HANTU perempuan itu terus saja mengikutiku. Sudah sejak dulu aku mengetahui keberadaannya, tapi sampai sekarang aku tidak juga mengenalinya. Entah kapan tepatnya dia mulai mengekor di belakangku. Kalau tidak salah ingat, bahkan lebih lama dari saat aku ikut dalam pemakaman kakekku. Mungkin sehari dua hari sebelum hari berkabung itu.
Saat itu umurku sudah hampir 10 tahun sewaktu Ibu mendaftarkanku ke sekolah dasar dekat kantor kecamatan. Agak telat memang, namun aku sendiri tidak ambil pusing dengan itu. Malah, aku senang saja waktu bermainku jadi begitu lebih panjang dari yang seharusnya. Aku memang senang sekali bermalas-malasan. Bukan mauku, tapi rasanya memang tubuhku ini agak lemah. Aku baru mulai masuk TK saat teman-teman sepantaranku sudah menginjak kelas III SD. Setahun saja aku di Taman Kanak-Kanak. Setelah itu, tanpa jeda seperti yang aku harapkan, Ibu langsung mendaftarkanku ke sekolah dasar swasta di seberang jalan raya, dekat kantor kecamatan. Kata Ibu, sekolah itu yang terbaik di sini, tapi aku tahu kemudian bahwa memang hanya sekolah itu yang mau menerima anak-anak sepertiku.
Hari itu mendung, tidak aneh juga mengingat itu masih bulan hujan. Sudah lama Kakek sakit, sakit entah apa. Kadang perut, kadang dada. Kata Ibu Kakek sakit strok, kata Bapak kencing manis. Tidak tahu pasti apa penyakit itu, yang aku tahu sudah lama Kakek tidak beranjak dari tempat tidurnya yang pesing dan penuh kecoak.
Gemuruh merambat dari gulungan awan kelabu, turun menjadi ketakutan. Aku gemetaran melihat dari kejauhan perempuan itu berdiri terpaku di samping kakek, matanya terbuka, tapi tidak menatap. Hanya diam, seperti tidak bernafas, seperti bayang-bayang. Aku lari menjerit-jerit memanggil Ibu, namun sewaktu Ibu masuk ke kamar Kakek, perempuan itu tidak ada. Guntur kembali menggempur, kemudian hujan turun lebih deras. Itu pertama kali aku melihat perempuan bayang-bayang itu.
Beberapa hari kemudian, Kakek tidak ada. Aku ngeri demi melihat tubuh Kakek dipisahkan dari tempat tidurnya untuk disucikan. Selama ini aku merasa ranjang itu sudah menjadi bagian dari tubuh Kakek. Batang tubuh itu seperti ranting-ranting pohon elm yang disatukan dengan lem kehidupan, diikat dengan simpul penderitaan, dan beberapa bagian dipaku dengan rapuh. Tidak ada kehangatan lagi di sana. Aku tidak pernah dekat dengan Kakek. Seingatku Kakek sudah seperti itu sejak aku sadar akan keberadaannya. Hanya saja pagi itu tubuhnya lebih pucat, matanya terpejam lebih erat.
Aku tidak sedih Kakek pergi. Namun air mataku menetes juga saat tanah pertama menyentuh kafannya. Entah jenis air mata apa yang menetes di salah satu mataku itu. Mungkin karena angin, mungkin karena gerimis saja. Dan, perempuan itu di sana, begitu hitam di antara orang-orang berbaju hitam. Masih membuka matanya, tapi tidak menatap, seolah mata itu berada di sana hanya untuk aksesoris semata.
Aku merekat ke Ibu, tidak bicara apa-apa. Mama mengelus kepalaku, sedikit menenangkan. Perempuan itu seperti bayang-bayang, samar berlatar pohon-pohon yang tinggal tulang, liuk lampai ditiup angin. Aku terus menatapnya, lalu, untuk pertama kalinya, mata perempuan itu difungsikannya. Dia menatapku. Aku menangis sejadi-jadinya, dikira menangisi kepergian Kakekku. Ibu memengusap kepalaku lebih giat.
Tahun-tahun telah berlalu, burung-burung telah bermigrasi berkali-kali, namun perempuan itu kadang kala masih menampakkan diri, bahkan semakin sering, seperti istri dari bayanganku. Awalnya aku sangat ketakutan, belasan dokter jiwa sudah kami, aku dan orangtuaku, kunjungi, namun tidak ada yang menganggapku gila sekalipun aku merasa demikian. Akhirnya aku hanya diberi vitamin dan nasihat agar istirahat cukup dan kasih sayang yang melimpah. Dan perempuan itu menurut mereka hanya imajinasi kanak-kanak. Aku sudah hampir 20 tahun saat itu, namun memang masih SMA.
Perempuan itu hanya diam. Tidak melakukan apapun, tidak juga berlama-lama. Hanya sekilas-sekilas muncul, namun setiap hari, dan berhasil membuat ngeri. Bahkan terkadang sehari bisa muncul berkali-kali, dan berlama-lama. Pernah aku, pada akhirnya memberanikan diri, untuk mencoba mengajaknya berbicara, namun dia hanya diam dengan matanya yang nyalang. Saat itu aku baru menyadari bahwa dia tidak punya mulut dan rambut. Apa yang awalnya aku kira rambut ternyata adalah kerudung satin, yang warnanya bahkan ternyata bukan hitam melainkan kelabu. Umurku awal dua puluhan waktu itu.
Lantas, malam ini, pada musim hujan yang lain dengan suara gemuruh yang lain pula, saat umurku sudah mencapai puncak 30 namun uban sudah banyak, tiba-tiba saja perempuan itu mengeluarkan suara untuk pertama kalinya. Mendengar suaranya membuatku gemetar dan jatuh pingsan. Saat terbangun, ternyata itu sudah dua hari kemudian, dan aku begitu saja lupa seperti apa suara perempuan berkerudung itu.
Aku tidak pernah membicarakan sosok itu dengan keluargaku. Aku tidak ingin dikirim lagi ke psikiater. Terlebih di usia yang tidak lagi muda. Meskipun Ibu dan Bapak masih memperlakukanku seperti anak sekolahan, membuatkan sarapan, mencuci dan merapikan bajuku, namun sesungguhnya aku sudah bisa berpikir sendiri dengan baik. Untuk itu lah aku akan memikirkan masalah perempuan itu sendiri. Setelah sekian lama aku abaikan, sekarang keberadaan perempuan itu kembali mengusikku.
“Ibu, nenek itu seperti apa?” tanyaku pada sarapan hari berikutnya. Ibu nampaknya tidak siap menerima pertanyaan yang diluar dugaannya itu. Ia menatap Bapak meminta bantuan.
“Maksudmu?” Bapak yang bertanya dari seberang meja.
“Berapa tingginya. Model rambutnya. Seperti apa sosoknya,” jawabku, kemudian menambahkan,”dan sebab apa Nenek meninggal.”
Ayah dan Ibu tampak lega, mungkin karena ternyata pertanyaanku sangat general.
“Yah, Nenek seperti apa ya? Dia perempuan yang biasa saja. Rambutnya panjang dan putih. Tapi nenek suka mengecat rambutnya menjadi seperti logam. Kalau tidak salah ingat, Nenek meninggal karena asma yang tidak bisa ditunda,” Bapak yang menjawab. Ibu tiba-tiba nampak tidak enak entah karena apa. “Nenek dan Kakek berpisah sejak Bapak lulus STM. Kamu ingat rumah yang kita kunjungi setiap lebaran, dulu?” Sudah lama sekali, aku hampir tidak ingat. “Itu rumah Nenek.” Ditinggali oleh Pakde yang tidak menikah, yang sudah lama meninggal.
Ibu menyiapkan sarapanku.
“Buk,” aku mengembalikan sendok plastik yang diberikannya. Ibu masih sering lupa aku sudah bisa menggunakan sendok dari baja nirkarat.
Lama, sibuk dengan sarapan masing-masing, kemudian aku menggumam, lebih kepada diri sendiri, namun Bapak dan Ibu mendengarnya.
“Yah, rumah itu memang kosong sekarang. Bapak sudah berusaha, namun belum ada yang minat,” Bapak menyendokkan suapan terakhirnya, mengunyah sambil berkata,”Mau bagaimana lagi, kan?” Tersenyum kecut lantas menyudahi sarapannya.
Bapak berangkat kerja, Ibu membereskan dapur, aku kembali ke kamar.
Perempuan itu memang bukan Nenekku. Bukan siapa-siapa, sesungguhnya, tapi kenapa dia menyuruhku ke rumah itu? Begitulah, akhirnya aku ingat apa yang dikatakannya malam itu.
“Pergilah ke rumah nenekmu,” begitu katanya, dengan suaranya yang susah digambarkan. Antara Guntur bercampur erangan serigala, atau desau yang menggesek rumput bercampur dengung sayap kumbang tanduk.
Sejak mengeluarkan suaranya, perempuan itu tidak muncul lagi. Hingga pada purnama bulan keenam di tahun itu, tiba-tiba dia muncul di ambang jendela kamarku, tidak ngapa-ngapain, hanya duduk saja selama sejenak, lantas berjalan menjauh.
Tengah malam esok harinya, perempuan itu tidak menampakkan dirinya, namun suaranya mendesau di gendang telingaku, bertubi-tubi seperti burung pelatuk.
“Pergilah ke rumah nenekmu. Pergilah ke rumah nenekmu.”
Aku terduduk, nafas begitu cepat, detak jantung tidak karuan, keringat mengalir deras. Aku tidak lupa minum obatku. Sejak dulu tidak pernah lupa. Tapi mungkin malam ini aku khilaf. Akhirnya aku meminumnya lagi.
“Pergilah ke rumah nenekmu,” begitu suara itu menghantuiku selama berhari-hari. Aku yang pendiam jadi semakin tak bersuara. Aku yang kurus semakin menyerupai lidi. Ibu dan Bapak khawatir. Mereka membawaku periksa, namun tidak ada yang bisa dilakukan dokter di klinik selain memberiku multivitamin.
“Pergilah ke rumah nenekmu,” perempuan itu menyuruh. Terus-menerus. Akhirnya, malam itu aku nekat membuka jendela kamarku dan mengikuti perempuan itu pergi ke rumah nenekku. Rumah nenek tidak jauh, tapi juga tidak dekat. Sepuluh kilometer ada. Mungkin lebih. Aku berjalan mengikuti bayangan yang kerudungnya berkibar-kibar itu.
Dingin menggigit leher dan pipiku. Kabut seperti benang laba-laba yang dipintal pada sembarang tempat. Lampu-lampu jalan tampak redup, anjing tidak menggonggong seperti yang aku rasa seharusnya terjadi. Bulan tidak ada, hanya remah-remah bintang yang menggenang di lautan malam.
Setelah melangkah tanpa merasa lelah, rumah itu mulai nampak juga. Besar dan kosong. Lempengan nomor pada pagarnya masih megkilat dengan keanehan yang nyata. Aku baru sadar perempuan itu sudah tidak ada. Dalam kesunyian begitu aku bisa mendengar suara kusen jendela yang tergesek oleh ayunan jendela kendor dari depan rumah itu. Mungkinkah sekarang rumah itu sudah berisi? Maling? Gelandangan? Tapi gerbangnya masih tergembok rapat. Mungkin kucing atau anjing liar.
Aku panjat pagar berkarat itu, meninggalkan jejak-jejak kecoklatan di mana-mana di bajuku, namun aku berhasil masuk tanpa terluka seperti yang aku kira semula. Rumah itu ternyata tidak sebesar yang ada dalam ingatanku. Bahkan, teras bertiang-tiang yang ada dalam bayanganku tidak ada sama sekali. Bekasnya pun tidak. Depan rumah hanya berupa undakan kecil yang langsung menuju pintu. Pintu itu merah jambu, namun sudah kecoklatan. Tidak ada kucing, anjing pun tidak. Hanya kesunyian yang rasanya semakin dalam.
Kemudian, tanpa aku duga, aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak berada di sana. Diriku sendiri, berdiri di depan perempuan itu, di belakang jendela kaca yang macet. Aku yang lain menatapku dari balik jendela kaca yang berderit-derit itu. Aku mendekatinya, berkata pada diri sendiri, membenarkan bahwa aku pasti sudah gila. Aku yang di dalam jendela tersenyum, kemudian berkata,”Masuklah, sebentar lagi hujan.”
“Pintunya terkunci,” kataku was-was.
Aku yang lain membuka lebar jendela seret itu dengan susah payah, kemudian tersenyum mempersilahkan. Ragu-ragu, aku masuk ke sana, dan hujan disertai guntur benar-benar mengguyur.
“Siapa kamu?” tanyaku, kemudian meralat. “Siapa kalian?”
Aku yang lain dan perempuan itu menunjuk bersamaan ke suatu arah. Aku tidak melihat apa-apa di sana, hanya lemari perkakas tua. Ragu, aku berjalan ke arah lemari itu. Tidak bisa membukannya. Aku menoleh ke belakang, dalam perkiraanku mereka berdua sudah tidak akan berada di sana lagi, tapi ternyata masih. Mereka mengangguk, seperti memberi kekuatan kepadaku, membuatku bisa membuka lemari tua itu kemudian.
Isinya hanya kekosongan dan selembar kejutan. Kejutan yang membuatku tidak akan pernah bisa kembali ke rumah orangtuaku lagi. Aku akan menetap di sini, di rumah ini. Selamanya.