Disukai
9
Dilihat
375
Orang Tua Yang Tiap Idulfitri Selalu Minta Maaf ke Anaknya
Drama

Tidak ada yang istimewa dari bagaimana Mohammand Ashari dan Sinta Seruni bertemu, lalu menikah. Bayangkan, mereka pertama bersua di antrean panjang kantor BPJS. Begitu banal, begitu jauh dari kata spesial. Namun, kisah itu senantiasa mereka ulang-ulang tiap kali ada kesempatan.

 Khusus kepada si buah hati, Raya, mereka sudah menceritakannya minimal dua kali: tahun lalu dan tahun sebelumnya. Tempatnya di sini, waktunya pun sama, yakni pada siang di Hari Lebaran.

 Memang, terkadang orang-orang suka mengulang kisah yang itu-itu saja di acara-acara pertemuan keluarga. Bukannya tidak menyadarinya, mereka sangat mungkin tahu itu. Namun, barangkali daripada kehabisan topik pembicaraan, mereka tetap saja menceritakan hal yang sama, lagi dan lagi. Kebanyakan, pelakunya adalah para pembicara seminar, pembawa acara, penyiar radio, ustaz, dosen, termasuk guru seperti Ashari.

 Bukan karena mereka pikun juga. Oh, tidak sama sekali. Ashari masih 29 tahun, dan istrinya malah setahun lebih muda. Mereka sering berbagi kisah perjumpaan yang banal itu, karena suka saja. Sebagaimana Ashari yang bolak-balik menonton trilogi The Lord of The Ring di aplikasi film, dengan alasan, “Karena suka aja!”

 “Papi sedang membuka blokir kartu BPJS,” tutur Ashari, memulai kisah hidupnya dengan ekspresi yang antusias, “gara-gara waktu itu, Papi sudah menunggak tiga bulan iurannya. Hahaha....”

 "Empat bulan!" potong istrinya sambil membersihkan sandalnya yang sedikit berlumpur. "Jangan dikurang-kurangin, atuh, Pak Guru. Raya kudu tahu kebenaran sejarah ini."

 Ashari mencibir. "Ya ampun, Mi. Mau cerita romantis, kok, malah jadi audit. Nanti Raya mikir maminya bendahara RT, lo!"

 Sinta tertawa pelan, membenahi rambutnya yang diacak-acak oleh angin. Ia kemudian menatap Raya. “Kamu suka cerita yang detail, kan, Nak? Lebih akurat, lebih baik, pan? Tuh, dia mengangguk! Hahaha, ngangguk dia!”

 Sayup-sayup, alunan takbir terdengar dari Masjid Hubbullah di dusun seberang.

 Ashari menatap anaknya, lalu mendesah. “Iyaaa, gimana enggak mengangguk, wong dia ketakutan. Mami itu kalau nanyain orang udah kayak polisi India lagi menginterogasi maling. Serem!”

 Ibu rumah tangga itu spontan mencubit lengan suaminya. “Jangan dengarkan papimu, Raya! Jadi gini, Nak. Waktu itu teh Mami antre di belakang Papi. Mami pegang map biru, Papi bawa formulir yang terlipat-lipat kayak origami gagal.”

 “Origami gagal apaan? Ngarang aja!” protes Ashari sengit.

 “Ya origami yang Papi bikin waktu PPL di sekolah tea, terus Papi ajarin murid-murid SMP-nya bikin burung bangau, tapi hasilnya malah kayak sandal jepit ketiban genteng. Inget, enggak?”

 Ashari tertawa kecil, seraya menatap langit yang cerah tetapi begitu hening. “Ya, terus, ada beberapa bagian di formulir yang belum Papi isi. Waduh, Papi panik, dong! Enggak bawa pulpen, mana posisi udah di tengah-tengah antrean lagi! Nah, di situlah, Papi coba pinjem ke Mami di belakang. Mami kasih. Tapi yang ada, Papi malah ngakak. Karena apa, Raya? Karena pulpen mamimu itu gemuk, pendek, dan... wangi stroberi! Papi pikir, gila, ini cewek minjemin pulpen atau lip balm?”

 Mereka pun terbahak-bahak. Namun, Raya hanya terdiam. Barangkali, ia berpikir betapa garingnya orang tuanya. Atau karena sudah tiga kali ia mendengar plot twist basi ini. Tentu saja hal-hal semacam ini membosankan di mata seorang gen Alfa.

 “Konyol atau enggak,” imbuh Sinta, masih tersisa tawa di bibirnya, “buktinya Papi langsung ngajak Mami makan bakso Pak Ardi di dekat situ setelah urusan BPJS kami kelar. Mami tolak, atuh. Masa iya baru kenal langsung diajak makan? Mami bilang setengah bercanda, ‘Kalau mau serius, mah, jangan ajak makan bakso, atuh. Ajak we ke nikahan temenmu!’ Eh, dua minggu berikutnya, Papi beneran kirim WA, ngajak datang ke resepsi temen kuliahnya. Tanpa undangan.”

 Ashari menambahkan, “Dan kami masuk tanpa salaman, tanpa sumbangan, langsung makan, cuma modal senyum dan baju batik. Yo, piye, gaji Papi masih di bawah UMR waktu itu!”

 “Udah tahu gaji pas-pasan, berani-beraninya deketin Mami....” gumam Sinta.

 “Apa, Mi?”

 “Enggak, enggak!” sahut Sinta, sambil memungut bunga yang gugur di depannya. “Sok, lanjut, atuh!”

 Ashari pun kembali berpaling ke anaknya. “Ya, pokoknya gitulah, Raya. Akhirnya, Papi menikahi Mami di Cimahi, lalu Papi boyong ke Desa Wufi. Sampai sekarang! Itulah asal muasal kenapa kamu sekarang punya orang tua kami. Modal nekat dan senyum aja. Mohon maaf, ya, Le....”

 Suasana pun hening. Ashari dan Sinta bakutatap dengan canggung.

 “Benar, Raya,” Sinta menunduk. Wajahnya berubah sendu. “Kamu enggak pernah punya salah kepada kami. Jadi, tiap Idulfitri gini, kamilah yang musti minta maaf ke kamu.”

 Dari kejauhan, terdengar suara petasan bersahut-sahutan. Cukup keras. Membuat perhatian Sinta teralihkan sejenak.

 Sedangkan Ashari tetap fokus menatap anaknya. “Kamu itu suci, Nak. Enggak kayak kami yang penuh dosa. Jadi, kalau nanti kamu enggak menjumpai Papi sama Mami di surga, tolong kamu cari kami, ya. Tolong kami.”

 Sinta mendesah, lalu mengembus napas panjang, “Kamu itu anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada kami. Kamu tahu, Nak, waktu pertama tahu Mami hamil, Papi langsung nangis. Padahal, katanya, Papi teh paling antidrama.”

 Ashari menyahut cepat, “Itu air mata testosteron, Mi. Maskulin banget. Kayak air radiator bocor, tapi berwibawa.”

 “Halah, bawa-bawa radiator segala, bilang we cengeng!” pungkas Sinta. Lalu, berpaling kembali ke anaknya. “Dan waktu kamu gerak-gerak di perut Mami, kami suka ngobrol sama kamu, geuning. Inget enggak, Papi suka bacain dongeng bahasa Inggris tiap malam?”

 “Hehehe, maksudnya biar kamu lahir langsung bisa bedain ‘there’, ‘their’, sama ‘they’re’. Tapi kayaknya kamu lebih mirip Mami, ya. Lebih suka ceritanya ketimbang pelajaran grammar-nya.”

 “Hus! Dia suka dua-duanya, atuh!” sahut Sinta sambil menatap sepetak tanah yang ditumbuhi rumput yang rapi di depannya.

 Senyap sebentar. Angin berdesir malas.

 Sinta mencabut sebatang rumput yang tumbuh paling tinggi. “Sekali lagi, kami minta maaf karena enggak bisa menyelamatkanmu saat lahir.” Suara Sinta bergelombang menahan emosi. “Kami sekarang masih menunggu adikmu, Raya. Tapi entah kapan. Perut Mami masih kosong, padahal sudah dua tahun. Ah, enggak papalah. Kamu tahu sendiri, Mami mah orangnya sabar. Kecuali pas nunggu pesanan bakso Pak Ardi yang kelamaan ngeraciknya.”

 Ashari tergelak. Tersenyum. Tangan kirinya meremas tangan Sinta. “Kami enggak akan ke mana-mana, Raya. Desa ini, ‘rumah’ ini, cerita ini, permintaan maaf ini, doa ini, semuanya... tetap ada buat kamu dari tahun ke tahun.”

 Sehelai daun kamboja kering menimpa pusara Raya. Ashari segera menyingkirkannya dalam sekali kibas.

 Dan untuk satu momen yang ganjil, kedua pasangan itu seolah-olah menatap Raya yang sedang duduk santai di tikar mereka. Ia mendengar, tertawa, dan mengangguk-angguk. Ia cantik, lucu, dan gemuk. Seperti pulpen maminya saat antre di kantor BPJS.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)
potek hatiku :"
Balas
4 hari 11 jam lalu
:')
nyari idenya sampai ke mana, Kak? aku yang seorang ibu, jadi masuk ke dalam cerita dan ngebayangin Raya itu anakku.
Balas
3 hari 5 jam lalu
niinanola: bukan 🙂
3 hari 10 jam lalu
based on real nggak, nih, Kak?
4 hari 10 jam lalu
niinanola: Iya, hehehe. Memang, Ashari-Sinta di ceritanya belum beruntung.
Alur yg mengalir dgn gaya penceritaan yg fresh. Diakhiri dgn plot twist yg touching 👏
Balas
1 minggu 10 jam lalu
Makasih udah baca dan berkomentar, Kakak.
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi