Jumat sore, aku dan Nisa, anakku, mengupas buah mangga yang baru kami petik dari pohon di depan rumah. Mungkin kalau dulu temanku tidak memberikan bibit pohon mangga beserta drum sebagai pot, saat ini aku dan Nisa tidak akan memperoleh asupan gizi dari buah. Aku sangat menyayangkan uang untuk membeli buah. Bagiku itu tidak penting. Dua hal yang terpenting adalah bisa makan nasi dan bisa membeli buku untuk Nisa.
“Pak, kenapa tidak minta bibit lagi ke Om Rusdi? Biar pohon mangga kita banyak,” ucap Nisa sambil menjilat lima jari tangannya yang masih beraroma mangga.
“Kita ini tinggal di gang. Sekelilingnya rumah semua. Kalau tidak ada halaman, mau ditanam di mana? Tanaman juga butuh asupan gizi. Perlu disiram, juga harus diberi pupuk,” aku memberi penjelasan kepada Nisa sambil mengupas mangga.
“Itu kan gampang, Pak. Ibu kan selalu di rumah,” celetuk bocah kecil di depanku sambil terus memakan mangga yang aku kupas.
“Ibu tidak punya waktu buat mengurus tanaman,” ucap istriku dari ruang tengah. Ruang kecil tempat dia bekerja, menyetrika pakaian tetangga.
“Kalau begitu, Nisa saja yang merawat,” anak semata wayangku memang paling bisa kalau beradu pendapat.
“Pak, kapan kita ke tukang jualan tanaman?”
“Ngapain?”
“Beli tanaman. Senin aku ada tugas membawa tanaman beserta pot.”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Nisa. Setelah mengupaskan mangga untuk Nisa, aku beranjak ke ruang tengah, memberikan sepiring kupasan mangga untuk istriku. Dengan gesit istriku menukar sepiring mangga dengan satu stel baju biru telur bebek, baju kerjaku.
“Pak, tanamannya bagaimana?” Nisa masih mengekor di belakangku.
“Besok kita pikirkan. Bapak mau kerja dulu,” tukas istriku. Dia memang yang paling mengerti. Mengerti kalau aku sedang tidak ada uang.
Di angkot menuju pabrik, pikiranku mulai buyar. Hanya karena tanaman dalam pot, aku harus sepusing ini. Memang tidak semua tanaman mahal, tapi bagiku, sekecil apa pun pengeluaran, kalau selain untuk hal-hal penting aku tetap tidak rela, meski membawa tanaman dan pot adalah tugas dari guru. Lagipula, dari zaman aku SD tugas kok tetap sama ‘membawa tanaman di dalam pot’. Lantas, setelah itu tanaman terbengkalai, tak pernah ada yang merawat. Coba saja kalau tanaman terawat, lalu tumbuh subur. Bisa kupastikan, tempatku sekolah dulu, kini menjadi taman bunga. Tapi, nyatanya sekolah itu masih gersang dan setiap tahun guru selalu memberi tugas kepada murid-murid untuk membawa tanaman dalam pot. Memangnya untuk apa semua itu? Aku mendengus kesal.
“Brik pabrik pabriiiik!”
Suara lantang sopir menghentikan gerutuanku. Aku segera turun dari angkot. Dalam perjalanan menuju ruang kerja, aku terus berpikir, aku harus mendapatkan tanaman tanpa mengeluarkan uang!
***
Setelah mengantar Nisa ke sekolah pada hari Sabtu, aku sengaja lewat jalan yang berbeda. Jika biasanya aku melewati Jalan Cendrawasih, maka kini aku berputar melalui Jalan Kamboja. Di seberang fotokopi Anugerah, aku berhenti. Bukan untuk mengamati tempat fotokopi tersebut, tapi untuk mengamati sebuah rumah berhalaman luas yang penuh oleh tanaman. Rumah itu adalah milik Rusdi—sahabat yang memberi aku bibit mangga beserta pot drumnya.
Aku heran, kenapa Rusdi begitu mencintai tanaman, sampai ia rela membagi-bagikan makhluk kesayangannya.
“Ini halaman kau kan sempit, tanam saja menggunakan pot. Besok aku bawakan drum bekas,” ucap Rusdi. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan. Sebenarnya aku tidak begitu peduli kepada Rusdi soal tanaman hias dan pohon mangga yang akan dia berikan kepadaku. Tapi, karena dia terlihat begitu tulus, aku jadi tidak tega.
Namun, rupanya benar, Rusdi melakukan hal itu dengan tulus, sangat tulus, sebab keesokan hari, Rusdi datang membawa motor tossa. Dia membawa drum bekas, tiga karung tanah, dan satu bibit pohon mangga.
“Ini aku lunasi janjiku kemarin, hahaha.”
“Hehehe.”
Aku hanya tertawa sedikit, sebab aku tahu istirku tidak suka. Dan benar, setelah Rusdi pergi, istriku mengomel.
“Kenapa sih, tidak ditolak saja?!
Biaya perawatan mahal. Pupuk mahal, dan kalau kita tidak rajin menyiram juga akan mati. Kalau sampai Abang tidak menjaganya, Abang sendiri yang malu. Pokoknya mangga itu Abang saja yang urus. Itu urusan Abang sama Rusdi.”
“Kok begitu?”
“Itu kan pohon Abang sama Rusdi. Bukan aku.”
“Perempuan kok tidak suka tanaman, sih.”
“Aku suka tanaman, tapi aku tidak berminat dengan pemberian kawan Abang itu.”
Karena aku tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya aku mengalah. Pohon mangga di dalam drum, senantiasa aku jaga dan rawat. Pasti akan sangat malu kalau sampai ketahuan Rusdi, bahwa aku tidak mampu menjaga apa yang telah dia berikan.
Kejadian bertahun-tahun lalu itu masih terngiang. Ketika Rusdi memberikan pohon mangga, koleksi tanamannnya belum begitu banyak. Setelah kejadian itu, Rusdi jadi makin bersemangat menularkan semangat menaman pohon. Dia kerap memberikan bibit tanaman kepada teman dan tetangga. Namun aku heran, meski dia membagi-bagikan tanaman, tanaman di rumahnya justru kian bertambah.
***
Setelah tadi pagi aku mengamati rumah Rusdi, sore ini aku mengobrol dengan istriku dan juga Nisa yang bermain di ruang tengah. Kami ngobrol soal niat pergi ke rumah Rusdi. Sekalian silaturahmi dan minta bunga beserta potnya dengan cuma-cuma.
“Kalau ke sana, minta saja bibit pohon mangga, biar mantan sekolah Abang itu tidak setiap tahun minta tanaman beserta pot. Bosan!” Istriku ngedumel sambil menyetrika baju-baju yang seperti tak pernah habis.
“Nah! Dari zaman Ibu dan Bapak, guru-guru di sekolahan selalu memberi tugas membawa tanaman dan pot. Tapi sampai sekarang, tidak tahu di mana,” aku mendukung perkataan istirku.
“Memang, kalau tanamannya hilang, siapa yang salah?” Nisa menyahut cepat.
“Guru, lah!” Meski hari masih pagi dan keringat di dahinya mengalir, istriku tetap bersemangat untuk mengompori putriku.
“Kenapa guru?”
Aku dan istriku saling melirik. Kami sepakat untuk diam. Kalau Nisa bertanya kenapa, lebih baik kami bungkam. Sebab, bocah itu tidak akan berhenti bertanya, dan pertanyaan bisa makin ruwet.
“Kenapa sih, anak kita cerewet sekali?” tanya istriku suatu malam.
“Memang Nisa tanya-tanya apa lagi?”
"Tadi siang, sepulang sekolah, Nisa bertanya kenapa Om Rusdi punya banyak tanaman.”
“Terus?”
“Aku jawab kalau yang bisa menjawab hanya Om Rusdi. Lalu Nisa bertanya lagi, kenapa Ibu tidak bisa menjawab?”
“Terus?”
“Aku tidak bisa menjawab.”
Karena itulah, istriku sedikit trauma ketika Nisa mulai bertanya kenapa.
“Lebih baik, Abang ke rumah Rusdi. Sekalian mencari tahu jawaban.”
Aku menghela napas panjang. Keluar untuk merokok sambil melihat tikus-tikus got sedang usil di tong sampah depan rumah. Bahkan tikus-tikus itu tampak lebih rajin mencari makan ketimbang diriku. Sebagai lelaki yang dididik untuk tumbuh sebagai tulang punggung keluarga, aku merasa kerja kerasku belum berhasil. Membeli tanaman dan pot saja harus mengomel dulu setiap hari. Apakah menjadi istri dan anakku adalah perihal yang membahagiakan?
***
Esok harinya, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Rusdi. Hari Minggu, pegawai kelurahan itu tidak bekerja. Setelah aku mengetuk pintu, seorang perempuan muncul. Perempuan itu adalah pembantu di rumah Rusdi.
“Rusdi ada?” tanyaku. Perempuan itu mengiyakan. Dia mempersilakan aku masuk.
“Bapak tunggu di sini dulu.” Aku mengangguk. Mataku kemudian menyapu ruang tamu rumah Rusdi. Mewah betul pegawai kelurahan itu. Tapi sayang, Rusdi tak juga menikah. Dia mungkin lebih menyukai tanaman daripada perempuan. Aku tersenyum geli.
“Permisi, Pak.” Pandanganku beralih ketika dua orang laki-laki melewatiku sembari menggotong dua pot besar berisi tanaman bunga.
“Permisi, Pak. Mari ikut saya, Pak Rusdi di kamar, dia sedang sakit.”
“Sakit sejak kapan?”
“Sudah seminggu, Pak."
Aku mengekor perempuan itu, yang tengah berjalan menuju tempat Rusdi terbaring sakit. Dari dalam kamar Rusdi, satu orang laki-laki—yang aku tahu adalah tukang kebun—keluar membawa pot besar berisi bunga, bunga yang sama dengan yang dibawa dua laki-laki saat aku masuk tadi.
“Masuk saja tidak apa-apa, Mas Nuh.”
Meski canggung, aku lantas masuk ke kamar Rusdi. Laki-laki kerempeng itu makin terlihat kusut terbaring di dalam kamar yang terasa sesak oleh banyak barang dan beberapa pot tanaman. Apakah sebegitu cinta Rusdi terhadap tanaman? Aku hanya membatin.
“Lama sekali kau tidak ke sini!” ucap Rusdi dengan lantang. Tubuhnya boleh lemah, tapi suaranya tetap ceria dan membahana.
“Kau ini sakit apa?”
“Rebutan oksigen sama tanaman. Hahaha.”
Aku menyapu pandang ke sekeliling. Beberapa pot tanaman memenuhi ruangan.
“Kenapa kau menyimpan tanaman sebanyak itu di kamar?”
“Tanaman-tanaman itu sangat mahal. Aku tidak rela kalau sampai ada yang hilang.”
“Tapi, masa kau tidak tahu kalau tanaman memang mengeluarkan karbondioksida ketika malam hari?”
“Hahaha. Mungkin waktu guru memberitahu, aku sedang tidak masuk, hahaha.”
Aku tidak tertawa, tidak tahu mana bagian lucu yang mesti aku tertawakan. Tidak mau aku bertambah jengkel, aku langsung kembali ke tujuan awal mendatangi rumah Rusdi.“Aku ke sini sebenarnya ingin minta barang satu pot saja tanaman, untuk Nisa bawa ke sekolahan. Biasa, tugas.”
“Oh begitu? Silakan-silakan! Itu bagus sekali! Kalau begitu, ambil saja satu pot tanaman tadi.”
“Tanaman tadi? Yang di kamar ini?”
“Iya!”
“Tapi itu sangat mahal!”
“Hahaha. Tidak masalah.”
“Oke lah kalau kau memaksa.”
Usai sedikit berbasa-basi, dan menemani Rusdi menyantap makan siang, aku segera meluncur ke taman di halaman belakang. Perempuan yang aku temui tadi, mengangguk sopan sambil terus menyirami tanaman.
"Saya mau membawa satu tanaman, yang tadi ada di kamar Rusdi. Saya sudah izin hehehe."
"Silakan, Pak."
"Boleh saya keliling-keliling?"
"Silakan, Pak."
Perempuan murah senyum itu lantas beringsut ke tanaman yang satu deretnya sudah berbunga. Rusdi tak hanya mencintai tanaman, ia juga mencintai keindahan. Semua tanaman tertata rapi, bahkan bunga-bunga yang mekar tampak bergradasi.
Aku berkeliling, ke deretan bunga-bunga mawar bermekaran. Semua warna nyaris ada. Mirip di toko bunga. Jika satu pot itu aku bawa pulang, pasti Nisa akan senang. Aku iseng mengambil pot dengan bunga mawar merah yang merekah. Namun, ketika aku mengangkat pot tersebut, pita merah lantas menjuntai. Ada tulisan memudar di dalamnya: Annisa. Aku masih ingat, tiga bulan lalu aku sengaja memberikan pita yang aku ikat di lubang drainase pot, agar tanaman anakku tidak mudah hilang di sekolahan.║