Disukai
0
Dilihat
564
Pelacur dan Ibu yang Mengaku Anjing Kurap
Misteri
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di ranjang kamar hotel, dini hari. Gadis yang telah menjual tubuhnya kepada lelaki di sampingnya, tak kunjung bisa tidur. Wajah dan suara dengkur lelaki yang tidur lelap itu, makin menganggu gadis itu.

Ia bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. Ia guyur tubuhnya dengan shower. Berharap resahnya hilang. Ia meringkuk di sudut kamar mandi dengan air shower terus menguyur tubuhnya. 

Ia kedinginan. Disetel shower menjadi air hangat, ternyata tak mengalir. Segera dimatikan kran shower, diambil handuk, dilap tubuh, lalu dililitkan ke tubuh.

Ia duduk di meja cermin. Menatap dirinya. Sayu matanya. Selalu usai persetubuhan, ada ketidaktenangan melanda dirinya. Begitu selalu, tetapi tak bisa ia lepas diri ketika ada yang menawar tubuhnya. Ia masih kuliah.

Ia bangkit mencari bra dan celana dalam. Dipungut dan segera dikenakannya. Dipungut juga pakaian dan celana jinsnya. Tak lupa dikenakan jilbabnya. Diambil smartphone dan dimasukkan ke dompetnya. 

Kembali ke cermin, dipolesi seadanya wajah dengan make up. Lalu ia menuju pintu kamar, tak lupa disambar mantelnya. Ia keluar dari kamar hotel.

Keluar dari lift, ia temui resepsionis yang tak lagi di tempat. Resepsionis sedang tidur di sofa lobi. Ia bangunkan dan beritahu bahwa ia mau jalan-jalan sebentar. Ia serahkan kunci elektrik kamar pada resepsionis.

Keluar hotel, gadis itu mendapati pelataran hotel yang luas dan langsung berbatasan jalan raya. Terdapat beberapa mobil pribadi di pelataran.

Gadis itu terus melangkah keluar pelataran dan berjalan sepanjang tepi jalan. Ia tak tahu ke mana. Yang ia tahu dan harap, jalan-jalan bisa membuang resah hatinya.

Jalanan sepi. Sederetan toko telah tutup. Lahan kosong di sebelahnya pertokoan. Lalu rumah dengan pekarangan dipenuhi pepohonan.

Terang lampu jalan dicadar pepohonan sepanjang jalan. Angin malam datang seperti ibu meniup wajah anaknya. Gadis itu merapatkan mantelnya. Jalanan tetap sepi. Tak ada orang, tak ada kendaraan yang lewat.

Ia sampai di jembatan kecil. Berdiri sejenak dia di jembatan. Diperhatikan sekilas tugu selamat datang tepat berada ujung jembatan. Tugu itu telah dipercantik.

Kota ini akan menyambut puluhan ribu tamu dari luar kota, luar provinsi, dan luar negeri. Ada acara pameran nasional yang diadakan di kota ini. Ia pun telah diberitahu agennya akan banyak panggilan untuk tamu-tamu itu nantinya. Bersiaplah, kata agen. Ia menunduk. 

Ia kembali melangkah. Tak jauh dari dari jembatan kecil, sepanjang tepi jalan, ia melihat bangunan semipermanen telah dirubuhkan. Tinggal tiang, seng, triplek, dan sisa dinding bata. Lampu jalan dan lampu sorot reklame menerangkan bangunan dirubuhkan itu. 

Gadis itu teralihkan perhatian dari bangunan yang dirubuhkan itu oleh suara tangis seorang perempuan. Awalnya ia merinding. Akan tetapi, setelah meyakinkan diri suara tangis itu adalah perempuan, ia dekati sumber suara.

Ia dapati seorang perempuan paruh baya di gubuk asal jadi. Atap gubuk sekaligus menjadi dinding, membentuk segitiga. Di dalam gubuk itu, seorang ibu menangis sambil menggendong dan mengoyang-goyang anaknya yang diam saja. Seorang anak lagi, perempuan berusia sekitar sepuluh tahun terbiarkan di sudut kecil gubuk itu dan ikut menangis.

“Kenapa, Mak?” tanya gadis itu.

Ibu itu kaget. Berteriak, “Siapa kamu?! Pergi, pergi! Awas kugigit kamu. Kami anjing kurap! Kami anjing kurap yang harus dibasmi. Pergi, pergi, sebelum kugigit!”

