Lampu menyala
(Melalui teknik solilokui Budiman berkata)
Budiman : Cita-cita? Apa aku bisa menggapainya? Apakah aku terlalu berlebihan? Mengapa banyak orang mencibirku? Bukannya sah-sah saja aku mempunyai impianku tersendiri?
Pada suatu hari saat sidang pendadaran karya ilmiah, Budiman ditanya oleh pengujinya
Penguji : Nak budiman apakah kau mempunyai cita-cita?
Budiman kaget, pertanyaan yang dilontarkan oleh penguji tidak berkaitan dengan karya ilmiah yang disusunnya
Budiman : Ummm Maaf?
Penguji : apa kau mempunyai cita-cita?!!
Tak ada angin maupun hujan, tiba-tiba penguji Budiman menanyakan hal yang mengejutkan. Tanpa adanya persiapan Lalu dengan ragu Budiman menjawab,
Budiman : Belum pak
Penguji : Ha, apa kau bilang?
Budiman:
(Mengulangi jawaban dengan lebih pasti)
Belum pak!
Penguji : (Tertawa)
Nak budi, sebagai generasi muda kau harus punya cita-cita! Apa kau mau masa mudamu terbuang sia-sia?
Tentukan sekarang Apa yang kau mau? Jadi dokter? Presiden, astronot ataukah menjadi seorang PNS sepertiku?
Dan begitulah awal mula ceritanya, dari sebuah pertanyaan, sekarang Budiman berada disini. Bagaimana bisa dari sebuah pertanyaan yang ringan mengubah nasib seseorang hingga berdampak pada masa depan.
Apakah kau mempunyai cita-cita? Hanya itu! Tapi, ketika Budi menjawab tidak, kenapa ia harus dipaksa agar mempunyai cita-cita. Ini tidak adil! Ini pemaksaan! Penindasan!
Penguji : Tapi Nak Budi! Ini juga demi kebaikanmu!!
Coba kau bayangkan! Jika kau tidak punya cita-cita; apa kau mau kelak menjadi seorang gelandangan?
Budiman : Gelandangan? Maksud bapak?
Budiman mengalami pertentangan batin akan keyakinannya selama ini, Keyakinan yang selama ini dipegangnya mulai luntur bak dedaunan yang gugur kala diterpa angin kencang. Di waktu Budiman masih kecil, jika diterpa hal yang demikian, pasti akan lari secepat kilat; bersembunyi di dalam rumah. Karena di rumahlah ia merasa aman dari segala mara bahaya. Apalagi ada sosok ibu yang selalu melindunginya.
Tapi, meski demikian, benar juga apa yang dikatakan oleh beliau, jika Budiman tidak punya cita-cita untuk apa hidupnya selama ini?
Tiba-tiba Budiman teringat pesan dari bapaknya!
Bapak : Hei nak kenapa kau murung? Takdir itu ada di tangan Tuhan Kau cukup menjalaninya. Jika kau bermain peran, serahkan permasalahan ending pada sutradara; dia yang berhak memutuskan, kau layak mendapatkan peran apa darinya?! Kau tak ingat apa yang kuajarkan saat kecil?
Budiman : Tapi yah, jika aku tidak mendapat peran bagaimana? Apa aku harus menjadi seorang tata rias? Tukang lampu? Atau malah aku hanya bisa menjadi seorang penjaga tiket? Aku tak mau!!
Bapak : Hei Kau tenang saja! Kau tak ingat siapa aku? Aku ini suara rakyat! jadi Masalah seperti itu bisa aku atur, kau tak usah panik. Ini masalah mudah, aku cukup meloby sutradara. Setelah itu, kau tinggal pilih peran apa yang kau mau!
Budiman : Semudah itu?
Bapak : jelas!! Asal kau tahu, sutradaramu itu adalah temanku, selain itu dia juga adalah teman satu kampus, satu angkatan, satu fakultas bahkan kami satu warna, satu bendera! hahaha
Ahh aku jadi teringat waktu masa kami kuliah, sutradaramu itu orangnya malu-malu. Pernah suatu ketika dia menyukai seorang gadis di kelas kami; namanya Hayati, dia adalah seorang gadis berparas rupawan, wajahnya begitu cantik bak pesohor yang terpampang di baliho nan megah di pinggir jalan-jalan umum sebagai ikon daya tarik sebuah produk. Kalau tidak salah, wajahnya mirip sekali dengan pesohor papan atas yang ada di negri ini. Bahkan, menurutku Hayati lebih cantik.
Oh ya, nama pesohor yang kumaksud tadi adalah Pevita Pearce. Kau tahu kan, dia sering sekali menghiasi film-film layar lebar? Dan jika kaum pria melihat lekuk tubuhnya, ia pasti akan menelan ludah seketika.
Sudah banyak para mahasiswa mencoba mendekati Hayati, tapi, tak satupun yang berhasil mendapatkan hatinya. Bahkan dosen Budiman yang kini tengah menguji dirinya juga pernah melamarnya untuk dijadikan istri kedua. Gila, benar-benar gila.
Namun apa mau dikata, jodoh itu ada ditangan Tuhan, dan sutradaramu itulah yang dengan kemalu-maluannya, dia berhasil menarik perhatian dari Hayati. Andai saja dia bukan sutradara, mungkin bunga kampus itu bisa menjadi ibumu. Hahaha
Budiman tiba-tiba merenung
Budiman : Tapi apakah ini baik, yah? Hanya demi menjawab sebuah pertanyaan aku harus rela berbuat yang sedemikian. Lalu bagaimana nasib orang yang tidak seberuntung diriku? Apakah usaha keras mereka akan sia-sia?
Bapak : sudahlah, nak, jangan kau terlalu ambil pusing, inilah yang namanya proses seleksi alam. Bagaimana? Apa kau masih bingung untuk menentukan cita-citamu?
Budiman : (Mengangguk)
Bapak : ah begini saja, kalau kau tak mau aku meloby sang sutradara bagaimana jika aku meloby dosenmu itu? Brilian kan?
Aku akan menyuruhnya untuk mengganti pertanyaan yang disodorkan kepadamu, dari pertanyaan tentang, apa kau mempunyai cita-cita? menjadi pertanyaan tentang, apa kau sudah makan hari ini?, bagaimana? Hahaha
Budiman : (Mencoba untuk meyakinkan pendiriannya)
Sudahlah, Kenapa ayah malah menjadi sutradaraku? Biarkan aku menentukan arah hidupku, aku cukup bahagia hanya menjadi penonton di depan panggung seperti ini! Aku tak perlu ikut ambil pusing dengan konflik-konflik yang disajikan sutradara di atas panggung, cukup pemain yang menjalaninya!
(Mendapatkan pertentangan)
Bapak : Tidak bisa! Kalau kau hanya menjadi penonton, uangmu nanti hanya akan habis terpakai untuk membeli tiket dari pertunjukan ini. Dan yang mendapatkan untung? Pemain dan sutradara, kau tidak akan berkembang.
Kalaupun pertunjukan yang disajikan itu bagus tidak akan menjadi masalah karena kau malah akan menjadi terhibur, tapi, kalau pertunjukannya jelek?
Maka, dari pada itu, selagi ayahmu ini satu warna bendera dengan sutradara, kenapa juga tidak kau manfaatkan kesempatan seperti ini?
Apabila aku bilang kau adalah anakku pada dosenmu yang kini tengah mengujimu, pasti kau tak akan perlu repot-repot menjawab pertanyaan yang dia berikan.
(Suasana Hening)
Penguji : bagaimana nak budi? Apa kau sudah mempunyai cita-cita?
Budiman : Cita-cita?
Bapak : (dengan teknik solilokui)
Cepatlah nak katakan pada dosenmu itu, bahwa kau adalah anakku!
Penguji : bagaimana nak budi?
Budiman : cita-cita?
Bapak : Ingat sutradaramu itu adalah temanku!
Budiman : cita-cita?
(Berteriak)
DIAM!! kenapa kalian malah membingungkanku?
Cita-cita2! Hanya itu! Apa tidak ada pembahasan lain?
Bagaimana sekarang? Kalian puas menekanku seperti ini?
Kalian dengan seenaknya berkata kepada penjaga tiket bahwa kalian adalah keluarga dari sang sutrada, setelah itu kalian bisa masuk ke pertunjukan ini dengan leluasanya begitu?
Aku bukanlah penjaga tiket yang mudah kalian takut-takuti.
Penguji dan Bapak : (serentak bertanya)
Kalau begitu cepat katakanlah, apa cita-citamu?!
Budiman : baiklah kalau kalian memaksa..
Jika hal ini bisa meluluskanku kenapa tidak aku menuruti kemauan kalian, asal kalian tahu! Aku ingin Negeri Tanpa Bendera!! Negeri dimana tidak ada pemain penonton bahkan sutradara didalamnya
Ha bagaimana? Puas kalian sekarang?
(Kembali mendapatkan penolakan)
Bapak : negeri tanpa bendera? Oh tidak bisa! Pemikiranmu itu terlalu berbahaya, kau bisa dianggap sebagai separatis negara! Bagaimana mungkin ada sebuah segara tidak mempunyai bendera? pemikiranmu itu terlalu kekanak-kanakan. Kau tahu di balik bendera itu tersimpan banyak sekali kepentingan orang?
Penguji : hal ini tidak bisa dibiarkan, kau bisa menjelek-jelekkan nama institusi. Kalau mereka tahu kau berasal dari kampus ini, bisa-bisa tempat ini menjadi lembaga yang tidak dilegalkan.
(Terjadi perdebadan antara budiman dengan sang dosen)
Budiman : tapi pak! Ini sudah menjadi keputusanku, dan inilah cita-citaku. Menjadikan negri ini tanpa bendera.
Penguji : nak Budiman apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? Ah mungkin saja kau sedang dalam keadaan grogi ketika menjawab pertanyaan yang kuberikan. Sehingga kau improve ketika memainkan pementasan ini. benar kan?
(Mencoba mempengaruhi budiman)
Bisa dikatakan kau sedang mengalami demam panggung. Nah kalau begitu, sekarang jujur saja, kau tak usah takut sudah berapa lembar naskah yang kau lompati? Berapa peristiwa yang sudah terlewatkan saat pementasan ini? Apa kau mengira penonton-penonton sekarang ini adalah orang-orang yang bodoh?
Begini saja akan ku coba ulangi pertanyaanku ini, tapi sebelum menjawabnya tariklah nafas terlebih dahulu.
(Budiman menarik nafas)
Penguji : nah bagus lakukanlah seperti itu.
Tarik nafas, keluarkan, tarik lagi, keluarkan.
Sekarang Nak Budiman coba jawap pertanyaanku! Apa cita-citamu?
Budiman : aku Ingin negeri tanpa bendera!!
(Budiman mendapatkan sanksi atas cita-citanya.)
Baiklah kalau begitu, jika kau rasa sudah memantapkan hati untuk menentukan cita-citamu kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tapi, alangkah baiknya kau urungkan niatmu itu. Dengan demikian, untuk sementara ini, setelah kami mempertimbangkannya secara masak-masak, maaf kami belum bisa meluluskanmu. Mungkin setelah kau merevisi imajinasimu itu, kau bisa kembali mengajukan ujian.
Begitulah yang terjadi! Mereka tidak akan berani untuk meluluskan Budiman, Mereka termakan pertanyaannya sendiri.
Mereka bertanya, Budiman tidak menjawab
Budiman tidak menjawab, mereka memaksanya untuk menjawab
Budiman menjawab, ia juga yang salah
Budiman salah, ia tidak diluluskan!!
Lantas, mereka ingin jawaban apa darinya?
Merasa frustasi, budiman pasrah dan mencoba menjadi hakikatnya sebagai pemeran
Budiman : (dengan teknik solilokui)
Ah sudahlah, biarkan penonton sendiri yang menentukan jawabannya.
Sebagai seorang pemeran, aku hanya tinggal menjalankan imajinasi dari sutradara, karena jika aku berimajinasi sendiri maka sutradara akan kehilangan peran.
(Menghela nafas)
Seandainya negeri ini tanpa bendera.