Sinar matahari sore menyinari wajah konyol teman-teman sekelasku. Mereka menunjuk-nunjuk surat cinta yang kugenggam erat, surat yang datang setiap hari tanpa pernah gagal. Surat dengan kertas berwarna lembut seperti awan, beraroma samar bunga lavender, dan tulisan tangan yang indah bak kaligrafi. Aku mencoba menjelaskan tentang kemungkinan adanya kehidupan di Europa, sebuah teori yang sering kubaca dibuku-buku sains. Namun, mereka hanya tertawa terbahak-bahak.
"Ah, jadi kau ingin jadi penulis sinetron?" ejek Anton, sahabat karibku yang paling keras mengejek. Matanya menyipit, membentuk garis miring mengejek. "Kalian nggak percaya?" tanyaku, mulai kesal. "Sains kan belum membuktikan kalau di sana nggak ada kehidupan." "Sains? Kau mau bilang alien nulis surat cinta pakai pu...