Bagiku, menyapa orang yang lewat adalah kehidupanku. Bagi orang yang yang sudah tidak produktif lagi, yang keuangannya bergantung pada uang pensiun dari pemerintah, aku hanya menunggu kapan giliranku.
Tapi aku tidak suka berpikir rendah seperti itu. Meskipun sudah usia lanjut, aku harus bisa bermanfaat bagi orang lain. Minimal dengan apa yang aku lakukan di setiap pagi ketika aku menyapu halaman rumah peninggalan orang tua.
Rumahku berada di lokasi yang cukup strategis. Meskipun di pinggiran kota, rumahku berada di jalur dari stasiun menuju ke fasilias-fasilitas umum di pusat kota, seperti: sekolahan, pusat perbelanjaan dan kantor. Meskipun jalur menuju tempat itu tidak hanya satu, tapi halaman rumahku masih cukup ramai dilewati orang, terutama pelajar.
Pernah pada suatu waktu seseorang dengan jas hitam yang ternyata adalah supir datang membukakan pintu penumpang dari sebuah mobil yang cukup rendah. Jika dibandingkan dengan tinggiku yang bungkuk ini, masihlah lebih tinggi diriku dari pada mobil itu.
Pemilik mobil itu tanpa basa basi dan langsung menawarkan untuk membeli rumah ini dengan harga yang berkali-kali lipat dari uang pensiunan bulananku. Dia juga menjanjikan akan mencarikan tempat tinggal lain sesuai dengan apa yang aku inginkan. Itu tawaran yang cukup menarik jika aku masih muda. Di usia senja seperti ini, yang aku inginkan hanyalah tenang dan mengamati dunia sekitar. Aku lantas menolaknya dengan hormat. Untungnya pemilik mobil rendah itu memahaminya dan tidak kembali setelah hari itu.
“Selamat pagi,” ucapku ketika melihat sepasang siswi melintas di depanku. Kedua siswi itu terkejut untuk beberapa detik dan membalas dengan lirih meskipun mereka sudah berjalan lalu.
Bulan Juli adalah awal semester baru. Banyak siswa siswi baru yang tidak pernah aku temui melintas di pekarangan. Tak aneh jika mereka terkejut jika seseorang tiba-tiba disapa oleh orang yang tidak dikenal. Jika aku adalah seorang om-om, mungkin mereka akan ketakutan. Aku bersyukur, dengan wajahku yang keriput ini, mereka tidak ketakutan dan mau membalas salamku. Karena hanya dengan itulah aku bisa lebih hidup.
Aku senang menyapa orang. Melihat senyum yang muncul dari wajah yang terpasang datar, melihat semangat yang muncul secara tiba-tiba, merasakan sedikit kebahagiaan yang dibagikan sedikit untuk orang lain. Reaksi orang yang aku sapa juga bermacam-macam. Ada yang membalas dengan suara yang lebih keras, ada yang secara aktif menceritakan keadaan terbarunya, dan ada juga yang menjawab dengan suara yang lembut. Dengan telingaku yang sudah termakan usia ini, aku tidak bisa mendengarkannya, tapi aku bisa mengetahuinya dari gerak bibir mereka.
Termasuk salah seorang siswi yang menurutku memiliki wajah yang berparas cantik. Rambutnya hitam tergerai panjang. Poninya juga panjang hingga hampir merahasiakan kulit putihnya.
Saat itu aku melihatnya berjalan sendirian dengan memanggul tas punggung. Aku sapa dia seperti aku menyapa orang lain. Dia sempat terkejut beberapa detik hingga langkah kakinya berhenti. Dia kemudian mencari dari mana suara itu yang sebenarnya persis di depannya.
Dia lalu diam untuk beberapa saat setelah melihatku. Aku menyapanya sekali lagi. Mungkin sebelumnya dia tidak mendengarkannya dan kebingungan. Setelah mendengar sapaanku yang kedua, bibirnya bergetar mengatup-ngatup. Seperti ada sesuatu yang ingin keluar, tapi ada sesuatu yang menahannya. Suaranya tidak jadi keluar dan dia melangkah pergi meninggalkanku.
Ya, kadang hal itu juga terjadi. Aku harap dia tidak ketakutan terhadapku dan menghindari jalan ini. Aku tidak ingin akibat perbuatanku, dia berjalan memutar lebih jauh untuk berangkat sekolah.
Esok paginya hatiku tertenangkan. Gadis berparas cantik itu muncul di jalan paving yang sudah tetutupi tanah bercampur lumut kering. Dia berjalan dengan langkah anggun dengan ketuk sepatunya yang lembut menyentuh tanah. Saking anggunnya, dunia seolah memberikannya jalan agar semua mata tertuju padanya.
Tidak, dia tampak menonjol karena hanya dia yang berjalan sendirian. Banyak diantara siswa-siswi berangkat sekolah bersama teman karibnya. Tertawa bersama tanpa sebab yang jelas. Kontras dengan itu, dia hanya menundukkan kepalanya dalam. Poninya yang panjang menutupi sebagian kecantikannya.
“Selamat pagi,” sapaku ketika dia berjalan melaluiku. Dia memang tidak membalas dengan suaranya, tapi aku melihat dia menganggukkan kepala. Aku bersyukur dia tidak menganggapku mengganggu. Aku rasa ini adalah hari yang cerah. Aku melanjutkan menyapu dedaunan yang kering di paving jalanan.
Beberapa hari berlalu sejak hari itu, namun aku tidak lagi menemukan paras cantik yang tertutup poni itu. Kemarin bahkan aku masih berdiri di halaman rumahku sampai habis siswa sekolah yang melewati rumahku, dan aku masih tidak melihat wajahnya. Aku harap tidak ada hal buruk yang menimpa dirinya.
Ini adalah hari senin, hari semua orang mengawali aktifitas setelah libur akhir pekan. Termasuk diriku, bukan maksudnya bekerja, di hari senin, aku menyetok bahan-bahan makanan yang mulai menipis.
Di keranjang anyamanku sudah tertempel kertas yang bertuliskan kebutuhan untuk satu minggu ke depan. Seperti biasa, aku keluar pukul 9 setelah selesai menyapu halaman dan membersihkan ruang tamu.
Di saat aku membuka gerbang yang tak terkunci, aku melihat gadis yang sudah beberapa hari tidak aku temui. Bukannya berangkat, dia malah berjalan ke arah pulang. Padahal ini masihlah pagi, tidak seharusnya dia pulang seawal ini jika tidak terjadi sesuatu.
Aku dengan spontan memanggilnya.
“Selamat pagi,” kataku seperti biasanya.
Gadis itu menengok sumber suara dan memperlihatkan seluruh wajahnya. Air mata berkumpul di matanya, siap untuk jatuh kapan saja. Melihat itu, insting seorang ibu memanggilku. Keranjang aku jatuhkan dan dengan segera berjalan menghampiri gadis itu.
Kedua tanganku menyentuh pundak kurus yang bergetar. “Apa yang terjadi nak?” tanyaku memastikan.
Dia tidak menjawab. Justru genangan air di matanya malah menjadi-jadi. Aku tidak tahu. Aku langsung memeluknya tanpa pikir panjang. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan dan apa yang ingin aku katakan. Aku hanya ingin membuatnya tenang.
“Tenang, tidak perlu menangis. Nenek ada di sini. Mungkin kamu tidak mengenal nenek, tapi masalahmu akan lebih ringan jika kamu mau mencurahkannya kepada orang lain,” ucapku mencoba meyakinkan.
Dia tidak menjawab.
Jika aku meraba-raba, mungkin dia memilki masalah tentang pertemanan atau dengan lingkungan sekolahnya. Itu kasus lama bahkan ketika aku masih sekolah di bangunan kayu yang lapuk. Setidaknya aku harus mengatakan hal lain jika memang dia tidak ingin bercerita.
“Nenek tidak tahu masalahmu, tapi kamu harus ingat, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Dan tiap kesalahan memiilki hak untuk dimaafkan. Jika kamu melakukan kesalahan, minta maaflah. Jika kamu tidak melakukan kesalahan, tetaplah minta maaf. Karena hubungan dengan orang lain lebih penting dari pada mencari siapa yang salah,” kataku memberi nasihat.
Mungkin hanya itu yang bisa aku katakan karena aku juga pernah merasakannya dulu. Aku melakukan kesalahan dan aku terlalu takut untuk dijauhi. Beberapa hari aku bersitegang dengan temanku, namun pada akhirnya kami mengakui kesalahan masing-masing dan kami kembali akrab lagi.
Tertegun untuk sementara waktu, tangannya kemudian memeluk erat diriku. Aku biarkan dia melakukan itu sampai dia puas dan melepaskannya dengan perlahan.
Kini mata merahnya menatap lurus ke mataku yang kabur. Dia membuka mulutnya dan mengucapkan, “Terima kasih.”
Aku tersenyum, bahagia bahwa ucapanku masuk ke hatinya. Aku membalasnya dengan, “Selamat pagi.”
“Selamat pagi,” jawabnya dengan senyum yang lebar yang tak pernah aku lihat dari siswa manapun yang pernah aku sapa. Meninggalkan kesan itu, dia berbalik badan dan berjalan kembali ke sekolahnya.