Disukai
1
Dilihat
3,028
O2
Thriller

Di klinik sekecil itu, tabung O2 adalah barang yang teramat mewah. Bukan hanya karena tidak semua orang mampu membelinya, akan tetapi keberadaan tabung berisi O2 itu sendiri sangatlah langka di pelosok seperti itu. Bahkan terkadang ada hari-hari dimana tidak ada O2 sama sekali untuk orang sakit di klinik apabila pasokan dari pusat terlambat datang. Bila hal itu terjadi, terkadang klinik harus bersedia merelakan barang satu atau dua nyawa terenggut sia-sia. Seperti itulah kemewahan O2 di tempat itu.

Suatu hari berkunjunglah seorang profesor teknologi nano ke tempat tersebut untuk menerapkan apa yang sudah ditelitinya hingga botak merenggut ketampanannya semasa muda dahulu. Profesor tersebut datang membawa sekoper penuh tabung berisi zat keunguan yang dipercaya akan memecahkan masalah kelangkaan O2 di satu-satunya klinik di daerah itu. Setelah menginap semalam di rumah kepala suku, keesokkan paginya profesor berkepala licin tersebut datanglah ke klinik dengan membawa kopernya yang berisi sebongkah harapan untuk penduduk asma dan pesakitan lainnya yang membutuhkan stok O2 yang kerap kosong.  Pada sudut koper itu tersemat logo universitas kebanggaannya.

Setiba di klinik, penduduk yang sedianya datang untuk berobat kepada satu-satunya dokter yang menganggap hidupnya penuh dengan kemalangan karena harus ditempatkan di klinik semerana itu berbondong-bondong menuju tempat profesor akan menerapkan kemasyuran ilmunya, sampai ada yang terlupa dengan sakit menahunnya. Kapan lagi penduduk tersebut bisa melihat sentuhan sains di tempat mereka yang tak mengenyam bangku pendidikan barang secuil pun?

Cara kerja apa yang oleh profesor itu sebut sebagai ‘Raja O2’ amatlah sederhana. Hanya membutuhkan stoples atau kaleng-kaleng bekas dengan tutup yang telah dilubangi kecil, selang yang akan dimasukkan ke dalam lubang pada tutup stoples tersebut, sejumput tanah, dan, yang paling penting dari semua bahan itu, cairan keunguan yang ada dalam kopernya. Profesor itu meminta masyarakat membantunya mengisi tanah pada stoples-stoples maupun kaleng-kaleng bekas dengan suaranya yang melengking, sama seperti kemarin dia meminta tolong warga untuk mengumpulkan stoples-stoples itu. Dan suaranya akan tetap semelengking itu sampai jasadnya dikuburkan kelak. Dengan senang hati masyarakat mematuhi profesor. Perasaan mereka saat melakukan itu seperti perasaan peraih hadiah nobel yang berhasil menyelamatkan kepunahan ras manusia dari kekurangan O2.

Setelah stoples-stoples berisi segenggam tanah itu siap, bagian yang paling ditunggu pun tibalah. Profesor itu akan melakukan apa yang disebut oleh kepala suku dalam sambutannya sesaat yang lalu sebagai ledakan ilmu pengetahuan, dengan cairan-cairan ungu dalam tabung-tabung yang ia simpan dalam kopernya.

Ini dia saat kelahiranmu anakku yang manis, kata profesor itu dalam hati sewaktu menuangkan setetes dua tetes cairan ungu itu ke atas tanah di dalam stoples melalui lubang pada tutupnya. Perasaannya saat itu melebihi sensasi senggama pertamanya bersama istri keduanya yang sudah menjadi mantan yang kemungkinan besar saat ini sedang berbulan madu dengan profesor lain dari universitasnya.

Semenit dua menit tidak tejadi apapun. Lima belas menit masih belum terjadi apa-apa. Mata-mata yang sebelumnya enggan berkedip demi melihat peristiwa langka itu, akhirnya perlahan-lahan mengatup. Bahkan ada pemiliknya yang enggan tetap berada di situ sementara celeng-celengnya menunggu santapan dari tuannya.

“Tunggu sebentar lagi,” kata profesor itu meyakinkan. Dia tidak ingin anak manis yang dikandungnya selama bertahun-tahun tidak diapresisasi semasa kelahirannya. Meskipun begitu tidak banyak lagi penduduk yang menaruh minat pada stoples-stoples yang dijajarkan di tengah ruang periksa itu.

Satu jam kemudian, saat penduduk yang menunggu tinggal segelintir, dan si profesor sendiri merasa hasil percobaannya yang selalu berhasil namun kali ini entah kenapa gagal akhirnya merasa frustasi, reaksi yang diharapkan itu pun muncul juga. Penduduk kembali meyemut di dekat stoples-stoples bekas tempat menaruh gula aren atau daun sirih mereka, dan senyum kembali menghiasi keriut mulut sang profesor. Tanah di dalam stoples itu membiru, kemudian melunak seperti jeli dan selang beberapa menit kemudian mencair dan menguap. Akhirnya, di tempat yang mungkin merupakan tempat paling primitif di muka bumi ini, lahirlah penemuan besar yang akan menyelamatkan kekurangan O2 yang diperkirakan akan terjadi di kemudian hari: cairan yang mampu mengubah tanah menjadi O2.

Tidak sampai setahun kemudian sang profesor mati di tempat dinosaurus terakhir punah itu. Tempat yang sudah ia putuskan untuk menghabiskan sisa usianya yang pernah sia-sia, sejak keluarganya hancur. Lima tahun kemudian, saat dokter yang diberi ilmu meracik cairan rahasia itu menyusul gurunya ke alam baka, berdirilah perusahaan “Raja O2” yang memproduksi cairan rahasia dari sang profesor. Seratus tahun kemudian, daerah tersebut tidak lagi primitif. Bahkan daerah itu mendapat nama baru sebagai pusat O2 dunia setelah berhasil mengekspor cairan pengubah tanah menjadi O2 tersebut ke seluruh dunia. Lalu,  seribu tahun kemudian, saat penduduk bumi mulai terbiasa hidup di atas kapal-kapal karena tanah tempat sebelumnya mereka berpijak mulai berkurang secara ekstrem, cairan ungu itu menjadi kebutuhan pokok yang lebih pokok dari yang paling pokok sekalipun. Mereka bahkan bersedia mengorbankan bahan makanan yang bisa di dapat dari tumbuhan dan hewan, kecuali ikan, dengan O2 yang mereka olah sendiri berkat cairan ungu ajaib itu.

Tahun 3015 tiba. Sudah tidak ada lagi tanah di muka bumi. Semua tanah sudah dikeruk habis dengan alat-alat canggih buatan manusia. Mereka mengeruk sedalam-dalamnya, sampai saling menembusi lapisan bumi sisi satunya. Begitu gila demi O2.

Kecuali tanah keramat satu itu. Tanah tempat bersemadinya si “Raja O2”. Karbon dioksida sudah mulai memenuhi bumi dikarenakan tidak adanya tumbuhan yang mampu mengolahnya, membuat sekira enam milyar penduduk bumi mulai tumbang satu persatu. Namun kondisi tersebut belum sampai mendesak lapisan terluar stratosfer yang dari angkasa sudah tampak membengkak hendak meledak.

Lantas tinggal satu miliyar orang, dan mereka membutuhkan O2, saat ini juga. Tapi taruhannya adalah O2 terakhir di perusahaan itu. Namun demikian keputusan itulah yang telah dan sepatutnya diambil. Perang masing-masing orang yang sudah tak lagi bernegara itu pun pecah lah demi segumpal tanah. Meskipun begitu, pada akhirnya milyaran orang itu pun harus mati satu persatu. Kebanyakan karena kehabisan O2 daripada terkena bacokan tetangga sendiri yang dulu sempat menjadi orang paling ramah kepadanya.

Tinggal satu juta penduduk yang selamat. Tapi sudah tidak ada cairan ungu, tidak ada pula tanah yang akan diubah. Semua tinggal lautan dan manusia putus asa yang mengambang-ambang di kapal lapuk di atas gelombangnya. Satu juta pun akhirnya tinggal separonya, dan terus menyusut sampai sebuah suara “eureka!” terdengar lantang dari sebuah kapal. Rupanya dari seorang kakek yang ternyata merupakan cicit dari cicit cicitnya dari cicit cicitnya cicit sang profesor penemu cairan ungu. Dia berhasil mengolah O2 dari air.

Sejak awal tidak ada uang untuk bertransaksi. Mereka bertransaksi dengan pemenuhan kebutuhan biologis lain seperti, yang paling lazim, persenggamaan. Hasil persenggamaan itupun dibiarkan begitu saja karena memang tidak diinginkan. Demi O2, mereka rela menjual kemanusiaan. Dan karena si keturunan professor berjenis kelamin laki-laki, maka lima puluh tahun kemudian tidak ada lagi kaum adam di muka bumi, tidak ada lagi regenerasi manusia, sementara sang keturunan profesor ‘Raja O2’ tinggal menunggu mati saja. Dan saat itu tiba lah, bersamaan dengan air laut yang mulai menipis. Ikan-ikan sudah punah dimakan mentah-mentah.

Sudah begitu pun Tuhan belum menurunkan kiamat jua, membuat satu-satunya wanita tua yang tersisa di dunia merasa putus asa. Walaupun di sisi lain dia bisa sedikit bangga akan usahanya untuk tetap hidup dan telah menasbihkannya menjadi manusia terakhir yang hidup di muka bumi. Dia orang terakhir yang bisa melihat bintang-bintang dan planet-palenet secara langsung hanya dengan berselimutkan selapis tebal O2 terakhir di permukaan tubuhnya, melayang-layang bagai astronot tanpa misi. Dia juga orang terakhir yang bisa melihat secara langsung betapa indah sekaligus menakutkannya sabuk asteroid di antara Mars dan Yupiter. Ego kemenangannya tersebut telah menyelamatkan dirinya dari keinginan untuk meledakkan balon O2 yang kuat menyelimutinya.

Dia terus melayang-layang selama berhari-hari, mengonsumsi sisa O2 yang dimilikinnya sebijak mungkin, dan memakan bangkai-bangkai ikan yang turut bersamanya seminimal mungkin. Tapi apa yang dikhawatirknnya terjadi pula. Minggu-minggu atau entah kapan waktu kemudian, mengingat tidak ada perhitungan waktu pasti bagi satu-satunya manusia hidup yang tinggal menunggu ajal, lapisan O2-nya menipis kemudian meletus, menghempaskannya ke suatu planet kecil entah apa namanya.

Ternyata di planet itu terdapat O2. Bukan hanya itu saja, di sana juga hidup koloni manusia. Betapa terkejutnya Si perempuan terakhir itu. Dia merasa sangat beruntung terdampar di planet yang dihuni spesies-spesies yang sama dengan dirinya. Mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan syukur saat tubuhnya berenang-renang dari pantai tempatnya mendarat ke tepian kerumunan orang. Hanya saja si perempuan tidak tahu kalau koloni itu mendapatkan persediaan O2 yang dapat digunakan berates-ratus tahun lamanya hanya dengan menumbalkan darah seorang manusia dari planet lain yang kebetulan tersesat ke planet mereka, untuk diolah menjadi cairan ungu yang dapat merubah tanah menjadi O2.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Rekomendasi