"Buk, kayaknya malam ini abang bakalan pulang telat deh. Soalnya akhir bulan banyak kerjaan yang harus diberesin. Ibuk nanti malam makan duluan aja. Kalau Ibuk udah ngantuk, langsung tidur aja, gak usah tungguin abang pulang." Rudi membungkuk dan menyalami ibunya yang masih duduk di ruang makan.
"Memang telatnya sampai jam berapa, Bang?"
"Bisa jadi sampai tengah malam, Buk. Kan biasanya juga gitu kalau udah mau akhir bulan. Biasa, tutup buku."
Ibunya mengernyitkan dahi.
Wanita itu berusaha bangkit dari posisi duduknya, tapi tenaganya tampak lebih tua dua puluh tahun dibanding umurnya yang baru menginjak awal lima puluhan. Tangannya bertumpu pada meja makan untuk membantu gerakannya. Rudi menawarkan lengannya. Wanita paruh baya itu pun menyambut rangkulan anaknya.
Rudi membawa ibunya berjalan menuju ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Letaknya persis bersebelahan dengan ruang makan.
Langkah ibunya pendek dan tertatih.
Dalam langkah yang pendek itu, ibunya selalu saja mengkhawatirkan anaknya. Menjejalinya dengan nasihat-nasihat yang timbul akibat kekhawatirannya yang terlalu berlebihan. "Kamu hati-hati ya Bang, pulang malam-malam gitu. Jalan Tenggara itu sepi banget. Takutnya ada begal kalau malam. Kamu nginap di kantor aja kalau memang sampai kemalaman. Pulangnya pagi-pagi aja. Toh, besok juga kan libur."
"Ibuk itu ya, takutnya kok yang berlebihan banget, kalau ada Ayah udah dimarahin pasti. Lagian, masa Ibuk sendirian di rumah? Ya abang gak mau ninggalin Ibuk sendirian lah. Malam-malam lagi. Kalau ada apa-apa gimana?"
"Ada apa-apa gimana? Kamu kan gak yang sampai berhari-hari lho, Bang. Besok pagi juga udah ketemu lagi. Dari pada kamu kenapa-napa di jalan? Ngeri lho, Bang. Jaman sekarang itu orang-orang kebanyakan nekad. Ibu takut kamu dibegal aja."
"Hush, Ibuk ini, ngomonginnya yang enggak enggak. Amit-amit." Rudi mengetuk-ngetuk kepalanya pelan dengan tangan kirinya. "Lagian, abang lebih khawatir sama orang yang nekad, kalau tau Ibuk lagi sendirian di rumah." Rudi membalikkan omongan ibunya.
"Sama aja kayak ayahmu, bantaaah terus." Penuh penekanan walau nafasnya agak berat akibat langkah-langkah pendeknya yang belum usai. "Yasudah. Tapi kamu hati-hati ya!"
Rudi hanya mengangguk.
Mereka tinggal beberapa langkah kecil lagi dari sofa yang berada di ruang tamu.
Rudi membantu ibunya untuk menemukan posisi duduknya yang nyaman di atas sofa favoritnya. Setelah menemukan kenyamanannya, seketika pandangan ibunya teralihkan pada sebuah berita yang tersiar di layar televisi. Dia mencondongkan badannya ke depan, membenarkan posisi kacamatanya yang agak turun, dan mengalihkan seluruh perhatiannya pada layar yang berada di depannya itu.
"MENOLONG PENGENDARA YANG MOTORNYA MOGOK, PEMUDA INI MALAH DI BEGAL." Headline sebuah berita yang mengusik perhatian ibu Rudi.
"Itu lho, Bang. Baru aja Ibuk bilangin tadi, udah ada aja kejadiannya. Kamu hati-hati ya. Sering banget kejadian begal-begal kayak gitu akhir-akhir ini." Nada bicara ibunya terdengar semakin khawatir. Matanya bergantian menatap layar televisi dan anaknya.
"Iya itu kan bukan di sini, Buk." Rudi agak membantah. "Di mana itu?" Dia memicingkan matanya. "Nah, itu di Kabupaten Barat, Buk. Masih jauh dari sini."