Agak melangkah mundur si gadis. Kaget ia menerima respon begitu dari sang ibu. Sempat tergetar hati mendengar ibu itu mengaku diri anjing kurap. Ingatannya pun langsung terbawa pada kisah pelacur dan anjing sekarat karena kehausan. Ia bergetar. Merasakan sekali kesamaan kisah itu dengan dirinya kini. Kisah itu dulu juga sempat mengetarkan hatinya. Kini hadir kembali, menggoncangkan kediriannya. Bola matanya basah bergetar.

Ia tarik nafas, mantapkan hati, dan kembali mengajak bicara ibu itu. “Mak, terserah Mak itu anjing atau babi. Kenapa dengan anak, Mak? Mana suami Mak?!” bernada tegas dia bertanya.

Perempuan paruh baya itu bercucuran air mata. Anaknya sakit. Suhu tubuhnya panas. Anaknya pingsan. Sangat khawatir si ibu anaknya bakalan mati. Tak bisa ia bawa ke rumah sakit.

Suaminya belum kembali sudah dua hari. Pergi terakhir bersama temannya bawa hasil bumi ke pelosok daerah. Suaminya bekerja semacam distributor hasil bumi. Seharusnya si suami sudah kembali untuk menyelamatkan ruko dan isi ruko sebelum digusur pemerintah kota.

Karena suami belum kembali, perempuan itu harus menerima ruko usahanya berupa warung itu digusur tanpa bisa menyelamatkan semua isi ruko. Hanya bisa menyelamatkan kedua anaknya dan barang seadanya. Kini ia tinggal digubuk yang dibuat sendiri sambil menunggu suaminya datang, membawa mereka ke tempat yang layak. 

Si ibu mau pulang kampung tapi demi harapan menyelamatkan harta di antara rubuhan ruko sebelum habis semua diangkut Satpol-PP, ia bertahan di gubuk. Ia bertahan sambil menunggu suami. Tapi tak kunjung datang suami. Sementara uang makin menipis. Tak ada uang kalau warung tak jalan. Tak bisa ia pulang kampung.

Meleleh air mata si gadis. Selintas ia maki dalam batinnya kepada pemerintah kota. Demi keindahan dan kebersihan kota, demi menyambut dan menyenangkan mata para tamu, pemerintah kota yang merasa paling benar dengan aturannya itu, dengan angkuh mengusur bangunan-bangunan yang dianggap mengusik keindahan dan kebersihan kota. Semua yang mengusik mata mereka harus dibersihkan termasuk ruko-ruko illegal di sepanjang jalan menuju tugu selamat datang. Tak diperhatikan kelanjutan nasib penghuni ruko. 

Jangan dulu bicara kebersihan dan keindahan ketika urusan kebutuhan dasar belum terpenuhi seperti ibu ini. Penuhi kebutuhan dasar rakyat lemah ini, maka kebersihan dan keindahan akan mudah diikuti. Marah dan kecewa si gadis pada pemerintah kota, bercampur sedih melihat kondisi ibu dan anak.

“Mak, kita harus bawa anak Mak ke rumah sakit sekarang. Sebentar Mak, saya telepon teman saya.”

Si gadis mengeluarkan smartphone dari dompetnya, lalu menelepon teman kuliahnya yang sedang koas di rumah sakit pemerintah daerah. Si gadis berharap temannya membantu mendapatkan ambulan atau mobil jemputan. Tak diangkat. Resah gadis itu.

Ia putar otak lagi. Ia menahan diri, tak mau ia menelepon lelaki yang tidur bersamanya di hotel. Tak. Itu aibnya. Ia coba telepon lagi temannya. Tak diangkat. Nomor ambulan juga tak ada di simpan di daftar kontaknya.

Ia berdoa dalam hati, “Ya Tuhan, mudahkan urusan saya ini menolong anak ibu ini. Ya Tuhan semoga apa yang saya perbuat ini menjadi amalku dan menghapus semua dosa yang telah kulakukan. Ya, Tuhan mudahkan urusan saya ini menolong anak ibu ini.”

Ia terpikir mencari nomor ambulan kota di google yang bisa dihubungi. Sambil mencari, ia melihat kendaraan mulai muncul. Minibus antarkota mulai memasuki kota. Sambil terus mencari nomor ambulan, ia sesekali melihat jalan berharap ada mobil yang bisa dihentikan untuk membantu bawa mereka ke rumah sakit.

Sepasang mata lampu mobil muncul dari tikungan di kejauhan. Buncah harapan si gadis. Semangat ia menyeberang menghentikan mobil itu tanpa memperhatikan jalur jalan berlawanannya.

Di jalur berlawanan, sebuah mobil pribadi dengan kecepatan tinggi tanpa sempat rem, menghantam dan melempar tubuhnya beberapa meter ke semak-semak tepian jalan. Wajahnya berlumuran darah menutupi air mata dan sesamar senyum.***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi