Disukai
4
Dilihat
2,549
Perempuan Setengah Gila
Misteri

Namanya Sukma, seorang perempuan berusia empat dekade. Orang-orang banyak bercerita tentang pribadinya. Namun, nyaris tak ada satupun dari mereka yang mengetahui rupanya. Sukma adalah seorang perempuan setengah gila, begitulah aku menafsirkannya. Perempuan itu memiliki 9 orang anak yang usianya hanya berbeda dua kali ujian semester. Hidupnya melarat, suaminya jauh merantau dan hanya pulang saat Idul Fitri atau hari-hari tertentu yang tidak bisa diprediksi.

...

Suatu pagi saat hujan tampak mengancam. Awan bergumul menghitam di beberapa sudut. Suara ibuk di pelipir dapur terdengar mengambang. Ia memanggilku dengan gondok—seharian ini ibuk lelah mengurusi rumah. Bukannya tidak ingin membantu, tidak bisa kubiarkan tugas sekolah mengancam di hari kemudian. Dengan sigap kuletakkan pena dan segera menghampiri ibuk yang raut mukanya tidak mengenakkan.

"Kenapa, Buk?" tanyaku mencoba untuk tidak terdengar seolah aku merasa terganggu dengan sorot tajam pandangnya.

"Gas habis," ujarnya singkat tidak lupa dengan delikkan matanya.

Jujur. Pekerjaan ini adalah hal yang paling aku benci. Namun, berhubung seharian ini aku belum membantunya, dengan riang hati kulaksanakan perintahnya. Mataku mengamati gerak-gerik ibuk melepas selang regulator. Sesekali mulutnya mengumpat sebal saat regulator itu sulit untuk dilepas. Rasanya seperti beribu-ribu dosa terpikul dipunggungku melihat ibuk kesal karena lelah—terlebih aku tidak membantunya.

Ibuk menyerahkan selembar uang limapuluh ribuan tanpa berkata lagi, segera aku menceteng gas itu dan melanglang keluar dapur. Angin berebutan menyambutku, seketika bulu tubuhku berdiri tegak mencoba untuk menghalaunya. Belum terlihat rintik yang berjatuhan, tetapi aku harus bergerak cepat agar tidak terjebak hujan.

Bang Juki adalah satu-satunya distributor gas elpiji di daerah ini. Ia memiliki ratusan gas elpiji di gudang belakang rumahnya. Rukonya cukup jauh dari rumahku, sekitar lima belas menit berjalan kaki untuk sampai di sana. Hal itulah yang membuatku sebal ketika diminta membeli gas. Selain beratnya membuat jemariku bergelang, jaraknya yang jauh membuatku sesak napas.

Sepanjang perjalanan gemuruh guntur membuatku gelabah, dan dalam beberapa kedipan mata kemudian, hujan membumi. Ini sudah setengah jalan menuju ruko Bang Juki. Tidak mungkin aku putar balik ke rumah membawa gas kosong, mungkin aku akan menemukan raut wajah ibuk kian kalut marut. Rintik hujan semakin tidak sabaran, aku mengalah dan memutuskan untuk berteduh di gardu ronda mempersilakan hujan lepas landas.

Beriringan dengan suara petir yang berdahanam, perutku menirunya. Aku tersadar bahwa hari ini perutku belum terisi nasi, hanya makanan ringan yang tadi menemaniku mengerjakan tugas. Aku menyeluk saku celana dan sedikit tersenyum saat menemukan sebungkus permen coklat—setidaknya ada yang bisa kumakan.

Netraku secara tidak sadar memandangi sebuah gubuk kecil di sebrang jalan. Gubuk itu dihuni oleh seorang perempuan dan anak-anaknya. Namanya Sukma, seorang perempuan berusia empat dekade. Orang-orang banyak bercerita tentang pribadinya. Namun, nyaris tak ada satupun dari mereka yang mengetahui rupanya. Sukma adalah seorang perempuan setengah gila, begitulah aku menafsirkannya. Perempuan itu memiliki 9 orang anak yang usianya hanya berbeda dua kali ujian semester. Hidupnya melarat, suaminya jauh merantau dan hanya pulang saat Idul Fitri atau hari-hari tertentu yang tidak bisa diprediksi.

Perempuan itu jarang sekali menampakkan dirinya di luar rumah. Sekalipun ia keluar, kain selubung menutupi seluruh tubuhnya. Entah apa yang ia sembunyikan, sebagian orang berpendapat ia adalah seorang yang taat dan takut akan Tuhan. Maka dari itu ia benar-benar menjaga auratnya. Namun, sebagian orang lagi berpendapat bahwa ia mengalami gangguan kejiwaan. Pernah suatu ketika ia membeli sayur bersama ibu-ibu lainnya, saat itu matahari begitu terik tetapi Sukma tetap menyelubungi tubuhnya dan hanya menyisakan sorot matanya saja. Ketika sedang memilih sayuran, ia tiba-tiba tergeletak dan kerasukan sosok ular. Ia merayap menuju rumahnya, dan memaki siapa saja yang mencoba membantunya.

Setelah petaka itu, Sukma tidak pernah menampakkan dirinya di luar lagi. Hanya anak-anaknya yang keluar masuk gubuk itu untuk bersekolah. Setahuku, anak-anak Sukma merupakan anak yang cerdas di sekolah, dua orang anaknya bersekolah di sekolah yang sama denganku, dan mereka selalu menjadi kebanggaan guru-guru. Sungguh bebal sekali memang orang-orang—termasuk diriku— berasumsi yang tidak-tidak mengenai Sukma.

Sebenarnya aku sangat penasaran dengan Sukma, apakah ia baik-baik saja dengan menyembunyikan dirinya seperti itu? Apakah dia tidak bosan diam di dalam gubuk itu? Atau apakah ia masih hidup? Spontan tanganku mendemik pipiku untuk mengapkir pikiran terkutuk itu. Namun, bukankah memang seharusnya perempuan empat dekade itu bersosialisasi dengan tetangga? Apakah ada aib tertentu yang membuatnya malu untuk mengekspos dirinya?

Seiring dengan pikiranku terhadap Sukma, secara kebetulan pintu gubuk yang reyot itu terbuka perlahan. Aku sedikit memalingkan tilikanku pada tanaman sirih di pinggir gubuk agar tidak terlihat mencurigakan. Ambar—anak tertua Sukma— yang membuka pintu, ia mengenakan jilbab panjang menutupi dada. Rok lipit menjuntai menutupi jenjang kakinya yang kini berjalan ragu-ragu mencemaskan derasnya hujan. Sepersekian detik netra ini tergemap akan kemolekan rupanya menengadah langit.

Setelah hujan mengukir rasa cemas di wajahnya, sebuah suara membuatnya menoleh ke belakang. Sesosok tubuh ringkih berselubung kain hitam berbicara kepadanya. Ambar mengangguk kemudian membentangkan payung yang sedari tadi ia pegang. Wanita itu adalah Sukma, ia menatap Ambar yang selangkah demi selangkah menjauh menerobos hujan. Aku memperhatikannya dengan hati-hati. Sukma kemudian menolehku dengan kedua matanya. Aku terkesiap kaget dan berusaha untuk memalingkan wajah. Namun, seolah magnet yang kuat, pandanganku tertahan padanya. Wajahku sangat berat untuk berpaling, bola mataku membeku menatapnya. Aku mengumpat dalam hati, Dasar perempuan setengah gila, apa yang kau coba perbuat padaku?

Tatapan wanita itu tampak menyedihkan, sekonyong-konyong hatiku bisa merasakan rasa pilu yang wanita itu rasakan selama ini. Rasa sedih yang hebat menjalar membuka jalan bagi air mataku untuk keluar. Lama kelamaan tatapan menyedihkan itu berubah menjadi dendam. Sukma melangkahkan kakinya yang tertutup ke dalam guyuran hujan. Aku mencoba menolak sebisa mungkin, tetapi tubuhku lemas dikuasai tatapannya. Sukma mendekat ke arahku menyusup hujan. Warna hitam pakaiannya kian pekat terkena derasnya rintik. Napasku seolah tercekat, tangisku kian membuncah tak terkendali. Jarak Sukma denganku tinggal seperlemparan batu, ia mempercepat laju langkahnya membuatku bergetar hebat. Apa sebenarnya yang hendak dilakukan perempuan setengah gila ini kepadaku?

Ia sudah berada di hadapanku, durjaku terangkat menghadapnya yang penuh dengan dendam. Pakaiannya basah kuyup mencetak lekuk tubuhnya yang bangsai. Sepersekian detik kami hanya terdiam diiringi suara hujan yang berisik. Tubuhku masih berat, sulit untuk beringsut kendati satu senti. Keringat menghujani sekujur tubuhku yang gentar.

"Kau dan pikiranmu dikuasai keburukan," ucapnya samar teredam bising tempias.

Aku belum mencerna dan mengolah kalimatnya. Tangis masih berlinang di netraku, sekuat tenaga kucoba untuk terlepas dari belenggunya yang tak terlihat ini. Lengannya yang terbungkus itu terangkat menggapai keningku. Namun, sedetik sebelum ujung jarinya menyentuh kulit keningku, sebuah suara mematahkan semua mantra itu. Belenggu yang meracuni pikiran dan tubuhku lenyap seketika. Tubuhku kembali terasa ringan, kami berdua menoleh pada sumber suara.

"Mamak, kumohon jangan!" Ambar berdiri dengan payungnya menatap kami cemas.

"Ambar," ucap Sukma terdengar penuh sesal.

"Pulanglah," tutur Ambar sembari menyerahkan payungnya dan membiarkan tubuhnya kini terkena tetesan hujan.

Kulihat nyali Sukma menciut, ia tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Ambar. Sukma menerima payung itu dan membalikkan badannya tanpa menatapku lagi. Aku mengusap sisa-sisa air mata di pipiku, tubuhku kembali terisi energi. Aku menatap Ambar yang juga melayangkan tatapan ke arahku. Kenapa wanita itu malah berdiri di sana? Sekujur tubuhnya basah sekarang, namun tololnya aku malah terpesona akan keindahannya berdiri di bawah hujan sembari menatapku.

"Kamu kenapa berdiri di sana? Kemarilah berteduh," ucapku menepuk bangku yang masih tersisa di sebelahku.

Bukannya jawaban yang keluar, Ambar malah menggelengkan kepalanya. Kulihat ia menangis, meskipun air matanya tersamarkan air hujan, tetapi sangat jelas bahwa ia terisak. Aku menjadi bingung, kenapa wanita itu menangis? Apakah ia merasa bersalah atas perbuatan ibunya itu?.

"Kamu memang benar, mamaku adalah perempuan setengah gila, sebelumnya ia adalah seorang bomoh, mamaku menjadi setengah gila setelah mempelajari ilmu bodoh itu. Ia sudah bertaubat dan memperbaiki diri, namun kegilannya masih menjadi bagian dari hukuman yang melekat."

Ambar semakin terisak, ia menundukkan kepalanya setelah menceritakan semua itu. Hatiku hancur melihatnya menangis di bawah guyuran hujan. Aku adalah seorang penjahat yang dengan mudah menafsirkan bahwa Sukma adalah seorang perempuan setengah gila. Anak manapun akan marah dan sedih mendengar ibunya dikatai semacam itu. Aku beranjak mendekati Ambar yang terisak, kubiarkan tubuhku juga kebasahan.

"Maaf aku pernah berpikir buruk tentang mamakmu," ucapku tercekat tak kuasa melihatnya menangis.

Tak ada percakapan lagi setelah itu, aku kehilangan kata-kata karena kedinginan, Ambar juga diam membisu setelah tangisnya berhenti. Seketika kedua netra kami saling bertemu, masih kulihat raut yang menyimpan sejuta pilu dalam wajahnya. Jujur saja, Ambar adalah gadis cendayam, kulitnya putih bersinar, matanya sendu dan —aku yakin— senyumannya pasti menawan.

Apakah Ambar juga ahli mengucapkan mantra? Kenapa aku seolah-olah jatuh ke dalam tatapannya yang candu itu? Ia hanya mengangguk pelan sebagai tanda berpamitan, kemudian ia bertolak diri dan berjalan menjauhi diriku yang masih tenggelam akan kemolekan rupanya. Setelah wujudnya melanglang jauh entah kemana, aku baru bisa merasakan hujan menamparku bertubi-tubi. Akal sehatku kembali berkuasa dan darahku mengalir kembali menyusuri setiap lekukan pembuluh darahku.

Aku mengumpat sebal, bukankah tujuanku kemari adalah untuk membeli gas di ruko Bang Juki? Bukankah aku seharusnya berteduh di gardu ronda itu? Kedua perempuan itu membuatku kelam kabut. Aku beringsut kembali menuju gardu ronda. Gas elpiji membisu terkena cipratan. Mungkin di rumah ibuk sedang menunggu gas elpiji ini ditukar dengan yang baru. Aku berpikir untuk melanjutkan perjalananku menuju ruko Bang Juki dengan menerobos hujan. Lagipula, tubuhku sudah terlanjur basah, dan aku ingin segera tiba kembali di rumah untuk menentramkan pikiran.

....

Setiba di rumah, ibuk menyambutku dengan dongkol. Ia melemparkan handuk padaku dan berceloteh kesana kemari. Aku tidak menangkapnya dengan hati, tubuhku menggigil tak karuan. Demam mulai menyebar ke permukaan kulitku. Selepas berganti pakaian aku langsung menyembunyikan tubuhku di bawah selimut tebal. Terdengar suara berisik dari arah dapur, sepertinya ibuk kesulitan menyalakan kompor, wajar saja karena gas elpiji yang kubawa kebasahan air hujan. Aku hanya terdiam diiringi suara ibuk yang mencerabih.

Selagi tubuh dan gigiku menggelugut, pikiranku melayang mereka ulang kejadian tadi. Sukma, si perempuan setengah gila itu nyaris berbuat macam-macam kepadaku. Jika saja Ambar tidak datang, mungkin saja Sukma berhasil memantrai tubuhku lebih parah lagi. Meskipun ia sudah insaf seperti yang Ambar ceritakan tadi, tapi kegilaan masih menguasai sebagian dari dirinya. Aku malah merasa iba pada Ambar, ia harus menanggung malu perbuatan mamaknya itu. Masih teringat jelas kala paras cantiknya itu terisak dihadapanku. Aku memang sudah tahu sejak lama tentang sosok Ambar, namun hanya sebatas tahu saja. Baru kali ini— tepatnya ketika kejadian tadi— aku berhadapan langsung dan bisa berbicara dengannya. Matanya memang mirip dengan mata Sukma, tapi tatapan Ambar sangat memikat meskipun sendu.

Setelah beberapa menit bergelut dengan kompor, ibuk masuk ke dalam kamarku tanpa permisi membuatku sedikit terkesiap. Raut wajahnya masih terlihat tidak menyenangkan—membuatku merasa bersalah. Ibuk membawa segelas teh hangat dan menyodorkannya kepadaku. Meskipun sedang menggogoh hebat, aku berusaha duduk dan meneguk pelan-pelan teh hangat dari ibuk.

"Ibuk masih kesal kepadaku?" tanyaku bergemelugut gigi.

Ibu menatapku pelik kemudian menjawab, "Siapa yang kesal? Kamu selalu dikuasai pikiran buruk. Berhenti berpikiran buruk atau kamu akan menjadi lelaki setengah gila."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@sofiza01 : Terima kasih sudah membaca cerpen ini 🙏
Waw. Ide ceritanya unik dan tidak biasa. Penyampaiannya ringan dan mudah dipahami. Setelah baca ini jadi tersadar bahwa terkadang kita memiliki pikiran buruk terhadap orang lain atau bahkan diri sendiri. 👍