Raka sudah lupa berapa lama ia tinggal di kamar ini. Sehari? Seminggu? Sebulan? Ia tidak peduli.
Dinding kamar ini sudah menjadi dunianya. Cat putihnya yang dulu bersih kini penuh bercak kusam. Tumpukan pakaian berserakan di sudut ruangan, sisa makanan basi masih tertinggal di meja, dan buku-buku yang pernah menjadi pelariannya kini hanya menumpuk tanpa pernah disentuh.
Di luar kamar, ibunya dulu sering mengetuk pintu, memohon agar ia keluar, setidaknya untuk makan atau sekadar berbicara. Tapi seiring waktu, ketukan itu semakin jarang, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Raka menduga ibunya telah menyerah. Atau mungkin, ia sudah mulai berpikir bahwa kamar ini telah menelannya.
Malam-malam Raka terasa semakin panjang. Ia sering terbangun dengan keringat dingin, napas tersengal, dan jantung berdegup liar tanpa alasan yang jelas. Setiap kali ia tidur, ia bermimpi berada di dalam kamar yang sama, tetapi terasa berbeda—lebih dingin, lebih sunyi, dan lebih kelam. Lampunya berkedip-kedip, bayangan-bayangan hitam merayap di sudut-sudutnya, dan ia bisa mendengar suara bisikan samar dari entah di mana.
Suatu malam, saat ia baru saja terbangun dari mimpinya yang mengerikan, ia memperhatikan sesuatu yang aneh. Di dinding dekat lemari, ada sebuah celah kecil.
Itu tidak mungkin. Ia sudah tinggal di kamar ini bertahun-tahun, dan ia tahu pasti tidak pernah ada celah di sana.
Dengan tubuh masih lemas, ia bangkit dan berjalan mendekati dinding itu. Semakin dekat, celah itu semakin terlihat jelas—seperti sebuah retakan tipis yang memanjang ke bawah. Dengan jantung berdebar, ia menyentuhnya.
Tangannya menembus dinding.
Raka terdiam. Ini tidak mungkin.
Dengan napas tertahan, ia merayap masuk ke celah itu. Dunia di sekelilingnya berputar sesaat, dan saat ia kembali membuka mata, ia sudah berada di kamar yang lain.
Kamar yang tampak persis seperti kamar 304.
Tapi ada sesuatu yang salah di sini. Udara di tempat ini lebih dingin, lampunya redup, dan ada suara dengungan halus di latar belakang—seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di luar jangkauan matanya.
Dan kemudian, ia melihatnya.
Di atas kasur, ada seseorang yang sedang duduk membelakanginya. Rambutnya acak-acakan, bahunya tampak kurus dan kaku. Sosok itu perlahan menoleh, dan jantung Raka hampir berhenti.
Orang itu… adalah dirinya sendiri.
Tapi bukan.
Kulitnya lebih pucat, hampir seperti mayat. Matanya kosong, bibirnya bergerak, mengeluarkan suara yang terdengar seperti bisikan dari tempat yang sangat jauh.
"Sudah lama kau di sana. Sekarang, giliran aku."
Sebelum Raka bisa berteriak, sosok itu bergerak cepat. Tangannya yang dingin seperti es meraih tubuh Raka, mencengkeramnya erat. Dunia berputar, cahaya berkedip-kedip—dan saat Raka membuka mata, ia kembali ke kamar 304.
Tapi ada sesuatu yang salah.
Ia melihat dirinya sendiri berdiri di dekat celah itu, tersenyum puas.
Sebelum Raka bisa memahami apa yang terjadi, sosok itu mengangkat tangannya dan menutup celah di dinding dengan satu gerakan.
Raka ingin berteriak, ingin memohon, ingin menghancurkan dinding itu—tapi tubuhnya tak bisa bergerak.
Ia terperangkap.
Dan di luar sana, di dunia nyata, ‘Raka’ yang lain melangkah keluar dari kamar 304 untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.
Raka yang asli—atau apa pun dirinya sekarang—hanya bisa menatap tak percaya dari balik dinding yang kini menjadi batas dunianya. Ia berusaha menggerakkan tangannya, mencoba mengetuk dinding, berteriak sekeras mungkin, tapi tidak ada suara yang keluar.
Di luar sana, ‘Raka’ yang lain berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan ekspresi tenang. Sosok itu menghela napas panjang, seolah menikmati udara yang belum pernah ia hirup selama bertahun-tahun.
Lalu, tanpa ragu, ia membuka pintu kamar.
Ibunya berdiri di ruang tamu dengan wajah kaget. "Raka?" suaranya bergetar.
"Ya, Bu," jawab ‘Raka’ dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. "Maaf kalau aku membuatmu khawatir."
Wanita itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya jatuh seketika. "Kau… akhirnya keluar?"
‘Raka’ mengangguk. "Aku sudah lebih baik sekarang."
Sementara itu, dari balik dinding, Raka yang asli meronta, matanya membelalak saat melihat tubuhnya sendiri berjalan keluar dengan mudah, berbicara dengan ibunya seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
"Tidak! Itu bukan aku! Bu, jangan percaya!"
Tapi teriakannya hanya bergema di ruang kosong tempatnya terperangkap.
---
Hari-hari berlalu, dan ‘Raka’ yang baru menjalani hidupnya dengan sempurna. Ia mulai makan bersama ibunya lagi, berbincang, bahkan keluar rumah untuk berjalan-jalan. Tetangga-tetangga yang dulu menganggapnya aneh kini menyapanya dengan senyum.
"Sekarang kau tampak jauh lebih sehat," kata seorang tetangga tua yang sering melihatnya dari jendela.
‘Raka’ tersenyum kecil. "Aku hanya butuh waktu."
Di dalam kamar 304, Raka yang asli mulai kehilangan harapan. Ia tak tahu berapa lama ia sudah terjebak di sini. Mungkin berhari-hari. Mungkin berminggu-minggu.
Tapi kemudian, sesuatu terjadi.
Ia mulai melihat bayangan bergerak di sudut ruangannya. Bayangan hitam yang merayap perlahan, semakin dekat setiap harinya.
Ia menyadari bahwa dirinya tidak sendirian.
Malam itu, suara bisikan yang dulu hanya samar kini terdengar jelas di telinganya.
"Kami sudah lama di sini."
"Sekarang, kau salah satu dari kami."
Dan saat Raka menyadari apa yang dimaksud suara itu, ia menjerit.
---
Malam itu, ‘Raka’ duduk di ruang tamu, menikmati secangkir teh bersama ibunya.
"Aku masih tak percaya kau akhirnya bisa keluar dari kamar itu," ujar ibunya dengan senyum penuh haru. "Aku takut kau akan terjebak selamanya."
‘Raka’ mengangkat pandangannya dari cangkir teh, menatap ibunya dengan mata gelap yang hampir tak berkedip.
"Ya, Bu," katanya dengan suara tenang. "Aku juga."
Ibunya tersenyum lega, tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan anaknya. Bahwa ‘Raka’ yang duduk di hadapannya bukanlah Raka yang ia kenal.
Di kamar 304 yang kosong, dinding yang tadinya rapat mulai retak kembali.
Dan di baliknya, dalam kegelapan yang dingin, Raka yang asli berdiri diam. Tubuhnya kurus, matanya kosong, dan bibirnya bergetar.
Bisikan-bisikan itu kini semakin dekat.
"Kami sudah lama di sini."
"Sekarang, kau salah satu dari kami."
Raka mencoba berteriak, mencoba berlari, tapi bayangan-bayangan di sekelilingnya semakin mendekat, menyentuhnya, menariknya ke dalam kehampaan yang tak berujung.
Dan saat akhirnya ia tenggelam dalam kegelapan, dunia di luar tetap berjalan seperti biasa.
Tidak ada yang menyadari bahwa Raka yang sebenarnya telah menghilang.
Tidak ada yang tahu bahwa ‘Raka’ yang kini hidup di luar kamar 304 adalah sesuatu yang lain.
Seseorang… atau sesuatu… yang telah mengambil alih tubuhnya.
Dan kamar 304?
Kamar itu kembali sunyi, menunggu seseorang yang lain untuk terjebak di dalamnya.
PESAN YANG DAPAT DIAMBIL:
Diri Sendiri Bisa Menjadi Musuh Terbesar: Terkadang, seseorang bisa terperangkap dalam pikirannya sendiri, menghadapi ketakutan dan kelemahan yang akhirnya menguasai mereka.