Disukai
0
Dilihat
167
Orleander
Thriller

“Selamat pagi Pak, saya dari Perusahaan Kebahagiaan Nirwana, kami ingin menawarkan pena edisi terbatas, Anda hanya cukup membayar Rp50.000,” ujar wanita berpakaian seperti sales perusahaan. Diketahui dari name tagnya, wanita tersebut bernama Sari.

 “Ah maaf, hari ini aku sedang sibuk, sebaiknya kau pergi ke tempat lain saja,” Aku merasa risih terhadap orang-orang yang datang padaku, dengan menawarkan berbagai barang. Entah siapa yang menciptakan metode marketing seperti ini, para sales itu mendatangi rumah satu persatu di waktu istirahat, bukankah itu sedikit keterlaluan. Bahkan kemarin lusa, terjadi pembunuhan di komplek B, yang tak jauh dengan rumahku, setelah diketahui pelakunya adalah seorang sales. Itu membuatku semakin skeptis dan waspada terhadap sales yang datang ke rumahku.

  “Saya jamin, Anda akan menyukainya Pak,” Sari mencoba membujukku dengan nada memaksa.

   Aku menghela nafas,”Tapi, saya sedang tidak benar-benar membutuhkannya.”

Ketika aku ingin menutup pintu, perempuan itu sontak menahan pintu dengan kakinya.”Bagaimana kalo Anda mencobanya, tenang saja, tidak ada biaya untuk percobaan produk.” Karena merasa kasihan, aku pun mengizinkan ia untuk memberikan percobaan produk padaku.

     Sales itu kemudian menjejerkan pena dengan berbagai warna dimeja.

 “Sebelumnya perkenalkan nama saya Sari, sales dari Perusahaan Kebahagiaan Nirwana, perusahaan ini memproduksi barang kebutuhan manusia, dan produk kali ini adalah pena, semua ini pena yang kamu buat berbeda dengan pesaing lain, sangat berkualitas, dan memberikan kenyamanan ketika menulis, ini bisa menjadi alat yang bagus untuk karya Anda selanjutnya, Pak,”

 Aku mengernyitkan heran, mendengar ucapan Sari, darimana perempuan itu tahu bahwa aku adalah seorang penulis.

“Saya adalah penggemar Anda pak, jadi saya tahu bahwa Anda seorang penulis, karya terhebat yang pernah Anda buat adalah Camar dan Biru, itu sangat menyentuh bahkan seluruh dunia membicarakan itu,” Sari tampak antusias ketika menjelaskannya, membuatku sedikit tersipu.

 “E-hem, begitu ya, tidak sehebat itu, tapi aku senang kau menyukainya,” ujarku mencoba merendah. “langsung saja, apa yang membuat pena berbeda, dari penjelasanmu tadi, bukankah ini hanya pena biasa, rasanya tidak ada yang istimewa,”

 Sari mengambil pena, “ Saya lupa mengatakannya, sebenarnya ada satu kelebihan lagi yang dimiliki pena ini.”

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Apa Anda tahu, saat menulis, terkadang memikirkan suatu ide dan mengembangkannya itu bisa sangat sulit, meski butuh berhari-hari, ide belum tentu bisa didapatkan, mungkin orang-orang biasanya menyebutnya block writer, Anda tentu pernah mengalaminya kan? Tapi dengan pena ini Anda bisa mengubah pikiran Anda menjadi lebih kreatif, istimewa dari pen aini adalah, tintanya tidak akan pernah habis, ” jelas Sari tersenyum menatap padaku. Aku sedikit tersinggung dengan ucapannya, ia baru saja meremehkan penulis profesional sepertiku. 

“Apa maksudnya itu? Maaf saja, aku adalah seorang profesional, masalah seperti itu sangat mudah ku atasi meski tanpa bantuan pena konyol ini, lagi pula menulis cerita dengan pena sudah tidak zaman,” ujarku membuat Sari terkejut dan terdiam.

 “Ah benar sekali, tidak mungkin penulis sehebat itu kewalahan karena situasi seperti itu, maaf sepertinya saya sedikit lancang pada Anda, awalnya saya pikir Anda kesulitan menulis, karena sejak Buku Camar dan Biru terbit, Anda belum lagi menerbitkan karya baru, ternyata dugaan saya salah,” Sari menertawakan dirinya sendiri, tapi entah kenapa aku merasa sedikit merinding, “Apa tawa perempuan selalu semenakutkan ini?” gumamku.

 “Mari masuk ke percobaannya, saya ingin Anda mencoba menulis dengan pena ini, pertama tulislah cerita pendek, dan cerita harus selesai dalam lima menit tanpa ada kesalahan apapun,” ujar Sari. Aku terperangah, bagaimana bisa seseorang membuat sebuah cerita hanya dengan waktu lima menit, aku merasa bahwa wanita ini membodohiku.

Aku menurutinya, mengambil pena berwarna biru yang jaraknya dekat denganku. Ketika menulis menggunakan pena itu, benar saja pegangannya terasa nyaman dan membuat jariku tak merasa sakit seperti saat aku menulis dengan pena harga murah, yang lebih menakjubkan adalah aku tidak berhenti untuk menulis, seolah tanganku punya pikiran sendiri, semua ide berhamburan dalam kepalaku. Kemudian, dalam waktu lima menit kurang 10 detik, aku berhasil menyelesaikannya.

“Lihat? Anda berhasil menyelesaikannya dalam waktu singkat, bahkan cerita ini sangat luar biasa, perusahaan kami tidak membuat produk tanpa memperhatikan kualitasnya, itu sudah prinsip bagi perusahaan Nirwana,” jelas Sari. Aku mulai tertarik, dan berencana untuk membelinya.

“Ah lupa, ada yang perlu saya jelaskan, pena ini memang mempermudah pekerjaan Anda, tapi jika pena ini digunakan untuk menulis harapan pribadi, itu sangat dilarang, hal itu untuk memastikan keamanan pengguna,” ujar Sari dengan wajah serius.

 “Kenapa begitu?” aku yang penasaran, mulai bertanya.

 “Karena itu masih dalam pengembangan kami, fitur yang disediakan dan dipastikan aman baru satu, sementara fitur untuk pengabul harapan, masih memerlukan pengecekan lebih lanjut, karena disamping kualitas, kami juga mengedepankan keamanan pembeli, biasanya update fitur, baru akan diberitahu bulan februari,” Sari mengatakan dengan penuh kehati-hatian dan suara yang sengaja dikecilkan, seolah tidak ingin ada seorang pun yang mendengar.

“Baiklah, akan saya ingat itu,” Aku mengangguk menyetujuinya, lagi pula fitur untuk saat ini sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tidak butuh fitur pengabul harapan atau apalah itu, aku yakin itu hanya gimmick dari perusahaannya, untuk membuat produk mereka terlihat menarik bagi konsumen. Meski, jujur saja itu sedikit berlebihan, aku merasa itu seperti menyaingi Dewa.

Pena itu langsung kubeli saja tanpa pikir saja, harganya pun tidak seberapa bagi penulis terkenal sepertiku. Semenjak menggunakan pena itu, pekerjaanku menjadi mudah, karyaku mulai diterbitkan diberbagai penerbit. Royalti yang kudapatkan, seperti daun yang mudah dipetik darimana aja.

Seharusnya kau malu, Lam, harus berapa kali Ibu bilang, untuk berhenti menulis dan bekerja ke tempat yang memang sudah jelas, contohlah Daru, sekarang punya rumah besar dan mobil, sementara—” aku tutup telepon Ibu tanpa mengatakan apapun. Aku meringkuk dimeja belajarku, membenamkan wajahku sebentar. Kemarahan menyelimuti tanganku, hingga tanpa sadar aku melukai tanganku karena terlalu keras menggaruk dengan jari.

“Menyebalkan, kenapa pula aku harus peduli dengan orang lain, jika semudah itu, aku pun ingin punya mobil bagus, rumah mewah, dan istri yang baik, kenapa harus ada orang seperti Daru?! Kenapa ia tidak mati saja,” aku menulis dengan huruf besar dan tidak beraturan, aku memang seperti ini, menulis tidak jelas ketika aku benar-benar marah.

Aku harap Tuhan memaafkanku, karena mengucapkan sesuatu yang tidak pantas dan bersikap kekanakan. Ah tidak, jelas ini salah ibu, bukan salahku. Wanita itu terlalu banyak menuntut seperti orang gila, tanpa menyadari bahwa ia sendiri pun gagal sebagai Ibu dan istri, tidak hanya kawin sana-sini, ia juga selalu melibatkan orang lain untuk bisa menyerangku, benar-benar wanita sialan. Kemudian aku tertidur, entah sejak kapan, tenagaku habis karena marah selama berjam-jam.

Suara TV menyala tiba-tiba dengan suara besar, aku terbangun mengerjapkan mataku berkali-kali. Ternyata remote tidak sengaja aku tindih dengan tubuhku.

Masyarakat Laka digegerkan dengan penemuan mayat laki-laki di sebuah apartemen mewah Sija, saat ini proses penyelidikan sedang dilakukan. Diduga, korban adalah DA, seorang CEO dari perusahaan Sejahtera Indah—”

Ketika melihat wajah korban yang diperlihatkan di TV, aku sontak bangun. Aku terkejut karena, kematian Daru seperti yang aku tuliskan dalam catatan semalam, juga rumahku entah kenapa berubah menjadi lebih besar. Aku lalu mengecek kamar dan ruangan yang lain. Semuanya benar-benar berubah.

“Sayang, kau sudah bangun rupanya, aku tadi ingin membangunkanmu, tapi kau sepertinya terlalu keras bekerja kemarin, kau tampak lelah,” ujar seorang perempuan dengan paras cantik tersenyum padaku. Aku kaget sampai terjatuh. Perempuan itu tampak khawatir, begitu ia mendekatiku, aku beranjak mundur.

 “Kau baik-baik saja, kau tampak pucat,” perempuan itu menangkup wajahku.

“Kau siapa?” tanyaku.

"Kamu pasti semalam kebanyakan minum, sebaiknya kurangi minum, itu membuatmu linglung seperti ini.” Perempuan itu kemudian membantuku bangun.

“Sebaiknya kita sarapan, mungkin itu bisa sedikit menyegarkan tubuhmu, aku juga sudah buat sup pengar buatmu, ayo,” Pam merangkulku, mengajakku ke meja makan yang sudah tersaji dengan berbagai makanan, dan semuanya adalah kesukaanku.

Setelah dipikir berulang kali pun, ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan, sup yang kusantap terasa hangat dan lezat, aku bisa merasakan bagaimana dinginnya segelas air es baru dikeluarkan. Sudah dipastikan, ini kenyataan.

“Sayang, nanti jam 9 kita akan menghadiri acara perayaan perilisan bukumu yang ke-300, banyak yang menantikan karyamu ini, bahkan aku sampai kewalahan, karena harus membalas satu persatu email dari beberapa penerbit yang meminta kontrak,” Pam memotong steak, lalu menyantapnya.

“Perilisan buku? Memangnya buku apa yang kurilis, aku bahkan belum menyelesaikan separuhnya,” sahutku sambil memisahkan potongan wortel ke piring.

Pam menghela nafas, seperti seseorang yang lelah mengingatkan, “Kebiasaan pelupamu sebaiknya dikurangi, itu bukumu yang Dosa Pahlawan,” suara sendok membentur piring terdengar, aku sontak menatap Pam, judul buku disebutkan oleh Pam, adalah naskah yang sedang kuselesaikan sebelumnya.

Aku tertawa kikuk, “begitu ya, maaf aku terlalu banyak minum semalam,” ujarku berbohong.

Acara perilisan buku ke-300 pun dimulai, banyak tamu yang berdatangan, tidak seorang pun kukenal, aku seperti terlahir kembali. Aku bertanya-tanya, pantaskah aku menikmati ini semua? Apa ini surga? Jika begitu, mungkin ini adalah hasil jerih payahku dari Tuhan, kalau tahu begini, aku mungkin bisa beribadah dengan taat sebelumnya. Aku yakin, Tuhan akan mengampuniku.

Di kejauhan, seorang wanita paruh baya dengan pakaian mewah menghampiriku, ternyata adalah Ibuku. Ia bahkan menggandeng pria yang usianya lebih mudah 10 tahun.

“Acaranya berjalan sukses ya, kau memang putraku, aku selalu bangga padamu,” Ibu tersenyum bahagia. Jika tidak mengingat ucapan beberapa saat yang lalu, mungkin aku bisa menganggap bahwa senyumannya itu adalah yang terindah, tapi nyatanya, senyum itu hanya menyembunyikan sisi iblis dari wanita yang terlalu gila dengan pengakuan.

“Sebaiknya kita segera masuk, acaranya akan segera dimulai,” Pam merangkulku, mengajakku ke dalam.

Aku menyampaikan pidato motivasi dihadapan tamu, aku sebenarnya sedikit geli, tapi euphoria seperti ini juga tidaklah buruk.

“Kita semua diciptakan dengan tanah yang sama, oleh karena itu, jangan biarkan ada celah dalam diri kita untuk tidak percaya diri,” Aku menutup pidatoku, yang kemudian disambut dengan tepuk tangan. Setelah acara terakhir, menanda tangani buku untuk diserahkan ke penerbit besar sebagai bentuk kerjasama.

“Kau hebat seperti biasanya,” celetuk seseorang, aku menoleh dan terkejut karena yang menjadi tempat bukuku diterbitkan adalah Gen, teman sekelasku ketika SD. Ia terlihat gagah dengan setelan tuxedonya.

“Terima kasih, aku bekerja keras untuk sampai disini,” Aku berbohong.

“Tapi jika jadi kau, aku mungkin tidak akan puas untuk seperti ini saja,” diselingi tawa khasnya, entah kenapa membuatku sedikit kesal,”kau tahu aku punya banyak mimpi, salah satunya adalah memerintah orang-orang, bekerja untuk orang lain jelas tidak zaman, tapi untuk orang sepertimu pasti tidak begitu kan?” Gen menatapku seolah meminta persetujuanku.

“Ya, kau benar, aku menganggap bahwa apapun pekerjaannya, selama aku menyukainya, itu bukan masalah bagiku,” Aku merangkul Gen, mencoba akrab sambil tersenyum ke arah kamera.

Setelah acara perilisan itu selesai, aku menyandarkan punggungku di kursi belakang mobil. Sementara itu, mobil disetiri oleh supir pribadiku. Cahaya terang dari gedung-gedung, terlihat seperti kilatan bayangan yang silih berganti. Pikiranku terus menerawang kejadian yang kualami hari ini, seperti nasibku berubah dan pertemuanku dengan musuh bebuyutanku.

“Sebaiknya hentikan kebiasaanmu ini, lihat, jarimu jadi terluka seperti ini,” Pam mengambil hansaplast dan mengobati jariku, “bagaimana kau bisa menulis dengan jari terluka, jika ada sesuatu yang kupikirkan, setidaknya bagi denganku, aku ini istrimu kan?” Pam menatapku dengan khawatir. Aku sontak merangkulnya.

“Aku ingin mempertahankan ini selamanya,” Pam menggenggam tanganku kemudian menoleh ke arahku, “Akan sangat menyedihkan, ada seseorang atau penyusup kecil yang menghancurkan kehidupan kita, sayang.” Ucapan Pam membuatku terpikir sesuatu, aku mengecup Pam dan tersenyum padanya.

“Kau benar, tapi kau tak perlu khawatirkan itu, aku akan sekuat tenaga menjaganya, jika memang ada orang yang seperti itu, aku berharap Tuhan mengadili mereka dengan sepadan,” ujarku.  

Aku mulai memikirkan rencana untuk kemungkinan terburuk, karena kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Ini saatnya, bagiku untuk menciptakan puncakku sendiri. Aku tidak ingin ditindas atau diremehkan seperti sebelumnya. Semua orang harus kuhancurkan, dengan begitu dunia yang picik ini, hanya diisi oleh orang-orang terpilih.

Kuambil secarik kertas, dan berniat menuliskan sesuatu. Namun, tiba-tiba suara misterius terdengar begitu aku memegang pena tersebut.

“Kesempatanmu tersisa dua, satu kesempatan sudah kau pakai dan harap gunakan dengan bijak, karena jika lebih dari satu kali, kau tidak hanya mengubah kehidupanmu tapi menciptakan neraka bagi dirimu sendiri, sebagai konsekuensi atas pilihanmu,”

Perasaan ragu mulai menyelimutiku, apa ini yang dimaksud oleh Sales itu. Neraka seperti apa yang akan kuhadapi jika kugunakan lebih dari dua kali, sampai hal tersebut bisa mengancam keamananku. Sepertinya aku harus memikirkan dengan matang, aku tidak ingin kehidupan yang damai ini hancur begitu saja.

Setelah kecamuk dalam dadaku, keyakinanku pun mulai pulih. Aku pun menulis sesuatu.

“Aku ingin berada di puncak semua orang, aku ingin Gen bekerja untukku, kuharap namaku sudah mendunia sampai tidak ada satu orang pun yang tidak mengenalku, aku ingin punya lebih banyak kaki tangan dan senjata api yang sebelumnya tidak pernah aku miliki,”

Gempa bumi terjadi, kencangnya goncangan tersebut, membuatku ketakutan. Aku memejamkan mataku, berharap bisa sedikit menenangkan diriku.

Goncangan itu berhenti, aku membuka mataku. Kulihat sekeliling, semua berubah menjadi lebih besar dari sebelumnya. Aku segera keluar dari ruang kerjaku, terlihat ada seseorang yang menjagaku dengan ketat. Mereka adalah pengawalku. Setelah berkeliling, aku pun menemukan ruangan yang dipenuhi oleh koleksi senjata api. Tinggal satu lagi yang harus kuperiksa, yaitu Gen dan apa namaku sudah dikenal oleh dunia.

Aku mengambil gawaiku, mulai menscrolling. Benar saja, Gen kini bekerja untukku sebagai manajerku, sementara itu namaku sudah mendunia karena berhasil menjadi penulis terbaik dengan mencetak 500 buku yang mempunyai penjualan terlaris sepanjang masa. Aku berjingkrak saking senangnya, impianku pun akhirnya tercapai.

“Sayang, kau sudah selesai menggarap naskahmu?” Pam menepuk bahuku, ia terlihat cantik dan lebih modis dari sebelumnya.

Aku memeluk erat Pam, “aku berhasil, sayang, sekarang tidak ada siapapun yang akan mengganggu hidup kita,” Pam bingung, ia hanya membalas pelukanku.

Semenjak kejadian itu, kehidupan damaiku terus berlanjut. Selama beberapa tahun, aku benar-benar menikmati hidupku. Aku yang baru pulang dari klub, terus bersenandung.

“Ah, ini hidup yang hebat, a-aku ini terbaik, siapa pun akan tunduk jika melihatku,” Aku tertawa dengan diselingi oleh cegukan.

Sesampainya di rumahku, aku mendapati pintu terbuka. Apa Pam kedatangan Ibunya, karena akhir-akhir ini ia seringkali mengeluhkan bahwa mertuaku selalu menuntut dan meminta uang tebusan atas pinjaman. Seandainya begitu, aku harus bergerak cepat tanpa menunggu apapun, aku tidak ingin istri tercintaku didatangi pengganggu, jika perlu akan kumusnahkan saja.

“Sayang, suamimu pulang,” Aku masuk dan mendapati sepatu hitam yang tidak kukenal, perasaanku mulai buruk.

“Pam, apa kau baik-baik saja?” Aku melempar tas kerjaku ke sembarang arah, mencari Pam ke segala ruangan. Namun, aku tidak menemukannya, haruskah kutelepon polisi karena bisa saja ini penculikan. Ketika aku mengetik nomor polisi, terdengar suara pria dari kamarku.

“Sudah kubilang jangan terlalu mabuk, sayang, kau harus perhatikan lebih sering lagi mengerti,” Pam bergelayut manja dilengan pria disampingnya.

“Aku hanya minum sedikit, aku banyak pikiran akhir-akhir ini, jujur saja, aku iri dengan suamimu, dia bisa berada disamping setiap hari, sedangkan aku harus mengendap-endap seperti tikus tanah,” ucap pria itu sambil memainkan rambut Pam.

Pam mencium pria tersebut, “tapi yang selalu ada disini dan melihatku penuh cinta cuma kamu, Gen, karena Lam selalu sibuk dengan dunianya, kadang aku merasa ia seperti orang lain,” Pam terlihat sedih seperti membayangkan sesuatu.

Dadaku terasa sesak, airmataku jatuh begitu saja. Tidak ada yang bisa kukatakan, selain kemarahan yang entah sejak kapan mulai menguasaiku. Dengan cepat, aku menghampiri mereka berdua. Memukul Gen dengan ganas, seperti harimau yang siap menyantap mangsanya.

“Bajingan!”

Gen terkejut, membuat ia tidak sempat melakukan sempat perlawanan. Sementara Pam menjerit histeris berusaha menghentikanku.

“Hentikan, aku bisa jelaskan, tenangkan dirimu, Lam,” Pam memelukku dari belakang. Namun aku melepaskan dengan kasar, mendorongnya hingga tubuhnya membentur lemari.

Aku terus memukuli Gen, ia terlihat sekarat. Tapi, aku tidak berniat untuk menghentikannya. Bajingan itu harus mendapatkan kematian menyakitkan, akan kubuat pemakaman paling hina nanti.

Akh.

Pam memukul belakang kepalaku dengan vas bunga. Kepalaku berdarah, wanita itu hanya melihatku, kemudian menghampiri Gen dan membantunya bangun.

“Kenapa kau lakukan ini?” Aku menangis, “padahal aku begitu mencintaimu, aku berusaha untuk menjaga semua hidup kita berdua,” Aku mengepal keras.

“Kau tak pernah disisiku, Lam, kau selalu terobsesi dengan pengakuan orang lain, dan hanya itu yang menjadi perhatianmu,” rajuk Pam, kemudian mengajak Gen untuk pergi dari rumahku.

Aku mengambil penaku dan secarik kertas, dengan cepat menulis sesuatu.

“Kau akan menyesali ini, Pam, aku akan menghancurkan kalian berdua,” Aku menunjukkan kertas dihadapan Pam dan Gen. Goncangan pun terjadi, lebih besar dari sebelumnya. Kulihat Gen dan Pam terlihat panik dan ketakutan, aku tersenyum puas.

Setelah itu, goncangan berhenti. Kubuka kedua mataku dan melihat sekitar. Aku terkejut, tidak langit atau tempat yang terlihat. Hanya rongga seperti pipa yang memanjang, tubuhku tidak bergerak meski sekeras apapun aku mencobanya, kemudian aku melihat sesuatu yang menyerupai mata harimau dengan sedikit kilatan hitam ditengahnya. Aku semakin mendekat dan tersedot, tubuhku terurai, bahkan berteriak pun tidak bisa.

 

“Subjek ke 210 sudah hancur tersedot lubang hitam,” Pria paruh baya menggigit jemarinya ketika melihat tayangan ulang seorang pria yang terurai karena lubang hitam.

“Saya juga tidak mengira itu akan terjadi, padahal peringatan sudah diberi sejak awal, tapi entah kenapa tetap dilanggar, ujungnya ia merobek waktu, dan karena keserakahannya ia harus berakhir mengenaskan,” Sari membersihkan kacamatanya.

“Sebaiknya kita hentikan projek ini,”

 Saya tidak menyarankan itu, Pak, mungkin fitur ini memang sedikit berbahaya, lebih baik ditangguhkan saja untuk sementara, dan beralih ke projek lain,” Sari mencoba meyakinkan atasannya.

Pria itu menutup dokumen, dan membuka berkas selanjutnya yang berjudul “Diskusi” ia mulai menunjukkan ketertarikan ketika membacanya.

“Ini menarik, spesimen apa yang akan kau gunakan?”

Sari memakai kacamata kembali, lalu tersenyum, “Hanya anak-anak, tapi kali ini saya akan berusaha memastikan tidak ada korban lagi.” 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)