Disukai
0
Dilihat
84
Nighty Night Tea
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bel kecil berdenting ketika seseorang membuka pintu sebuah kedai kopi. Harum kopi dan bahan-bahan kue segera menyerbu indra penciuman. Tempat ini cukup ramai seperti biasanya, penuh dengan obrlan ringan dan senyuman. Suasananya nyaman, dengan cahaya lampu yang tenang dan alunan musik klasik.

Seorang pelanggan berjalan lurus ke arah konter, menghampiri seorang barista.

“Malam, apa yang ingin Anda pesan, ma’am?” sapa barista laki-laki yang berada di belakang meja konter.

Wanita itu menatap papan menu di atasnya. “Satu gelas cappuccino.” Ia kembali melihat papan menu. “Dan sepotong kue brownies.”

“Segera datang.”

“Terima kasih.”

Sang barista berbalik untuk meracik minuman pesanan. Ia mengambil cangkir dan menuangkan seduhan kopi, dengan sentuhan akhir krim cair di atasnya. Setelah selesai, ia mengambil satu potong brownies dan membawanya ke meja wanita itu.

“Ini dia,” ujar si barista, seraya meletakkan cangkir dan piring dengan rapi.

Ia kembali ke konter dan melihat ibunya berdiri di sana, membelakangi meja kasir. Ia mengambil kain lap dan mulai membersihkan meja terdekat.

“Dhio, kemari sebentar,” panggil ibunya tanpa menoleh.           

Cowok itu meletakkan kain lapnya. “Apa, Bu?” ia menghampiri ibunya yang sedang memandangi miniatur-miniatur minuman. Mereka memiliki semacam display kecil dimana mereka menaruh miniatur setinggi lima sentimenter dari menu minuman yang ada di kedai kopi ini.

Ibu menaruh tangannya di bawah dagu. “Apakah menurutmu kita perlu menambah jenis minuman lagi?”

“Tiga puluh empat jenis tidak cukup?” tanya Dhio, ia juga memandangi display tersebut.

“Yah, tapi rata-rata menu di sini adalah kopi,” jawab Ibu sambil memiringkan kepalanya sedikit.

“Tapi tempat ini memang kedai kopi.”

“Aku ingin sesuatu yang baru.” Ibu menyentuh display itu. ”Lihat, masih cukup ruang.” Ia menunjuk satu tempat lengang di sana.      

Dhio kembali bebersih dan ibunya masuk ke dapur. Beberapa pelanggan masuk lagi, segerombolan anak muda datang beramai-ramai. Sembari melayani mereka, ia melihat halte bus di seberang kedai kopi. Beberapa orang berteduh di sana karena salju turun. Lewat tengah malam, kedai mulai sepi, orang-orang pulang untuk beristirahat. Di akhir pekan, mereka buka sampai pukul dua pagi.

Menjelang waktu tutup, saat Dhio sedang menyapu lantai dan merapikan kursi-kursi, seorang gadis masuk ke dalam kedai.

“Apa kedai ini masih buka?” gadis itu bertanya kepada Dhio.

“Ah, hm.” Dhio menoleh pada jam dinding. “Hampir. Tapi kau bisa tetap di sini jika kau mau.”

“Terima kasih.” Gadis itu duduk di salah satu kursi, ia meletakkan ranselnya di atas meja.

Dari penampilannya, dia terlihat agak berantakan dan buru-buru.

Dia bertanya. “Kau punya botol air?”

“Ada. Tunggu sebentar.” Dhio meletakkan sapu dan segera mengambil air mineral di kulkas konter. Ia menyerahkannya pada gadis itu. “Ini.”

Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar, gadis itu segera meneguk isinya.

Dhio memperhatikannya. “Kau terlihat lelah. Kalau boleh tahu, memangnya kau dari mana?”

“Aku tertidur dan ketinggalan bis. Aku menunggu satu jam lebih di halte, berharap masih ada bis berikutnya. Tapi bisnya tidak kunjung datang dan aku sudah kedinginan.” Dia menghela napas sambil melihat butiran-butiran salju di luar.  

Dhio menoleh ke arah halte. “Bis terakhir biasanya datang pukul dua belas,” katanya. “Baru akan ada bis yang datang pukul tujuh pagi nanti.”

Gadis itu menghela napas lagi. “Masih beberapa jam lagi.”

Dhio berjalan menuju pintu dan memutar tanda ‘buka’ menjadi ‘tutup’. Ia mengelap beberapa meja sebelum kembali pada gadis itu. “Kau bisa menunggu di sini. Keluargaku ada di lantai atas.”

“Terima kasih,” balas gadis itu sambil tersenyum.

Dhio mencuci gelas dan piring. Sembari mengelap gelas, ia bertanya. “Omong-omong, kau ingin pergi ke mana?”

“Ibukota.”

Dhio hanya manggut-manggut.

Mereka diam untuk beberapa saat dan Dhio masih membereskan konter.

Gadis itu bangkit dari kursi, menengok keluar jendela. Ia berbalik dan berjalan ke meja konter. “Maaf sudah mengganggumu.”

“Tidak apa-apa,” sahut Dhio santai.

“Aku Ruby, by the way.

“Dhio.”

“Kependekan dari...?”

“Tidak, hanya Dhio.” Cowok itu menjawab. Ia mengamati gadis itu. “Apa? Apakah Ruby kependekan dari sesuatu?”

“Rubianne, sebenarnya.”

“Nama yang unik.”

Dhio mengangkat nampan berisi gelas dan membawanya ke dapur, sementara Ruby melihat-lihat interior kedai kopi itu. Tempatnya tidak terlalu besar, namun memberikan suasana yang hangat. Ada satu rak kayu berisi buku-buku di satu sisi dan dua speaker berukuran sedang di atas meja. Terdapat cukup banyak lukisan dan figura di dindingnya, diterangi oleh lampu-lampu yang bercahaya lembut.

Tak berapa lama kemudian, Dhio kembali ke konter. Ia menaruh celemeknya di gantungan. “Kau sebaiknya beristirahat. Pukul tujuh masih cukup lama,” ujarnya kepada Ruby.

Ruby menggeleng. “Aku ketinggalan bis karena ketiduran, ingat? Sepertinya aku sudah sangat cukup beristirahat.”

Dhio terkekeh. “Kau benar.”

Ruby berjalan mendekat dan duduk di salah satu kursi tinggi di konter. “Ini tempat yang nyaman.” Ia melihat seluruh isi konter. “Apa kedai ini milik keluargamu?”

“Kau bisa bilang begitu,” jawab Dhio. “Ayahku penyuka kopi, jadi dia membuat tempat ini. Aku bekerja paruh waktu saat hari-hari biasa dan penuh waktu saat akhir pekan.”

“Kau tidak pergi keluar dan bersenang-senang saat akhir pekan?”

“Di sini tempat aku dan teman-temanku nongkrong.”    

Ruby mengangguk. “Hmm, begitu.”

“Jika kau tidak keberatan, aku mau ke atas sebentar untuk bersih-bersih. Tidak apa-apa?”

“Tentu saja, gunakan waktumu,” sahut Ruby.

Dhio melangkah menuju bagian kiri konter sebelum berbicara lagi. “Kata sandi wifinya ada di atas meja speaker. Jika kau bosan.”

Ruby tertawa. “Oke, oke.”

Cowok itu nyengir sebelum menghilang menaiki tangga ke lantai dua.

Selang beberapa waktu kemudian, Dhio kembali ke bawah dengan rambut basah. Ia mengenakan sweater putih polos dengan handuk kecil di lehernya. Ruby sedang duduk sambil menonton sebuah video di ponselnya.

“Jadi,” ujar Dhio sambil membuka-tutup laci konter. “Apa kau ingin segelas kopi?” tanyanya.

Ruby mendongak dari ponselnya ke arah cowok itu.

“Gratis.”

“Bisakah aku minum teh saja?” tanya Ruby dengan agak canggung. Ia memperlihatkan gigi-giginya yang rata.

“Tentu,” sahut Dhio. Ia segera mengambil satu cangkir kaca. “Apa yang kau inginkan?”

“Emm.” Ruby bergumam. “Nighty Night Tea.”

“Apa?”

Nighty Night Tea,” ulang Ruby.

Dhio masih terlihat bingung.

“Kau tidak tahu?” Ruby turun dari kursinya dan berjalan ke konter. “Teh dari tanaman-tanaman herbal yang biasa kau minum sebelum tidur, atau untuk menenangkan pikiran. Nikmat sekali diminum untuk bersantai di malam yang dingin.”

“Tidak pernah dengar,” kata Dhio. “Tapi, oke. Beritahu aku apa yang ada di dalamnya.”

Ruby memenjamkan matanya sambil menekan kedua bibirnya. “Passionflower, kamomil, bubuk tilia, catnip, dan... lemon,” jawabnya. “Apa kau punya bahan-bahannya?”

Well, mari kita lihat.”

Ruby duduk di bangku tinggi sambil melihat Dhio membuka-buka laci kabinet. Ia membuka satu kabinet berisi banyak toples dan kantung-kantung kertas cokelat kecil yang di dalamnya berisi berbagai bubuk dan tanaman kering.   

“Kau benar-benar punya banyak rempah teh untuk sebuah kedai kopi,” komentar Ruby.

Dhio menaruh wadah berisi bahan-bahan itu di atas meja konter. “Ibuku menyukai segala jenis minuman, tapi ayahku paling menyukai kopi.” Ia memilah-milah toples dan kantung kertas. “Semua ada, kau harus menganggap dirimu beruntung.”

“Kau punya seluruh keluarga pencinta minuman, berarti.” Ruby tersenyum.

Dhio mendongak untuk melihat wajah gadis itu, salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas.

Sembari menunggu, Ruby memperhatikan Dhio meracik teh. Cowok ini tidak tahu apa itu Nighty Night Tea, tapi masih bisa memperkirakan dan membuatnya dengan baik dan anggun. Dia menakar semua bahan-bahannya dengan sempurna. Tampaknya dia memang berbakat dan memiliki sentuhan sendiri terhadap minuman.

“Em, hei, jadi apa yang lebih kau suka? Teh atau kopi?” tanya Ruby. Dhio sedang mengaduk tehnya.

“Aku lebih menyukai koktail sebenarnya.” Dhio meletakkan sendok teh. “Ini dia,” ujarnya sambil menyodorkan cangkir teh pada Ruby. 

Thanks.” Ruby mengangkat cangkir itu ke bibirnya. “Ini dia, Nighty Night Tea.” Ia menyuruput teh dengan perlahan, merasakan kehangatan menuruni tenggorokan dan dadanya.

Dhio memperhatikan gadis itu menikmati tehnya.          

“Kau ingin mencobanya?” tanya Ruby, ia mencecap lidahnya. “Ini, coba sedikit.”

Dhio terdiam sesaat, sebelum menerima cangkir teh itu. Ia menyesap tehnya.

Harum kamomil menyeruak ketika Dhio mendekatkan cangkir ke hidungnya, namun juga tercampur dengan bau yang segar. Rasanya seperti teh herbal, tapi tidak terasa hambar karena dipadu dengan lemon dan daun mint yang sengaja ia taruh di atasnya. Tidak manis, tapi ia menyukainya. Lagi pula, ia tidak banyak minum teh.

Is it good, right? tanya Ruby.   

"Suprisingly, yes.

Mereka mengobrol selama beberapa lama. Rata-rata tentang kopi, terkadang jenis minuman lainnya.

“Kau tahu Gary Snyder, seorang penyair Amerika, pernah berkata, ada orang-orang yang suka menjadi kotor dan memperbaiki banyak hal, mereka biasanya minum kopi saat fajar dan bir setelah pulang bekerja. Ada pula yang hidup bersih, hanya menikmati segala hal yang ada di sekitarnya, mereka biasanya minum susu saat sarapan dan jus pada malam hari. Tapi, ada juga orang-orang yang melakukan keduanya, mereka meminum teh.” Ruby memberitahu.

Dhio memikirkan kata-kata gadis itu. Untuk seorang barista, dan berasal dari keluarga yang hidup di antara aroma bubuk dan rempah-rempah, ia jelas memahami kalimat itu.

“Kau tampaknya tahu banyak hal tentang minuman,” kata Dhio kepada Ruby. 

Ruby mengedikkan bahunya. “Kau bisa bilang aku peminum segalanya, tapi aku memiliki koneksi tersendiri terhadap teh.” Ia meluruskan posisi duduknya menghadap Dhio. “Kau jarang minum teh, kan?”

“Mungkin hampir tidak pernah.”

Ruby bergumam sambil manggut-manggut.

Lengang untuk beberapa saat. Butiran-butiran salju di luar sudah berhenti turun.

Gadis itu tiba-tiba mendongak. “Hei, bagaimana kalau aku tunjukan cara membuat tehku?” tawarnya bersemangat, mata cokelatnya berseri. “Sejenis teh Nighty Night Tea, sebenarnya, tapi dibuat ala Ruby.”

Dhio terdiam selama sedetik. “Oke.”

Ruby segera turun dari kursi tinggi dan berjalan memutar menuju sisi kanan meja di dekat kasir. “Bolehkah?” ia menunjuk pintu kecil di samping mesin kopi, sebagai permintaan izin untuk masuk ke dalam konter.

“Tentu.” Dhio bergeser sedikit untuk memberikan Ruby ruang.

“Ah.” gadis itu berbalik lagi dan mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Ia mengeluarkan sebuah tas serut kecil. Ia membuka selembar kertas yang di dalamnya berisi semacam tanaman kering.

“Apa itu?” tanya Dhio.

“Ini bunga rosela. Bahan utamanya,” jawab Ruby.

“Kau selalu membawanya?”

“Yaah, aku harus membuat tehku.”

Ruby mulai meracik minumannya. Ia juga membawa semacam kantung teh kecil untuk mencelup bunga rosela. Ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, lalu mencelupkan bunga rosela yang sudah dibungkus dalam kantung kecil, membiarkan airnya berubah menjadi merah.

“Nah, ini yang membuat tehnya spesial, dan mengapa aku dinamai ruby,” kata Ruby sambil tersenyum bangga.

Dhio menganggukkan kepalanya sambil memandangi teh itu.

Setelah airnya berubah warna, Ruby memasukkan dua setengah sendok teh madu. Katanya, untuk menghilangkan rasa asam dari bunganya. Garis itu mengiris lemon dengan rapi dan menaruhnya di atas teh.

“Kau punya biji chia?” ia menoleh pada cowok itu.

Dhio berpikir sebentar, lalu ia membuka laci kecil di nakas dan memberikan satu toples kepada Ruby.

Ruby membiarkan lemon itu sebentar sebelum membuka toples biji chia. Ia menaburkan biji-biji di sekitar lemonnya. Mengelap sedikit bagian yang berantakan, lalu kemudian menyajikannya.

“Tadaa,” ujar gadis itu. “Nighty Night Tea ala Ruby.”

Dhio memandangi teh merah itu dan pembuatnya sejenak sebelum menerimanya. Ia menyeruput tehnya berlahan. Rasanya seperti cahaya matahari dan udara pepohonan. Ia masih bisa merasakan sedikit rasa asam dari bunga rosela dan rasa manis dari madu, juga aroma segar dari irisan lemon. Biji chia memberikan rasa dan sensasi tersendiri ketika meminumnnya.

“Bagaimana?”

Dhio menjawab. “It’s good.”

“Aku tahu,” sahut Ruby senang, ia bersandar pada meja konter.

Dhio menaikkan kedua alisnya dan mengangkat cangkir itu pada Ruby, sebelum menyeruputnya sekali lagi.

“Bahkan setelah hari yang panjang, pada akhirnya, kau tetap membutuhkan minumanmu.”

Cowok itu meletakkan cangkir di atas meja. Ia tersenyum. “Yeah.”

Ruby membungkus kembali bunga roselanya dan memasukkannya ke dalam tas serut. “Omong-omong, ini display apa?” ia menunjuk sebuah rak kecil. “Aku sudah melihatnya dari awal masuk ke sini. Kupikir ini sangat bagus.”

“Oh.” Dhio berjalan mendekat. “Ini display kecil tempat kami menaruh miniatur-miniatur menu minuman di kedai kopi ini. Ibuku yang memasangnya.”

Ruby mengangguk, masih memandangi gelas-gelas yang sangat kecil itu.

Di luar, langit mulai berubah warna menjadi biru gelap. Ruby mengambil botol air dari ranselnya.  

“Apa kau punya minuman buatanmu sendiri?” tanyanya.

Dhio mendongak dari ponselnya. “Tidak juga.”

“Kau harus membuatnya,” Ruby menatap Dhio sambil meneguk airnya.

Cowok itu hanya mengedikkan bahunya.

Waktu pun berlalu, dan tidak terasa warna biru gelap langit sedikit demi sedikit mulai menjadi terang. Ruby duduk bersantai di sofa sambil mendengarkan lagu, kadang-kadang melihat biji-biji kopi di kedai, sementara Dhio sudah dua kali bolak-balik ke lantai atas.

“Pukul berapa sekarang?” gumam Ruby. Ia mendongak dari biji kopi robusta yang sedang dipegangnya.

Dhio menoleh ke arah jam dinding. “Enam.”

“Wups, saatnya pergi.” Ruby berbalik dari konter dan segera membereskan barang-barangnya.

“Bukankah bisnya tiba satu jam lagi?”

Ruby menyampirkan ranselnya di bahu. “Aku ingin mampir ke supermarket sebentar untuk membelikan adikku sesuatu.” Ia berjalan ke depan konter. “Terima kasih sudah membiarkanku bermalam di sini.”

Dhio tersenyum. “Sama-sama.”

“Oke, aku pergi dulu.” Ruby mengusap-usap jaketnya sebelum berbalik. “Dah, sampai jumpa, Dhio!”

“Hati-hati.”

Dhio melihat Ruby membuka pintu kedai dan berjalan di trotoar. Ia masih memandangi pintu itu sampai tertutup dan bel kecil di atasnya berhenti berdenting. Dhio tersenyum pada dirinya sendiri. Ia mengambil spidol hitam di atas nakas dan menuliskan sesuatu di papan tulis kecil. Ia sudah menemukan menu baru.

Tertulis, Nighty Night Tea, dan tentu saja yang spesial, Rubianne Nightea.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi