengan ragu. “Dan jika mereka menolak? Jika mereka menganggapmu lemah?”

Nion menarik napas dalam-dalam. “Jika mereka menolak, maka kita tidak akan kehilangan lebih dari yang sudah kita pertaruhkan. Tapi jika ada peluang untuk menyelamatkan desa ini tanpa harus bertumpah darah, aku akan mengambilnya.”

Shin masih terlihat ragu, tetapi ia tahu Nion terlalu keras kepala untuk dihalangi. “Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan, Nion,” katanya akhirnya. “Kalau begitu, semoga kau berhasil.”

Nion tersenyum samar, lalu menepuk bahu sahabatnya. “Terima kasih, Shin. Aku tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi aku harus mencoba.”

Dengan langkah pasti, Nion menuju ke arah pinggiran desa, di mana pasukan Takahiro akan tiba. Sepanjang jalan, pikirannya berputar mencari cara untuk menyusun kata-kata yang tepat, untuk memberikan kesan bahwa desa ini lebih berharga jika dibiarkan tetap berdiri. Tapi jauh di dalam hatinya, Nion tahu bahwa ini adalah pertaruhan besar. Ia tahu bahwa Takahiro dikenal tidak hanya karena kekuatannya, tapi juga karena kesombongannya.

Namun, Nion juga tahu bahwa dunia ini sedang berubah. Di tengah kekacauan zaman Sengoku, tidak ada lagi yang pasti. Klan-klan besar mungkin menguasai tanah dan pasukan, tapi mereka juga haus akan kekuasaan dan pengaruh. Jika ia bisa meyakinkan Takahiro bahwa desa ini bisa menjadi bagian dari pengaruh mereka, mungkin ada peluang untuk menyelamatkan semua orang tanpa pertumpahan darah.

Ketika Nion tiba di tepi desa, ia melihat sosok yang ditunggu-tunggu seorang utusan dari klan Takahiro, dengan beberapa pengawal di sekitarnya. Utusan itu berdiri dengan angkuh, mengenakan baju zirah hitam yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Wajahnya dingin, tatapannya penuh dengan keyakinan bahwa desa ini akan segera menjadi milik klan Takahiro.

“Siapa yang berani datang mendekat?” tanya salah satu pengawal, suaranya keras dan penuh ancaman.

“Aku Nion, putra dari Ryuza, pemimpin desa ini,” jawab Nion dengan suara yang tegas namun tenang. “Aku datang untuk berbicara.”

Utusan Takahiro mengangkat alisnya, tampak tertarik. “Berbicara?” katanya dengan nada mengejek. “Aku kira kau akan datang dengan pedang, bukan dengan kata-kata. Apa yang bisa kau katakan yang akan mengubah takdir desa ini?”

Nion menatap utusan itu tanpa gentar. “Aku tidak datang untuk mengubah takdir. Aku datang untuk menawarkan kesepakatan.”

Utusan Takahiro tertawa kecil, tapi kemudian ia memberi isyarat agar pengawalnya mundur sedikit. “Kesepakatan, katamu? Kau percaya bahwa desa kecil ini memiliki sesuatu yang berharga untuk ditawarkan kepada klan Takahiro?”

Nion mengangguk. “Desa kami mungkin kecil, tapi tanah ini subur. Sungai yang mengalir melalui desa kami memberikan kehidupan, tidak hanya bagi kami, tapi juga bagi desa-desa di sekitarnya. Jika kalian menghancurkan desa ini, kalian hanya akan mendapatkan tanah yang terbakar dan sungai yang penuh darah. Tapi jika kalian memilih untuk membuat kami sekutu, desa ini bisa menjadi sumber kekuatan dan keuntungan bagi Takahiro.”

Utusan itu diam sejenak, memandang Nion dengan mata tajam. “Kau berbicara dengan percaya diri, Nion. Tapi apa yang membuatmu berpikir bahwa kami memerlukan sekutu dari desa sekecil ini?”

Nion menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena dunia sedang berubah. Klan-klan besar tidak hanya memerlukan kekuatan militer, tapi juga kekuatan ekonomi. Desa ini mungkin kecil, tapi dengan sungai dan tanahnya yang subur, kami bisa menyediakan kebutuhan pangan bagi pasukan kalian. Menghancurkan desa ini hanya akan merugikan kalian dalam jangka panjang.”

Utusan itu berpikir sejenak, tatapannya tidak lagi sekadar mengejek. Ada sesuatu dalam nada suara Nion yang tampaknya memicu rasa penasaran. “Kau cukup pintar, anak muda,” kata utusan itu akhirnya. “Tapi kau harus tahu, Takahiro tidak membuat kesepakatan tanpa harga yang harus dibayar.”

“Aku mengerti,” jawab Nion dengan tegas. “Jika desa ini harus membayar harga untuk tetap berdiri, maka aku siap membicarakannya. Tapi harga itu tidak harus dibayar dengan nyawa.”

Malam itu, ketika Nion berdiri di hadapan utusan Takahiro, ia tahu bahwa kehormatan tidak hanya berarti mengangkat pedang dan bertarung. Kehormatan juga berarti melindungi mereka yang tidak bisa melindungi diri sendiri, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawanya. Namun, ia juga tahu bahwa pengorbanan tidak harus selalu berupa darah yang tertumpah. Terkadang, pengorbanan terbesar adalah menyerahkan sesuatu yang lebih dalam prinsip, keyakinan, dan hati nurani.

Ketika Nion menawarkan kesepakatan damai kepada utusan Takahiro, ia merasa bahwa jalan yang ia pilih adalah jalan yang benar. Bukan jalan yang mudah, tapi jalan yang penuh dengan kehormatan yang berbeda kehormatan dalam menjaga kehidupan orang lain, meski itu berarti melepaskan kehormatan tradisional yang telah diajarkan oleh ayahnya.

Utusan Takahiro tersenyum dingin. “Kami akan mempertimbangkan tawaranmu, Nion. Tapi ingat, jika kami merasa desa ini tidak layak menjadi sekutu kami, maka tidak ada yang akan tersisa di sini.”

Nion mengangguk, lalu mundur perlahan, merasa sedikit lega meskipun masih tegang. Ia tahu bahwa ini bukanlah kemenangan, tapi setidaknya ia telah berhasil membuka pintu untuk dialog. Ini adalah awal dari sesuatu yang berbeda sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh ayahnya atau samurai lain di desanya.

Ketika Nion kembali ke desa, ia melihat Shin berdiri di dekat pintu gerbang, menunggunya dengan penuh kecemasan. “Bagaimana?” tanya Shin cepat-cepat begitu Nion mendekat.

Nion tersenyum kecil. “Mereka akan mempertimbangkannya. Ini belum selesai, tapi setidaknya kita punya sedikit waktu.”

Shin menghela napas lega, meskipun ia masih terlihat khawatir. “Kau benar-benar mengambil risiko besar, Nion.”

“Risiko yang harus diambil,” jawab Nion, suaranya penuh keyakinan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tahu satu hal jalan yang kupilih adalah jalan yang berbeda dari yang diajarkan ayahku. Dan aku akan terus berjalan di jalan ini, apa pun yang terjadi.”

Matahari telah sepenuhnya muncul di atas cakrawala, menyinari desa yang masih dilingkupi keheningan tegang. Di tepi desa, Nion berdiri bersama Shin, menunggu kabar dari utusan Takahiro. Kicauan burung pagi terdengar seolah-olah tidak menyadari betapa dekatnya kehancuran yang mengancam desa ini. Angin yang berembus membawa aroma musim semi, namun di balik semua itu, suasana desa dipenuhi ketakutan. Penduduk yang tersisa para wanita, anak-anak, dan beberapa lelaki tua bersembunyi di dalam rumah, berdoa agar hari ini tidak menjadi hari terakhir mereka melihat cahaya matahari.

Di dalam hati Nion, perang batin yang telah lama ia alami mendekati puncaknya. Ia sudah mengambil keputusan, tapi itu tidak berarti keraguannya hilang sepenuhnya. Apakah keputusan ini benar? Apakah ia terlalu bodoh untuk percaya bahwa kata-kata bisa menghentikan pedang? Semua pertanyaan itu membayangi benaknya, namun ia tetap berdiri teguh, yakin bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh. Jika hari ini berakhir dengan kehancuran, setidaknya ia telah mencoba sesuatu yang berbeda sesuatu yang lebih dari sekadar menumpahkan darah.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah gerbang desa. Nion menoleh dan melihat utusan Takahiro berjalan menuju desa, diiringi beberapa prajurit yang mengenakan baju zirah hitam. Ada ketegangan yang membara di udara saat mereka mendekat. Di belakang Nion, beberapa samurai desa yang dipimpin oleh ayahnya, Ryuza, juga bersiap. Meskipun jumlah mereka kecil, wajah-wajah mereka menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan untuk mempertahankan desa ini sampai titik darah penghabisan. Di sisi lain, ada keraguan yang tampak di mata beberapa dari mereka keraguan apakah mereka benar-benar siap untuk melawan klan besar seperti Takahiro.

Utusan itu berhenti beberapa meter di depan Nion. Ia menatap Nion dengan tajam, senyumnya dingin seperti angin musim dingin yang menusuk. “Kami telah mempertimbangkan tawaranmu, Nion,” katanya, suaranya datar namun penuh dengan kekuatan. “Dan kami telah memutuskan.”

Jantung Nion berdegup kencang, tetapi ia tetap tenang di luar. “Apa keputusan kalian?” tanyanya dengan nada tegas, meskipun ada kekhawatiran yang melandanya.

Utusan itu melirik ke arah para prajurit di sekelilingnya sebelum kembali menatap Nion. “Klan Takahiro adalah klan yang kuat, dan kami tidak membutuhkan sekutu yang lemah,” katanya dengan nada mengejek. “Namun, ada sesuatu dalam dirimu, Nion. Sesuatu yang tidak dimiliki banyak samurai lain. Kau pintar, dan kau berani menantang kami dengan cara yang berbeda.”

Ryuza, yang berdiri tak jauh dari Nion, memandang dengan tatapan waspada. Tangannya sudah menggenggam erat gagang pedang, siap untuk bertarung kapan saja. Bagi Ryuza, kehormatan hanya bisa ditebus dengan pertempuran. Ia tidak pernah percaya pada diplomasi terlebih lagi dengan klan kejam seperti Takahiro.

Utusan itu melanjutkan. “Namun, ada satu masalah. Klan Takahiro tidak pernah tunduk pada tawaran damai tanpa harga. Jika kau ingin menyelamatkan desamu, Nion, maka kau harus membayar harga itu.”

Nion mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Apa yang kalian inginkan?”

Utusan itu tersenyum dingin, lalu menjawab dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan ancaman. “Nyawamu.”

Ada keheningan yang mencekam setelah kata-kata itu meluncur dari mulut utusan. Shin menoleh ke arah Nion dengan tatapan terkejut, dan Ryuza menggeram dengan kemarahan yang jelas. “Ini lelucon!” seru Ryuza dengan suara yang menggema. “Kami tidak akan mengorbankan anakku hanya untuk menyelamatkan desa ini!”

Nion tetap diam sejenak, memikirkan apa yang baru saja dikatakan utusan itu. Di dalam dirinya, ada ketegangan yang luar biasa. Ia tahu bahwa jika ia menolak, desa ini akan hancur. Tapi jika ia menerima, ia akan mengorbankan hidupnya. Apakah ini harga yang harus ia bayar untuk perdamaian? Apakah ini benar-benar jalan yang harus ia tempuh?

Utusan itu melangkah maju sedikit, mendekati Nion. “Kau ingin menyelamatkan desamu tanpa darah yang tertumpah, Nion? Maka darahmu sendiri harus menjadi tebusannya. Klan Takahiro tidak menghancurkan tanpa alasan. Kami menghancurkan untuk menguasai. Tapi jika kau bersedia menyerahkan nyawamu, desa ini akan aman di bawah perlindungan kami.”

Shin memegang lengan Nion dengan kuat, suaranya bergetar. “Jangan lakukan ini, Nion. Ini tidak adil! Kau tidak harus mengorbankan dirimu!”

Nion menatap sahabatnya dengan penuh rasa terima kasih, tapi kemudian ia menoleh ke arah ayahnya. Wajah Ryuza penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. “Ini bukanlah cara seorang samurai!” seru Ryuza dengan tegas. “Kau tidak akan mengorbankan dirimu untuk mereka! Jika kita harus mati, kita akan mati dengan kehormatan di medan perang!”

Tetapi Nion tahu bahwa perang ini bukan tentang kehormatan lagi. Ini adalah tentang hidup dan mati bukan hanya hidupnya sendiri, tapi juga hidup semua orang di desa ini. Ia tidak bisa membiarkan mereka mati sia-sia. Pedang bukanlah satu-satunya jalan menuju kehormatan. Kadang-kadang, pengorbanan terbesar tidak dilakukan di medan perang, tetapi di dalam hati.

Dengan napas panjang, Nion melangkah maju, berdiri tepat di depan utusan Takahiro. “Jika nyawaku yang kalian inginkan, maka ambillah. Di belakangnya, Nion mendengar bisikan pelan dari para penduduk desa yang menonton. Wajah mereka dipenuhi dengan campuran rasa takut dan harapan. Ayahnya, Ryuza, hanya bisa menatap anaknya dengan tatapan kosong, seolah-olah seluruh dunianya sedang terbalik. “Apakah ini kehormatan yang kau pilih, Nion?” gumam Ryuza dengan suara rendah. Baginya, kehormatan hanya bisa ditebus di medan perang, namun untuk pertama kalinya, ia mulai merasakan keraguan yang ia pendam. Mungkin anaknya melihat sesuatu yang tidak pernah ia sadari selama ini. Tapi setelah itu, desa ini harus tetap aman. Itu janji kalian.”

Utusan Takahiro tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Kami akan menepati janji kami. Desa ini akan aman, dan klan Takahiro akan melindunginya. Tapi ingat, Nion, kau telah memilih jalan yang sulit. Kau mungkin menyelamatkan mereka hari ini, tapi harga yang kau bayar adalah dirimu sendiri.”

Suasana di sekitar mereka membeku. Shin terdiam, air matanya mulai menggenang di matanya. Ryuza terlihat hancur, seperti seseorang yang baru saja kehilangan segalanya. Tapi Nion, meskipun hatinya berat, merasa damai dengan keputusannya. Ini adalah jalan yang ia pilih, dan ia akan menanggung akibatnya.

Namun, sebelum tindakan lebih lanjut bisa diambil, sesuatu yang tak terduga terjadi. Salah satu pengawal Takahiro tiba-tiba berlari mendekat, membawa pesan dari markas besar mereka. “Maafkan saya, tuan,” katanya dengan napas tersengal. “Klan Takahiro sedang menghadapi serangan dari klan lain di perbatasan. Mereka memanggil kita kembali. Pertempuran besar akan segera dimulai.”

Utusan Takahiro memutar badannya, wajahnya yang dingin berubah sejenak menjadi cemas. “Apa maksudmu? Klan mana yang menyerang kita?”

“Klan Hoshin,” jawab pengawal itu. “Pasukan mereka lebih besar dari yang kita perkirakan. Kita harus kembali sekarang.”

Situasi berubah dalam sekejap. Utusan Takahiro tampak ragu, menimbang situasi baru ini. Nion, yang tadinya siap mengorbankan nyawanya, sekarang melihat secercah harapan. Utusan itu akhirnya menoleh kembali pada Nion, wajahnya kembali dingin, namun kali ini ada sedikit keraguan di matanya.

“Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padamu, Nion,” kata utusan itu, suaranya kini lebih datar. “Klan Takahiro tidak punya waktu untuk bermain-main dengan desa kecil ini saat ini. Tapi ingat, kami akan kembali. Desa ini masih berada di bawah pengawasan kami. Jika kalian melawan kami lagi, janji yang kubuat hari ini akan hilang.”

Nion tetap diam, namun ada sedikit kelegaan di hatinya. Meskipun ancaman Takahiro belum sepenuhnya hilang, setidaknya untuk saat ini, desa ini selamat.

Utusan Takahiro memberi isyarat pada prajuritnya, dan mereka segera pergi, meninggalkan desa tanpa menumpahkan setetes darah pun. Ancaman klan Takahiro belum hilang, dan Nion tahu bahwa jalan damainya masih panjang. Di bab-bab berikutnya, Nion akan terus mencari cara untuk melindungi desanya, bukan dengan pedang, tetapi dengan kebijaksanaan dan pengetahuan. Pertempuran besar dengan klan Takahiro dan mungkin klan Hoshin masih menunggu di masa depan, tetapi Nion yakin bahwa perdamaian adalah jalan yang lebih kuat daripada kekerasan.

Di akhir malam, saat ia duduk di bawah pohon sakura, Nion merenung tentang jalan yang telah ia pilih. Kelopak-kelopak sakura terus berguguran, menandai bahwa musim akan segera berganti. Nion menatap langit malam, merasakan angin lembut yang membawa keheningan. “Apakah aku benar-benar memilih jalan yang benar?” pikirnya. Jalur damai yang ia pilih mungkin terasa benar untuk saat ini, namun apa yang akan terjadi ketika klan Takahiro kembali dengan kekuatan yang lebih besar? Apakah mereka benar-benar akan menghormati janji mereka, atau ini hanya permulaan dari sesuatu yang lebih besar? Meski ada keraguan dalam hatinya, Nion tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Ia sudah menanam benih kedamaian, dan apa pun yang terjadi, ia akan terus menumbuhkannya, meskipun itu berarti menghadapi lebih banyak bahaya di masa depan.

Seperti pohon sakura, hidupnya pun mengalami transformasi. Nion akan semakin dekat dengan takdirnya, menghadapi tantangan yang lebih besar dengan keberanian yang berbeda. Keheningan kembali menyelimuti desa, tetapi kali ini, itu adalah keheningan yang membawa harapan. Penduduk desa mulai keluar dari tempat persembunyian mereka, bingung tapi bersyukur.

Ryuza mendekati Nion, wajahnya masih tegang. “Kau hampir menyerahkan nyawamu kepada mereka,” kata Ryuza dengan suara pelan, penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Apa kau benar-benar berpikir itu adalah tindakan kehormatan?”

Nion menatap ayahnya dengan tenang. “Kehormatan bukan hanya tentang bertarung, Ayah. Kadang-kadang, kehormatan adalah tentang melindungi mereka yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Dan jika nyawaku adalah harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan semua orang di sini, maka aku siap.”

Ryuza tidak menjawab. Ia hanya menatap putranya dengan mata yang dipenuhi dengan campuran emosi antara kebanggaan dan kebingungan. Mungkin untuk pertama kalinya, ia mulai melihat bahwa ada lebih dari satu jalan menuju kehormatan, dan bahwa putranya telah menemukan jalannya sendiri.

Shin mendekat, menepuk bahu Nion dengan lembut. “Kau benar-benar gila, Nion. Tapi aku senang kau masih hidup.” Ia tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih pucat karena ketegangan yang baru saja terjadi.

Nion hanya mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. Dia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Jalan yang ia pilih penuh dengan tantangan, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa yakin bahwa ia telah mengambil langkah yang benar.

Malam itu, di bawah pohon sakura yang kelopaknya terus berguguran, Nion duduk sendirian. Cahaya bulan menyinari desa yang tenang, memberikan nuansa damai yang sebelumnya sulit ditemukan. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari pertempuran, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Dunia di luar sana masih penuh dengan kekacauan, dan klan-klan besar masih saling berperang untuk kekuasaan. Tapi di dalam dirinya, Nion telah menemukan kedamaian. Dan dengan kedamaian itu, ia siap menghadapi apa pun yang datang.

Malam turun dengan lembut, menggantikan sisa-sisa cahaya matahari yang memudar di balik pegunungan. Desa yang tadi dipenuhi ketegangan kini mulai tenang, meskipun tidak sepenuhnya terbebas dari kekhawatiran. Penduduk desa telah keluar dari tempat-tempat persembunyian mereka, kembali ke rumah-rumah yang sempat mereka tinggalkan dengan penuh ketakutan. Ada semacam kelegaan, tetapi juga rasa tidak percaya bahwa hari ini berakhir tanpa pertumpahan darah. Mereka hidup, untuk sementara, tetapi bayangan klan Takahiro masih menggantung di atas mereka seperti awan gelap yang belum pergi sepenuhnya.

Di tepi desa, di bawah pohon sakura yang bunganya terus berguguran, Nion duduk sendirian. Cahaya bulan menggantung rendah di langit, memantulkan cahayanya di permukaan sungai yang tenang, menciptakan suasana damai yang kontras dengan kekacauan batin yang baru saja ia lalui. Ia memandangi sungai itu, airnya mengalir pelan, seolah membawa serta segala keresahan yang ia rasakan sepanjang hari.

Nion menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya. Udara itu terasa segar, tetapi juga menyejukkan, membawa semacam kelegaan yang selama ini sulit ia dapatkan. Di dalam dirinya, ada keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi keheningan yang penuh keraguan, melainkan keheningan yang mengandung penerimaan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nion merasa bahwa ia telah menemukan jalannya sendiri jalan yang berbeda dari yang selalu diajarkan ayahnya, tetapi tetap membawa makna yang mendalam.

Pikirannya melayang ke kejadian-kejadian yang baru saja terjadi. Tawaran dari Takahiro untuk mengambil nyawanya sebagai tebusan masih membekas di benaknya. Itu adalah saat yang sulit saat di mana ia harus memilih antara hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh desa. Meskipun keputusan itu tidak pernah benar-benar terjadi karena intervensi mendadak dari klan Hoshin, Nion tetap merasa bahwa keputusan yang ia buat adalah langkah besar dalam hidupnya. Ia tahu bahwa pilihan itu, meskipun tampak bodoh atau berisiko bagi sebagian orang, adalah bukti dari tekadnya untuk menempuh jalan yang berbeda jalan yang tidak didikte oleh pedang.

Di kejauhan, suara angin malam yang berhembus di antara pepohonan terdengar lembut, seperti bisikan alam yang penuh kedamaian. Pohon sakura di atasnya menggugurkan beberapa kelopak lagi, yang berjatuhan perlahan di sekitar Nion, seolah-olah ikut merenungi perjalanan batinnya. Ia memandang ke atas, ke cabang-cabang pohon yang mulai kehilangan bunganya. Sakura selalu menjadi simbol kehidupan yang sementara keindahan yang hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya menghilang. Nion menyadari bahwa hidup juga seperti itu indah, rapuh, dan penuh pilihan yang bisa mengubah segalanya dalam sekejap.

Ia teringat kata-kata ibunya tentang Kouzuki Oden, samurai legendaris yang memilih meninggalkan pedangnya demi mencari kedamaian dan kebijaksanaan. Sebelumnya, cerita itu selalu terasa seperti mitos baginya sebuah kisah yang jauh dari realitas hidup sebagai samurai. Tetapi sekarang, setelah semua yang terjadi, Nion mulai mengerti. Mungkin jalan yang dipilih Kouzuki Oden tidaklah mudah, tetapi itu adalah jalan yang berani. Nion kini melihat bahwa kehormatan tidak hanya bisa dicapai melalui pertarungan, tetapi juga melalui pengorbanan yang berbeda pengorbanan yang mungkin tidak melibatkan darah, tetapi melibatkan hati dan jiwa.

Langkah kaki terdengar dari belakang, memecah keheningan malam. Nion menoleh dan melihat Shin, sahabatnya, mendekat dengan hati-hati. Wajah Shin masih terlihat tegang, tetapi ada ketenangan dalam matanya ketenangan yang tidak sering terlihat setelah semua yang mereka lalui.

“Kau baik-baik saja?” tanya Shin pelan, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Nion tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan suara yang tenang. “Aku hanya merenung.”

Shin duduk di sebelahnya, membiarkan beberapa detik berlalu tanpa kata-kata. Mereka berdua menatap sungai yang mengalir perlahan di depan mereka, airnya memantulkan cahaya bulan yang lembut.

“Kau hampir menyerahkan nyawamu tadi,” kata Shin akhirnya, suaranya pelan namun penuh dengan emosi yang ia coba tahan. “Aku... Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya jika aku berada di posisimu.”

Nion menghela napas panjang. “Aku juga tidak yakin apakah aku benar-benar bisa melakukannya, Shin. Tapi aku tahu bahwa itu adalah satu-satunya cara. Jika aku tidak mencoba berdamai, mereka akan menghancurkan desa ini. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

Shin menatap Nion dengan mata yang penuh kekaguman. “Kau benar-benar berbeda dari samurai lain, Nion. Kau selalu melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain. Aku hanya berharap dunia bisa melihat apa yang kau lihat.”

Nion tertawa kecil, meskipun ada kelelahan dalam tawanya. “Dunia tidak akan berubah hanya karena aku, Shin. Tapi setidaknya aku bisa mencoba untuk mengubah sedikit dari apa yang ada di sekitarku.”

Shin mengangguk, lalu terdiam lagi. Di antara mereka, keheningan malam kembali mengambil alih, tetapi kali ini keheningan itu terasa lebih damai. Tidak ada ketegangan, tidak ada kekhawatiran yang menggantung di udara. Hanya ada dua sahabat yang duduk di bawah langit malam, merenungi nasib dan jalan hidup mereka masing-masing.

Nion kemudian menoleh ke arah Shin. “Aku tahu bahwa Takahiro akan kembali suatu hari nanti,” katanya pelan. Saat Nion menyusuri jalan kembali ke desanya, pikirannya melayang ke kisah Kouzuki Oden yang pernah diceritakan ibunya. Oden, yang memilih meninggalkan pedangnya demi mencari kebijaksanaan, kini menjadi bayangan yang terus menghantui langkah-langkah Nion. “Apakah aku cukup kuat untuk menempuh jalannya?” pikir Nion. Di kejauhan, gemuruh perang masih terdengar samar, sebuah pengingat bahwa ancaman belum sepenuhnya hilang. Klan Takahiro mungkin telah mundur, tetapi Nion merasakan bahwa konflik yang lebih besar akan segera datang.

“Tapi kali ini, aku ingin kita siap. Bukan hanya dengan pedang, tapi dengan sesuatu yang lebih. Aku ingin menemukan cara untuk membuat desa ini lebih kuat bukan hanya dengan kekuatan fisik, tapi dengan pengetahuan, dengan kedamaian.”

Shin mengerutkan kening, tampak bingung. “Apa yang kau maksud?”

“Aku ingin belajar, Shin. Aku ingin memahami bagaimana kita bisa bertahan tanpa harus selalu bergantung pada pedang. Mungkin itu terdengar bodoh sekarang, tapi aku merasa bahwa kita bisa menemukan cara lain untuk menjaga desa ini tetap aman cara yang tidak selalu melibatkan perang.”

Shin memandang Nion dengan tatapan kagum yang tak bisa disembunyikan. “Kau benar-benar punya visi yang berbeda, Nion. Aku tidak tahu apakah aku bisa mengikuti jalanmu, tapi aku percaya padamu.”

Nion tersenyum kecil. “Aku tidak meminta siapa pun untuk mengikuti jalan ini, Shin. Aku hanya tahu bahwa ini adalah jalan yang harus kutempuh. Dan jika suatu hari nanti kita menemukan bahwa itu jalan yang benar, mungkin kita bisa mengubah cara pandang orang lain juga.”

Shin tertawa ringan, lalu berdiri. “Yah, apa pun itu, aku akan tetap berada di sampingmu, Nion. Aku mungkin tidak selalu mengerti, tapi kau adalah sahabatku. Dan aku akan mendukungmu, apa pun yang terjadi.”

Nion menatap Shin dengan penuh rasa terima kasih, lalu mengangguk. “Terima kasih, Shin. Aku tidak bisa melakukannya tanpa dukunganmu.”

Mereka berdua kemudian berjalan kembali ke desa, meninggalkan sungai dan pohon sakura yang terus berguguran di belakang mereka. Langkah-langkah mereka pelan, tetapi penuh dengan keyakinan. Malam ini, Nion merasa bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar keberanian untuk berdiri melawan ancaman fisik. Ia menemukan bahwa kekuatan sejati tidak selalu datang dari pedang, tetapi dari keyakinan dalam hati untuk menciptakan perubahan.

Ketika mereka tiba di desa, Nion melihat ayahnya berdiri di depan rumah, memandangnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Wajah Ryuza yang biasanya keras kini tampak lebih lembut, meskipun masih ada sedikit kekakuan. Nion tahu bahwa ayahnya tidak sepenuhnya setuju dengan jalan yang ia pilih, tetapi mungkin, hanya mungkin, ada secercah pengertian di mata ayahnya.

Nion berhenti sejenak, lalu menundukkan kepala dengan hormat. “Ayah,” katanya pelan, “aku tahu bahwa jalanku berbeda dari yang kau inginkan. Tapi ini adalah jalan yang kupilih, dan aku harap kau bisa menerimanya.”

Ryuza menatap putranya, lalu menghela napas pelan. “Kau sudah dewasa, Nion. Aku tidak bisa memaksamu untuk mengikuti jalan yang sama denganku.” Ia terdiam

Nion berdiri memandangi air sungai yang mengalir tenang, bayangannya terpantul samar di permukaan air yang keruh. Senja perlahan mulai tenggelam, membawa serta warna-warna keemasan yang melapisi cakrawala. Bunga sakura yang berguguran menjadi saksi bisu dari malam yang mendekat, sebuah peralihan antara masa lalu yang penuh darah dan masa depan yang belum pasti.

Setelah percakapan terakhir dengan ayahnya, Nion merasa hatinya menjadi lebih mantap. Ia tahu bahwa jalan yang dipilihnya, meskipun tidak disetujui penuh oleh ayahnya, adalah jalan yang benar menurut keyakinannya. Nion merasa ada secercah pengertian di mata ayahnya, meski tidak diungkapkan dengan kata-kata.

Namun, ancaman dari klan Takahiro belum sepenuhnya hilang. Meskipun mereka sementara mundur karena serangan klan Hoshin, Nion tahu bahwa kedamaian ini rapuh. Desa ini mungkin aman untuk sementara, tetapi dunia di luar masih penuh dengan bahaya.

Nion melangkah kembali ke rumahnya untuk bersiap-siap. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan desa, bukan sebagai pelarian, melainkan untuk mencari cara baru. Ia ingin menemukan jalan damai yang lebih kuat daripada pedang. Keputusannya ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh desa yang ia cintai.

Saat Nion mengemasi barang-barangnya, ia teringat pada cerita ibunya tentang Kouzuki Oden, samurai legendaris yang memilih meninggalkan jalur kekerasan untuk mencari kebijaksanaan. Nion merasa bahwa ia sedang mengikuti jejak Oden, meskipun ia belum sepenuhnya yakin apakah jalan yang dipilihnya akan membawa hasil yang ia harapkan.

Sebelum berangkat, Nion pergi ke dermaga desa, di mana Saemon, seorang pedagang tua yang bijaksana, duduk menunggu. Saemon telah berjanji akan membantunya memulai perjalanan ini. Kapal Saemon adalah simbol dari petualangan baru yang akan segera Nion tempuh meninggalkan desa kecil ini untuk menghadapi dunia yang lebih luas, dengan ancaman yang lebih besar tetapi juga peluang yang lebih menjanjikan.

Saat Nion mendekat, Saemon menatapnya dengan tajam, seolah-olah bisa melihat langsung ke dalam hati Nion.

"Sudah siap, Nion?" tanya Saemon dengan suara yang penuh kebijaksanaan.

Nion mengangguk. "Ya, tapi aku masih bertanya-tanya... apakah ini benar-benar jalan yang harus kuambil?"

Saemon tersenyum kecil, kemudian memandang ke arah lautan yang luas di hadapannya. "Jalan yang kau pilih adalah jalan yang sulit, Nion. Tidak semua orang berani meninggalkan pedang dan mencari jalan lain. Tapi ingat, perjalanan ini bukan hanya tentang apa yang akan kau temui di luar sana. Ini tentang apa yang akan kau temukan di dalam dirimu."

Nion terdiam, meresapi kata-kata Saemon. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, tetapi hatinya sudah mantap. Ia sudah siap untuk menemukan arti kedamaian yang sejati, meskipun jalan itu penuh dengan ketidakpastian.

Saat Nion bersiap menaiki kapal Saemon, angin malam yang dingin mulai berhembus dari arah laut. Di kejauhan, bayangan gelap berkumpul di atas cakrawala, menandakan bahwa badai besar mungkin sedang menanti di depan. Nion memandang jauh ke arah horizon, di mana petualangan yang sesungguhnya baru akan dimulai.

Namun, dalam keheningan malam itu, suara gemuruh perang terdengar lagi dari pegunungan. Nion tahu bahwa ancaman Takahiro belum hilang sepenuhnya. Meskipun mereka sementara mundur, Nion merasa bahwa suatu saat nanti, ia harus kembali untuk melindungi desanya bukan dengan pedang, tetapi dengan kebijaksanaan yang ia temukan dalam perjalanannya.

Dengan tekad yang bulat, Nion melangkah naik ke kapal, meninggalkan desa di belakangnya. Pohon-pohon sakura di tepi sungai terus menggugurkan kelopaknya, seolah-olah menangisi perpisahan ini. Namun bagi Nion, kelopak-kelopak yang jatuh itu adalah simbol dari awal yang baru perjalanan yang penuh dengan kemungkinan, meskipun jalan yang harus ditempuh masih penuh dengan misteri.

Kapal mulai bergerak perlahan, meninggalkan dermaga. Nion berdiri di ujung kapal, memandang jauh ke depan, sementara angin laut menyapu wajahnya. Dalam hati, ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang besar sesuatu yang mungkin akan mengubah bukan hanya dirinya, tetapi juga dunia di sekitarnya.

Di kejauhan, di balik pegunungan, awan gelap masih menggantung berat, menandakan bahwa ancaman dari klan Takahiro belum sepenuhnya lenyap. Namun Nion tidak lagi merasa takut. Ia tahu bahwa perjalanannya ini akan memberinya jawaban, dan ketika saatnya tiba, ia akan kembali lebih kuat, lebih bijaksana, dan siap menghadapi apa pun yang menantinya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi