“Jangan memukul anak kalau marah, Tara.”
“Apalagi yang bisa kulakukan? Itu yang kupelajari dari Ibu. Memukuli anak.”
Tara menggores mata itu dengan kata-kata tajamnya. Luka itu begitu kentara, dari sorot mata, dari diamnya Ibu. Dia membawa diamnya Ibu bagai buntalan besar berselaput kegundahan, menggendongnya ke atas ranjang, mendekapnya hingga jatuh tertidur. Tengah malam pukul dua, dia terbangun di depan sebuah tangga panjang yang berakhir di rubanah. Apa dirinya tidur sambil berjalan?
Tara tidak pernah ke bawah sana lagi. Tinggal menumpang bersama Ibu saja sudah cukup menyiksa baginya. Andai tidak bertengkar dengan Baskara, perihal pesan dari rekan kerja wanita, dia tidak akan memboyong Derian menginap di rumah Ibu ini, rumah masa kecilnya.
Malam ini, dia berdiri di sana, ekor matanya yang runcing menatap tangga panjang nan gelap itu dengan wajah kecut. Setelah dua kedip mata, dia berbalik, meninggalkan tangga itu, jauh dari balik punggungnya.
Lepas matahari terbit, kelopak matanya mengejang tatkala mengendus aroma sarapan dan renyah suara tawa Derian. Selama tiga hari di sini, bocah laki-laki berusia tiga tahun itu tidak tidur bersamanya, selalu di kamar Ibu.
Derian bersinar-sinar, menyapanya dari atas kursi makan. Sapuan cahaya hangat itu mengubah Tara menjadi patung yang membeku. Apa Derian lupa, cubitan menyakitkan yang dilayangkan padanya, hingga bisa tetap riang menyapa mamanya seperti itu?
Asal Derian tidak mau makan atau tidak mau tidur siang, Tara acap-acap memukul, mencubit paha hingga membiru, bahkan pernah, menendangnya sampai terjengkang dari kasur, berakhir jidat mencium lantai. Dalam marah, Tara selalu teriak, harusnya Derian menurut, harusnya Derian tahu mamanya lelah, harusnya Derian tidak membuat kesal. Tara suka tidak sadar, Derian hidup di dunia ini baru tiga tahun. Banyak hal-hal yang belum dipahami anak piyik itu, terlebih menyoal kerutan kesal di dahi orang tuanya.
Tara sudah pusing suaminya kena PHK. Tambah pusing setelah salah satu rekan kerja wanita suaminya selalu berkata ingin membuka bisnis bersama suaminya, mengirim pesan siang dan malam, seolah lupa Tara bisa saja keberatan. Terakhir, Tara membalas pesan wanita itu, menarik sumbu pada granat yang selama ini digenggamnya. “Kamu mau sama laki-laki pengangguran?” tulis Tara, dalam pesan itu. Wanita itu langsung menelepon dan menangis-nangis, mengadukan kepada Baskara, Tara begitu kejam, begitu tega menuduhnya yang bukan-bukan. Tara dimarahi Baskara, dituding-tuding jidatnya, disuruh mikir. Tara terbengong dan tergelak, memikirkan betapa lucu situasi ini. Lantas, dia pergi mengemasi barang, memesan mobil travel menuju rumah Ibu.
Suatu keputusan yang salah. Rumah Ibu, wanita tua itu, tidak pernah memberikan kenyamanan. Bertengkar dan berdebat, tidak ada kepala yang mau mengalah. Ibu dan anak perempuan, katanya selalu begitu.
Setelah memandikan Derian dan membiarkan cucu tunggalnya itu bermain lego, Ibu menghampiri Tara yang sedang makan, memaksakan mulut menyantap satu dua suap, hanya agar bisa bertahan hidup.
“Baskara tidak menelepon?” tanya Ibu, terdengar nada putus asa dari helaan napas itu.
Tara menatapnya dengan mulut penuh. Ekor mata yang runcing, kian meruncing, menyipit marah. Alih-alih menelan, Tara mencabut tisu dari kotaknya, memuntahkan isi mulutnya, membulat-bulatkan dan melemparnya ke atas piring.
Sadar reaksi Tara, Ibu menjelaskan, “Ibu cuma tanya. Tidak baik membiarkan masalah berlarut-larut.”
Tara mendecih tak percaya. “Aku sedang diceramahi sama wanita perebut suami orang, ya? Tidak sadar, aku kena karma dari Ibu?”
“Tara!” Ibu membentak. “Jaga bicaramu. Walau Ibu tidak pernah mengumpat, tapi Allah bisa melaknat.”
Tara tertawa. “Bukannya, Ibu baru saja melaknatku? Aduh, Bu, jangan pandai mengendus-endus borok orang, kalau mengurus borok sendiri saja tidak bisa!”
Tara berdiri, meninggalkan piring kotor di meja, meninggalkan Ibu. Ibu mengelus dada, mendorong paksa air matanya untuk kembali masuk, mendekam di dalam sanubari saja, sebab percaya, anak-anak akan dikutuk takut jika karena membiarkan air mata ibunya jatuh.
Tara masuk kamar, membanting pintu, menjatuhkan diri kembali lelap. Lalu, dia kembali terbangun di depan tangga menuju rubanah. Kali ini, gemuruh marah dalam dada membawanya melangkah turun.
**
Perempuan yang lehernya terjerat rantai setan itu ditemukan dalam sebuah lorong bawah tanah, setelah menuruni tangga panjang berkelok-kelok nan semakin turun, semakin gelap. Titik cahaya di atas sana dan Tara menemukannya di sini.
Pandangan Tara mengikuti gerak-geriknya yang berpindah ke sana-ke mari, dari pojok ruangan ke pojok lainnya, dari meja satu ke meja lainnya, tapi perempuan itu tidak juga menyadari keberadaannya.
Mata runcing Tara menyisirnya dari kepala hingga kaki. Perempuan itu bergaun hitam dengan rantai setan mengikat lehernya. Rantai setan pun ternyata tidak seseram itu. Tidak seperti rantai yang memasung tahanan, yang bergemerincing tiap mereka menyeret kaki. Itu lebih menyerupai duri-duri tanaman hijau yang merambat di lehernya dengan satu-dua mahkota mawar merah tersemat-semat di sepanjangnya. Dilihat-lihat, rantai itu berakar dari tembok bata warna merah. Seolah mencuat keluar dari sana lalu menangkap, membelenggu, menahan gerakannya. Jika maju terlalu jauh, mawar-mawar itu mekar dan menariknya hingga dia tercekik.
Tara terkejut menyadari ada orang di rubanah ini. Siapa? Ibu tahu? Namun, Tara tidak bertanya, tidak menjerit kendati keberadaan perempuan itu benar-benar tak wajar. Dia benar-benar diikat, seolah dikurung di sini. Bisik jiwa mengungkapkan kepada Tara untuk tetap bersamanya.
“Kamu tahu?” Perempuan itu bicara. Tara yakin perempuan itu bicara padanya, meski wajahnya menghadap ke meja, menata rumah-rumahan boneka di atas sana. Apa lagi barang-barang yang ada di sini? Ah, semuanya tampak seperti mainan anak perempuan yang klasik.
“Orang-orang bilang, Ibu tidak pernah menginginkanku. Dia kehilangan bapakku saat mengandungku. Bapak dilindas truk. Saat jasadnya diantar ke rumah, itu sudah hancur. Sehancur hidup Ibu. Bagaimana bisa membesarkan seorang anak tanpa suami? Jadi, dia meminta tolong dukun beranak, menggugurkanku.
“Ngeyel, aku tetap bergelayut, meringkuk nakal di rahimnya. Jamu, pijatan, nanas muda, jampe-jampe, tak ada yang bisa membuatku tanggal dari rahimnya. Ibu terpaksa melahirkanku. Almarhum Nenek yang memberiku nama. Ibu tidur karena kelelahan mengejan. Malam hari, Ibu bangun dan langsung pergi menari Sintren.”
Perempuan itu berdiam. Tangannya pun diam. Tara ingin tahu apa itu Sintren.
“Arwah-arwah hanya merasuki penari yang masih perawan, tapi Ibu tetap menyediakan tubuh yang baru saja melahirkan untuk dirasuki. Akhirnya, alih-alih menari, dia mengamuk dan memakan sesajen di atas panggung. Orang-orang ketakutan. Dia dilarang menari lagi. Tapi, cuma dari menari dia bisa dapat uang. Jadi, dia menari di rumah Pak Lurah. Malam-malam, berdua saja, Ibu menari di hadapannya.
“Ibu terus menari bertahun-tahun kemudian. Ibu yang ke rumah Pak Lurah saat istrinya sedang tidak ada, atau kadang, Pak Lurah yang mendatangi Ibu. Setiap kali Pak Lurah datang, Ibu mengurungku di sini. Atau, bukan cuma Pak Lurah. Banyak laki-laki lain yang menikmati tariannya. Pokoknya, setiap Ibu menari, aku dikurung di sini.
“Aku tidak mau. Memangnya, aku anjing? Ibu memukul supaya aku patuh. Setelah pulang menari, Ibu menemuiku membawa beberapa buah roti manis kemudian meminta maaf.
“Namun, pukulan-pukulan itu menjadi kebiasaan. Setiap dia marah, setiap mengeluhkan bayarannya kurang, setiap mengeluhkan ucapan para tetangga, Ibu melampiaskannya padaku. Aku baginya adalah tempat sampah sekaligus samsak tinju.”
Perempuan itu berhenti. Tara tercekat nyaris gelagapan. Ada perasaan tak keruan menyelubungi benaknya saat ini. Rasa iba, marah, sedih, pun sebuah rasa yang familiar. Amat menyiksa dan mencekik. Apa akhirnya rantai itu berpindah ke lehernya?
Tara menatap bahu perempuan itu sedikit bergerak. Dia akan menampakkan wajahnya. Tara tidak siap. Sebelum perempuan itu benar-benar berbalik, Tara berlari naik, berlari sampai masuk kamar tidur, menyelimuti tubuh, meringkuk di atas ranjang. Dia menggigil hebat, gemetar hingga giginya bergemeletuk.
Sebuah sentuhan di pundak menyentaknya. Tara terkesiap, teriak, “JANGAN PEGANG!”
Akan tetapi, yang dilihatnya hanyalah dua bola mata mungil menatapnya dengan tulus, sedikit takut, nyaris menangis. “Ma, kenapa? Mama kenapa?”
Derian. Tara merasa berdosa, memeluknya, menangis mendekap anaknya seperti dialah anak kecilnya, bukan Derian.
**
Semalaman, Tara duduk memeluk lutut di atas ranjang, menggigiti kuku. Derian di sebelahnya, tidak bersama Ibu malam ini. Tara minta ditemani. Untuk menapakkan kaki ke lantai saja tidak berani. Seolah ada buaya yang akan menerkamnya jika dirinya turun. Memejam pun tak sanggup. Bagaimana kalau dia terbangun di depan tangga itu lagi? Dan perempuan itu akan menampakkan wajah padanya.
Tidak. Tara menggeleng, menggigit kuku, sampai berdarah kali ini. Dia tidak mengaduh, tidak kesakitan, mengisap darahnya saja. Anyir darah mengingatkannya pada mawar merah dalam rantai setan itu. Apakah warnanya merah atau abu-abu? Tara menggeleng lagi. Entahlah. Semuanya samar dan mengambang, terasa tidak nyata. Bagaimana jika bertanya sama Ibu?
Tara mengetuk kamar ibunya. Ini kali pertama dia masuk ke sana, mengendus lagi aroma khas ruangan ini. Bukan bau, bukan wangi. Hanya aroma yang khas. Seperti aroma tubuh tua yang sudah berbaur dengan udara di ruangan.
Wanita tua itu tahu ada yang masuk. “Tara?” sapanya, seraya beringsut bangun. “Ada apa?”
Tara bergeming dan menatap apa saja--lukisan di dekat jendela, meja rias yang tua, sandal bulu di atas keset, apa saja, asal tidak menatap Ibu.
“Kamu bertemu dengannya?”
Tara tersentak. Ibu tahu? Jadi, benar, ada orang di bawah sana? Ibu tidak takut ditangkap, sudah memasung orang? Buru-buru, Tara mendekat kepadanya ibunya, duduk berdua di atas ranjang yang berderit waktu Tara naik. “Siapa dia?” desak Tara. Bola mata bergerak ke sana-ke mari, menggambarkan kebat-kebit dirinya.
Daripada menjawab, Ibu menunda, mengulurkan telapak tangan menyentuh wajah Tara. Tara tersengat. Kenapa Ibu sangat panas? Adakah dirinya terlalu dingin, hingga beku semua hati dan perasaan?
“Dia anak Ibu,” jujur ibunya. “Namanya Tara.”
**
Tara kecil menghabiskan pagi dan malamnya di rubanah. Memainkan semua mainan, menghitung azan yang sayup-sayup demi mengetahui waktu. Tidak ada terang dan gelap di sini, yang ada hanya cahaya kuning temaram dari lampu bohlam. Kalau sudah azan keempat--dia menghitung dari zuhur, ashar, magrib hingga isya, barulah ibunya membuka pintu.
Kadang, hanya kadang-kadang, Ibu memberinya senyum semerbak tubuhnya yang bau bunga. Roti manis di tangan kanan dan kirinya. Namun, senyum itu cepat pudar, menghilang tanpa jejak, meninggalkan bekas di pipi lebam dan sekujur tubuh Tara. “Jangan tambah kesusahanku, Tara!” jerit Ibu, bernada frustrasi. “Andai kamu tidak ada, Ibu sudah bunuh diri! Pikir, siapa yang mau rawat kamu kalau bukan Ibu?”
Maka, ibunya tidak bunuh diri, tetap merawat Tara, sampai Tara bersekolah. Sibuknya aktivitas sehari-hari, membuat Tara tidak lagi mengganggu pekerjaan ibunya. Tara sekolah, Ibu menari. Tara pulang sekolah larut malam, Ibu menari. Ruang bawah tanah di rumah itu kian melembap.
Tara melanjutkan hidup, bertemu teman, bertemu Baskara, mencintainya. Tara sama sekali sudah lupa, tentang dingin dan panasnya rubanah, lupa tentang menghitung azan. Dia menikah, mempunyai anak, berharap semuanya berjalan lancar, tapi kemudian kelelahan luar biasa melandanya. Mengapa mengurus anak sangat merepotkan? Tidak bisakah Derian mengurus dirinya sendiri? Tidak bisakah orang lain yang mengurusnya?
Para tetangga bertanya mengapa Derian kurus. Para tetangga bertanya mengapa Derian gampang pilek. Salah siapa? Tentu salah yang merawatnya. Tidak becus. Bukan salah virus, bukan salah bakteri, bukan salah tetangga yang suka mencium Derian karena gemas, padahal sedang meler ingusan, kemudian ingus itu beserta virusnya menempel pada Derian. Bukan salah mereka. Pokoknya, semua salah Tara. Tara yang selalu berdosa. Lalu kabar PHK datang. Lalu suaminya berkata ingin membuka bisnis baru bersama wanita itu. Lalu, semuanya terjadi seperti ini.
Tara terus dibayangi karma, sumpah serapah para wanita yang suaminya direbut Ibu, baik direbut hatinya, sampai harta dan tanah-tanahnya, sehingga Ibu bisa ongkang-ongkang kaki sampai tua cuma modal menari.
Tara terus dibayangi rasa bersalah, menjadi Ibu paling tidak becus di dunia. Tara kesal pada semua hal yang tidak ada habisnya. Tak ada tempat cerita, apalagi Baskara sedang bersama Si Anu. Hampa. Kesepian. Rasa yang amat familiar. Dulu, dia juga tidak diinginkan oleh ibunya, kan? Oleh siapa pun. Bahkan sekarang, Baskara.
Tara selalu berpikir gantung diri setiap kali menyesal sudah memukul Derian. Akan tetapi, kalau dia mati tergantung dengan lidah menjulur, siapa yang akan merawat Derian? Baskara? Wanita itu?
Maka, seperti ibunya, Tara tidak pernah bunuh diri. Tara tetap bersama Derian dengan lukanya yang belum selesai, yang diteruskan pada Derian dan dengan rantai setan yang masih menjerat lehernya.
**
Tara akan menegaskan dengan Baskara. Dia bertekad memberi tahu kekesalan dan kecemburuannya. Kalau sudah, Baskara harus memilih. Kalaupun keadaan membuatnya tetap bekerja dengan wanita itu, Baskara harus bertanggung jawab atas semuanya. Tara mencoba percaya. Tara coba percaya, karma itu tidak ada. Jadi, dia memesan taksi setelah menitipkan Derian kepada Ibu.
Sebelum pergi, Tara menuruni tangga menuju rubanah, merasakan kakinya amat nyata menapak selangkah demi selangkah, menginjak pasir-pasir dingin yang berserakan, dari semen anak-anak tangga.
Sinar matahari jauh di atas sana dan Tara menemuinya di sini. Tara tersenyum padanya. Perlahan, dengar degup jantung di dalam dada, Tara menjulurkan tangan, mengurai belitan rantai setan yang menjerat leher perempuan itu, yang selama ini menjerat dirinya pula. Tiap menyesal sudah memukul Derian, Tara selalu ingin gantung diri. Namun, kini, dia ingin meloloskan diri.