Disukai
1
Dilihat
95
Our Memories : Her
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Bintang di langit seperti engkau. Meski jauh, ia tetap bersinar terang. Cintaku, juga seperti itu."

-unknown-

*****

Aku menutup buku harian bewarna coklat tua itu setelah selesai mencurahkan perasaanku disana. Buku harian itu adalah peninggalan Adnan, teman sekelasku semasa SMA sekaligus cinta pertamaku saat usia 16 tahun. Sudah 13 tahun berlalu, dan aku tidak akan pernah punya kesempatan lagi untuk bisa bertemu dengan Adnan atau bahkan menyatakan perasaan padanya. Dia sudah pergi. Meninggalkan dunia ini.

Di tanganku, sekarang hanya tersisa sebuah buku harian berwarna coklat tua usang yang diberikan oleh Ibunya padaku saat pemakaman. Katanya, Adnan sempat meninggalkan pesan untuk memberikan buku hariannya pada seseorang bernama Aruna Batari, yang tak lain adalah aku.

Tidak ada penjelasan apa alasan Adnan memberikan buku hariannya padaku. Ibunya bilang, itu adalah kalimat terakhir dari Adnan. Bahkan, Ibunya sendiri tak sempat menanyakan apapun sebelum kematiannya.

Aku mencoba untuk mengerti, meski aku merasa heran dan bingung. Karena seingatku, hubungan kami hanya sekedar 'teman sekelas' yang saling tahu bahwa kami hidup di dunia ini. Aku dan Adnan seperti planet neptunus dan bumi yang memiliki jarak milyaran kilometer. Seperti matahari dan bulan yang tidak akan pernah bisa saling berdampingan. Intinya, aku dan dia bukanlah dua orang yang sering menghabiskan waktu bersama-sama untuk sekedar bermain atau belajar kelompok.

Tapi, terlepas dari semua itu, apapun alasan Adnan, aku tetap menerima buku hariannya. Aku ingin tahu kisah hidupnya selama masa sekolah dulu.

Dari buku harian itu, aku jadi tahu tentang semua hal yang terjadi di hidup Adnan. Apa yang biasa dilakukannya, apa yang sering dirasakannya, semua hal itu tercatat rapi di dalam buku bersampul coklat tua itu. Adnan ternyata suka menulis, sama sepertiku. Aku juga baru tahu lewat buku hariannya, kalau ternyata dia bercita-cita ingin menjadi seorang jurnalis. Dan hebatnya, dia berhasil mewujudkan hal itu.

Suara ketukan pintu kamarku terdengar. Aku menoleh, Ibuku masuk membawa sepiring buah-buahan yang sudah dipotong. Lalu, meletakkan piring itu di atas mejaku.

"Makan buah dulu, Run. Habis itu langsung tidur, ya. Jangan tidur malam-malam."

"Iya, Bu."

Setelah itu, Ibu segera keluar dari kamar dan menutup pintu. Aku membuang pandang pada laci mejaku. Seingatku, aku masih menyimpan ponsel lamaku sewaktu masih sekolah dulu di dalam laci. Di dalam ponsel itu ada beberapa foto Adnan yang dulu sering ku potret diam-diam. Lantas, aku membuka laci dan mencari ponselnya, tapi sayangnya tidak ada.

"Apa sudah kubuang, ya?" gumamku, sambil berusaha mengingat-ingat kembali.

Aku menggeleng pelan. Kemudian, menutup laci itu. Aku memeriksa ke laci satu lagi. Dan juga rak-rak buku, serta lemari pakaian di kamarku. Tapi, nihil. Ponsel lamaku tidak ada. Aku mendesah kesal. Kembali berusaha mengingat-ingat dimana pastinya aku meletakkan ponsel lama itu.

Tiba-tiba, terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh tas tanganku yang ada di atas kasur, lalu mengambil smartphone-ku. Sahabatku, Diana, menelpon. Diana adalah sahabatku sejak sekolah menengah pertama. Dia adalah saksi cinta terpendamku pada Adnan yang tidak pernah tersampaikan sampai detik ini. Aku tahu, dia menelponku pasti karena khawatir dengan keadaanku yang baru saja pulang dari pemakaman Adnan satu jam yang lalu.

"Halo, Di." sapaku begitu sambungan telpon kuangkat.

"Runa, are you okay?" Sesuai tebakanku. Suara Diana terdengar begitu khawatir. Aku lantas tersenyum kecil. Tiba-tiba, merasa sangat bersyukur karena masih ada Diana yang mengkhawatirkan keadaanku. Setidaknya, saat ini hanya dia satu-satunya orang yang tahu penyebab jika aku tiba-tiba terlihat menyedihkan.

"Aku baik, kok. Kau tidak perlu khawatir." jawabku, seraya mengulas senyum tipis, meskipun Diana tidak bisa melihatnya.

"Kau tidak perlu berpura-pura, Run. Aku tahu kau sedih. Menangislah jika ingin menangis. Aku siap mendengarkanmu!" ujarnya, berusaha menenangkan. Aku lantas terkekeh geli.

"Kau mau mendengarkanku menangis? Kau serius? Kemungkinan aku menangis akan memakan waktu berjam-jam, loh." gurauku, berusaha memecah suasana galau diantara kami.

"Serius, Run! Aku tahu kau butuh tempat untuk menangis." sahutnya dengan nada serius. Membuatku bungkam seketika. Selama beberapa detik, aku tak mengatakan apa-apa. Pun Diana hanya diam juga.

"Terima kasih, Di. Tapi, aku sungguh baik-baik saja, kok."

Diana bergumam, lalu berkata, "Jadi, bagaimana dengan kak Sandy? Kau tetap ingin menikah dengannya?"

Aku kembali terdiam. Lalu, menarik napas panjang.

"Aku...belum memikirkan soal itu."

Tiba-tiba, terdengar suara seseorang berteriak memanggil nama Diana, gadis itu spontan menyahut nyaring. Aku tersenyum geli mendengar rentetan protes dari orang yang berteriak memanggil sahabatku itu. Seperti biasa, Diana nyaris setiap hari bertengkar dengan adiknya. Sesuatu yang sebenarnya agak membuatku iri. Setidaknya, Diana punya teman untuk diajak adu mulut, tidak seperti aku yang merupakan anak tunggal-mungkin lebih tepatnya sejak kematian kakakku, Jowi, sebelas tahun yang lalu-aku menjadi anak satu-satunya di dalam keluarga.

Diana pamit menutup telpon karena harus berurusan dengan adiknya dulu, aku pun mengiyakan. Kemudian, meletakkan ponselku di atas meja. Aku memandang sejenak buku harian Adnan yang sampulnya sudah terlihat lusuh dan memudar. Mengelusnya pelan, lalu membukanya lagi. Aku kembali membaca satu per satu kalimat yang ditorehkan oleh Adnan semasa hidupnya. Sesekali, aku tersenyum dengan ceritanya, sesekali aku ikut merasakan kesedihan yang dirasakannya lewat tulisan di buku itu.

Hingga tiba di pertengahan halaman, aku menyadari, ada beberapa halaman yang seperti sudah dirobek oleh seseorang. Aku baru menyadarinya setelah melihat buku harian itu untuk yang kedua kalinya. Apakah Adnan yang sengaja merobek halaman itu? pikirku. Aku sedikit penasaran, cerita macam apa yang ada di halaman itu. Dan apa alasan Adnan merobeknya?

Tiba-tiba, mejaku bergetar. Aku spontan panik dan berdiri karena mengira gempa bumi sedang terjadi. Kulihat buku harian Adnan tiba-tiba berganti halaman dengan sendirinya, satu per satu secepat kilat seraya mengeluarkan cahaya terang berwarna kuning keemasan dan berhenti tepat di halaman terakhir yang sempat kutulis sebelumnya. Lalu, tiba-tiba dunia terasa seperti berputar-putar di hadapanku. Hingga sejurus kemudian, aku merasa seperti terlempar ke suatu tempat.

*****

SMA Bakti Nusa, Jakarta, 2013

Aku spontan membuka mata. Kulihat tanganku menyentuh rak buku tinggi di depanku. Aku mendongak, merasakan tubuhku yang sedikit miring ke kiri. Tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi situasiku. Aku lantas menoleh ke sumber suara-persis seperti seseorang yang sedang mengintip.

"Adnan, kau mau tidak mengajariku pelajaran matematika?"

"Tidak!"

"Adnan?" gumamku pelan. Keningku berkedut begitu menyadari seseorang yang sedang duduk sambil membaca buku berjarak sekitar 10 langkah dari tempatku berdiri adalah Adnan. Adnan El Fahri, cinta pertamaku sejak SMA!

Aku memperhatikan Adnan lamat-lamat. Dia mengenakan seragam sekolah kami dulu. Bahkan, wajahnya tak jauh berbeda dari wajahnya saat SMA dulu. Aku lantas memperhatikan sekitar, lokasi tempat ku berpijak saat ini adalah perpustakaan SMA-ku!

Aku menundukkan pandangan. Pakaian yang kukenakan saat ini juga seragam sekolahku dari 13 tahun yang lalu. Aku kembali memandang ke arah Adnan, kulihat gadis yang tadi duduk di hadapannya pergi dengan raut wajah kesal.

Aku menegakkan tubuhku kembali. Aku tidak tahu penyebab kenapa tiba-tiba aku ada di sana. Apakah ini mimpi ataukah justru diriku terlempar ke masa lalu? Meskipun terdengar konyol, tapi jika ini mimpi juga sangat mustahil, karena sebelum berada di tempat itu aku sama sekali tidak tidur, melainkan sedang membaca buku harian Adnan. Dan jika mengatakan bahwa aku kembali ke masa lalu, meski konyol, itu adalah hal yang cukup masuk akal saat ini.

Aku kembali melongokkan kepala. Kulihat Adnan masih ada di tempatnya. Duduk tenang sambil membaca buku. Desau angin dari jendela perlahan masuk dan menyapu halus wajah dan rambut hitamnya, menggoyangkan sejenak rambutnya dengan lembut.

Tanpa sadar, aku tersenyum. Pemandangan yang sangat jarang sekali terjadi. Aku bertanya-tanya, kenapa dulu aku terlalu pengecut hingga tidak berani menyatakan perasaanku pada Adnan sama sekali? Dan akhirnya, justru memberikanku penyesalan yang teramat dalam sekarang.

Aku terkesiap. Kulihat Adnan mengangkat pergelangan tangan kanannya, memperhatikan jam tangan yang melingkar di sana. Ketika aku merasa dia hendak beranjak, aku buru-buru menghampirinya tanpa berpikir panjang.

"Adnan!" panggilku dengan suara nyaris tercekat sangking gugupnya.

Adnan sontak menoleh. Dia mengerutkan keningnya. Sepertinya, menungguku untuk berbicara. Tapi, mendadak bibirku seperti terkunci.

"Aruna, kan?" Adnan akhirnya angkat suara. Tubuhku mendadak ikut menegang. Aku lantas mengangguk spontan.

"Apa ada yang mau kau katakan padaku?" lanjutnya.

Aku merutuk dalam hati. Lantas, mencubit pahaku sendiri untuk mengurangi rasa gugupku. Aku menelan ludah, lalu menarik napas perlahan.

"Kau..tahu namaku?" tanyaku.

Kulihat, Adnan justru terkekeh geli. "Tentu saja! Kita kan sekelas. Bagaimana mungkin aku tidak tahu namamu?"

Mendengar jawabannya, aku tersenyum kikuk. Jadi, selama ini ternyata Adnan mengingat namaku? Meskipun kami nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain, tapi dia tahu siapa diriku.

"Adnan, sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu."

"Apa hal yang penting?"

"Ya! Ini sangat penting!"

Adnan kembali melihat jam tangannya. Dia berdecak. Seperti orang kebingungan, dia menatapku.

"Maaf sekali, Runa. Hari ini aku tidak bisa. Bagaimana kalau besok?"

"Besok?" Keningku berkerut dalam. Aku bingung harus menjawab apa. Aku juga tidak tahu, apakah esok hari aku masih bisa bertemu dengannya atau tidak.

"Maaf sekali. Aku sedang buru-buru. Sampai jumpa besok!"

Adnan bergegas pergi, tapi karena panik, takut melewatkan kesempatan lagi, aku berteriak memanggilnya.

"ADNAN!"

Spontan dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Orang-orang di dalam perpustakaan juga menatapku dengan raut wajah kesal karena mendengar teriakanku. Tapi, aku sedikitpun tak peduli. Aku harus menyatakan perasaanku saat ini juga sebelum terlambat!

"Adnan, aku menyukaimu! Aku sungguh-sungguh menyukaimu!"

Seketika, aku merasakan dunia kembali berputar-putar, hingga sejurus kemudian aku merasa seperti terlempar ke suatu tempat.

*****

Jakarta, 2024

Mataku terbuka. Aku terkesiap. Lantas, memperhatikan sekitar. Bagaimana bisa tiba-tiba aku sudah kembali ke kamarku lagi? Bahkan aku kembali seperti posisi semula sebelum aku meninggalkan kamar, duduk di bangku depan meja belajarku. Di hadapanku, masih ada buku harian Adnan yang sudah tertutup.

Aku lantas berpikir, mungkinkah aku benar-benar kembali ke masa lalu? Jika itu benar, meskipun mustahil, aku ingin mempercayainya. Mungkin saja, terjadinya hal ini adalah kesempatan yang diberikan padaku atas penyesalan yang kurasakan. Memberikanku kesempatan untuk menyatakan perasaanku dan merubah masa depan.

Lantas, apakah ada kemungkinan Adnan akan tetap hidup?

Aku menarik napas panjang. Kemungkinan Adnan akan tetap hidup, membuat rongga paru-paruku mendadak sesak. Perasaan bahagia dan asa seakan memenuhi seluruh hati dan jiwaku.

*****

"Aruna!"

Aku menoleh begitu mendengar seseorang memanggil namaku. Kulihat, Diana berlari kecil ke arahku. Lalu, spontan memelukku erat.

"Bagaimana kabarmu satu minggu ini?" tanya Diana.

Aku mengangguk tegas. "Aku baik-baik saja, Di. Sungguh!"

Aku kembali teringat peristiwa perjalanan waktu yang kualami satu minggu lalu. Jika aku menceritakannya pada Diana, dia mungkin akan mengira aku sudah gila karena terlalu merindukan Adnan. Itu sebabnya, aku tidak berencana untuk menceritakan perihal itu padanya.

Apalagi, setelah kejadian satu kali itu, aku mencoba memikirkan cara agar bisa kembali ke masa lalu lagi. Tapi, sayangnya, aku belum menemukan cara apapun hingga saat ini. Otakku mendadak buntu. Lantas, yang bisa kulakukan hanyalah menjalani hari-hariku seperti biasa.

"Pameran hari ini lebih ramai dari yang dulu, ya." ujar Diana seraya memperhatikan keadaan sekitar. Aku mengikuti arah pandangnya, lalu mengangguk setuju.

"Ya. Karena pameran kali ini ada karya khusus dari pelukis terkenal di dunia. Leonardo Da Vinci. Seperti yang kau lihat, banyak warga negara asing disini." sahutku sambil kembali mengedarkan pandangan ke sekitar.

"Yang mana karyanya?" Diana menoleh ke beberapa arah, sambil memicingkan matanya yang agak belo. "Tidak ada, tuh!"

Aku terkekeh geli melihat tingkahnya. "Sudah terjual daritadi."

"Sudah terjual?!" Diana berdecak kagum. "Memang karya pelukis luar negeri benar-benar berbeda, ya!"

Aku mengangguk setuju. Tiba-tiba, seseorang memanggilku sambil melambaikan tangannya. Aku pamit sejenak pada Diana, dan pergi menghampiri seorang wanita paruh baya yang merupakan warga negara asing. Ternyata wanita itu bertanya tentang salah satu lukisan karya pelukis Indonesia yang terkenal, Affandi Koesoema. Wanita paruh baya itu tertarik untuk membelinya.

Setelah berbicara panjang lebar dengan wanita paruh baya itu, aku pun kembali menghampiri Diana. Kami berbincang sedikit mengenai masa kuliah dulu, lalu merembet kembali ke masa sekolah dulu. Aku yang tiba-tiba penasaran dengan perjalanan waktu, lantas mencoba bertanya pada Diana.

"Di, kau percaya dengan perjalanan waktu?"

Diana menoleh dengan kening berkerut. "Maksudmu, time travel seperti di film-film atau drama?"

Aku mengangguk. "Benar. Semacam itu. Apa menurutmu, manusia bisa melakukan perjalanan waktu?"

Kulihat, kening sahabatku itu semakin berkedut. Aku bisa menangkap kebingungan dalam raut wajahnya. Mungkin, dia sudah berpikir aku terlalu banyak berkhayal karena menonton drama atau membaca novel fantasi.

"Kau terlalu banyak menonton drama, Run. Tidak ada manusia yang bisa melakukan perjalanan waktu. Itu sangat mustahil! Jika itu benar-benar ada, mungkin aku akan melakukannya untuk menemui Jin BTS di masa remajanya dan menjadikannya pacarku sebelum dia terkenal." Diana tertawa dengan ocehannya sendiri. Aku hanya meliriknya dengan senyuman kecut.

Aku juga merasa apa yang kualami benar-benar mustahil dilakukan oleh manusia. Tapi, untuk tidak mempercayai hal yang sudah terjadi sebelumnya, adalah hal yang paling mempersulit diriku. Lantas, mungkinkah perjalanan waktu yang kualami bisa disebut sebagai mukjizat dari Tuhan? Seperti halnya Tuhan memberikan mukjizat pada para Nabi-Nabi-Nya.

"Itu justru terkesan lebih gila karena aku bukan Nabi," gumamku pelan.

"Kau bilang apa?" Diana spontan menoleh dengan ekspresi bingung. Dia sepertinya nyaris mendengar gumamanku.

Aku menggeleng cepat. "Bukan apa-apa."

Tak berapa lama, Diana pamit untuk pulang lebih dulu. Dia sudah ada janji dengan calon mertuanya. Sedangkan, aku masih harus melanjutkan pekerjaanku di galeri sampai pameran seni berakhir hari itu. Akan ada waktu dua hari lagi pameran dilaksanakan hingga benar-benar berakhir.

*****

"Assalamu'alaikum," ujarku begitu masuk ke dalam rumah. Terdengar suara sahutan Ibu dari arah dapur. Tak lama, Ibu datang ke ruang makan sambil membawa semangkok sup yang masih mengepul. Terlihat dari uap panas yang membumbung ke udara.

"Runa, ayo makan." ajak Ibu sambil meletakkan mangkok sup itu di meja.

"Ayah mana, Bu?" tanyaku. Setelah beberapa saat mengedarkan pandangan dari sejak masuk ke dalam rumah sampai di ruang makan.

"Ayah lembur hari ini. Jadi, kita makan duluan saja, ya." sahut Ibu.

Aku mengangguk. Lalu, menarik bangku dan duduk. Aku dan Ibu makan dalam diam. Selalu seperti ini jika di rumah hanya ada aku dan Ibu. Rumah terasa sangat sunyi. Aku dan Ibu memang sama-sama orang yang berkepribadian introvert. Jadi, kami memang tidak begitu suka terlalu banyak basa-basi seperti orang kebanyakan. Kecuali, jika membicarakan hal-hal yang penting menurut kami. Ibu bahkan jarang marah padaku dan Kak Jowi sejak dulu. Itu sebabnya, Ayah selalu mendidik kami agak sedikit lebih tegas daripada Ibu.

"Kapan Sandy kesini bersama keluarganya?" tanya Ibu.

Aku sontak tersedak mendengar pertanyaan Ibu yang terkesan sangat tiba-tiba dan mengejutkan. Buru-buru, aku mengambil gelas berisi air putih dan menenggaknya hingga kurasa tenggorokanku sudah lebih baik. Aku meletakkan gelas kembali, lalu melirik Ibu sejenak dan kembali fokus pada makananku.

"Tidak tahu." jawabku singkat.

"Tidak tahu? Bukankah dia sudah melamarmu secara pribadi? Seharusnya, tidak butuh waktu lama untuk dia datang kesini bersama keluarganya, kan?"

Aku hanya diam. Tak bisa berkata banyak. Jika saja Ibu tahu satu minggu terakhir ini aku sedang menghindar dari Kak Sandy mungkin Ibu akan marah besar dengan sikapku. Terlebih lagi, Ibu sangat menyukai Kak Sandy. Bisa dibilang, Kak Sandy adalah tipe menantu idaman para ibu-ibu. Bukan hanya baik, Kak Sandy termasuk pria yang cukup tampan dan mapan secara finansial. Jadi, bisa dipastikan jika menikah dengannya, hidupku pasti akan terjamin dan sejahtera.

Tapi, semenjak kabar kematian Adnan sampai ke telingaku. Aku menjadi ragu pada diriku sendiri. Ragu pada pilihanku. Apakah menikah dengan Kak Sandy adalah hal yang benar-benar aku inginkan? Meski aku juga cukup menyukai Kak Sandy, tapi aku belum benar-benar bisa mencintainya.

Begitu selesai makan, aku bangkit dari bangku dan beranjak ke wastafel di dapur untuk mencuci piring kami. Lalu, membereskan sisa lauk-pauk yang ada di meja dan menyimpannya ke dalam kulkas. Barangkali, saat Ayah pulang nanti dia masih lapar dan ingin makan, jadi Ibu tinggal memanaskannya saja.

Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Bersiap untuk segera mandi. Aku sama sekali tidak menjawab pertanyaan Ibu tadi. Mungkin, Ibu juga mulai berpikir ada suatu masalah antara aku dengan Kak Sandy. Entah kenapa aku juga belum berniat untuk menjelaskannya pada Ibu. Aku merasa masih butuh waktu untuk berpikir lagi.

*****

Aku duduk di depan meja belajar. Lalu, membuka laci sebelah kanan dan mengambil buku harian Adnan yang kusimpan disana. Aku mengusap lembut buku itu. Kemudian, menoleh keluar jendela kamar yang tirainya masih terbuka. Kulihat, langit malam itu penuh bintang yang berkelap-kelip sangat indah.

Aku mendesah. Lalu, mengambil pena dan membuka buku harian bersampul coklat usang itu. Aku membuka halaman terakhir kali menuliskan sesuatu disana.

Jariku mulai bergerak menorehkan beberapa kalimat di halaman kosong selanjutnya. Harapanku, jika aku menulis disana, Adnan akan bisa mengetahuinya. Yah, meskipun aku tahu itu hal yang sangat mustahil terjadi. Tapi, dengan adanya harapan itu, aku merasa punya tujuan.

Adnan, apakah terlalu mustahil bagiku untuk bertanya bagaimana kabarmu?

Apakah keadaanmu disana baik-baik saja? Apakah kau bahagia?

Adnan, seandainya kau tahu, betapa sulitnya bagiku disini untuk melupakanmu, dan seberapa besarnya penyesalanku terhadapmu. Jika saja dulu aku tidak terlalu pengecut dan berani untuk mendekatimu, berani untuk menyatakan perasaan padamu, mungkin saja akhir kita tidak akan seperti sekarang.

Tapi, sekarang sudah benar-benar terlambat. Tidak ada lagi kesempatan untukku. Kesempatan yang sebelumnya hadir tiba-tiba, juga entah bagaimana sudah tidak ada lagi. Aku tidak bisa menemuimu lagi, aku tidak bisa merubah takdir diantara kita.

Adnan, aku sungguh-sungguh menyukaimu. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Jika saja mukjizat benar-benar ada, aku berharap bisa menemuimu sekali lagi.

Aku menutup buku harian Adnan setelah selesai menulis curahan hatiku disana. Lantas, mendesah panjang karena rasanya ujian cinta di dalam hidupku benar-benar sangat sulit untuk kulewati. Tanpa Adnan, duniaku terasa seperti runtuh. Porak-poranda.

Kata orang, kita tidak boleh mencintai seseorang terlalu dalam. Karena hasilnya, sering kali membuat kita menyakiti diri sendiri. Mungkin, mereka ada benarnya. Tapi, soal menyakiti diri sendiri, aku membantah hal itu. Meskipun, tak dinyana hatiku terasa seperti diperas habis-habisan oleh perasaan rindu yang menghadang.

Ketika aku hendak beranjak, kamarku terasa bergetar hebat. Benda-benda berjatuhan, spontan membuat panik. Saat itu, aku melihat buku harian Adnan terbuka seketika. Satu per satu halamannya berbalik dan berhenti tepat di halaman terakhir yang kutulis seraya memancarkan cahaya terang berwarna kuning keemasan yang menyilaukan mata. Dalam sekejap, dunia seperti berputar-putar dan aku terhempas ke suatu tempat.

*****

SMA Bakti Nusa, Jakarta, 2011

Aku membuka mata, terkesiap. Aku tiba-tiba berada di tengah-tengah lapangan. Entah sedang apa. Setelah itu terdengar bunyi suara gedebuk kuat. Aku sontak luruh ke lantai. Ternyata, kepalaku baru saja dihantam oleh sebuah bola voli. Aku samar mendengar suara orang-orang berteriak kaget. Dan beberapa orang ada yang menghampiriku. Lalu, tak butuh waktu lama, semuanya tampak gelap.

"Dokter Lisa, bagaimana keadaannya?"

"Dia baik-baik saja. Sebentar lagi, dia akan sadar, kok. Kau tidak perlu khawatir, Adnan."

Samar-samar, aku seperti bisa mendengar suara percakapan dua orang. Tapi, kepalaku masih agak pusing untuk bisa membuka mata sepenuhnya.

"Kalau begitu, saya keluar sebentar, ya."

Perlahan, aku membuka mata. Kulihat, seorang siswa laki-laki menganggukkan kepalanya pada seorang Dokter muda cantik. Aku meringis menahan denyut di kepalaku. Siswa laki-laki itu sontak menoleh, raut wajahnya tampak khawatir. Dia segera menghampiriku.

"Emm...kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Adnan?" gumamku spontan, begitu mataku bisa melihat dengan jelas siapa sosok yang berdiri disampingku.

"Kau tahu namaku?" Ekspresinya terlihat kaget. Aku justru bingung dengan sikapnya yang terlihat kikuk. Namun, karena aku tidak mau terlalu banyak berpikir, aku lantas memejamkan mata sambil mengangguk samar sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Kau adalah Adnan El Fahri, dari kelas 12-A IPA, juara umum berturut-turut dalam dua tahun terakhir, punya banyak prestasi di bidang akademik khususnya matematika, pernah mengikuti perlombaan olimpiade matematika dan menang sebagai juara 1 se-Indonesia. Kau-"

"Tunggu dulu! A-apa maksud ucapanmu? Kenapa aku dari kelas 12-A? Kita sekarang masih kelas 10."

"Apa katamu??!"

Aku spontan membelalak. Susah payah aku berusaha bangkit dari tempat tidur. Lalu, tanpa sadar aku memegang lengannya dengan raut wajah setengah linglung.

"Ta-tahun berapa sekarang?"

"2011. Kenapa?"

"Apa?! 2011?! Kenapa semakin mundur?!"

*****

Next update >>>the sequel : Our Memories : Him<<<

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar