Abu Zan, pria 50-an tahun itu baru turun dari pesawat Malaysia. Kopernya berdecit mengusik telinga penumpang Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Ia tidak menggubrisnya. Malah menikmati perhatian mata mengernyit yang tertuju padanya. Biar orang-orang lihat, dia adalah orang sukses. Bukan lagi anak kampung yang dulu diremehkan.
Di pintu gerbang kedatangan bandara, ia meluapkan bahagia dengan berteriak lantang. "Assalamualaikum, Aceh!" Lagi-lagi mengundang tatapan aneh dari para penumpang lain, dan ia tetap tak peduli. Ponakannya, Abdul, yang menjemput dan melihat Abu Zan, tersenyum geli dengan tingkah kepedean pamannya itu.
**
Setelah dua jam lebih perjalanan, mereka sampai di kampung halaman. Abu Zan langsung disambut sanak saudara dan tetangga. Aroma kari kambing dan dan ayam kampung berempah menyeruak dari dapur Jubaidah. Suara anak-anak tetangga bermain di halaman rumah bercampur dengan kicau burung.
"Anak dan istri enggak bawa pulang, Bang Fauzan?" tanya adik perempuan Abu Zan yang janda, Jubaidah. Ibunya Abdul. Perempuan ini yang menempati rumah peninggalan orang tua mereka, menjadi penjaga kenangan masa lalu Abu Zan. Tetangga dan sanak saudara yang penuh di ruang tamu itu, juga bertanya hal sama.
"Nanti pas liburan sekolah. Mereka semua nyusul ke sini. Malaysia akhir tahun libur panjang sekolah," Abu Zan menjawab lantang penuh senyum. Suara lantang itu biar semua dengar, mengirim pesan tersiratnya bahwa ia kini orang berada, mampu memboyong seluruh anggota keluarga pulang kampung.
Sungguh senang ia melihat mata keluarga besarnya menatapnya kagum. Ia merasa dirinya seperti pahlawan yang kembali dari medan perang, siap menerima tepuk tangan dan pujian atas kesuksesannya.
Setelah basa-basi sejenak, ia mulai keluar tabiatnya; menceritakan tentang kesuksesan dirinya. Cerita sama yang sudah disampaikan ke Abdul selama perjalanan tadi.
"Alhamdulillah, saya sudah punya pabrik kelapa sawit di Malaysia," Abu Zan memulai ceritanya. Ia buru-buru melanjutkan. "Saya bukan cerita pamer. Tapi keberhasilan saya bisa bangun pabrik, sangat saya rasa berkat doa-doa saudara-saudara saya di kampung. Itu yang mau saya bilang."
Abdul yang sudah mendengar cerita itu dan diulang kembali, tidak bisa tidak menyimpulkan bahwa pamannya justru sedang pamer kesuksesan dirinya. Bagi Abdul, sama dengan sikap adat umumnya, bahwa menceritakan kelebihan-kelebihan diri itu perbuatan tak elok. Namun, para pendengarnya tak menangkap pesan pamer di sana. Justru mengangguk kagum.
Abu Zan melanjutkan ceritanya yang juga telah didengar Abdul "Masa konflik Aceh dulu berat buat saya. Namun, kini berbuah hikmah buat saya. Saya dulu dikejar-kejar tentara sampai ke hutan belantara. Tiga hari tiga malam saya bertahan hidup dengan makan umbi-umbian dan minum air sungai. Saya berjuang bertahan hidup. Dari situ, keberanian saya tumbuh. Keberanian adalah modal penting hidup dirantau. Dengan modal itu, saya orangnya tak bisa dilemahkan oleh masalah atau orang-orang. Saya berani hadapi orang-orang dan masalah. Alhamdulillah, saya bisa dirikan pabrik dan maju," katanya dengan mimik wajah serius, seolah-olah sedang berpidato di depan ribuan orang.
