“Assalamu’alaikum. Tolong, ya, Mas Ardian. Ini pembayarannya sudah nunggak 6 bulan. Mohon segera dilunasi! Atau Mas Ardian dipersilakan mencari tempat lain. Terima kasih.”
Isi pesan dari Ibu Laela itu tak bernada kasar, namun di dalamnya terselip sebuah ancaman serius: bayar atau keluar.
Ardian hanya memelototi pesan dari pengelola tempat indekos yang ditinggalinya itu sesaat sebelum menutup dan menyimpan handphone-nya kembali dalam saku celana. Ia tak nampak risau akan ultimatum yang baru saja ditujukan padanya.
Telah enam bulan Ardian tak mengunjungi kamar kosnya. Selama itu pula Ibu Laela menunggu. Perempuan paruh baya itu kelimpungan sehingga memberondong Ardian dengan berbagai pesan bernada tuntutan. Tak puas hanya sekali, ia sanggup mengirim pesan hingga sepuluh kali dalam sehari. Namun, Ardian tak pernah menggubris walau sekali.
Tempat kos yang Ardian tinggali tergolong mewah. Bangunannya berada di lokasi strategis dan menghadap jalan protokol kota. Kamar-kamar di komplek Rumah Kos Haji Hasan itu didesain dengan space yang cukup luas. Setiap ruangan di lengkapi dapur, kamar mandi, serta ber-AC. Wi-fi super kencang turut pula disediakan bagi para penghuni. Tak heran kalau mahar untuk menempatinya pun lumayan menguras isi dompet.
Sebagian besar penghuni rumah kos itu memang para pekerja dengan penghasilan bulanan yang cukup sehingga mereka tak akan bermasalah membayar uang sewa. Dahulu ketika pertama kali datang, Ibu Laela sempat meragu menerima Ardian sebagai warga baru lantaran statusnya yang masih mahasiswa. Apalagi tampilan pemuda itu amat sederhana. Tak nampak tanda-tanda kalau ia berasal dari keluarga yang menyuapinya dengan sendok emas. Namun, Ibu Laela tetap mempersilakan Ardian bergabung setelah ia membayar uang sewa 1 tahun pertama secara kontan.
Seiring berjalannya waktu, sikap dan perilaku Ardian berhasil menarik simpati sang pengelola rumah kos. Ia sering melabuhkan bermacam pakaian, makanan, dan buah tangan lainnya ketika datang dari kampung halaman. Mendapatkan perhatian semacam itu, Ibu Laela tak punya pilihan lain selain menyanjung Ardian lagi dan lagi. Hal itu terus berlangsung di tahun-tahun berikut hingga Ardian menamatkan pendidikan. Anehnya, setelah lulus kuliah, sikap Ardian justru berubah. Uang sewa kamar yang dahulu sering dibayarkan di awal, mulai tersendat. Sosoknya yang sebelumnya dikenal ramah dan murah senyum kepada penghuni lain juga tak lagi sama. Ia lebih sering diam dan menunduk ketika berpapasan dengan para tetangga. Ia pun tak pernah lagi membawakan cendera mata kepada Ibu Laela ketika pulang dari kampung halaman.
Awalnya, Ibu Laela menegur dengan halus perihal uang sewa. Namun, teguran demi teguran yang terus terabaikan menumbuhkan kedongkolan di hati ibu Laela yang makin lama makin memanas. Rasa sayangnya kepada Ardian perlahan meluntur. Ia kerap kali harus menahan kesal mengamati kesibukan Ardian yang tampak selalu berebahan di kamar sembari bermain laptop dan handphone.
Sikap tak jauh berbeda juga diperlihatkan para tetangga. Setiap kali Ardian melintas, mereka akan mendaratkan pandangan penuh selidik. Mereka yang tak tahan mengunci rasa penasaran terkadang bertanya, “Mas, kerja di mana? Kok saya lihat di rumah aja?”
Ardian hanya tersenyum mendengar itu. Atau, jika sedang berkenan menjawab, ia berkata singkat,
“Sedang mencari, Bu.”
“Mohon doanya, Bu.”
“Minggu depan interview, Bu.”
Basa-basi itu tentu tak mengenakkan bagi Ardian. Dan jawaban-jawaban itu juga tak mengucurkan kepuasan di dada para tetangga. Hingga tiba-tiba Ardian menghilang. Kini, setelah lama tak nampak batang wajahnya, Ibu Laela dan para tetangga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan pemuda yang dahulu amat ramah itu? Apakah ia kabur? Pulang ke kampung halaman tanpa pamitan? Atau yang lebih parah, melakukan tindak kriminal dan masuk penjara?
Jika salah satu dari hal itu terjadi, maka Ibu Laela tentu akan merugi besar lantaran tak menerima uang sewa selama setengah tahun. Ia mungkin harus merelakan dirinya terkena omelan Pak Hasan, sang pemilik rumah kos.
Maka demi menghindari hal itu, Ibu Laela mengerahkan segala kemampuan untuk mencegah mimpi buruknya berubah nyata. Setiap hari, ia mampir ke kamar Ardian demi mengecek keberadaan pemuda itu. Ia tak pernah bosan mengetuk pintu hingga terkadang berteriak memanggil nama sang penghuni kamar setelah pesan-pesannya tak pernah terbalas.
Tapi, usahanya nampak sia-sia belaka. Pemuda itu tak juga muncul. Ibu Laela seakan telah muntab. Ia sudah mencapai batas kesabaran. Maka, ia berniat membuka kamar Ardian dan menjual benda-benda di sana. Barangkali masih ada barang layak jual yang dapat dikonversikan menjadi rupiah, sedikit kompensasi untuk rasa kesalnya.
Tepat ketika Ibu Laela hendak memasukkan kunci cadangan ke gagang pintu kamar bernomor 17, sebuah suara menyapa, “Selamat pagi, Ibu.”
Ibu Laela menoleh ke asal suara. Didapatinya Ardian tengah tersenyum ramah. Tatapan mata pemuda itu ringan, seolah tak merasa bersalah. Hal yang membuat Ibu Laela seketika memasang wajah angker.
“Dasar pemuda bergajulan! Dari mana saja kamu? Ayo cepat bayar uang kos! Utang kamu sudah banyak. Mentang-mentang saya baik, kamu jadi ngelunjak ya!”
Ardian mengembangkan senyum semakin lebar. Ia seakan tak terganggu dengan kata-kata kasar yang baru saja menghantam gendang telinganya dengan keras.
Mendapati ocehannya disepelekan, Ibu Laela meningkatkan volume keberangannya. “Jangkrik!!! Kenapa kamu malah tersenyum begitu? Kamu pikir ini lelucon?”
Kegaduhan yang dipantik Ibu Laela itu seketika menarik beberapa penghuni kamar kos lain untuk datang mengerubungi sumber suara.
Ardian mendengus pelan. “Sabar, Ibu. Tidak perlu marah-marah seperti itu. Sebentar, saya mau telepon seseorang.”
Ardian berbicara sebentar di telepon. Ia lantas menyerahkan gawainya kepada Ibu Laela. “Ada yang mau berbicara sama Ibu.”
Ibu Laela bersungut-sungut menerimanya. Hanya butuh tiga detik mendengar suara orang di telepon itu untuk membuat wajahnya berubah pias. Semburat-semburat merah yang sebelumnya menghiasi raut mukanya seketika memudar. Nada suaranya pun berubah lembut.
“Iya, Pak. Baik, Pak,” ujarnya pada orang di seberang sana.
Ibu Laela mengembalikan gawai itu kepada pemiliknya dengan ramah. “Mas Ardian, maafkan atas kelancangan ibu barusan.”
Ardian hanya mengangguk pelan. Ia tak nampak kesal. “Yasudah, saya masuk kamar dulu, ya, Ibu,” tukas Ardian sembari berlalu meninggalkan Ibu Laela yang hanya bisa terbengong dan menjawab pelan, “Baik, Mas.”
Salah seorang penghuni yang janggal dengan perubahan drastis sikap pengelola rumah kosnya itu mendekat dan bertanya, “Apa yang terjadi, Ibu Laela?”
Dengan gugup, Ibu Laela menjawab, “Tadi … di telepon, Pak Hasan bilang … kalau kompleks kos-kosan ini sudah dijual kepada Mas Ardian.”
Ucapan itu sontak mencelatkan rasa kaget kepada para penghuni kos lain yang membuat mulut-mulut mereka menganga tak percaya.
Lima tahun lalu, ketika mulai menapakkan kaki untuk berkuliah, Ardian mendengarkan ceramah yang menggugah nalarnya dalam menghasilkan rupiah. Satu kalimat yang ia garis bawahi saat itu itu adalah, “Berinvestasilah sedini mungkin, maka kau akan cepat kaya!”. Semangat Ardian terpanggang. Maka, semenjak hari itu, ia berinvestasi di banyak portofolio, mulai dari saham, obligasi, dan surat berharga lainnya. Ia bahkan ikut menanam modal pada sebuah startup yang menjanjikan. Dua minggu lalu, perusahaan startup itu telah melakukan go public dan Ardian memperoleh keuntungan besar dari hasil investasinya. Demikian besar keuntungan itu hingga ia mampu menyuguhkan penawaran yang tak kuasa ditolak oleh Haji Hasan untuk menjadi tuan baru di kompleks rumah kos yang ia tinggali.
***