LAYAKKAH sebuah kematian untuk dirayakan? Jelas tidak, meski saya sendiri menginginkan jawaban sebaliknya. Maka demikianlah pikiran saya mulai merencanakan pesta kematian saya sendiri. Sepanjang 84 tahun saya belum pernah merencanakan sebuah pesta, dan itu yang mula-mula menjadi masalah dalam gagasan gila ini. Saya berpikir, apakah sebaiknya pesta kematian itu dibuat seperti pesta pernikahan, ataukah sebaiknya seperti pesta ulang tahun? Atau lebih baik bila dibuat sederhana saja selayaknya pesta kebun untuk keluarga? Tidak, pesta itu haruslah meriah, begitu catat saya dalam hati. Pesta itu harus penuh gegap gempita layaknya pesta tahun baru. Nah, benar itu, pesta tahun baru lebih cocok dijadikan referensi mengingat maknanya juga sama dengan kematian; mengakhiri sekaligus memulai. Memulai? Apa yang hendak dimulai setelah kematian? Benarkan setelah kematian akan ada kehidupan lain yang jauh lebih panjang seperti yang kebanyakan orang katakan? Tapi orang-orang yang mengatakan itu sendiri masih dalam keadaan hidup sewaktu mengatakannya. Lagipula kalau benar setelah kematian ada kehidupan lain yang lebih panjang dari selamanya, begitu menakutkan sekali andai kehidupan setelah kematian itu sama dengan kehidupan yang saya alami sekarang ini. Delapan puluh empat tahun yang melelahkan, pikir saya, sekaligus membuat tekad saya untuk merayakan berakhirnya masa itu begitu kuat.
Saya menghela nafas, mengayun kursi goyang lebih giat lagi sebagai kendaraan menuju masa delapan puluh empat tahun terkutuk yang sudah saya, dengan amat berharap ini benar tidak terjadi, tapi kenyataannya sudah saya jalani dengan segagahberani yang saya bisa—walaupun kemudian saya sadar itu lucu mengingat saya tidak pernah gagah terlebih berani dalam hidup. Andai waktu itu Ibu saya berhasil mengugurkan kandungan yang berisi saya janin, mungkin kehidupan sia-sia ini tidak perlu saya jalani. Kenyataannya obat dan pukulan di perut Ibu hanya membuat otak saya sedikit miring. Itu saja, selebihnya saya cukup normal untuk menjalankan hidup di luar rumah sakit jiwa.
Selepas SMK saya langsung melamar sebagai tenaga kerja di sana dan di sini. Banyak tempat saya kunjungi, berharap ada kehidupan dalam bentuk lain yang bisa saya singgahi. Nyatanya, baik di sana maupun di sini kehidupan telah menjelma sosok yang sama bagi saya. Orang-orang masih berjalan seperti robot dua kaki, menjadi serigala tanpa purnama, dan membesarkan anak selayak bunga. Lelah, saya pulang ke sini, ke satu-satunya tempat yang bisa dengan semena-mena saya sebut rumah, dan mengais rupiah dari mengolah sepetak tanah yang seharusnya dua. Ibu saya sendiri sudah lama mati. Ditusuk oleh lelaki terkutuk dari masa lalunya. Dan karena dalam sekaratnya Ibu masih sempat menyebut bahwa pria itulah Ayah yang selama ini saya pertanyakan, saya jadi merasa Ibu pantas mendapatkan kematian singkat itu, dan berharap hal serupa segera menghampiri si penusuk. Sialnya tidak. Tepat setahun setelah saya pulang ke rumah ini, ular itu datang melata meminta asa. Terkutuklah diri saya yang saat itu langsung menjawab iya.
Si ular adalah binatang yang begitu sembrono. Ia lepas sepetak tanah untuk membayar hutang judinya. Saya lebih suka gagasan dia dipukul mampus oleh gali-gali di tempat judi, tapi itu hanya akan mengakhiri hidupnya dengan cepat. Padahal, dalam gagasan lain saya, binatang-binatang seperti ular itu layak juga untuk hidup lebih lama dan menderita oleh kelamaan hidupnya sendiri. Hanya, yang terjadi malahan sebaliknya. Dua hari kemudian selepas dia menjual tanah untuk berfoya-foya dan meninggalkan hutang lain yang lebih besar dari sebelumnya, dia ditemukan tewas di tepi ladang tetangga. Orang bilang kepeleset saat mencari biawak, dan kepalanya membentur bambu jembatan yang kebetulan berpaku tajam. Kalau kematian memang pantas dirayakan, mungkin jenis kematian seperti ini yang patut dimasukkan ke dalam daftar.
Dan hidup saya kembali sendiri beberapa tahun kemudian. Pernah sekali waktu saya tertarik juga dengan gadis sebelah-sebelah rumah. Hanya, setelah tahu ini dan itu, saya mengurungkan jua niat untuk melamar. Contohnya Marbela, putri pemilik rumah makan di dua rumah dari rumah saya. Dia pintar sekali memasak, saya suka makanan yang dijualnya di warung. Senyumnya juga manis. Satu hal yang membuat saya batal meminang; kebiasaannya meludah sembarangan. Semenjak itu juga saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki di warung makannya. Ada juga Siti, si pujaan hati pemilik mata seindah bunga melati, andai saja bau badannya tidak sesemerbak bunga kemboja. Dan begitulah pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak menikah. Lagipula kalau dipikir-pikir saya tidak terlalu menyukai anak kecil. Dan pernikahan tanpa anak sangat mungkin sekali hanya akan menimbulkan jenis penderitaan hidup yang lain.
Memang, ada kalanya kesepian begitu menyakitkan. Terlebih jika kesepian itu menjadi bahan pergunjingan dan menjadikan kesepian itu tidak lagi sejati. Itulah sebab, jika ingin sepi carilah kesepian yang sesepi-sepinya sampai kesepian itu sendiri tak hendak mendekati. Itu baru kesepian murni yang aku impi. Pemikiran absurd seperti itulah yang membawa saya pada sebuah gagasan liar lain sebelum pesta kematian ini; pergi ke bulan dan menetap di sana selamanya.
Umur 50 tahun ternyata tidak menyurutkan otak saya untuk tidak bekerja secara konvensional layaknya orang-orang dengan umur serupa. Sementara orang berumur sedemikian jamaknya sedang sibuk menimang cucu sambil menyesap aroma teh, saya malahan membeli ini itu untuk membangun sebuah roket satu awak. Saya lepas juga tanah warisan yang tersisa untuk membeli alat-alat sistem propulsi dari LAPAN.
Sepuluh tahun hidup di bawah kutukan orang-orang yang sibuk mengejar kewarasan meski hidup dalam ketidakbahagiaan, roket yang saya impikan akhirnya berwujud juga. Lebih kecil dari yang saya bayangkan, tapi cukup luas untuk menampung mimpi-mimpi pria tua seperti saya. Segera saya berkemas, membawa apa yang sedianya bisa ditanam di bulan, sementara gerombolan pencemooh datang juga untuk sekedar melihat pria gila yang pada akhirnya akan kecewa dengan kegagalannya. Anehnya, sewaktu saya sudah di dalam roket dan siap menekan tombol ‘on’, mendadak saya meragukan keberadaan bulan. Bagaimana mungkin saya bisa yakin kalau bulan itu ada? Bagaimana kalau benda bulat biru muda itu hanya hasil olah imaji saya? Perlukah saya konfirmasi terlebih dahulu dengan bertanya pada gerombolan keledai di bawah sana? Tidak, tegas saya meyakinkan diri. Bulan itu benar ada, dan yang perlu saya lakukan hanya pergi ke sana sewaktu malam tiba. Saya pun menunggu, dan bersyukur dinding roket itu cukup tebal menahan tembakkan derai tawa.
Malam ternyata diselimuti mendung. Bulan jadi tidak nampak. Saya kembali meragu sekaligus sedih. Lalu pada akhirnya keraguan itu membawa saya pada keputusan untuk meluncurkan roket pada musim yang lain.
Hari berganti hari, dan saya tetap makan seorang diri, tidur seorang diri, berbicara seorang diri, berpelukkan seorang diri, dan mencintai diri sendiri seperti yang sepantasnya. Tapi kesepian ini begitu tanggung. Saya masih bisa mendengar bisik-bisik. Untungnya musim kemarau segera tiba, dan bulan menjadi bundar benar di atas kepala. Saya pikir itulah saat yang tepat untuk menghidupkan mahakarya saya. Segera saya berkemas dalam lelap malam. Kentang, kubis, lobak, dan berbagai sayur mayur lain, serta sepasang ayam kampung yang saya harap mau kawin tanpa gravitasi, saya pak dalam tas jerami.
Mesin roket menderu kencang mengeluarkan asap putih bersih bergelung menyelimuti rumah-rumah warga bagaikan fogging demam berdarah. Warga yang sedianya baru saja melepas lelah terpaksa bangkit berhamburan, mengira bencana, akhirnya, benar menimpa mereka atas dosa-dosa yang baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan telah mereka lakukan. Lantunan istighfar mengudara bersama tekad-tekad taubat untuk tidak melakukan perbuatan laknat yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu, dan dengan dihantarkan kehebohan semacam itu saya meluncur ke bulan.
Dilihat dari jumlah kentang, kubis, dan buncis yang telah berkurang saya perkirakan sudah berada di udara lebih dari satu bulan. Lambat benar roket ini melaju. Saya pikir kecepatannya akan beribu-ribu knot, dan akan tiba di bulan dalam dua hari dua malam saja. Meski persediaan makanan menipis sebelum waktunya, heran juga saya tidak khawatir. Malahan saya begitu menikmati perjalanan ini. Ternyata langit lebih sunyi dan sepi, dan sekarang saya tahu bahwa tidak benar kalau bumi dikatakan bulat. Ada benjolan di sana-sini, tidak bulat benar. Tidak ada perbincangan antar bintang, tidak ada gosip antar asteroid. Hanya saya dan kesepian yang seolah-olah bisa begitu saja mengada dan abadi. Saya ingat betul waktu itu ingin mati dalam momen begitu (heran juga kenapa sekarang tidak). Saya makan lebih banyak agar persediaan makanan segera habis dan saya terpaksa kelaparan nantinya. Sayangnya saya segera mendarat di bulan sementara kentang dan kawan-kawannya masih berkarung. Ayam saya lihat juga masih berkotek. Kesedihan saya segera timbul dengan aneh.
Kesedihan itu semakin menjadi-jadi manakala saya dapati bulan bukanlah tempat yang maha sepi. Malahan lebih ramai dari tempat tinggal saya sebelum ini. Saya mendarat di tengah semacam lapangan dengan ratusan ribu orang yang sedianya sedang mendengarkan orasi suatu kampanye. Mereka menyingkir memberi ruang untuk roket kecil saya mendarat dengan selamat. Herannya, mereka menyambut saya dengan suka cita. Rupanya mereka adalah penduduk bumi yang telah bosan dengan kebumian mereka. Mereka benci politik, mereka benci perayaan, mereka benci apapun yang berbau bumi. Saya pikir saya akan betah tinggal bersama orang-orang seideologi dengan saya begitu. Namun setelah beberapa minggu (entahlah, saya menjadi tidak yakin dengan waktu) tinggal di sini membuat saya tidak paham juga dengan mereka. Mereka membutuhkan pemimpin, maka diadakanlah pemilu. Partai-partai bermunculan, kampanye digembar-gemborkan. Pun mereka akhirnya merayakan juga beberapa hal yang menurut mereka perlu untuk sedikit dirayakan. Misal; Hari Pertama Mendarat di Bulan, Hari Ulang Tahun Bulan, dan hari-hari sinting lainnya. Manusia-manusia ini kembali membangun peradaban bumi di bulan. Saya pun mulai bosan dan memutuskan pindah ke planet lain. Merkurius sepertinya tampak menjanjikan kesepian panjang, maka ke sanalah saya kemudian.