Ibunya hanya melotot ke arahnya (dari tenaganya yang sudah terkuras, hanya pelototan mata dan gaya bicaranya saja yang enggan menua). Efek tatapan itu tak pernah berubah walaupun penyakit gula darahnya sudah mengakibatkan tubuh dan tenaganya terdegradasi hampir setengahnya. Rudi pasrah dan seolah hanya diperbolehkan mengangguk.
"Iya Buk. Ibuk pokoknya jangan khawatir." Rudi akhirnya mengalah dan tak ingin beradu argumen lagi. Dia menenangkan ibunya seadanya.
"Lho gimana gak khawatir." Perhatiannya kembali terfokus pada berita pembegalan. Matanya tak beranjak dari layar televisi. "Itu kalau ada yang minta tolong gak usah digubris, Bang. Walaupun dia tergeletak di jalan, biarin aja. Jangan kamu tolongin pokoknya. Kita gak tau niat orang." Ibunya masih berceloteh, tangannya melambai-lambai, matanya bergantian menatap Rudi dan layar tv.
Rudi hanya bisa mengangguk dan memberikan penjelasan agar wanita yang disayanginya itu menjadi lebih tenang. Dia tahu persis karakter ibunya. Terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu, berkebalikan dengan almarhum ayahnya yang lebih santai. Rudi? Mewakili sifat keduanya dengan komposisi yang naik turun.
Setelah mengiyakan apapun yang keluar dari mulut ibunya, dia berpamitan untuk kedua kalinya dengan wanita itu.
Rudi bergegas menuju ke kantornya. Dia bekerja sebagai accounting di sebuah dealer motor yang berada di pusat kota yang berjarak sekitar 30-40 menit dari rumahnya. Jalanan dari pusat kota ke desanya terbilang cukup sepi, baik di siang hari, apalagi di malam hari (suasana setelah isya pun sudah seperti dini hari, kosong melompong).
Rudi bergerak ke kantor dengan mengendarai sepeda motor yang dicicilnya dari tempat dia bekerja. Dalam perjalanannya itu, percakapan dengan ibunya barusan terus terngiang dalam otaknya.
Ada beberapa hal yang membuatnya merasakan mix feeling tentang mengapa kasus pembegalan seperti itu bisa terjadi. Apa memang sesulit itu mendapatkan rejeki yang halal di sini hingga tak punya pilihan lain selain membegal orang? Atau memang sudah tabiat mereka saja yang seperti itu. Entahlah. Batin Rudi hanya bisa menerka-nerka.
Apa mungkin akses pendidikan yang terbatas dan kualitasnya yang buruk juga ikut berkontribusi membentuk perilaku amoral mereka? Ah tapi tidak juga. Memangnya pejabat-pejabat yang lulusan universitas nasional dan luar negeri itu bermoral? Bukannya mereka yang lebih besar skala begalnya ya? Batinnya mulai berasumsi lewat pertanyaan-pertanyaan liar dalam benaknya.
Dan dalam benak yang masih bergejolak itu, seketika Rudi dihadapkan pada kenyataan bahwa jalanan yang selama ini dilewatinya adalah jalanan yang dihiasi lubang-lubang asimetris dengan kedalaman dan jarak antar lubang yang bervariasi. Sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja, seolah memang itu adalah hiasan permanen yang tak bisa dihapus.
Kondisi jalanan yang rusak membuatnya harus menjalankan motornya dengan pola zig zag hingga beberapa kilometer ke depan sambil terus menggerutu mengutuk pemerintah daerahnya yang tak kunjung responsif (walaupun sebenarnya tak ada gunanya juga, karena suara hati tak mungkin didengarkan oleh pejabat-pejabat yang berwenang itu, kritikan yang selalu terlontar saja hanya sepintas lewat bagi mereka).
Entah sampai kapan jalan ini dibiarkan seperti ini. Begini rupanya kalau orang "pintar" dipilih oleh orang "bodoh" yang dipelihara? Dikasih janji dan amplop waktu kampanye saja sudah senang, sama bansos tipis-tipis pas sudah menang. Okelah.
Belum reda gerutuan dalam hatinya, Rudi dikagetkan oleh sebuah pemandangan yang berjarak kira-kira puluhan meter di depannya. Tampak seorang pria paruh baya, berumur sekitar lima puluhan, terduduk lemas di pinggir badan jalan yang berlubang, melambai pelan ke arahnya dari kejauhan. Tak jauh disebelahnya, terlihat sebuah motor butut yang sudah kelihatan kerangka tergeletak begitu saja di jalanan.
Sambil mengendarai motornya yang masih dengan pola zig zag, dia melihat ke sekeliling semak- semak di pinggir jalan. Berita pembegalan dan kekhawatiran ibunya tadi kembali menguasai pikirannya. Dia mencoba mengabaikan dan berniat menunjukkan simpati dengan menolong. Rudi mulai mengendurkan gas motornya perlahan. Ia sedikit melambat, tapi tak begitu lambat. Jaraknya kini semakin dekat. Lambaian tangan orang itu terlihat dengan jelas. Begitu lemas dan tak bertenaga.
Dalam hatinya Rudi merasa kasihan, tapi juga takut di waktu yang bersamaan. Nasihat ibunya rupanya masih menguasai separuh pikirannya.
Dalam laju yang pelan, ia seperti mendengar ada suara-suara gesekan dedaunan dari sisi kanannya. Seketika pikirannya menjadi kacau. Nasihat ibunya kembali mengambil alih seluruh pikiran dan keputusannya untuk tidak lagi berempati.
Dia mengurungkan niat untuk membantu pria yang diperkirakan seumuran dengan ayahnya jika ia masih hidup. Dia mantap dan menarik gas motornya lebih dalam, memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, masih dalam pola zig zag yang tak beraturan, meninggalkan pria paruh baya itu tanpa berani lagi menatap wajahnya. Rudi sekarang hanya fokus ke depan. Fokus pada jalan yang berlubang dan pada nasihat ibunya.
***
Rudi baru saja menyelasaikan pekerjaannya. Revisian laporannya itu sudah diterima dan disetujui oleh kepala cabangnya. Situasi kantor yang tadinya ramai mulai kembali sepi, ditinggalkan satu per satu oleh karyawannya. Hanya menyisakan Rudi yang masih merapikan laptop dan alat kerjanya bersama dengan dua security dealer yang memang sedang bertugas.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Rudi bimbang antara mengikuti kata hatinya untuk pulang dan menemani ibunya, atau menuruti nasihat ibunya untuk menginap dan pulang keesokan harinya.
Kebimbangan itu perlahan memunculkan kekhawatiran akan kalimat yang tadi pagi ia gunakan untuk meng-counter ibunya tentang orang nekad. Ia kini nekad. Membulatkan tekadnya untuk menerobos jalan yang berlubang, sepi, dan tanpa penerangan itu untuk memastikan tidak ada orang nekad yang akan mengganggu ibunya, tanpa mempedulikan orang nekad yang akan menggaggu perjalanannya.
Motor Rudi berhenti tepat di depan pos satpam. Ia melongok ke dalam tanpa turun dari motornya dan melihat Bambang sedang tertidur memeluk perutnya yang buncit dengan kondisi tv yang menyala. Ia masih melongok untuk menemukan satu lagi teman Bambang yang juga ikut berjaga. Tapi tidak ada.
Sebelum menancapkan gasnya, tiba-tiba saja konsentrasinya dibuyarkan oleh suara yang berasal dari belakangnya, dari arah dealer. "Pulang Pak Rudi?"
Ternyata orang yang dicarinya baru saja selesai berpatroli. Ia mencoba menoleh ke belakang dan terkaget karena orang yang bertubuh tinggi, besar, dan atletis itu kini berada tepat di sisi kanannya, menepuk bahunya.
"Iya pak."
"Nginap aja Pak Rudi. Kan rumah Pak Rudi jauh. Jalanannya parah itu. Gelap lagi."
"Ibuk saya sendirian di rumah pak Johar. Kasian."
"Okelah Pak Rudi. Hati-hati di jalan."
Rudi menjabat tangan Johar dan berpamitan. Dia memacu motornya dari tengah kota yang sudah sepi menuju desa yang tampak mati di malam hari. Keluar dari kota kecil itu dengan dihadapkan pada keadaan yang begitu kontras. Terang ke gelap. Gelap tanpa sehelai penerangan buatan. Bulan pun tertutup awan sepenuhnya, sehingga satu-satunya yang bisa diandalkan Rudi hanyalah cahaya redup dari lampu motornya yang masih belum lunas.
Kendaraan itu melaju pelan, dia tak berani memacunya secepat ketika di pagi hari. Bisa berbahaya kalau sampai masuk ke dalam jebakan lubang-lubang jalan. Dalam kondisi seperti ini, siapa yang bakalan mau nolong kalau ada apa-apa? Batinnya mulai khawatir. Dia juga tak mungkin mundur, mengingat kekhawatiran terhadap ibunya yang jauh lebih besar.
Dalam laju yang pelan itu, Rudi tetap siaga. Dia memperhatikan dengan seksama kiri-kanan jalan yang dipenuhi semak-semak setinggi dada pria dewasa. Jika ada gerak-gerik dedaunan itu yang ia rasa mencurigakan, dia sudah tak segan lagi untuk menambah kecepatan, walaupun dengan kondisi jalanan yang kacau.
Tapi ternyata Rudi luput. Dia tidak menyadari kehadiran sebuah balok kayu yang melayang dari sisi kanannya. Menabraknya tepat di lengan kanan. Menyebabkan kendaraannya jadi melaju tak beraturan. Menyeret dirinya ke sisi kiri jalan, sebelum akhirnya terhenti karena menghantam lubang jalan dan berakhir di pinggir semak-semak.
Rudi berusaha bangkit, tetapi kaki kirinya terhimpit motor dan pergelangan kakinya masuk ke dalam celah velg. Matanya mulai berkunang-kunang. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mendongakkan kepalanya, memperhatikan beberapa orang yang keluar dari arah semak-semak yang tak jauh dari posisinya. Samar-samar. Hanya terlihat dalam bentuk bayangan yang bergerak cepat mendekatinya.
Hitungan detik, kepalanya kembali dihantam dengan balok kayu. Membenturkan sisi kepalanya yang lain pada sudut aspal yang berlubang. Saat itu, dia merasa ada sesuatu yang mengalir dari kepalanya, terasa hangat dan membasahi seluruh pipi dan lehernya.
Rudi merintih, tapi suaranya mulai hilang. Nafasnya memburu dan berat. Dia masih bisa melirik dan menggerakkan sedikit kepalanya. Mereka bertiga. Tiga orang itu telah membegalnya.
Si kurus-pendek, salah satu dari mereka, ingin kembali menghantam kepala Rudi dengan balok kayu. Tapi si pria berbadan paling besar menghalanginya dengan lengannya yang lebar. Senyap tanpa suara. Rudi tak bisa mendeskripsikan perawakan anggota ketiga, karena dia tidak mendekatinya, hanya memantau teman begalnya dari jarak beberapa meter.
Pria malang itu hanya bisa pasrah ketika dua anggota begal di dekatnya itu mengangkat motornya dengan paksa. Akh. Kakinya seketika menjadi mati rasa.
Mereka membawa kabur motor Rudi, bergerak ke arah yang berlawanan dari anggota ketiga. Dia hanya bisa mendegarkan suara mesin yang selama ini selalu mengantarkannya dengan selamat, perlahan menjauh meninggalkannya.
Tak berselang lama, anggota ketiga juga memacu motornya dengan pelan ke arah yang sama, melewati Rudi yang masih tergeletak di aspal. Namun, motor itu malah mati tepat di dekat tubuh Rudi yang sudah tak berdaya.
Dia hanya bisa melirik dengan tenaga yang tersisa, melihat bayangan orang ketiga yang tengah kesusahan menghidupkan kembali motornya yang tampak tinggal kerangka. Menginjak-injak pedal selahan berkali-berkali tanpa membuahkan hasil. Butuh waktu hampir semenit baginya hingga berhasil menghidupkan kembali motor bututnya dan pergi meninggalkan Rudi sendirian di tengah malam yang begitu dingin.
Mata Rudi perlahan mulai berat dan menutup. Dia sudah tidak bisa lagi melihat. Gelap. Dan dalam kegelapan itu, Rudi hanya bisa menyaksikan bayangan ibunya yang tengah duduk di sofa sambil menghadap ke arah pintu, menanti kepulangannya.