Peluru di Kepala Pacarku
Agustus ini, kemarau untuk segalanya. Setelah cinta, kini giliran keadilan jadi arang. Semula, ia ( keadilan ) masih menyisakan bara yang harus terus dikipas agar kelak jadi nyala api yang tegak. Tapi kini, itu pun kandas.
“ Apa kabar sayang ? “ begitu suara batin Sania saat bersimpuh di samping pusara kekasihnya di pemakaman umum di kampung halamannya. Tentu saja pertanyaan itu hanya dijawab oleh Sania sendiri. Ia selalu berharap kekasihnya baik – baik saja di alam sana. Sania bertanya, Sania menjawab sendiri. Ironi bukan ?
Sania berswafoto. Sesudahnya, ia mengunggah foto hasil jepretannya di akun media sosial. Beberapa menit kemudian, muncul reaksi para netizen. Mereka mengomentari postingan Sania yang sudah lama tak memposting drama hidupnya.
Para netizen tersadar kalau mereka pernah melupakan sosok Sania yang tahun lalu begitu membetot perhatian setelah peristiwa keji terjadi : pacarnya mati, setelah kepalanya ditembak kepala keamanan pasar di ujung jalan waktu sore. Pacar Sania bekerja sebagai salah seorang personil keamanan di pasar itu. Belakangan ia dituduh terlibat persoalan serius yang bersinggungan dengan kepala keamanan.
Ragam tuduhan ditimpakan pada pacar Sania sebelum kematian merenggut hidupnya. Mulai dari tuduhan penggelapan uang hasil setoran para pedagang sampai urusan ranjang. Pacar Sania dituduh menggoda istri kepala keamanan pasar. Meski belakangan belum terbukti benar, namun si kepala keamanan terlanjur murka.
Lalu, apa kabar Sania hari ini ? Tak ada kabar baik. Batinnya menjawab. Sania memastikan lagi berita hari ini yang tersebar di sejumah media on line.
Pelaku, sang eksekutor yang melesakkan peluru dari senjata rakitan ke kepala pacar Sania, akhirnya mendapat keringanan hukuman, yakni : penjara seumur hidup berdasarkan putusan kasasi, Agustus ini. Jadi, buyarlah vonis hukuman mati untuk pelaku yang pernah diketuk hakim pada peradilan awal, yang terjadi enam bulan lalu.
Dari ponselnya, Sania memotong (screen shot ) kutipan ucapan seorang humas di gedung Mahkamah Agung saat konprensi pers bersama para pewarta yang termuat di berita utama di sebuah media on line. Begini bunyi kalimat potongannya : “ Putusan itu sudah pasti. Para hakim bebas dari intervensi alias merdeka !
Karena geram, Sania berangkat ke kota. Sinar matahari menyengat kulit, mengoyak hati. Sania melindungi tubuhnya dengan payung hitam. Tak hanya itu, ia juga memakai kerudung dan kaca mata berwarna gelap. Terakhir , Sania memakai kalung bermata selongsong peluru berwarna kuning emas. Selongsong peluru itu, ia ambil di lokasi kejadian.
Selongsong peluru yang jadi mata kalungnya, berkilat – kilat karena memantulkan cahaya matahari. Sania menjadikan benda itu sebagai kenang- kenangan juga perayaan getir hidupnya. Sementara proyektilnya, pernah terbenam di kepala sang kekasih.
Sania berdiri di depan pagar besi tinggi yang membatasi bangunan menjulang. Sania bertekad menemui para hakim agung untuk protes pada putusan kasasi yang meringankan hukuman pelaku. Jerit Sania : nyawa harus dibayar nyawa !
Namun niat Sania dihadang tiga petugas keamanan di pintu gerbang. Mereka bilang, para hakim berpesan untuk tidak menerima tamu sampai satu bulan ke depan. Dan bila sampai batas akhir bulan nanti masih ada tamu, berarti masa puasa menerima tamu bisa diperpanjang.
Setelah beri penjelasan, ketiga penjaga itu tak kuasa menatap Sania, lantaran kilatan cahaya yang memantul dari selongsong peluru itu begitu menyilaukan pandangan mata. Para petugas keamanan menutup mata seraya mengusir Sania untuk segera menjauh dari pintu gerbang.
Tubuh Sania, lemas. Ia sadar tangannya terlalu kecil melawan kekuasaan pembuat putusan hukum. Menurutnya, cinta mati itu ada, tapi vonis mati, bisa ada bisa juga menjadi tak ada. Tapi Sania belum menyerah. Ia baca lagi komentar dari netizen di akun media sosial miliknya. Selain saran mendatangi para hakim agung, mereka menyarankan Sania untuk menemui sejumlah wakil rakyat di gedung parlemen.
Sania berhasil masuk ke dalam gedung parlemen. Para petugas memberi ijin masuk Sania demi menjaga citra kerakyatan. Namun belakangan situasi yang dihadapi Sania, sama saja. Para wakil rakyat, yang tahu Sania, sosok wanita yang berlumuran duka lantaran pacarnya mati didor kepala keamanan pasar, satu – persatu menutup pintu.
Beruntung Sania bertemu dengan seorang pria yang baik hati. Pria itu seorang pakar hukum pidana yang baru saja keluar dari ruang rapat setelah dilibatkan untuk membahas sejumlah persoalan hukum negeri. Si pria yang mengenakan jas abu- abu, menerima dan mengajak Sania duduk santai di sebuah kafe di sudut gedung. Saat berbicara dengan Sania, pria itu tak berbasa – basi lagi karena ia sudah tahu Sania yang cerita hidupnya begitu ramai di media sosial.
Kepada si ahli hukum pidana, Sania mengulang lagi pengaduan soal : nyawa harus dibayar nyawa. Kematian sang pacar, harus ditebus hal serupa pada pelakunya. Setelah Sania mengucapkan kalimat pembuka, pria yang duduk di hadapannya mengangkat tangan untuk menutup mata karena kilatan cahaya dari lampu kafe yang tiba – tiba memantul tajam dari kalung selongsongan.
Hanya sebentar sang pakar hukum pidana dikejutkan pantulan cahaya itu, selebihnya ia kembali tenang menghadapi Sania. Ia menjelaskan pada Sania untuk sabar menghadapi cobaan, meski kalimat ini dibencinya karena klise. Tapi yang paling pokok, katanya, di jaman ini ketika rangkaian pasal dalam undang – undang hukum pidana sudah diperbaharui, hukuman mati untuk seorang terpidana, sangat mungkin bisa dihindari.
Sania menarik nafas. Ia buka telinganya lebar – lebar untuk mendengar keterangan dari pria jagoan hukum pidana ini. Lebih lanjut lagi, jelasnya, dalam undang – undang yang baru nanti, yang mulai berlaku tahun 2026, seorang terpidana mati bisa mendapat keringanan hukuman penjara seumur hidup.
Tak sampai disitu, celah untuk mendapat hukuman yang makin menjauh dari hukuman mati masih bisa terjadi lagi ketika hukuman penjara seumur hidup, kembali menciut menjadi hukuman 20 tahun. Alasannya, terpidana berkelakuam baik lalu mendapat restu dari Mahkamah Agung dan Presiden.
Terakhir, pria itu beri kalimat penutup, “ Dari kaca mata hak asasi manusia, ini positif. Agenda global memang hendak menghapus hukuman mati. Soal hidup mati seseorang itu kan urusan Tuhan… “
Duggghhh !! jantung Sania berdegup. Matanya terpejam. Klimaksnya, dari tempat duduk, tubuh Sania roboh ke lantai. Sania, pingsan. Dalam keadaan tak sadarkan diri, ada semacam kekuataan yang mendorongnya kuat bergerak ke masa depan.
Agustus 2045 ……
Malam hari, Sania menghadiri acara pesta rakyat besar – besaran di tengah kota dalam rangka perayaan satu abad kemerdekaan negeri. Di ruas jalan kota, warga menyemut. Di sepanjang pinggir jalan, pedagang kaki lima bersuka cita mengeruk rejeki. Lalu di langit, kembang api tak putus- putusnya meledak lalu menyemburkan bunga api warna – warni.
Di tengah keramaian itulah, pandangan mata Sania tercuri perhatiannya pada sosok pria tua berusia sekitar 60 tahunan yang tampak masih meninggalkan jejak bekas tubuh tegapnya. Sania kenal betul dengan pria tua itu. Keriput kulit sudah tampak pada pria yang kini berjalan memakai bantuan tongkat ditambah jaket tebal melindungi tubuh dari serbuan angin malam.
Sania menghentikan langkahnya. Pria tua menengok ke arah Sania. Ia terkejut. Gugup. Nyalinya ciut karena tertangkap basah oleh Sania di tengah keramaian. Ia tak bisa mengelak lagi kalau dirinya sudah bebas dari tembok penjara. Kemudian ia cepat balik badan segera berjalan dengan tongkatnya untuk mengindari pertemuan dengan Sania.
Sania, geram. Ia masukkan sebutir peluru ke dalam senjata api rakitan. Sania memburu pria yang telah menghabisi nyawa pacarnya bertahun – tahun lalu. Sampai di salah satu sudut jalan, Sania mencegat langkah pria tua bertongkat yang sudah tak punya pilihan lain kecuali berhadapan dengan wanita yang jadi pacar korban pembunuhannya.
Sania membidik kepala pria renta itu. Ia ingin proyektil peluru terbenam di dalam kepala pria itu seperti yang pelaku lakukan ke kepala pacarnya. Lalu…, duarrr !!!!. Sayangnya, suara letusan senjata Sania bertabrakan dengan riuhnya suara ledakan kembang api di langit. Maka tak satu pun dari ribuan warga yang tumpah di ruas jalan di pusat kota itu mendengar letusan tembakan dari tangan Sania.
Agustus 2023 ….
Apakah pria tua, si pembunuh pacar Sania itu mati ? Sania juga tidak tahu karena ia sudah terlanjur bangkit dari pingsannya di sebuah ranjang di salah satu ruangan di dalam gedung parlemen. Sebelumnya, sejumlah petugas keamanan wanita menggotong tubuh Sania dari kafe ke ruangan itu.
Pagi sekali Sania terbangun dari tidur. Hari ini, Kamis, 17 Agustus tahun 2023, bukan 2045 seperti yang terjadi dalam keadaan pingsannya kemarin. Ia menangis, betapa nasib orang yang sudah menghabisi pacarnya kemungkinan besar bisa berubah. Lalu dirinya ? tidak ! Mustahil ia menghidupkan pacarnya.
Yosi Mahalawan D
Jakarta, Senin, 14 Agustus 2023