Disukai
2
Dilihat
103
Nyala Di Kota, Pijar Di Dada
Aksi
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pangalengan, 2022

“Jadilah tentara, Bin.”

Ah, itu lagi. Bintang mengeluh dalam hati. Ia mengalihkan pandangannya ke arah puncak Gunung Wayang di kejauhan. Ini ke sekian kalinya Abah mengajukan permintaan yang sama padanya.

"Bintang?"

Punten, Bah … Abah ‘kan sudah tahu bagaimana pendapat Bintang. Kita pernah membahas ini, kenapa harus diulangi?” kata Bintang akhirnya. Meski kesal, ia mencoba berbicara selembut mungkin pada kakeknya itu.

Bah Dirga menarik napas panjang. Lelaki berusia sembilan puluh tahun itu termenung sejenak. Dulu, di tahun terakhir Bintang SMA, mereka memang pernah membahas ini. Saat itu Bintang menolak. Ia bilang tidak ingin jadi tentara. Bintang malah memilih jurusan seni musik saat memasuki jenjang perguruan tinggi, dan itu sungguh membuat Abah kecewa.

Bintang adalah cucu Abah yang termuda, sekaligus cucu lelaki satu-satunya. Kedua anak Abah perempuan. Oleh karena itu, Bintanglah yang menjadi harapan Abah untuk mewujudkan keinginan itu.

“Abah hanya ingin melihat satu dari cucu-cucu Abah mengabdi dan memberikan baktinya pada negeri ini, Bin. Itu saja.”

“Berbakti dan mengabdi kepada negeri 'kan tidak harus menjadi tentara, Bah.”

“Tapi Abah ingin kamu jadi tentara.”

“Abah—”

“Kalau tidak sekarang, nanti setelah kamu lulus kuliah.”

“Abah, Bintang sudah—”

“Apa sesulit itu menuruti keinginan Abah, Bin?” suara Abah meninggi. Bintang terkejut. Selama ini Abah memang keras kepala dan agak pemaksa, tetapi dia tidak pernah meninggikan suaranya. “Sekali ini saja, Bin. Sekali, sebelum Abah meninggalkan dunia ini. Abah ingin melihat cucu lelaki Abah memakai seragam loreng. Bisa Abah bayangkan betapa gagahnya kamu nanti. Penuh wibawa, layaknya seorang ksatria.”

Bintang diam. Abah pun terdiam beberapa saat. Cahaya di matanya meredup. Lalu pandangannya menyapu ke sekeliling.

Suasana peternakan cukup tenang sore ini. Sesekali suara lenguhan sapi terdengar, ditingkahi suara tonggeret yang bersahut-sahutan.

Agak jauh dari area kandang, berdiri gazebo berukuran cukup besar. Di sanalah kawan-kawan Bintang berkumpul dengan alat musik masing-masing. Suara flute, biola, gitar, ukulele, cello, dan yang lainnya mengalun menciptakan harmoni.

Mereka sedang berlatih musik tadi, sebelum Abah memanggil Bintang untuk berbicara empat mata.

“Sebenarnya Abah sudah tenang karena ayah dan pamanmu mengelola peternakan ini dengan baik.” Suara Abah kembali terdengar. “Tinggal yang satu ini, Bin.”

“Abah, tapi Bintang sudah pernah katakan—”

“Bahwa musik adalah pilihan hidupmu? Seperti itu?” Abah menunjuk ke arah gazebo. “Sedari pagi yang kalian lakukan hanya bermain musik saja!” gerutunya.

Hanya? Apa maksud Abah? Kami berlatih, dan itu bukan main-main, Bah!”

Bintang kesal. Sudah sering ia bertemu orang-orang yang meremehkan pilihannya di musik. Mereka bertanya-tanya mengapa tidak memilih fakultas kedokteran, hukum, ekonomi, atau lainnya yang—dalam anggapan mereka—lebih menjanjikan. Namun, Bintang tidak menyangka bahwa Abah juga akan mengeluarkan kalimat dengan nada seperti itu.

Pemuda itu bangkit dari duduknya. Ia melangkah ke arah gazebo meninggalkan Abah yang juga terlihat kesal.

“Mau ke mana? Abah belum selesai!”

Bintang berbalik, lalu kembali mendekati Abah.

“Kalau Abah masih memaksakan keinginan Abah, itu artinya pembicaraan ini sudah selesai. Tolong Abah ingat, Bintang sudah menentukan jalan hidup Bintang. Bintang tidak pernah berniat jadi tentara. Tidak perlu bagi Bintang untuk terlihat seperti seorang ksatria.

Toh ksatria sejati tidak dilihat dari apa dan siapa dia. Jadi jangan memaksakan hal itu lagi. Apalagi …” Bintang menatap Abah sesaat sebelum melanjutkan ucapannya, “Apalagi kabarnya dulu Abah juga pernah begitu pengecut! Melarikan diri saat orang lain gigih berperang!”

Abah terperangah mendengar ucapan Bintang, sementara cucunya itu berbalik dan berjalan cepat menuju gazebo.

Bunyi gesekan biola dan alunan flute masih terdengar. Namun, Abah masih termangu di tempatnya. Ia benar-benar tidak percaya Bintang berkata seperti itu. Saat alunan lagu berlanggam keroncong mulai dinyanyikan, ingatan Abah justru terlempar ke masa puluhan tahun silam.

Bandung selatan di waktu malam

Idaman hati muda remaja

Tamasya indah penuh kenangan

Riwayatnya tiada terlupakan

***

Dayeuhkolot, 1946

Malam itu Shabri kedatangan tamu. Beberapa pemuda Barisan Banteng Rakyat Indonesia melakukan pertemuan rahasia di rumahnya. Pertemuannya begitu tertutup, bahkan saat Dirga masuk ke ruangan untuk mengantarkan ketel berisi minuman, semua langsung bungkam.

Ieu saha, Shab?” Seorang pemuda bertanya sambil menatap Dirga.

Kapiadi kuring, Kang. Dirga, putra almarhum Mang Abdul.”

“Mang Abdul dari seksi II yang meninggal ditembak tentara NICA tempo hari?” bisik seseorang. Shabri mengangguk.

Dirga yang sudah selesai menghidangkan minuman bersiap keluar dari ruangan. Bisik-bisik itu memang pelan, tetapi tetap saja dapat ia dengar. Dan ia tidak tahan. Pembicaraan tentang cara kematian Bapak selalu saja membuatnya sedih. Namun, seorang pemuda, yang kemudian ia ketahui bernama Ramdhan, memintanya untuk tetap di sana.

“Berapa tahun umurmu? Sepertinya sudah cukup untuk bergabung dalam barisan.” Ramdhan memandang Dirga lekat.

Dirga menggumamkan jawaban. Usianya empat belas tahun saat ini. Teman-temannya sebagian besar memang sudah bergabung dengan laskar tentara. Itulah mengapa tempo hari Bapak mengajaknya ke sini.

Sebelumnya Dirga tinggal bersama Emak di kampung mereka di Pangalengan. Ia begitu bersemangat saat mengetahui akan bergabung dengan laskar pejuang. Namun, kematian Bapak di tangan serdadu NICA yang terjadi di depan matanya membuat Dirga gentar.

“Duduk sini!” Ramdhan menunjuk tempat di sebelahnya. “Kamu bisa bergabung dengan kami. Barisan kita membutuhkan banyak tenaga sukarela.”

Dirga menurut. Ia duduk di antara Ramdhan dan Shabri dan ikut menyimak.

“Jang, apa kamu mengerti situasi kita saat ini?” tanya Ramdhan.

Dirga mengangguk. “Eeeu … Bapak pernah cerita, Jepang kalah dalam perang dunia II. Tentara sekutu datang untuk melucuti mereka, tapi ternyata NICA ikut membonceng dan mengacau. Euu… lalu brigade MacDonald dari pasukan sekutu meminta kita menyerahkan senjata rampasan dari tentara Jepang… Mereka juga memberi ultimatum untuk mengosongkan Bandung Utara,” jawab Dirga. Sebenarnya ia tidak yakin, hanya saja ia ingat pernah diceritakan Bapak dulu.

Hmmm… cerdas juga sepupumu, Shab. Dia cukup paham situasi kita.” Seorang kawan Kang Shabri tersenyum pada Dirga. “Dengar, Jang. Brigade MacDonald memang mengultimatum kita untuk mengosongkan kota, tapi apa hak mereka? Demi keamanan? Keamanan siapa? Padahal tentara NICA-lah yang justru mengacau. Nah, makanya kita bertekad akan terus mempertahankan kota walau pemerintah pusat malah meminta kita untuk menuruti ultimatum itu.”

"Hari ini," kata kawan Kang Shabri yang lain. “Markas besar TRI di Jogja memerintahkan kita untuk mempertahankan kota sampai titik darah penghabisan. Jadi, kita di sini untuk mengatur strategi,” kata pemuda itu berapi-api.

***

“Dirga! Bersiap! Kita harus mengosongkan kota!”

Shabri yang baru datang berseru ke arah Dirga yang masih asyik mengurus sapi Uwaknya di kandang belakang rumah. Dahi Dirga berkerut. Mengosongkan kota? Bukankah mereka harus mempertahankannya sampai titik darah penghabisan?

Seperti memahami kebingungan sepupunya, Shabri, pemuda delapan belas tahun itu menjelaskan, “hari ini ada ultimatum lagi dari NICA, dan pemerintah Jakarta menyuruh kita untuk menuruti ultimatum itu demi keamanan rakyat.”

“Ah, begitu …”

“Ya, tetapi kita tidak akan begitu saja mengosongkan kota.”

“Lalu?”

“Komandan Polisi Militer kita, Pak Rukana, mengusulkan agar membumihanguskan kota. Kolonel Nasution, Komandan Divisi III TRI juga sudah menyetujui usul itu.”

“Membumihanguskan kota?” Mata Dirga terbelalak.

“Ya, agar musuh tidak memanfaatkan yang apa tertinggal saat kota dikosongkan,” imbuh Shabri. Ia menyuruh Dirga bergegas.

Hari itu Dirga menyaksikan, tidak hanya keluarga Uwaknya saja yang berkemas dan bersiap-siap untuk membakar tempat tinggalnya. Seluruh penduduk kota melakukan hal yang sama.

Walaupun terlihat raut kesedihan di wajah mereka yang berbondong-bondong meninggalkan kota sore itu, tetapi mereka terlihat ikhlas walau harus merelakan harta benda dan hanya membawa seperlunya saja. Tidak kurang dari dua ratus ribu penduduk, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, berjalan menuju tempat-tempat pengngsian di berbagai arah. Sungguh pengorbanan yang tak terkira untuk dapat lepas dari cengkraman penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.

Dirga sendiri begitu berat saat harus meninggalkan Jalu dan Demplu, sapi-sapi yang selama ini dirawatnya. Namun, Shabri mengatakan, ada tugas penting yang harus mereka lakukan.

Malam itu, Bandung menjelma lautan api. Namun, itu bukan akhir perjuangan. Sebab, hingga beberapa bulan setelahnya, para pejuang masih terus bergerilya melancarkan serangan-serangan ke markas musuh dan berusaha keras mengusir mereka.

Hingga pada suatu hari, seorang kawan Shabri, Toha, yang juga Komandan Seksi I Bagian Penggempur mengajukan ide. Ia menawarkan diri untuk melakukan sabotase terhadap gudang amunisi Belanda di seberang Sungai Citarum. Demi memuluskan rencana itu, regu Shabri dipimpin oleh Kang Ramdhan akan melakukan pengalihan dan mengamankan jalan. Dirga akan ikut dalam regu itu.

***

Pangalengan, 2022

Mata Abah basah. Layar televisi menayangkan lagu Bandung Selatan Di Waktu Malam yang dibawakan Bintang dan kawan-kawannya, di Europalia Arts Festival, Den Haag.

Ada gemuruh bangga di dada Abah, menyaksikan cucu kesayangannya itu naik ke podium, menerima penghargaan best performance untuk kategori musik etnik.

“Kamu benar, Bin …” gumam lelaki tua itu. “Berbakti pada negeri bisa dilakukan dengan banyak cara.”

Abah menghapus setitik air mata yang lagi-lagi jatuh di pipi keriputnya.

Hampura, Abah, Cu. Selama ini membuatmu kesal dan terlalu memaksakan keinginan Abah. Padahal …” Abah Dirga memejamkan matanya, membiarkan beberapa bulir air kembali menetes. “kamu memiliki hati yang lebih teguh dari Abah.”

Ingatan Abah kembali melayang, saat Dirga muda melemparkan senapan dari tangannya yang gemetar. Dentuman kuat dari ledakan hebat di gudang amunisi membuatnya pontang-panting ketakutan.

Ia tak berpikir panjang. Bahwa ada pengorbanan Kang Toha yang rela tubuhnya hancur dalam ledakan itu. Atau pada Kang Ramdhan yang juga tewas saat melakukan pengalihan. Bahkan pada sepupunya, Shabri, yang dadanya dihiasi lubang-lubang setelah dihantam rentetan peluru musuh. Sebab yang Dirga pikirkan saat itu hanyalah bagaimana ia bisa menyelamatkan diri dan tidak mati seperti bapaknya dulu.Tindakan yang selalu ia sesali hingga kini.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@foggy81 : Salam kenal, Teteh 😊🙏
Baca ini, semua indera... asa mulang ka lembur. Salam :)
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi