Disukai
3
Dilihat
17
Perihal Datang Ke Undangan
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sebulan lalu, undangan pernikahan dari Windy, teman SMA-ku, tiba di meja kerjaku. Aku menggenggamnya sambil menatap kosong ke arah kalender di dinding. Pikiranku melayang, mengingat kejadian serupa beberapa waktu lalu.  

Waktu itu, aku datang sendiri ke pernikahan seorang teman. Mengenakan sepasang baju cokelat dan kerudung hitam, aku melangkah dengan percaya diri melewati pintu masuk yang penuh dengan hiasan bunga melati. Namun, seiring langkahku menuju meja prasmanan, suara tawa dan bisik-bisik dari pasangan lain terasa menekan. Aku hanya mengambil nasi dan lauk secukupnya, lalu mencari tempat duduk di sudut ruangan yang sepi.  

Dari kursiku, aku memperhatikan orang-orang. Ada yang bergandengan tangan, saling menyuapi, atau sibuk menenangkan anak-anak mereka yang rewel. Aku memegang garpu di tangan, tetapi piringku nyaris tak tersentuh. Lagu-lagu romantis dari pengeras suara membuat suasana semakin ganjil.  

Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap dekorasi pelaminan, tetapi tatapan beberapa orang yang seperti bertanya “Kenapa sendirian?” membuatku semakin tenggelam dalam diam. Sejak saat itu, aku bertanya-tanya, “Mengapa pergi ke pesta pernikahan tanpa pasangan terasa seperti sebuah dosa sosial?” 

Kini, undangan baru ini ada di tanganku dan tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam benakku. “Sama siapa aku harus datang, ya?”

Mengingat aku malas ditanya ini itu. Tentang kenapa aku datang sendirian. Alhasil, dua minggu sebelum acara pernikahan temanku tiba, aku mengirim pesan teks kepada Naura, temanku yang lain.

“Nau, mau datang ke acara nikahannya Windy?” kataku.

Lalu, dia menjawabnya setelah beberapa jam yang akan datang. “Aku nggak bisa pergi karena disuruh di rumah sama suami, disuruh istirahat untuk persiapan bulan depan dede bayi keluar melihat indahnya dunia,” katanya dengan gaya bahasa hiperbolanya itu.

“Yah, oke deh. Tadinya aku pengen bareng aja di sana. Tapi nggak bisa, ya. Yaudah, jaga kesehatan aja,” jawabku dengan membalas cepat ke Naura lewat pesan teks. 

Kupandangi layar ponsel yang perlahan meredup. Aku pun menghela napas panjang. Mungkin ini sudah takdirku—pergi sendirian lagi. Angin malam yang dingin menyelinap dari jendela terbuka, seolah mempertegas kesendirian ini.

Namun, beberapa hari sebelum pernikahan Windy, sebuah pesan masuk.

“Udah ada teman buat ke pernikahan Windy?” tulis Naura.

Kujawab singkat, “Belum, hehehe.” Jempolku sempat ragu sebelum mengirimnya.

“Itu, Gina juga nggak ada teman. Coba chat dia aja,” balas Naura, seolah bisa membaca pikiranku.

Aku terdiam, menatap layar ponsel. Gina? Aku menggigit bibir bawahku, ragu. Dia teman Naura, bukan temanku. Rasanya seperti membuka pintu ke ruangan asing, tapi suara Naura di kepalaku terus mendorongku.

“Mau minta nomornya Gina dong kalau gitu,” ketikku akhirnya, jempolku bergerak ragu sebelum menekan tombol kirim.

Balasan Naura muncul tak lama kemudian dengan sebuah kontak baru. 

“Okay, makasih, Nau-nau,” balasku sambil menambahkan emoji senyum, mencoba menutupi rasa canggung.

Lalu, aku mengklik tanda pesan di kontak yang diberi Naura, tak lama aku diarahkan kepada pesan teks Gina pada percakapan WhatsApp sebelumnya. Ternyata aku sudah memiliki kontaknya, tetapi belum aku simpan dan kontaknya secara tak sadar semakin berada dalam pesan terbawah. Percakapan lama kami sebelumnya itu juga ternyata tentang susunan acara pernikahan Naura setahun lalu, yang kini terasa samar, seperti bekas jejak kaki di pasir yang hampir hilang.

Dengan napas panjang, aku pun mulai mengetik pesan untuk Gina. “Hai, Gina. Kamu nanti datang ke pernikahannya Windy, kan? Kata Naura kamu juga belum ada teman di sana, kan? Mau bareng sama aku? Aku juga kebetulan belum ada teman, hehehe.” Jantungku berdebar saat menekan tombol kirim.

Pesannya terbaca. “Boleh banget! Kita ketemuan di depan aja, ya,” jawab Gina tak lama kemudian. Aku pun tersenyum kecil karena merasa lega. Setidaknya, sekarang aku tidak akan sendiri.

Hari pernikahan Windy pun tiba. Aku tiba lebih awal, berdiri di area luar gedung sambil memainkan tali tas kecilku. Beberapa wajah yang familiar melintas, mengangguk ramah ke arahku. Aku memaksakan senyum, tetapi tangan kiriku meremas ujung rok dengan gugup. Sapaan mereka membuat dadaku berdesir—takut harus berbasa-basi. Dan benar saja, salah satu dari mereka menghampiriku, membuatku harus berdiri menyapanya sambil cipika-cipiki, hal yang tidak biasa aku lakukan.

“Ayo, masuk bareng?” tawar salah satu dari mereka, seorang kenalan lama.

“Eh, duluan aja. Aku lagi nunggu teman,” jawabku dengan senyum tipis.

“Siapa?” katanya ramah.

“Aku lagi nungguin Gina. kamu duluan saja ke dalam, ya,” kataku dengan suara yang hampir tak terdengar. Aku memalingkan wajah, berharap dia mengerti.

Alasan sebenarnya aku menolak ajakan itu selain karena sudah berjanji bareng masuk dengan Gina? Aku tak ingin melakukan percakapan basa-basi. Apalagi ditanya soal pekerjaanku. Rasanya seperti pertanyaan jebakan—dan aku tak punya jawaban yang nyaman mengenai hal itu untuk sekarang.

Setelah temanku pergi dengan lambaian sopan, Gina muncul beberapa menit kemudian dengan tersenyum ramah. 

“Lama ya nunggu?” tanyanya, wajahnya cerah, membuat udara dingin di sekelilingku terasa hangat.

Aku menggeleng, mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. “Nggak kok. Syukurlah kamu datang.”

“Yuk!” Gina mengangguk ke arah pintu gedung.

Kami berjalan masuk. Antrian untuk bersalam-salaman dengan Windy dan suaminya melingkar panjang seperti ular yang tak habis-habis. Aku berdiri di samping Gina, sesekali bertukar senyum canggung, lalu kembali hening. Sementara itu, Gina mulai tersenyum lebih lebar ketika beberapa kenalannya mendekat. Dia melambai, menyapa, dan dalam hitungan detik, kami berubah dari dua orang menjadi rombongan kecil.

Setelah bersalaman dengan mempelai, seorang teman Gina tiba-tiba muncul dari arah belakang. Senyumnya penuh percaya diri saat berjabat tangan denganku, tetapi matanya menyipit, seakan mencoba membaca wajahku.

“Eeee ….” Jeda panjang meluncur dari bibirnya, menggantung seperti kata yang tertahan di udara.

Aku meremas tas kecil di tanganku, menatap lantai untuk mengisi kekosongan yang mulai menyelimuti. Di benakku, aku teringat pemutaran film di kampus beberapa tahun lalu—dia duduk di barisan depan, tertawa saat aku memperkenalkan film pendekku. Akan tetapi, rupanya hari ini aku hanyalah wajah di antara kerumunan.

“Najmi,” Gina memotong jeda itu dengan nada halus, seperti ibu guru yang mengingatkan muridnya.

“Oh, iya, Najmi,” katanya akhirnya, sedikit tergesa. “Yang sekelas sama Naura, kan?”

Aku hanya mengangguk tanpa suara.

Setelah itu, kami berjalan menuju meja prasmanan. Gina melangkah cepat, bergabung dengan teman-temannya. Suara mereka mengisi ruangan, bergelombang antara tawa renyah dan cerita yang berputar, seakan-akan tak ada yang lebih penting daripada momen ini. Aku mengikuti di belakang, memegang piring yang entah kenapa terasa seperti memikul batu.

Keramaian memenuhi aula, tapi kehadiran semua orang justru menekan dadaku. Aku memandang ke arah Gina. Dia tidak menoleh sedikit pun. Piring di tangannya hampir penuh, diisi sambil tertawa pada sesuatu yang baru saja dikatakan temannya. Aku mencoba tersenyum saat salah satu dari mereka melempar tatapan sekilas ke arahku, tapi mereka sudah kembali berbicara sebelum aku sempat berkata apa-apa.

Saat makan, Gina hampir tidak menyentuh makanannya. Jemarinya sibuk menggenggam garpu sambil berbicara, sementara aku mengunyah perlahan. Setiap kata yang terlempar dari meja itu terasa seperti dialog dalam film asing tanpa teks. Aku mencoba menyisipkan satu pertanyaan sederhana, tapi hanya mendapat jawaban singkat sebelum percakapan melesat ke arah lain.

Aku menyerah. Udara aula terasa pengap, dan setiap tawa terdengar menggema seperti dentuman yang menghantam kepalaku. Aku pun memutuskan untuk pulang karena rasanya tidak ada yang harus aku lakukan lagi di sini.

“Gin, dan yang lainnya, aku pulang duluan ya,” kataku pamit kepada mereka.

“Oh iya, hati-hati!” jawab Gina tanpa menahanku diikuti senyum ramah yang lainnya.

Aku pun melangkah meninggalkan gedung yang terasa seperti menarik diri dari kubangan lumpur. Begitu pintu tertutup di belakangku, napas panjang pertama itu menjadi satu-satunya momen lega sepanjang hari.

~

Ditulis oleh Novi Assyadiyah | Diterbitkan oleh Semut Kecil

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
wah, cerita ini bisa menghadirkan refleksi yang sederhana tapi bisa ngena banget