Abdul yang tahu cerita ulangan itu kini menjadi muncul perasaan risih. Lalu dari risih berbuah tak suka pada pamannya. Abu Zan nyaris saban hari, setiap bertemu keluarga dan orang baru mengalirkan cerita-cerita dengan motif sama. Abdul melihat Pamannya sedang mempublikasikan monumen kebesaran diri secara terang-terangan. Bagi adat Aceh, sikap begitu disebut jampok.
Cerita tentang kelebihan diri yang diulang-ulang akhirnya menjadi kehilangan kekaguman. Abu Zan pun menjadi cemoohan warga. "Itu Abu Zan-mu, Dul. Mulai lagi cerita kesuksesan dan kehebatannya. Tak habis-habis," gerutu teman Abdul.
Abu Zan belum menyadari perubahan sikap orang-orang di sekitarnya. Ia terus bercerita, tenggelam dalam dunianya sendiri.
Abdul tak bisa mengingatkan pamannya. Justru ia diceramahi Abu Zan panjang lebar tentang tips menjalani hidup biar sukses dan maju. "Jangan banyak dengar omongan orang yang menjatuhkanmu. Fokuslah pada tujuanmu." Abdul hanya mengangguk-angguk keras padahal batinnya menolak. Hanya karena pamannya sebagai orang tua, sebagai orang punya penuh daya, dan yang membayar semua biaya hidupnya, ia reflek patuh dan kehilangan suara. Ia sebenarnya mau menyuarakan bahwa kebesaran diri tidak dikoar-koar terbuka. Jika dikoar-koarkan, malah menguak kekerdilan diri.
*
Abu Zan duduk bersama Abdul di warung kopi. Abu Zan berharap ada yang mau menemaninya berbincang. Abdul terlalu kecil mendengar bahannya yang besar. Menurutnya, Abdul bukan orang yang cocok untuk diajak bicara.
Namun, warung kopi yang biasanya riuh kini seperti panggung yang ditinggalkan penontonnya. Orang-orang yang hendak mampir ke warung tidak jadi ketika melihat pemainnya Abu Zan. Mereka langsung berbelok atau melanjutkan perjalanan.
"Apa Polem, warungmu sudah bisa direnovasi. Dipercantiklah. Jangan kumuh. Tak nyaman orang. Malas datang orang-orang ke warungmu. Akhirnya sepi begini. Apa tak lihat warkop-warkop di Aceh jaman now yang mewah, luas, lapang, dan bersih? Bahkan ada mushala di warkop sekarang," lantang Abu Zan bicara, seakan mampu menggetarkan dinding dan merontokkan debu-debu.
Merah muka pemilik warkop yang bernama Apa Polem. Mau disahutnya, warung sepi bukan karena masalah kumuh warungnya, tapi karena tak nyaman dengan keberadaan Abu Zan di sini. Lagipula warung kampung mana pas dibandingkan dengan warkop cafe. Tentu beda kelas, beda pangsa pasar, dan beda tujuan. Jika diperdebatkan, banyak hal bisa Apa Polem adu pikiran dengan Abu Zan. Namun, Apa Polem mengalah. Ia harus tunduk pada tuan raja Abu Zan sang pelanggan royal. Ia mengiyakan saja. "Get. Teurimong geunaseh, Bang Pojan. Insyaallah kalau ada kemudahan, kita buat seperti restoran!"
Abu Zan hanya mencandainya saja. Ia hanya mengalihkan rasa sakit diabaikan orang-orang kampungnya. Ia mulai merasainya. Jika diresapi terus bisa serupa rayap yang perlahan-lahan merusak kayu, kekuatan Abu Zan. Ia tepis rasa sakit, melemparnya, dan mencari masalah pada orang atau hal lain.
Pada Abdul, ia sembunyikan rasa sakitnya. "Dol, kalau kau sudah hebat dan besar nanti, bakal ketemu orang-orang yang tak senang dengan yang kamu miliki . Begitulah hati orang yang susah menerima kelebihan orang lain."
Abdul lagi-lagi menangguk-angguk. Ia sesungguhnya tahu persoalan orang-orang menjauhi Abu Zan. Namun, tembok ego Abu Zan begitu besar. Bila dirubuhkan, Abdul bakal ketimpa mati. Jika kawan sebaya, Abdul bisa seloroh,"Kau aja narsis. Caper. Mana nyaman orang!" Abdul hanya bungkam dan membatin, "Orang sudah tahu Paman sukses, hebat, penuh daya. Apalagi yang Paman harapkan dari orang-orang ini? Tunduk dan takut serta tak melawan? Memang kami musuhmu? Kalau Amerika dan Israel, pamer kekuatan jelas punya tujuan agar lawannya jangan macam-macam. "
Saat acara kenduri blang (syukuran panen besar) di kampung, Abdul miris sekali melihat Pamannya. Sementara Abu Zan sakit hati yang dipendam.
Abu Zan sudah datang dengan semangat, berharap bisa berbaur dan berbagi cerita dengan orang-orang di acara kenduri blang. Ia bahkan sudah menyiapkan beberapa cerita baru yang (menurutnya) sangat menarik. Ia bahkan sangat siap jika diberi kesempatan menyampaikan sepatah dua kata.
Namun, harapannya pupus. Setiap ia bergabung, orang-orang perlahan kehilangan suara dan tawa. Diam dan angguk-angguk terpaksa mendengar cerita Abu Zan. Lalu perlahan orang-orang menjauh dengan beragam alasan. Mau nyari anak-istri, nyari kambing lepas, mau ke toilet, mau jumpa tengku - pak geuchik, mau ambil makan, dan lain sebagainya. Semua tak kembali duduk bersama Abu Zan. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil lain, mengobrol dan tertawa riang, meninggalkan Abu Zan sendirian.
Abu Zan tetap kuatkan hati. Menyapa siapa saja. Mendekati sekelompok pemuda yang sedang bercanda, dan mencoba bergabung dalam percakapan mereka. Namun, mereka layu dan satu persatu pergi dengan alasan dibuat-buat.
Abu Zan akhirnya menyerah. Ia duduk bersama Abdul, para tua pikun dan tuli. Ia merasa orang kalah dan bersama pecundang. Makan nasi kenduri dengan perasaan marah. Setiap suapan terasa pahit di lidahnya. Ia berusaha menunjukkan diri baik-baik saja. Di sela makan, berberbasa-basi dan mengalir cerita kecil meski tak didengarkan.
Di tengah kenduri, Apa Polem, pemilik warung kopi yang juga dituakan dan disegani di kampu, berdiri memberikan sambutan kenduri blang. Ia sering menjadi juru bicara geuchik (kepala desa). Ia berbicara tentang pentingnya kebersamaan dan kebersahajaan dalam kehidupan di kampung. Tak lupa ia ingatkan bersyukur setiap apa yang didapat dan dimiliki tanpa harus menjadi jumawa.
Abu Zan kini mendengarkan dengan seksama. Sejak mulai merasa orang sekampung menghindar, indera perasa dan pendengarannya menjadi sangat tajam. Ia mencari apakah ada pesan tersirat untuknya dari Apa Polem.
Apa Polem mulai bercerita tentang seekor burung beo yang merasa hebat karena bisa meniru kata-kata. Beo tersebut merasa bangga dan mengagumi diri. "Namun," lanjut Apa Polem, suaranya bergema di tengah kerumunan, "Beo hanya bisa mengulang-ulang kata yang sama tentang kehebatan dirinya, sampai orang bosan mendengarnya. Beo itu yang mengharapkan pujian dan kekaguman orang-orang, berakhir hanya mendapat cemoohan."
Hati Abu Zan mendadak menciut. Kata-kata Apa Polem terasa menusuk, seperti jarum yang ditusukkan ke balon.
Ia melirik ke sekelilingnya. Semua orang tampak mendengarkan dengan penuh perhatian, beberapa bahkan mengangguk-angguk setuju dan meliriknya sekilas. Apakah mereka semua sedang menghakimi dirinya? Apakah mereka semua menganggapnya seperti burung beo yang sombong?
Jantung Abu Zan bergemuruh. Merasakan sekali bahwa Apa Polem sedang menyindirnya. Ia ingin berdiri dan membela diri, tetapi saat melihat ke kiri dan ke kanan, banyak mata kini yang menatapnya sekilas namun serasa ribuan jarung menusuk gelembung jiwanya. Keberaniannya menciut. Terkulai. Merasa seperti seekor binatang buruan yang tertembak tanpa bisa melawan. Bahkan dikuliti pemburu hidup-hidup.
Apa Polem melanjutkan, "Kita harus belajar dari burung beo itu. Jangan sibuk membangga-banggakan diri. Mengulang-ulang cerita sama tentang kehebatan diri, berharap orang-orang memuji, lalu merendahkan orang lain. Kita harus tetap rendah hati saat sedang berlimpah rezeki.
Kita hidup di kampung lebih suka berbicara tentang hal-hal sederhana, tentang kehidupan sehari-hari, tentang keluarga dan tetangga. Kita tidak tertarik dengan cerita-cerita tentang mengumbar kebesaran diri. Di sini kita sama. Kita lebih menghargai kerendahan hati dan kesederhanaan. Sikap itu yang mendapat pujian dan salut. Bila jumawa, maka akan dihakimi dan dihinakan secara berjamaah," tutur Apa Polem.
Abu Zan ingin menghilang dari tempat itu. Ia ingin pulang dan bersembunyi di bawah selimut. Namun, kakinya terasa kaku, tidak bisa bergerak. Baru setelah acara selesai, Abu Zan bisa pamit. Ia pulang dengan langkah seolah kukuh. Ia terlatih jiwa untuk tetap berusaha tenang. Tidak menunjukkan luka batinnya yang terhina di tengah kerumunan.
"Kau lihat, Dul. Ada orang ceramah soal rendah hati. Tapi ia sendiri hatinya dendam. Gara-gara kubilang warkopnya kumuh, Apa Polem mau jelekin Abu dan menyerang pribadi Abu secara berjamaah. Abu dibilang dan dihakimi sombong.
Hidup sama orang-orang kampung begitu. Saat kita bicara kelebihan diri, kita dibilang sombong. Tapi sisi lain, saat kita yang tak punya apa-apa seperti Abu dulu, kita diremehkan. Di-ku'eh-kan. Sakit sekali Abu bila ingat masa dulu saat bukan apa-apa dan siapa-siapa. Bagaimana pun, Abdul, tak usah kau dengar omongan orang yang menjatuhkanmu. Tetaplah pada tujuanmu," penuh tekanan Abu Zan mengeluarkan pikirannya pada Abdul.
Abdul mengernyit keras memahami antara kata dan fakta. Kata-kata Abu seakan benar, tetapi ada yang terasa salah. Abdul sulit mengidentifikasi masalah apa dan di mananya. Abdul menjadi sakit kepala. Sulit ia memahami dunia orang dewasa. Sejak saban hari jalan keluar menyopiri dengan Abu Zan, batin Abdul menjadi tidak tenang.
"Apa Polem dan orang-orang kampung ini hanya iri dengan kesuksesanku di Malaysia. Mereka tidak senang melihat orang lebih baik dari mereka. Picik. Pantas mereka tidak bisa maju-maju. Bertahun-tahun banting tulang tetap miskin dan menjelekkan orang kaya! Halah! Kampungan!" penuh miring mulut Abu Zan bicara.
Abu Zan merasa dirinya tidak salah. Ia hanya bercerita tentang pengalamannya, perjuangannya, dan kesuksesannya. Apa salahnya? Bukankah ia berhak bangga dengan dirinya sendiri? Bukankah ia telah berjuang keras untuk mencapai semua itu?
"Mereka tidak mengerti," lanjutnya. "Mereka tidak tahu apa yang telah Abu lalui. Mereka tidak tahu sakitnya diremehkan."
*
Keesokan harinya, Abu Zan memutuskan jalan-jalan dulu ke Banda Aceh. Healing, kata orang zaman now. Ke Banda Aceh, kota besar yang penuh dengan orang-orang berpendidikan dan berwawasan luas, menurut Abu Zan. Ia akan silaturahmi dengan teman-teman seperjuangannya dan saudara-saudaranya. Mereka pasti akan mendengar ceritanya dan kebesarannya. Bisa menerima dan mengakui kelebihan orang lain seperti sikap di Barat. Mereka pasti akan melihatnya sebagai sosok yang menginspirasi.
Abdul dipaksa Abu Zan ikut menemaninya ke Banda Aceh. Abdul sudah seperti ajudan Abu Zan. Harus setia dan tunduk pada Abu Zan.
*
Di warung kopi cafe Banda Aceh, bersama teman-teman seperjuangannya semasa konflik Aceh, Abu Zan kembali mengulang kisah kesuksesannya di negeri jiran. Kisah kesuksesannya bercampur nostalgia ke masa lalu. Selagi bercerita, Abu Zan menyisipkan pamer barang-barang koleksi yang dimilikinya; cincin berlian, jam tangan, gelang giok, dan mobil maticnya yang canggih.
Lalu, cerita beralih layar tentang keburukan orang Aceh, khususnya di kampung: suka iri, dengki, ku'eh, menjelekkan dan menghakimi orang lain, dan berbagai macam masalah-masalah lain di Aceh. "Nanggroe Syariat, tapi akal dan perbuatan lebih brok dari Yahudi," sembur Abu Zan.
Abdul menyimak dengan hati teriris. Ia ingin membantah, ingin menawarkan perspektif berbeda, namun suaranya tertelan oleh kekuatan superioritas dan serangan Abu Zan. Teman-teman pamannya, yang seharusnya setara, tak menyanggah apa-apa. Mereka seperti tersihir, mengangguk setuju pada setiap kesimpulan Abu Zan. Frustasi menggerogoti jiwa Abdul.
"Di sini, sama saja seperti di warung kopi kampung," batin Abdul getir. "Tidak ada diskusi, hanya pidato Paman Abu Zan. Semua harus mendengar dan mengiyakan." Jika membantah, maka akan terjadi perang menyerang pribadi bukan pendapat. Abdul pernah melihat itu terjadi di kampung bila ada yang berdebat dengan pamannya Abu Zan.
Abdul merasa kepalanya berdenyut. Ia menyesal ikut ke Banda Aceh. Abdul memijat kepalanya, melirik jam dinding yang sudah dini hari, berharap segera bisa pulang tidur.
Tiba-tiba, salah seorang teman Abu Zan melontarkan ide yang membuat kepala Abdul berdenyut semakin keras. "Jan, Pojan, dengan kemampuanmu bercerita, kau cocok jadi calon bupati atau walikota. Daftarlah sebagai calon independen. Kami siap jadi tim suksesmu. Yang penting kau kau siapkan modal minimal 2 milyar!"
Ide itu disambut teman-teman lain Abu Zan seperti ledakan kembang api. Mereka mendukung. Aceh akan lebih baik, maju, dan hebat di bawah kepemimpinan Abu Zan, begitu mereka memuji.
Mata Abu Zan berbinar, senyumnya mengembang. Ia merasa menemukan panggung yang sesuai, tempat di mana ia bisa menunjukkan kebesaran dirinya tanpa ada yang berani meremehkan. Bila nanti ada yang berani meremehkannya, tinggal ia sentil dan campakkan dengan kuasa yang telah digenggamnya.
Sementara mata Abdul berkunang-kunang, bibirnya meringis. Kepala Abdul berdentum-dentum. Ia ingin pergi, ingin menghindar dari panggung absurd ini, ingin mencari udara segar di luar sana. Namun, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang hoyong. Ia ambruk, pingsan.
Sebelum kesadarannya menghilang, Abdul masih sempat mendengar cibiran paman Abu Zan. "Ah, lemah kali anak muda zaman sekarang. Tak lagi sekuat seperti generasi kita-kita dulu!" (*) (Banda Aceh, 16/8/2024)