30 tahun Lalu
“Apakah kau siap gagal?”
“Siap.”
“Apa yang akan kau lakukan andaikata kau gagal?”
“Saya akan pulang dan berusaha lagi untuk seleksi tahun depan,” kata bocah itu penuh semangat.
“Maksud saya bukan kau gagal seleksi hari ini. Bagaimana kalau kau gagal nanti? Suatu hari nanti. Bagaimana jika kau tak pernah berhasil?”
“Nanti urusan nanti,” kata bocah 18 tahun itu kepada pria paruh baya di hadapannya.
Pria tua itu tersenyum sinis lalu memegang kepala bocah itu. “Nanti urusan nanti.” Ia meniru kata-kata si bocah, nadanya pun persis. “Tapi nanti akan menjadi kini. Dan ketika nanti telah menjadi kini, dan kau tak punya lagi nanti yang lain, apa yang akan kau lakukan andaikata nantimu itu ternyata berbeda dengan yang kau nantikan?”
Bocah tanpa pengalaman itu diam. Tak mengerti.
“Sudahlah. Lakukan saja yang terbaik.” Ia tersenyum. “Nanti urusan nanti.” Senyumnya semakin lebar, tapi kali itu senyuman pria paruh baya itu seolah mengejek lawan bicaranya yang masih remaja.
*
Tahun ini
Bocah 15 tahun, bernomor punggung 19 itu menggiring bola di sisi kanan lapangan melewati 3 orang kemudian menyentuh bola itu dengan punggung kaki kiri bagian luar, mengontrol bola, sekian detik, satu sepakan bagian dalam kaki kirinya membuat kulit bundar melesat kencang ke tiang jauh, dan gol!
Para penonton, termasuk para orang tua yang menyaksikan seleksi anak mereka kemudian bertepuk tangan, beberapa menggelengkan kepala, seorang pria berkumis bahkan melompat-lompat girang seolah bocah pencetak gol itu anak kandungnya.
Sementara semua orang bergembira, di sisi lapangan dekat tiang tendangan pojok seorang pria tetap tenang; tangannya terkunci di belakang, wajahnya sedatar tembok, tatapannya kosong. Pria itu adalah ayah si bocah ajaib bernomor punggung 19 yang telah mencetak 5 gol dalam pertandingan sore ini.
Gelagat pria itu hampir-hampir tak berubah sampai peluit panjang dibunyikan oleh pelatih sekaligus penyeleksi merangkap wasit, tanda pertandingan dalam rangka seleksi sore ini telah berakhir. Dengan tangan tetap terkunci, pria itu serius menatap putra semata wayangnya yang disalami oleh rekan-rekan satu timnya. Mata bocah-bocah itu menaruh kekaguman kepada pemilik nomor punggung 19. Ia adalah bintang dalam seleksi sore ini.
Para bocah yang berusia 15-17 tahun itu lalu membentuk sebuah lingkaran besar di tengah lapangan, dan pelatih merangkap wasit itu berdiri di tengah lingkaran. Sekian belas menit lewat, lingkaran itu pecah, dan para bocah kemudian berjalan ke arah orang tua mereka masing-masing, beberapa dipeluk, beberapa dicium; kebanggaan jelas sekali pada wajah para orang tua. Anak-anak mereka sampai di pertandingan sore ini adalah prestasi besar, sebab sebelumnya mereka telah diseleksi di tingkat kecamatan, lalu kabupaten, dan akhirnya sampai di seleksi tingkat provinsi sore ini. Bocah-bocah ini telah berhasil menyingkirkan ribuan bocah lain untuk pertandingan sore ini.
Yurgen, 16 tahun, nomor punggung 19, berjalan menuju tiang tendangan pojok dengan senyuman yang terus-terusan membinar di atas wajahnya, sesekali ia menyeka keringat di wajahnya dengan ujung lengan bajunya. Wajah ayahnya tetap seperti tembok. Saat tinggal beberapa langkah lagi mereka berhadapan, sang ayah balik badan dan mulai berjalan. Yurgen mempercepat langkahnya untuk berjalan di samping ayahnya. Di pintu keluar stadion, beberapa orang menyapa Yurgen dengan kata puja-puji, Yurgen membalasnya dengan senyuman; beberapa mengulurkan tangan, Yurgen menyalami mereka. Yurgen ingin berhenti sejanak untuk bercakap-cakap dengan orang-orang itu, tapi ayahnya berjalan terus. Yurgen tak punya pilihan, kapal mereka akan berangkat sekitar pukul 8 malam, dan sekarang sudah pukul 6. Yurgen paham sikap Ayahnya.
Mereka berjalan kaki bersisian—hampir-hampir tanpa bicara—dari stadion tempat seleksi ke pelabuhan yang jaraknya 3 km. Ayahnya cuma buka mulut ketika mereka berjalan melintasi terminal yang ramai. “Nanti mandi dan ganti pakaian di kamar mandi pelabuhan saja.” Yurgen tak menjawab, ia paham watak ayahnya.
Di kamar mandi pelabuhan yang sempit, bau pesing, dan remang, Yurgen mengguyur badannya dengan air seraya senyuman terus membinar di atas bibirnya. Ia mengulang setiap kejadian di lapangan tadi, peluit wasit, sorak penonton, ucapan kawan satu timnya, serta puja-puji untuknya seolah-olah menjadi lagu yang berdendang di telinganya. Ia bahagia sekali. Dan ia yakin akan terpilih mewakili provinsinya untuk seleksi nasional timnas usia muda beberapa bulan mendatang. Ia yakin. Tadi, setiap kali mencetak gol, ia selalu memandang wajah pelatih sekaligus wasit, dan pria itu selalu tersenyum. Lima gol, lima kali pria itu tersenyum. Yurgen juga percaya diri karena seleksi teknik dasar dan taktikal pun ia melampaui kawan-kawannya.
Yurgen yakin, ia akan pergi ke ibu kota lalu ke luar negeri untuk membela negara. Ia tak ingin mengecewakan ayahnya yang sudah menjual kebun kelapa warisan untuk seleksi hari ini.
Senyum Yurgen sempat pudar ketika mengingat kebun kelapa itu. Ia ingat ketika ayah dan ibunya bertengkar karena keputusan ayahnya. Kebun kelapa itu satu-satunya sumber nafkah mereka. Tanpa itu, mereka akan makan tanpa lauk sampai entah kapan. Yurgen sendiri sempat kaget dengan keputusan ayahnya. Dulu ia pikir ayahnya tak mendukung cita-citanya, sebab ayahnya tak pernah membicarakan sepak bola dengannya dan tak sekali pun berdiri di pinggir lapangan saat Yurgen bertanding di kecamatan, padahal Yurgen mendengar cerita-cerita dari orang kampung bahwa ayahnya dulu adalah seorang pesepak bola ulung di kampung. Ia bahkan sempat pergi ikut seleksi nasional, malangnya, ada saja tingkah takdir, suatu hari tempurung lututnya bergeser, dan segalanya berakhir untuk ayah Yurgen. Dan karena cerita-cerita itu, diam-diam Yurgen mengagumi ayahnya meski ia tak pernah melihat ayahnya bermain sepak bola.
Sampai ia habis mandi, tak ada senyum lagi di atas bibir Yurgen, Rasa takut gagal memudarkan puja-puji, sorak penonton, dan senyum pelatih tadi. Keyakinan dan bayangan indah cita-citanya pun ciut dengan sendirinya. Di kamar mandi sempit, bau pesing, dan remang, Yurgen telah takut mengecewakan ayahnya.
*
Di atas kapal.
Yurgen dan ayahnya bersisian, siku tangan keduanya bertopang pada pagar pembatas kapal, tatapan keduanya terpahat pada pelabuhan yang perlahan menjauh sementara kapal maju perlahan-lahan. Mereka diam seperti biasanya. Belum ada kata-kata sejak di depan terminal tadi.
Kegagalan masih menghantui Yurgen. Sesekali ia menatap ayahnya yang kini telah menunduk, tatapan pria penuh pengalaman itu telah berpindah pada hamparan laut hitam di bawah sana, laut pekat berkilauan sebab tumpahan minyak di atasnya. Laut itu bergelombang, ombak-ombak sedang memecahkan diri di sana-sini, tapi suaranya tak terdengar, suara mesin dan manusia yang menyemarkan laut malam ini. Bocah kecil di kanan Yurgen sedang menangis, dua orang pria di belakang Yurgen sedang mengobrol dengan teriakan, dan seorang wanita paruh baya di kiri Yurgen sedang berteriak sembari melambai-lambaikan tangannya kepada yang tersayang di pelabuhan. Berisik sekali di atas kapal yang baru saja berangkat. Kurang lebih 12 jam lagi kapal ini akan tiba di kabupaten, lalu Yurgen dan ayahnya akan berkendara dengan motor selama 6 jam lagi untuk sampai di kampung mereka di pedalaman.
*
Saat pelabuhan itu tinggal titik-titik cahaya yang jauh di sana dan orang-orang di sekitar yang berisik tadi entah berada di mana, ayah Yurgen berkata, “Ayo, masuk! Kau harus tidur.” Mereka masuk ke dalam ruangan yang penuh manusia kemudian menuju ke sebuah sudut yang tak ditempati lalu mereka bersama duduk bersandar pada dinding kayu. “Tidur di sini!” Kata ayah Yurgen sambil menepuk lantai. Yurgen berbaring di sana dan seketika terlelap. Ia lelah sekali.
Yurgen terbangun karena suara ayahnya. Begitu matanya terbuka, ia langsung bangkit dan duduk di lantai. Ayahnya berdiri membelakangi Yurgen dan sedang bercakap-cakap dengan dua orang pria asing. Kesadaran Yurgen belum penuh, tetapi sepintas ia mendengar ayahnya dengan bahasa daerah T**, “Sungguh, anak saya ini masih berusia 16 tahun, dia belum punya KTP.”
Yurgen langsung mengerti apa yang sedang terjadi, dua pria itu sedang melakukan pemeriksaan KTP. Konflik etnis T** dan etnis B**** di kabupaten Yurgen mulai memanas, pemeriksaan KTP macam ini biasa terjadi akhir-akhir ini. Orang-orang itu sedang berusaha mencegah para pendatang (khususnya etnis B**** yang diperangi) masuk ke kabupatennya Yurgen untuk mencari nafkah.
Yurgen menyeka matanya dengan punggung tangan kemudian berkata dalam bahasa daerah T**, “Saya belum 16 tahun. Saya orang asli T**.”
Ayahnya dan dua pria itu langsung menatap Yurgen. Sesudahnya, dua pria itu meminta maaf dan melanjutkan pemeriksaan mereka.
“Jam berapa, Papa?”
“Hampir pagi,” kata ayahnya, “Ini, makan dulu!” Ayahnya mengambil tas plastik di lantai lalu menyerahkannya kepada Yurgen. “Kita makan di luar saja.” Mereka lalu meraih bawaan masing-masing dan menuju buritan kapal.
Fajar akan pecah, garis-garis cahaya terlukis di ujung timur, laut yang tenang mulai membiru, ujung hidung pulau di timur laut ada yang nongol, dan keadaan buritan belum ramai, hanya ada dua orang yang sedang ngudut dan empat pria berjaket sedang meringkuk di lantai dekat dinding kapal.
Yurgen dan ayahnya duduk bersandar pada pagar pembatas, mengeluarkan isi tas plastik masing-masing, membuka bungkusan coklat itu, lalu mulai melahap isi di dalamnya. Sempat terbersit di pikiran Yurgen bahwa fajar di atas kapal bersama ayahnya sekarang akan ia kenang selamanya.
Makan selesai, ayah-anak itu membuang bungkusan masing-masing ke laut, berdiri, mencuci tangan mereka dengan air minum dari botol yang ditumpahkan dengan hati-hati. Tanpa niat dan komando, siku ayah-anak itu kembali bertopang pada pagar pembatas, keduanya menatap pagi yang akan pecah. Saat ini, beberapa orang mulai keluar dari dalam, buritan semakin ramai.
“Saya pernah lakukan ini sebelumnya,” kata si ayah pelan sekali.
“Apa papa bilang?” Yurgen memastikan. Suara mesin berisik sekali.
“Saya pernah lakukan ini sebelumnya, saya melakukannya sendiri.”
Yurgen belum paham.
“Saya pernah ikut seleksi semacam itu 30 tahun lalu.”
Yurgen paham dan terkejut bukan main. Untuk pertama kalinya ayahnya membicarakan sepak bola. Ia bingung harus jawab apa. Mereka diam lagi.
“Papa, saya ingin tanya. Mengapa Papa jual kebun itu hanya untuk seleksi saya."
Ayahnya menatap Yurgen. "Saya tidak melakukannya untukmu. Harga kopra belakangan ini rendah terus, tak ada gunanya bersusah payah di kebun tetapi hasilnya sangat jauh dari kebutuhan. Lebih baik saya beli motor dan jadi tukang ojek. Itu alasan sebenarnya. Bukan kau alasannya."
Yurgen tahu ayahnya berbohong. Ia ingat ayahnya langsung menjual kebun itu ketika mendengar ada seleksi di provinsi. Dan lagi, ayahnya baru belajar mengendarai motor setelah motor itu tiba di rumah. Tujuan motor itu ada di rumah mereka supaya setiap sore Yurgen bisa mengikuti Sekolah Sepak Bola (SSB) di kecamatan. Andaikata tak ada motor itu, perlu uang cukup banyak untuk transportasi menuju SSB itu, belum lagi iuran SSB yang cukup besar nilainya untuk keluarga Yurgen; belum lagi sepatu abal-abal itu, belum lagi kaus kaki, belum lagi seragam bertanding, belum lagi, belum lagi, belum lagi.
Rasa takut itu kembali datang setelah memikirkan banyaknya uang yang ayahnya keluarkan untuk satu seleksi ini. Lebih-lebih, Yurgen teringat peristiwa sebelum keberangkatan mereka dua hari lalu ketika ibu dan ayahnya sempat bertengkar karena uang hasil penjualan kebun itu telah mendekati nol. Biaya keberangkatan seleksi ke provinsi adalah hasil meminjam dari koperasi desa. Yurgen merasa bersalah.
“Saya akan berhasil, Papa.”
“Kau Tuhan, Nak?”
Yurgen diam. Tatapannya kepada laut. Mulai terang. Pagi sudah ditarik ke langit. Pecahan-pecahan ombak yang mencipta warna putih di atas hamparan laut telah kelihatan.
“Saya pernah berada di posisimu, Nak. Saya tahu betapa menyenangkannya punya cita-cita. Kita hampir sama. Bedanya, saya pernah ditipu cita-cita. Kau belum, Nak. Saya berharap cita-cita akan bersikap baik padamu.”
Emosi Yurgen naik ke kepala. “Tapi saya punya kemampuan, Papa. Saya pasti—.”
“Dari caramu menggiring dan menendang bola, kemampuan kau saat ini dan saya 30 tahun lalu mungkin setara. Tapi kau lihat saya sekarang?”
Yurgen diam. Ia marah. Ia merasa diremehkan ayahnya.
“Saya pernah ada di posisimu,” ayahnya memecah diam mereka. “Saya pernah ada di kapal ini, 30 tahun lalu, sendiri. Saya pernah mencetak 8 gol saat seleksi lalu dipuji-puji orang setelah seleksi. Lalu saya pulang dengan kapal ini seorang diri.”
Ayah Yurgen diam, matanya berkaca-kaca.
Yurgen diam.
“Orang tua saya tidak suka saya bermain sepak bola. Saat itu saya nekat pergi setelah meminjam uang dari koperasi. Saya ikut seleksi dan tampil mengesankan di provinsi, seperti kau kemarin. Saya pulang ke kampung lalu saya harus bekerja sebagai buruh pemanjat pohon kelapa orang lain supaya bisa melunasi hutang saya di koperasi. Sampai suatu hari, awal Desember, saya jatuh dari pohon kelapa. Tempurung lutut kanan saya bergeser. Saya tidak bisa bermain sepak bola lagi sejak saat itu. Beberapa bulan kemudian surat panggilan saya datang ke kampung, saya terpilih. Sayangnya, kesempatan itu datang, cita-cita itu datang, tubuh saya malah pergi. Saya telah kehilangan diri saya ketika kesempatan ada di ujung hidung.”
Yurgen menyeka matanya yang basah. Ia menunduk cukup lama sampai kepalanya dipegang. “Jangan pernah bercita-cita, Nak! Sebaik-baiknya cita-cita, itu hanyalah sebaris angan-angan yang menghiasi masa remajamu. Kau mungkin bekerja keras, tapi selalu ada tangan lain yang menarikmu ke jalan hidup yang berbeda. Kadang hasil mengkhianati kerja keras, dan saat itu terjadi, tak ada yang patut disalahkan. Jika bisa dihitung, mungkin lebih banyak pekerja keras yang gagal meraih cita-citanya dibanding pekerja keras yang beruntung mewujudkan cita-citanya. Jangan sebut apa yang kamu lakukan hari ini sebagai kegiatan mengejar cita-cita, sebab itu artinya kamu mengejar angan-angan. Sebut saja ini usaha. Karena mungkin ada saja tingkah takdir.”
“Usaha apa?”
“Usaha untuk hidup.”
“Maksud, Papa?”
Ayahnya diam sebentar. “Nikmati saja apa yang ada saat ini. Jika kau cukup beruntung, usahamu kemungkinan besar akan berbuah. Dan saya berdoa setiap malam agar kau terus beruntung.”
“Bagaimana jika nanti saya tidak berhasil?”
“Nanti urusan nanti, Nak.” Ayahnya memberikan senyum paling optimis sekaligus penuh ejekan kepada putra semata wayangnya. Kata-kata ini pernah ia ucapkan 30 tahun lalu.
“Saya takut gagal. Saya menyesal ikut seleksi itu. Seharusnya papa tidak menjual kebun kelapa kita.”
“Saya sudah bilang, itu bukan tentangmu, Nak!”
“Jangan berdusta, Papa. Saya tahu.”
“Sungguh. Saya tidak melakukannya untukmu, Nak. Saya melakukannya untuk seseorang dari masa remaja saya. Saya melakukannya untuk saya.”
Yurgen diam. Ayahnya diam. Mereka menatap pagi yang sudah nongol di timur. Dan Yurgen semakin yakin, fajar sampai pagi di atas kapal bersama ayahnya sekarang, pasti ia kenang selamanya.
*
Selama beberapa bulan berikutnya, kehidupan keluarga Yurgen semakin melarat. Sehari-hari mereka hanya makan pisang dan sayur-sayuran hutan yang dipetik ibunya entah di mana. Yurgen tak bisa lagi pergi ke kecamatan karena tak ada uang lagi untuk beli bensin dan alasan ini juga yang membuat ayahnya tak bisa jadi tukang ojek lagi. Dua bulan pasca-seleksi, motor itu akhirnya dijual lagi setengah dari harga beli. Karenanya, mereka bisa bertahan hidup dengan sedikit tenang untuk sekian bulan berikutnya. Dan setiap malam keluarga itu berdoa agar ayahnya bisa dipekerjakan sebagai apa saja di mana saja. Tak ada lagi sumber nafkah, kebun kelapa itu telah menjadi milik orang lain.
Melihat kemelaratan keluarganya, rasa bersalah itu semakin mencekik Yurgen. Saat yang sama, kebulatan tekadnya pun makin-makin. Ia menjaga diri baik-baik, ia tidak ikut pertandingan antar-kampung yang penuh gengsi karena takut cedera. Ia tak lagi memanjat kelapa atau melakukan sesuatu yang berbahaya dengan kawan-kawan di kampungnya, ia terus berlatih sendiri.
Namun, dua minggu sebelum pengumuman seleksi nasional dan pemanggilan pemain terpilih, pecah perang etnis antara etnis T** dan etnis B**** di kabupaten. Semua transportasi dari dan keluar kabupaten berhenti beroperasi. Pengiriman pos berhenti. Kampungnya Yurgen terisolasi.
Yurgen hampir saja bunuh diri. Sampai suatu sore ia menghampiri ayahnya yang duduk termenung menatap piring kosong di dapur. Ia menyentuh bahu ayahnya. “Papa, saya minta maaf.”
“Bukan salahmu.”
“Ini salah saya.”
Ayahnya diam.
“Seharusnya papa tidak menjual kebun kelapa kita. Seharusnya saya tidak ikut seleksi itu.” Bibir Yurgen bergetar dan ia menunduk. “Seharusnya—.” Tangisnya pecah. “Ba-ba-, bagaimana kehidupan kita nanti, Pa-Pa-Pa, Papa,” katanya terbata-bata.
“Lihat saya!” Ayahnya membentak.
Yurgen mengangkat menatap ayahnya.
“Nanti urusan nanti, Nak.”
Selesai.