Butiran salju turun perlahan, menyelimuti dataran kota St. Paul tipis-tipis. Temaram lampu jalan kekuningan menyinari serpihan-serpihan putih, membuat perasaan siapapun yang memandangnya menjadi hangat walau angin di sekitar berhembus dingin. Langit terlihat gelap walaupun jarum jam di balai kota baru menunjukkan pukul enam sore.
Edward merapatkan syal. Baju hangat sudah tiga lapis tapi dia masih bisa mendengar gigi-giginya bergemeletuk, mengalahkan keratan tupai di batang pohon. Dia menatap si tupai dengki, karena nampaknya binatang itu tidak terusik oleh dingin yang menusuk, juga tidak perlu repot-repot membungkus dirinya seperti beef wellington karena bulu yang sudah lebat.
Tangan Edward yang terbungkus sarung mencoba meraih telepon genggam di saku. Sedetik kemudian dia teringat bahwa itu sia-sia. Bukan hanya karena cuaca dingin bisa menghabiskan daya baterai telepon dengan sekejap, tapi juga seseorang yang...