Disukai
1
Dilihat
436
Pergi ke Bulan
Drama

Hari hampir petang ketika aku sampai di rumah. Seperti biasa, jalanan sepulang kerja seperti neraka. Klakson kendaraan bersahut-sahutan. Mobil, motor, hingga bus kota berusaha saling mendahului. Semua orang terburu-buru. Semua orang ingin cepat-cepat pulang. Untuk sekadar berhenti sebentar menikmati matahari tenggelam sudah tak sempat lagi. Segala hal yang dahulu indah di dunia ini menjadi tak berarti. Begitupun senja, yang telah kehilangan nilai romantisnya. Senja hanyalah sebuah ancang-ancang menuju malam panjang yang kelam. 

Di ruang tamu, ibu dan adik perempuanku menyambutku dalam diam. Ada perasaan tak nyaman yang bertunas di dada. Seperti tanaman rambat yang menjalar memenuhi rongga dada, makin lama perasaan asing itu makin menyesakkan. Sebenarnya, sudah sejak jauh-jauh hari aku mempersiapkan kemungkinan buruk ini akan terjadi. Namun ternyata, manusia tetap tidak pernah benar-benar siap menyambut kemalangan dalam hidupnya. Adikku mengulurkan sepucuk amplop coklat. Ada kop surat resmi dari pemerintah di bagian atasnya. Perihal titik dua bela negara, sifat titik dua segera, begitu tulisan yang tertera. Namaku tercetak tebal di kolom penerima. Ini bukan yang pertama. Sebelumnya telah dua kali kami menerima surat dalam amplop coklat yang serupa. Aku tersenyum getir. Setidaknya ini akan menjadi surat yang terakhir.

Lima buah cangkir di atas meja ruang tamu. Pelan-pelan ibu menuang teh panas di ketiga cangkir. Dua yang tersisa. Uap panasnya mengepul. Aroma harum tercium. Hanya di hari-hari istimewa kami minum teh manis panas bersama-sama. Biasanya pada hari lebaran atau perayaan tertentu. Gula dan teh termasuk barang mewah kala itu. Sehari-hari kami cukup minum air putih dari kendi. Anggap saja malam ini adalah upacara minum teh perayaan perpisahanku, seperti juga kami minum teh panas bersama sebelum keberangkatan ayah dan juga kakakku.

Sambil menikmati teh panas, kami memandangi ke luar jendela. Samar-samar terlihat jalanan. Sunyi. Sepi. Hening. Seolah tidak ada kehidupan di sana. Orang-orang memilih berdiam diri di rumah. Langit malam terlalu kelam untuk beraktivitas di luar. Hanya hitam yang membentang. Gelap.Tak ada bulan.

Sudah lama aku tak melihat bulan di langit malam. Aku bahkan hampir lupa bagaimana bentuk rupanya. Terakhir kali kulihat bulan yang bulat sempurna, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku, ayah, dan kakakku meginap di dangau. Saat itu menjelang hari panen raya. Ayah tak mau kejadian setahun sebelumnya terulang. Dua hari sebelum panen raya, sawah kami yang luasnya tak seberapa itu disatroni pencuri. Mereka hanya meninggalkan tumpukan-tumpukan jerami. Belum pernah kulihat ayah sekecewa itu. Padi yang ditanam, dirawat, dan dinanti-nanti waktu panennya, lenyap begitu saja dalam semalam. Namun ayah tak menangis. Justru ia yang berusaha menenangkan dan membesarkan hati ibuku. Malam itu kami berjaga di sawah sambil memandangi bulan purnama.

“Aku ingin jadi astronot. Aku ingin pergi ke bulan.” Kataku, di antara suara-suara katak dan serangga malam.

Ayah hanya mengangguk dan tersenyum. Ia mengelus-elus kepalaku. Barangkali karena ia sudah tahu, keinginanku tak akan kesampaian. Seperti bulan, cita-citaku ketinggian. Setelah dewasa aku baru menyadari, orang kaya dan miskin berputar-putar pada lingkaran nasibnya masing-masing. Orang tuaku tentu tak sempat memikirkan mana sekolah yang bagus untukku, kakak, dan adik. Tak terlintas juga di pikiran mereka, bagaimana cara menemukan dan mengasah bakat terpendam anaknya, apakah harus memasukkan kami ke klub olahraga atau ke les pelajaran tambahan. Bagaimana mungkin mereka akan memikirkan itu semua, jika tiap hari yang menjadi pertanyaan adalah apakah anak-anakku besok bisa makan?

Waktu terus berjalan. Pertanyaan-pertanyaan apakah besok bisa makan nyatanya terjawab juga. Kami bisa makan. Kami bisa hidup dengan layak. Aku bisa menamatkan pendidikanku hingga SMA. Bagi ayahku, itu sudah lebih dari cukup. Aku tak perlu menjadi astronot. Aku tak perlu pergi ke bulan.

Sehari-hari aku bekerja di kota sebagai penjaga loket planetarium. Kurasa itu masih ada hubungannya dengan cita-citaku waktu kecil dulu. Walaupun cuma secuil. Sejak beberapa taun yang lalu, planetarium menjadi salah satu tujuan wisata paling favorit. Anak-anak sekolah berbondong-bondong datang untuk melihat bulan. Wajah mereka selalu terkagum-kagum saat keluar ruangan. Seumur hidup mereka belum pernah melihat bulan dengan mata telanjang.

Masa depan manusia tak ada yang bisa menduga. Aku harus menyalahkan Yuri Gagarin. Karena keberhasilannya pergi ke luar angkasa kemudian kembali lagi ke bumi dengan selamat, segala kekacauan ini bermula. Amerika tak mau kalah dari Uni Soviet. Dua negara itu saling berlomba dalam misi luar angkasa. Amerika mengirim Neil Armstrong, menjadi manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Puluhan tahun berselang, negara-negara lain ternyata tak ingin ketinggalan. Di Asia, ada India dan Tiongkok yang juga punya misi luar angkasa. Salah satunya yang kemudian membawa bencana untuk umat manusia.

Siapa yang akan menyangka, kemajuan teknologi ternyata bisa menjadi malapetaka. Negeri tirai bambu berhasil menanam pohon kapuk di bulan. Beda ceritanya kalau menanam pohon di bumi. Semua tentu akan mudah terkendali. Tapi ini bulan. Bukan sesuatu yang bisa diamati setiap hari. Butuh sekian tahun persiapan untuk mencapai ke sana. Hingga, sebuah kekacauan diam-diam terjadi dan tak sempat teratasi. Makin lama, malam makin gelap. Makin lama, bulan makin redup. Makin redup. Sangat redup. Kemudian tak tampak lagi. Bulan benar-benar hilang.

Aku tak tahu bagaimana wujud tanah di bulan, mineral-mineral apa yang terkandung di dalamnya. Setidaknya sampai hari ini. Yang kudengar, pohon kapuk di bulan berkembang biak sangat cepat. Dari satu pohon tumbuh meninggi, berbunga, berbuah, kemudian biji-biji menyebar dan bertunas. Hingga akhirnya, seluruh permukaan bulan tertutup pohon-pohon kapuk raksasa. Entah bagaimana teorinya. Yang pasti karena hutan kapuk itu, bulan tak pernah lagi terlihat dari bumi. 

Ada satu masa, orang-orang tak ada yang keluar rumah tanpa memakai payung, kaca mata, dan masker penutup hidung. Perkebunan kapuk di bulan sedang memasuki musim panen. Kapuk-kapuk berterbangan melewati ratusan ribu kilometer hingga sampai ke bumi. Jarak pandang terbatas. Jalanan, atap rumah, pepohonan, semua putih seperti salju. Rumah sakit di seluruh dunia penuh. Orang-orang mengalami gangguan pernapasan.

Kekacauan lainnya pun tak bisa terelakkan. Hampir tak ada aktivitas luar di malam hari. Warung-warung kaki lima tutup lebih cepat. Tukang bakso, tukang sate ayam, tukang nasi goreng keliling, pulang lebih awal. Nelayan-nelayan pun berhenti melaut. Tak ada bulan berarti tak ada petunjuk arah. Seringkali mereka tersesat karena langit begitu gelap. Lagi pula, suhu bumi berubah sangat drastis. Orang lebih memilih tinggal di rumah daripada pergi ke mana-mana. Malam di bumi menjadi sangat dingin. Semua orang kini punya perapian di rumahnya. Mas-mas ojek online pun tak ada yang kelihatan di jalanan. Mereka menonaktifkan aplikasinya, meskipun kuyakin permintaan antar pesan makanan begitu tinggi arusnya. Kurasa duduk di rumah sambil makan indomie rebus lebih menggiurkan daripada tawaran uang.

Unjuk rasa besar-besaran terjadi hampir di tiap negara. Para mahasiswa berkumpul di depan kantor kedutaan negara Cina. Mereka penuntut pertanggungjawaban atas bencana semesta yang tercipta. Sidang Majelis Umum PBB pun digelar. Negara tirai bambu itu tak punya pilihan lain. Mereka harus bertanggung jawab atas semua kekacauan di bumi ini.

Misi luar angkasa selanjutnya adalah mengirim orang-orang ke bulan. Sudah ribuan orang Tiongkok dikirim ke sana. Namun ternyata jumlahnya masih kurang. Pohon-pohon kapuk tumbuh dengan pesat. Mereka butuh lebih banyak orang. Hingga akhirnya surat-surat beramplop coklat dikirim oleh negara.

Demi utang negara dianggap lunas, pemerintah menawarkan bantuan tenaga untuk menebang pohon kapuk. Dengan program Bela Negara, mereka menumbalkan kami untuk dikirim ke bulan. Setiap keluarga cuma punya dua pilihan, membayar sumbangan uang untuk membayar utang negara atau mengirim anggota keluarga laki-laki dalam program bela negara ini. Kami tak punya pilihan lain seperti juga negara tak punya pilihan lain. Pemerintah tentu tak mau nasib negaranya berakhir seperti Nigeria atau pun Kongo. Kudengar sekarang dua negara di benua Afrika itu berbahasa resmi mandarin.

Beda negara beda cerita. Negara-negara seperti Denmark, Finlandia, dan Kanada tentu tak punya utang apa-apa ke Tiongkok. Namun banyak juga warga negaranya yang turut serta menjadi relawan penebang pohon di bulan. Ada yang memang peduli pada kelangsungan hidup manusia di bumi. Ada juga yang pergi karena kepentingan pribadi. Para pelancong sudah bosan berwisata di bumi. Seluruh negara sudah dikunjungi hingga bingung mau berwisata ke mana lagi. 

Ayah dan kakakku termasuk dalam misi Bela Negara. Mereka telah dikirim ke bulan sejak beberapa tahun yang lalu. Sampai hari ini, mereka belum kembali. Aku tak pernah tahu kabarnya. Sedangkan aku, dalam hitungan hari, akan dijemput truk-truk tentara untuk berangkat ke Natuna guna menjalani pelatihan sebelum terbang ke bulan. Tiongkok telah membangun landasan pesawat luar angkasa di sana. Sebentar lagi, aku akan pergi ke bulan.

Yogyakarta, Februari 2020

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi