BRAKKK…!!!
Tubuhku tergolek diantara puing-puing besi dan rongsokan mobil yang baru saja menghantam truk kontainer. Pandanganku mulai redup dan gelap. Entah sudah berapa lama tubuhku mati rasa tak sadarkan diri. Perlahan panca indraku mulai mendengar suara mesin pantau jantung dan Aku merasakan sebuah kehangatan yang menyelimuti jemari kananku.
"Ah, Umi…," gumamku lirih nyaris tidak bersuara.
Selang oksigen dan infus masih membantu memperjuangkan hidupku. Tubuhku masih sangat lemah, sekedar mengangkat kepala pun teramat berat kurasakan hingga pelupuk mataku basah dengan air mata.
"Tuhan, seperti inikah caramu memperlakukan hambamu?" batinku menangis.
"Ainur, kamu sudah sadar nak?" Umi terbangun dari penjagaannya karena lelah yang entah sudah berapa hari menemaniku. Menyadari keadaanku yang sudah siuman, Umi bergegas memanggil dokter dengan menekan tombol panggilan yang berada tepat di samping bangsal.
"Dokter, Suster, gimana keadaan anak saya?" tanya Umi sangat khawatir dengan keadaanku.
"Fungsi saraf otaknya mulai bekerja. Perlahan, Insya Allah Ainur akan berangsur pulih. Yah, meskipun memang akan memerlukan waktu yang mungkin cukup lama. Kita berdoa yang terbaik untuk Ainur, ya, Bu," jelas Dokter Haidan.
Aku tak mampu menggerakkan seluruh tubuhku, duniaku seolah hancur di usiaku yang masih 20 tahun ini. Mungkin aku akan menghabiskan sisa hidupku menjadi mayat hidup yang hanya bisa mengeluhkan nasib, tidak mampu berjalan dan menggerakkan seluruh tubuhku. Aku mati rasa, hanya tersisa air mata dan perihnya hatiku mendapatkan ujian seberat ini. Di saat teman-teman seusiaku bebas bergaul di luar sana penuh dengan hiburan dan kesenangan hidup, aku di sini hanya mampu berbaring melihat sekeliling kamarku yang tak pernah berubah kondisinya. Tidak ada musik, tidak ada sorakan kegembiraan, tidak ada kekasih yang menemani.
"Ah, Allah gak adil Umi, kenapa Allah kasih aku penyakit kaya gini? gak ada gunanya lagi aku hidup. Tiap hari cuma makan, tidur, itu pun aku gak bisa lakuin sendiri. Buat apa semua ini Umi?" keluhku dengan nada lemah diiringi air mata yang mulai membasahi pelupuk mata.
"Ainur, Istighfar! Allah itu Maha Adil. Tabayyun Ainur…, Tabayyun, muhasabah diri! gak ada Allah itu nggak adil. Allah itu Maha Adil. Mungkin semua ini teguran dari Allah, supaya Ainur mau kembali ke pelukan Allah, karena Allah sayang sama Ainur." Umi menenangkan diriku yang terus meronta tidak bisa menerima takdirku.
•••
Tidak ada lagi kekuatan untuk diriku menghujat takdir. Aku tidak berdaya, pasrah menerima semua ini dengan berat hati. Seketika bayangan masalaluku terlintas, satu persatu bermunculan silih berganti.
"Umi, Ainur berangkat ke masjid dulu, ya, assalamualaikum…." Aku berpamitan kepada Umi, mengecup punggung tangannya yang mulai mengeriput.
Dulu, Aku sangat suka bergaul dengan anak-anak remaja masjid. Banyak pengalaman baru yang aku dapatkan dari mereka, terutama tentang agama. Ternyata muslim satu dengan yang lainnya itu layaknya saudara, harus saling peduli dan membantu jika ada kesulitan. Banyak kegiatan sosial maupun keagamaan yang telah aku ikuti selama bergabung dengan anak-anak remaja masjid, diantaranya berbagi nasi box setiap hari jum'at, membagikan sembako untuk warga yang kurang mampu, mengadakan kajian, seminar dan masih banyak lagi. Aku tidak dapat menghitung berapa banyak manfaat yang aku dapatkan. Namun, seketika semuanya berubah semenjak Aku kuliah dan mengenalnya.
"Assalamualaikum shalihah…," sapa seorang lelaki.
Aku tidak meresponnya, khawatir dia hanya ingin mencari kesempatan dibalik kelemahanku.
"Eh, kata Ustaz, jawab salam itu wajib loh!"
"Waalaikumussalam!"
"Nah, gitu dong. Oh iya kenalin, gue Raka! Raka Fahreza Nazril" lelaki dengan lesung pipi itu mengulurkan tangan kanannya.
"Ainur. Ainur Syazani Albirru," balasku singkat dan langsung kembali fokus pada tugas makalah, pura-pura tidak melihat tangan kanannya yang tengah menyambut jabatan tanganku. Lagipula ini di perpustakaan kampus, khawatir mengganggu mahasiswa lain yang sedang mengerjakan tugas atau skripsi.
"Oke, salam kenal, Ainur. Karena lo lagi nugas, jadi gue pergi dulu, dah."
Akhirnya Raka pergi dan aku baru menyadari bahwa dia meninggalkan sebuah pesan di secarik kertas kecil berwarna biru langit. "DM Gue Ya @Rakafazril."
Berkali-kali Aku mencoba untuk menahan diri dan menolak untuk mengintip instagramnya, namun rasa penasaranku terlalu besar sehingga nampak foto-foto Raka dengan berbagai gaya yang fashionable. Hati kecilku mengatakan bahwa Raka adalah lelaki yang tampan dan ideal. Namun disisi lain diriku menolak semua itu.
"Ainur fokus! Jangan terkecoh sama cowok ganteng!" gumamku sambil meletakkan smartphone kesayanganku dan tanpa sengaja aku follow akun instagramnya. Aku takut, grogi, syok, sesegera mungkin aku unfollow akun Raka. Sayangnya, dia menyadari tindakanku dan auto follow instagramku.
"Menarik." Sebuah pesan masuk dari Raka.
Awalnya aku menolak dan cuek dengan usaha Raka mendekatiku. Tapi pada akhirnya aku pun luluh pada tutur katanya yang lembut dan romantis. Setiap hari menyapa dan menanyakan keadaanku penuh perhatian, mengajakku jalan-jalan ketika libur kuliah dan bersedia menjadi tempatku berkeluh kesah. Rupanya aku mulai menyukainya. Satu hari tidak ada kabar tentangnya, seolah ada yang hilang dalam diriku. Raka menjadi begitu istimewa di hatiku, apapun aku lakukan untuknya, begitupun dengan Raka yang selalu ada untukku. Hidupku sudah jauh dari Ainur si anak masjid. Namun, entah kenapa aku sangat menikmati hidupku saat ini. Penuh kesenangan, kebahagiaan dan perhatian dari Raka.
"Sayang, lo itu seperti narkoba, buat aku mabuk dan sakau kalau lo gak ada," ucap Raka sembari menggenggam kedua tanganku kemudian mengecupnya dengan lembut. Aku hanya tersenyum tersipu malu.
Hari-hari kemudian kami semakin dekat dan akrab. Aku bisa tertawa lepas bersamanya, bahagia setiap waktu aku butuh Raka selalu berusaha untuk meluangkan waktu supaya bisa menemaniku. Aku sendirian di kost, karenanya Raka sangat berarti bagiku.
"Ainur, pekan lusa setelah ujian kita ke pantai, yuk. Lo pasti capek butuh refreshing, kan?" ajak Raka setelah menyeruput segelas latte.
"Serius mantai nih? Iiih mau dong…." Tampak binar di wajahku ketika Raka menawarkan sebuah perjalanan ringan melepas penat pasca ujian di kampus.
"Oke, nanti gue yang siapin semuanya, si cantik tinggal terima jadi aja," ucap Raka menyubit daguku dengan manja.
"Lo emang terbaik deh…," balasku kemudian melihat sekeliling cafe "..."
"I Love You Too"
"Kok— lo tau gue mau bilang apa?"
"Lo itu kayak anak kucing, deh, gemesin! apa, sih, yang belum gue tahu dari lo? gue tau semuanya kecuali satu hal."
"Apa itu?"
"Yah, lo tau sendiri lah…."
Seketika Aku merasa canggung, berharap Raka menjadi orang pertama dan terakhir yang akan memiliki diriku seutuhnya. Rasanya sangat sulit mendapatkan sosok yang lembut dan perhatian seperti dia. Bersyukur waktu itu dia menyapaku.
"Sorry, ya, kalo tadi nyinggung perasaan lo," ucap Raka meraih tangan kiriku. "Gue sayang sama lo."
"Iya, gak apa-apa kok, yang." Aku masih malu-malu memanggilnya dengan sebutan sayang seperti Raka memanggilku.
•••
Hari yang dinantikan pun tiba. Hari ini aku dan Raka jalan-jalan ke pantai dan aku sudah tidak lagi canggung dengan keromantisan kami. Aroma pantai dan deruan ombak yang menghantam karang memang terasa menenangkan, apalagi ditemani orang terkasih. Kami bermain-main di tepi pantai, melihat sunset, ber-swaa foto dan mengunggahnya ke medsos.
"Yang, lo jago banget sih ngefoto gitu, foto-foto lo di IG juga, instagramable, udah cocok deh jadi model plus fotografer, 2in1, haha." Aku memuji Raka sambil melihat hasil fotonya di kamera.
"Masih amatiran kali gue, tapi makasih loh."
"Buat apa?"
"Semuanya, makasih," jawab Raka singkat dan aku balas dengan senyum terindah.
Hari sudah mulai petang, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Angin malam mulai menusuk kedalam pori-pori, ditambah AC mobil yang menambah kesunyian malam itu.
"Ainur, lo kedinginan, ya, nih pakai jaket gue." Raka memarkirkan mobilnya dan menyelimutiku dengan jaketnya.
"Sorry, ya, hari ini gue udah bikin lo kecapekan jalan kemana-mana, tapi gue cuma pengen nyenengin lo aja, kok," ucap Raka membelai wajahku yang membuatku merasa hangat. Tatapanku tajam ke arah Raka dan dibalas tatapan hangat darinya.
"Yang, masih berapa lama sampai kost?" tanyaku memecah keheningan.
"2 jam lagi sampai, tapi sekarang udah jam 8 malam. Kalau kamu udah capek, kita bisa istirahat dulu di hotel. Biar lo bisa tidur nyenyak, bersih badan dan kalau udah enakan besok pagi kita sarapan sekalian di hotel terus lanjut pulang. Kan…."
Aku tertidur saat Raka menjelaskan rencana pulangnya dan saat aku buka mata, aku sudah berada di kamar. Entah apa yang terjadi malam itu, aku tidak mengingatnya, aku takut dan hanya terdiam selama di perjalanan. Berkali-kali Raka mencoba menghiburku, tapi aku masih ketakutan. Mobil Raka tiba-tiba berhenti di bawah pohon tepian jalan.
"Ainur, lo kenapa? lo marah sama gue karena kita tidur di hotel? Ainur…." Raka mencoba membujukku untuk berbicara, tapi semuanya terlambat. Sebuah truk menabrak kami dari belakang dan sekarang Aku terbaring di ranjang tiada daya.
•••
"Umi … ini semua teguran dari Allah, Mi … Ainur khilaf udah bikin Allah cemburu, marah, dan pasti patah hati melihat hamba yang dicintainya berpaling dari-Nya. Umi, Ainur yang salah Umi…." Air mataku tak lagi bisa kubendung, tumpah, mengalir tiada henti.
"Ainur, istighfar, ya, nak … Allah itu Maha Pemaaf. Allah pasti maafin Ainur," ucap Umi menenangkanku sambil memelukku dari samping.
"Tapi Ainur malu Umi. Ainur udah banyak banget salahnya. Ainur nggak tau kenapa Ainur bisa selalai itu Umi…."
"Ainur harus bisa memaafkan diri sendiri, kasih kesempatan untuk Ainur memperbaiki diri, ya."
Tangisanku terus berlanjut meski Umi sudah berusaha menenangkanku dan menasihatiku dengan penuh kesabaran. Aku rasa ujian ini setimpal. Baru saja aku mendapatkan kesenangan tiada tara, tapi seketika Allah cabut semua hak kesenangan itu karena kelalaianku sendiri, lupa dengan siapa yang telah menciptakanku.
Allah itu sayang dengan hamba-nya, manakala hambanya lebih mencintai makhluknya maka Allah cemburu.
Allah ingin aku kembali kepada-Nya, menjadi Ainur yang dulu lagi.
Allah nggak mau aku jatuh ke neraka.
Allah kasih Aku peringatan ini sebab peringatan-peringatan kecil dari-Nya tak ku hiraukan.
"Ya Allah, maafkan Ainur. Hamba janji akan kembali ke jalanmu…."
Umi setiap hari merawatku dan mengusahakan pengobatan yang terbaik agar Aku bisa segera pulih. Umi dan Abi membawaku jauh dari Raka supaya Aku bisa melupakannya dan fokus dengan terapi-terapi serta pendekatan diri dengan Sang Pencipta.
Satu tahun lamanya Aku menjalani terapi dan pengobatan di luar kota, akhirnya Aku bisa kembali pulih dan pulang ke jakarta. Aku tidak tahu lagi setelah ini harus bagaimana menyelesaikan kuliahku. Aku sudah sangat lama cuti dan kalau masuk kuliah lagi pasti akan bertemu dengan Raka.
"Ah, Raka … apa kabar dia?" batinku melamun di jendela kamar, teringat kecelakaan itu.
"Ainur…," panggil Umi sembari mengelus bahuku "Yuk, turun, ada tamu. Pakai khimarnya yang rapi, ya," kata Umi sambil tersenyum menyembunyikan sesuatu.
Umi mengantarku ke ruang tamu yang sudah ramai dan seperti ada perbincangan hangat.
"Raka…?" Aku terkejut melihat Raka di rumah, bahkan bersenda gurau dengan Abi.
"Assalamualaikum Ainur…," ucap Raka mengembangkan senyumnya, memamerkan lesung pipinya.
Kepalaku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang tidak masuk akal. Sampai Raka, Abi dan Umi menjelaskan bahwa mereka sudah tahu semua masalahnya dan sekarang Raka datang untuk melamarku. Aku tidak bisa berkata apapun, Aku pikir kami sudah berakhir semenjak tragedi itu. Sungguh terharu menyaksikan takdir ini.
Allah sayang kita, maka jangan kecewakan DIA.
Dalam konteks apapun, hubungan yang tidak halal akan merugikan kita. Meskipun pada akhirnya bersatu, luka atas sebuah kekhilafan itu akan terus membekas.
SELESAI