Merkurius, Venus, Pluto, ternyata sama saja. Manusia sudah ada di sana dengan sifat mereka yang membumi. Tidak ada lagi kesepian yang tersisa untuk saya. Mungkin hanya matahari yang bisa memberikan kesunyian abadi. Maka ke sanalah saya. Belum sempat menyentuh hangat matahari, rupanya bahan bakar saya tidak mencukupi, lalu jatuhlah saya ke planet terdekat. Dan planet terkutuk itu adalah Bumi.
Saya menyalakan pipa, dan heran juga kenapa sekarang ini saya menginginkan kematian yang teramat meriah. Saya menghembuskan asap dari hidung dengan begitu ahli, dan sebersit pikiran tiba-tiba melintas. Saya telah bosan dengan kesepian, begitulah pendapat saya. Dan mungkin juga kehidupan itu sendiri, saya menambahkan dengan kedemat. Saya beranjak dari kursi goyang menuju jendela roket, membukanya, dan tidak lagi kaget melihat hiu macan mematuk-matuk kaca.
“Halo sobat, kelaparan?” saya menyapa diiringi gelak. Dalam bayangan saya hiu itu mengangguk. Di hadapan saya terhampar pemandangan bawah laut: bergunung-gunung sampah, berlembah-lembah sampah. Saya merenung. Bukan merenungi sampah-sampah tak tertolong itu, melainkan pesta kematian saya sendiri. Sudah saya sepakati bahwa pesta itu haruslah semeriah pesta tahun baru. Sekarang, siapa yang akan saya undang? Saya adalah makhluk yang lebih soliter dari ameba. Tidak pernah ada yang benar-benar saya kenal sampai pantas mendapatkan keistimewaan hadir pada pesta kematian saya. Hal itu merisaukan saya selama berhari-hari, membuat saya susah tidur. Di tambah lagi ekor dari seekor paus bungkuk tak henti-hentinya memukul ujung roket saya dan menimbulkan bunyi “tuk tuk” yang tidak mengenakkan di telinga. Saya kenakan baju astronot saya dan bergerak keluar roket untuk menghalau bayi besar itu. Dan karena saya jarang sekali keluar roket, saya sekalian memanen rumput laut dan koral biru, sekaligus mengais teripang-teripang yang sedang menikmati bintang. Ikan-ikan hiu, seperti biasa, tidak bisa tenang melihat benda asing bergerak-gerak di kuasa mereka, berharap saya dalam baju tebal ini bisa dimakan. Banyak hiu lantas merubung saya. Sudah biasa, saya halau mereka satu persatu sembari saya meluncur kembali ke dalam roket. Dan di sanalah gagasan itu mendadak memenuhi otak kacang ini. Ya, saya akan mengundang semua orang, semua makhluk di seluruh jagad, baik yang masih hidup maupun yang sudah lama mampus (jika ingin hadir silahkan saja), baik yang berjalan dua kaki maupun seribu kaki, baik koruptor maupun pendeta dan baik yang pro pemerintah maupun yang kontra.
Masalah berikutnya mucul segera, seolah masalah begitu mencintai saya. Undangan itu mestilah berbentuk apa agar bisa dibaca semua? Ternyata jawabannya lebih cepat datang dari yang saya duga. Keesokan paginya, mulailah saya mengolah sampah-sampah bawah laut menjadi pesan maha akbar. Berbulan-bulan saya membuatnya sampai air laut bertambah tinggi lantaran bercampur peluh saya, barulah muncul masalah baru. Sungguh hidup saya penuh dengan tengiknya masalah.
Kapankah pesta kematian ini harus diadakan? Lama saya berpikir sembari menyodok-nyodok kelomang sebesar kelapa yang dengan marah merayap menghindar. Bukannya jawaban yang datang, capit kelomang yang mengerjap-ngerjap kembali ke lubannya itu malah menimbulkan pertanyaan berikutnya. Di manakah pesta itu sebaiknya diadakan? Benar agaknya kalau gagasan ini terlalu serampangan untuk diwujudkan oleh seorang manusia, yang bugar sekalipun. Saya sedikit putus asa juga agaknya.
Untuk itulah beberapa hari saya tidak berselera makan, dan merasa segera akan menemui ajal. Namun pada saat itulah saya menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mendera saya bertubi-tubi bagai bulu babi. Dengan semangat saya mulai melanjutkan pembuatan pesan dari sampah bawah laut. Selain itu saya juga membagi hari untuk menciptakan sesuatu yang lain, sesuatu yang akan menjadi kunci dari pesta kematian saya, sesuatu yang terbuat dari uranium atau plutonium (entah mana yang bisa saya temukan), dan sesuatu yang bukan sekedar sesuatu.
Pesan itu, pada akhirnya setelah lebih dari 3.547 malam, mengapung juga di semua lautan di bumi dan berhasil membuat kehebohan pada permukaannya. Orang-orang bumi menduga itu perbuatan orang-orang bulan, sementara orang-orang bulan mengira itu pekerjaan orang-orang bumi.
Pesan itu berbunyi: HADIRILAH PERAYAAN DARI SEBUAH KEPASTIAN. BESOK SELEPAS SENJA!
Malam itu tubuh ringkih 96 (atau 97, 98, entahlah) tahun saya masih mampu menahan kantuk. Bayangan pesta kematian esok senja terlalu indah untuk digantikan sebuah mimpi busuk orang tua. Saya elus-elus manja sebuah tombol picu berwarna kelabu. Hasil rancangan lulusan SMK. Saya bangga dengan itu. Sangat bangga. Ada berapa sarjana yang sanggup membuat apa yang saya buat? Mungkin tidak ada. Dan saya tertidur dengan perasaan bangga semacam itu.
Sesungguhnya di lautan dalam seperti ini saya sedikit kesulitan menentukan waktu senja. Usia saya yang menginjak senja juga membuat kesulitan membaca waktu. Terlebih, sebenarnya tidak ada jam di dalam sini. Akhirnya saya perkirakan kedatangan senja dari kebiasaan waktu bangun saya semasa muda. Itu berarti kurang dari 12 jam lagi senja tiba. Dua belas jam terakhir saya.
Dalam kurang dari 720 menit itu saya tidak tahu hendak melakukan apa selain duduk di kursi goyang sambil menghisap pipa dan menikmati ikan pari berpatroli di luar jendela. Sesungguhnya di dunia ini hanya kematian yang benar-benar pantas untuk dirayakan mengingat hal itu hanya terjadi sekali dan sudah pasti. Keberhasilan tidak layak untuk dirayakan karena di sana ada kegagalan yang mengintip dengan iri. Ulang tahun tidak pantas dirayakan karena tahun berikutnya akan terjadi lagi, dan lagi, dan begitu sampai bosan menanti. Tahun baru tidak layak untuk dirayakan karena hari berikutnya sudah akan usang kembali. Pernikahan apalagi, hanya membuat dunia semakin bising dengan percekcokan mereka. Untuk itulah saya berharap senja datang lebih cepat.
Harusnya saya mati dari dulu, saat ide tentang pesta kematian ini belum ada, lamun saya kemudian, masih mengelus-elus tombol picu bagai mengelus kucing anggora. Dengan begitu, lanjut saya, tidak perlulah saya berlelah-lelah menyiapkan pesta ini. Untungnya, bisik saya, saya begitu menikmatinya sampai lupa usia.
Dan senja, menurut perhitungan saya, pasti sudahlah tiba.
“Selamat tinggal dunia fana. Marilah berpesta bersama saya,” kata saya penuh bahagia.
Saya pejamkan mata perlahan, lalu dengan euforia yang tidak bisa digugah menggunakan endorfin macam apapun saya tekan tombol picu dengan tangan ringkih, kemudian pesta kematian pun dimulai dengan begitu meriah. Dan, memang, tidak ada lagi pesta yang akan sanggup menyaingi kemeriahannya.