Bangkok berubah terlalu cepat. Waktu seakan tak dapat menghentikan perubahan itu. Terjaga tanpa tidur. Lampu-lampu kota seperti mata yang mengawasi pada malam hari. Siang sengat matahari. Pekik klakson dan orang-orang yang tampak tergesa-gesa, tidak menyediakan alasan untuk sejenak menarik napas atau sekadar berhenti saling sapa.
Aku merasa ditelan waktu, membayangkan julang gedung-gedung seperti tentakel gurita, di depan Hotel Orchid tempatku menginap. Kuhentikan tuktuk, moda transportasi Thailand yang berbentuk mirip bajaj di Jakarta tetapi berukuran lebih besar. Aku menuju ke laboratorium pemeriksaan batu perhiasan, Gemological Institute of America (GIA), di kawasan Wangmai Road.
Jauh-jauh dari rumah ke Thailand, kubawa kotak berisi beberapa butir mutiara. Di ruangan tamu yang nyaman ber-AC ada dua kursi dan satu meja kayu bundar. Aku menuju meja seorang lelaki bule brewok berjas laboratorium putih dengan kartu bertuliskan nama terpasang di dekat saku atas jas.
“Robert Miller, how are you?”
Dia memperkenalkan diri dan menjabat tanganku. Kusebut namaku dan keperluanku. Memeriksakan mutiara. Setelah mengisi dokumen administrasi, kuserahkan kotak mutiara kepada Robert. Dari beberapa butir mutiara dalam kotak itu ada satu yang berwarna oranye. Mutiara itu tampaknya menarik perhatiannya. Kulihat Robert sedikit menggigit butir mutiara itu. Itu cara paling sederhana untuk memastikan mutiara itu asli atau sintetis. Bila terasa kasap seperti berpasir, berarti mutiara asli. Robert juga melakukan ronsen dan memastikan mutiara itu tidak berisi nukleus, inti mutiara yang biasa ditanam di dalam kerang budi daya.
Banyak sekali mesin penguji di laboratorium itu, besar-besar dan sangat canggih. Robert menerangkan prosedur pengujian, kemudian mempersilakan aku datang keesokan hari untuk mengambil hasil analisis mereka.
Sayang sekali di negeriku tak ada laboratorium dengan keluaran sertifikasi yang diakui secara internasional. Padahal, Indonesia adalah penghasil mutiara terbaik dan terbanyak di dunia.
Aku kembali ke Hotel Orchid. Di dalam kamar aku mengingat-ingat asal-muasal mutiara-mutiara peninggalan orang tuaku yang selama ini tersimpan rapi di lemari itu. Kala itu, krisis moneter melanda negeriku. Bapak mencoba peruntungan dengan berlayar jauh ke kawasan timur di negeriku menggunakan perahu kayu 10 GT, menyelam mencari mutiara di dasar lautan.
Kami sadar,perjalanan Bapak sangat jauh dan membutuhkan banyak biaya untuk sesuatu dengan hasil yang belum berkepastian. Dan, benar, dalam misi itu Bapak bagai lenyap ditelan bumi. Ibu sangat cemas. Hari itu mungkin sudah bulan ketiga sejak kepergian Bapak. Aku dan Ibu makan di ruang makan sambil menyaksikan siaran berita di televisi tentang krisis yang memburuk.
“Harga beras dan minyak tanah sudah naik,” kata Ibu.
“Sabar, Bu. Sepertinya pemerintah akan bikin operasi pasar dan swasembada pangan,” sahutku menenangkan Ibu sambil menyantap makanan di piring.
“Operasi pasar kan hanya sesaat. Kita perlu makan tiap hari. Bapakmu belum juga pulang, padahal sisa uang Ibu hampir habis.”
“Sabar, Bu. Insya Allah, Bapak segera pulang. Bapak kan berangkat bersama Pak Dirman. Dia orang Bugis, nakhoda kapal yang kuat, andal, dan mengenali perairan daerah timur.”
Cepat sekali waktu berlalu. Enam bulan sudah kami menanti Bapak yang tanpa kabar berita. Kulihat Ibu sering menangis dalam doa-doa setelah salat.
Suatu hari, Kakek, datang. Innalillahi wa’innailaihi rajiun. Kami menyerah. Kakek, kakekku dari pihak Bapak, mengundang alim ulama, tetangga, dan saudara-saudara untuk melayangkan tahlil di rumah kami: untuk hidup atau meninggal Bapak.
Tangisan Ibu menjadi-jadi. Begitu pun aku. Banyak pertanyaan menuntut jawaban. Mengapa Bapak menghilang, sehingga keluarga menganggap dia telah meninggal?
“Sudah, jangan menangis. Tahlil ini untuk kebaikannya,” kata Kakek.
“Bapak masih hidup, Bu,“ kataku. Aku menenangkan Ibu, memeluk dan mengelus punggungnya.
“Kamu bisa menjahit kan? Besok kubelikan mesin jahit biar kamu punya penghasilan untuk membiayai hidup kalian dan sekolah anakmu,” ujar Kakek.
“Ya, terima kasih, Pak,” jawab Ibu lirih.
Dua belas purnama sudah Bapak menghilang. Ibu mulai menikmati kegiatan sebagai tukang jahit di rumah. Ibu sering lembur hingga malam, menyelesaikan pesanan jahitan. Menjahit selain menjadi sumber penghasilan utama bagi pemenuhan kebutuhan hidup kami, juga sebagai pengalih kerinduan Ibu pada Bapak. Suara mesin jahit merek Butterfly itu pada malam hari seperti lagu nina bobo bagiku menjelang tidur. Terkadang aku terbangun pada malam hari dan kulihat Ibu masih menjalankan salat malam. Kudengar lirih doa-doa Ibu. Sepertinya Ibu berusaha mengikhlaskan kenyataan, walaupun sangat sulit.
Suatu malam, hujan lebat, kami berdua di ruang keluarga, menonton siaran televisi. Televisi menyiarkan berita tentang krisis moneter dan demonstrasi di Jakarta. Saat tulah terdengar suara lelaki mengucapkan salam keras sekali. Terdengar pula ketukan di pintu kayu rumah kami. Mengatasi bising deru hujan.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam,”sahut Ibu. “Bapaakk!” pekik Ibu refleks sembari melihatku, memastikan benarkah itu suara Bapak. Ibu memegang lenganku dan mengajak aku membuka pintu.
Benar, Bapak! Bapak kurus dan basah karena hujan. Kami menangis dan berpelukan di depan pintu diiringi deras hujan.
“Bapak! Ini betul Bapak kan?” teriakku memastikan.
“Iya, ini Bapak,” kata Bapak terbata-bata sambil menangis.
Ibu memeluk erat dalam tangisan. Aku pun memeluk mereka berdua. Lalu, kami masuk, duduk di ruang tamu. Beberapa saat kemudian Bapak beranjak menuju kamar mandi. Membersihkan diri. Ibu menyiapkan baju ganti, lalu membuatkan secangkir kopi panas tanpa gula.
Kerinduan kami belum lunas. Inilah berkah dari Tuhan atas doa-doa kami. Bapak masih hidup!
“Bapak, mengapa begitu lama? Bapak ke mana saja?” tanyaku.
Bapak menyeruput kopi panas buatan Ibu. Aku minum teh hangat. Malam itu udara sangat dingin karena hujan. Ibu datang, menghidangkan pisang goreng, teman mengobrol. Kami duduk di dekat Bapak, melepas segala rindu.
Bapak bercerita, berangkat naik perahu Pak Dirman; perahu kayu 10 GT dengan panjang 13,50 meter dan lebar 2,80 meter. Semua biaya perjalanan Bapak tanggung, termasuk uang tinggalan untuk kami dan keluarga Pak Dirman.
Pak Dirman nelayan. Karena harga ikan selalu ditentukan oleh tengkulak, penghasilan Pak Dirman tak pernah mencukupi kebutuhan. Uang yang Bapak gunakan untuk membiayai perjalanan itu hasil tabungan dan pesangon dari perusahaan kontraktor high rise building tempat Bapak bekerja puluhan tahun. Walaupun perusahaan itu besar, akhirnya bangkrut juga karena nilai rupiah menurun terhadap dolar, sehingga nilai utang material impor proyek naik berkali lipat.
Bapak bertemu Pak Dirman ketika menyelami keindahan pantai di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Singkat cerita, mereka bersepakat menuju perairan yang cocok sebagai habitat kerang penghasil mutiara. Kata Bapak, semua moluska berpotensi menghasilkan mutiara.
“Walaupun paham susunan dasar laut habibat kerang penghasil mutiara, belum tentu Bapak dan Pak Dirman bisa menemukan kerang bermutiara,“ kata Bapak.
“Di kedalaman berapa kerang-kerang itu hidup, Pak?“
“Mungkin di kisaran 20 meter. Kami bergantian menyelam hanya menggunakan kompresor. Menjelajah dasar laut. Terkadang kami lupa sudah jauh dari pulau-pulau yang kami kenali.”
“Kenapa lama sekali? Kenapa tidak segera pulang ketika sudah mendapat mutiara?” tanya Ibu sambil masih memeluk pinggang Bapak.
“Sore selepas asar, aku melihat di dasar laut ada gundukan-gundukan kecil pasir berumput laut. Beberapa berbentuk kerucut. Itulah kelompok kerang yang bersarang bertahun-tahun. Aku menjelajah di dasar laut berair jernih itu. Aku melihat kerang besar di kejauhan, berwarna gelap kecokelatan.
“Aku berenang, tetapi gerakanku tak leluasa, tersangkut selang kompresor. Pemandangan juga lebih gelap daripada awal penyelaman. Aku memaksa diri menyelam lebih dalam. Akhirnya aku mendapatkan kerang itu. Aku langsung naik ke permukaan. Ternyata hujan lebat.
“Bukan kebetuln penyelamanku terhambat. Itu kode dari Pak Dirman bahwa bakal terjadi badai besar. Aku naik ke dak perahu, membongkar cangkang kerang dengan belati yang selalu menempel di pinggang. Alhamdulillah, kutemukan mutiara berwarna oranye, melo. Aku terkesan melihat mutiara itu. Sejenak aku teringat wajah bahagia kamu dan Ibu,” kata Bapak sambil mengusap rambut dan mencium kening Ibu.
“Badai itu cepat sekali datang. Pak Dirman menaikkan jangkar, tetapi mesin ngadat. Padahal, ombak semakin tinggi, satu meter. Kami terombang-ambing, makin ke tengah lautan. Untung, mutiara-mutiara itu sudah terikat di dalam kantong. Aman, terikat di bajuku. Pak Dirman bilang kami harus siap-siap memakai pelampung karena badai sangat kencang. Langit gelap sekali. Jauh dan lama sekali kami terombang ambing. Entah sampai di mana.
“Aku dan Pak Dirman sudah membuang barang-barang berat agar perahu lebih ringan mengikuti gelombang ombak. Akhirnya ombak setinggi empat meter menghantam perahu. Aku berpegangan pada pilar kayu yang lumayan besar saat hantaman ombak memorakporandakan perahu hingga hancur berantakan. Aku pingsan malam itu. Aku tersadar telah berada di sebuah pulau menjelang subuh,” tutur Bapak, lalu menyeruput kopi.
“Alhamdulillah. Gimana nasib Pak Dirman, Pak?” tanya Ibu.
“Pak Dirman juga terdampar di pulau itu, sekitar 20 meter dari posisiku. Dia juga pingsan,” sahut Bapak. “Pulau itu sangat indah, berpasir putih. Saat itu pecahan perahu kami berserakan. Juga ranting-ranting pohon dan daun kelapa. Banyak sekali pohon kelapa.”
Bapak terdiam sejenak. “Kutarik tubuh kekar Pak Dirman ke bawah pohon kelapa. Tubuhnya penuh baret dan memar. Lebam. Lukaku tak seberapa. Belati masih menempel di pinggangku. Itulah salah satu alat kami bertahan hidup di pulau. Kami makan buah kelapa, mencari ikan. Kami makan ikan mentah-mentah. Pulau itu sangat terpencil. Berhari-hari kami tak melihat kapal lewat. Kami pun merakit perahu dengan sisa-sisa kayu yang berserakan.”
Saat Bapak bercerita kuamati tubuhnya yang sangat kurus. Kulitnya menghitam, barangkali karena terbakar matahari.
“Gimana cara merakit kayu-kayu itu, Pak?” tanyaku.
“Kami membuat perahu dengan membentuk kayu agar berkaitan. Mencongkel dan membuat paku dari kayu.”
“Wah, pasti sangat susah membentuk dan mencongkel kayu kering dengan belati.”
“Iya, susah sekali. Kami kerjakan setiap hari sedikit demi sedikit. Kayu yang ada hanya bisa jadi perahu kecil. Hanya muat satu orang. Terkadang kami bergantian berkeliling, mencari kelapa di pulau-pulau lain, juga mencari papan kayu perahu yang mungkin terapung di perairan atau terdampar di pulau lain. Jadi kami bisa membuat perahu untuk berdua.
“Singkat cerita, kami bisa merakit perahu dayung. Itu pun bukan perkara mudah. Kami harus selalu membuang air yang terus-menerus merembes masuk ke perahu. Kami berhenti di setiap pulau kecil dalam perjalanan. Kadang kami bermalam, kadang hanya singgah untuk istirahat dan memetik kelapa.”
“Menurut Bapak itu di sekitar lautan apa?” tanyaku.
“Mungkin kami tersesat di perairan antara Ambon dan Papua. Entah bulan keberapa kami bertemu nelayan. Akhirnya kami menumpang kapal sambung-menyambung, sehingga bisa pulang,” tutur Bapak sambil meneteskan air mata. “Sangat susah menemukan mutiara alam. Jadi aku hanya mendapat sedikit. Ini, hasil pembagian dengan Pak Dirman,” sambung Bapak sambil menunjukkan beberapa butir mutiara alam.
“Bu, maafkan, aku tak mampu memberikan kabar pada Ibu. Terima kasih kalian sabar menunggu. Bu, kuberikan mutiara oranye ini untukmu. Ini butir mutiara yang kutemukan sebelum badai. Ini hasil kesabaran kita. Yang lain kita jual. Insya Allah, bisa mencukupi hidup kita,” ujar Bapak.
Malam makin larut. Kami beranjak, masuk ke kamar tidur. Istirahat.
***
Pukul 13.00. Cahaya matahari masuk melalui jendela kamar, menyinari kotak mutiara yang masih terbuka. Kotak mutiara peninggalan Bapak.
Sesuatu menarik perhatianku. Mutiara laut berbentuk bulat sebesar buah kelengkeng berwarna oranye itu bersinar, terbias cahaya matahari. Mutiara itu terpasang pada sebuah bros.
Kulepas mutiara itu. Kuambil penggaris sketmat atau jangka sorong. Kuukur diameter mutiara itu; 18,5 milimeter. Ketika kutimbang dengan neraca digital, berat mutiara itu 3,25 gram.
Kuputar-putar butir mutiara itu. Mulus, halus. Di dalam warna oranye ada semburat-semburat seperti awan. Ah, apa jenis mutiara ini?
Pandanganku beralih ke bros berbentuk kupu-kupu, berangka warna emas. Entah emas murni atau berbahan rhodium. Rangka itu bertabur batu zirkon bersinar gemerlap bak berlian. Empat sayap kupu-kupu membentang. Sayap di bagian atas bertabur batu zirkon lebih besar berwarna biru, seperti safir biru. Sayap di bawah berbahah lebih kecil. Juga bertabur batu zircon biru sama besar. Ada serupa rantai menyilang di dada kupu-kupu; penahan mutiara agar tak lepas dari bros. Saat kuputar bros itu, di bagian belakang ada peniti warna emas, sewarna dengan rangka, menempel di kanan dan kiri belakang sayap atas.
Aku beranjak ke meja kerja. Kubuka laptop, melanjutkan pekerjaanku. Tak terasa suara azan magrib sudah berkumandang.
Cahaya matahari meredup. Aku menoleh, memandang bros mutiara itu. Dengan sedikit cahaya lampu pun, mutiara di bros itu masih berkilau.
Usai mengamati, kumasukkan bros ke dalam kotak rangka. Kotak rangka itu terbuat dari plastik padat berukuran 9 sentimeter persegi. Di salah satu sisi ada engsel, sehingga kotak bisa dibuka dan ditutup. Di sisi lain ada pengait sebagai pengunci agar kotak tak mudah terbuka. Di tengah kotak rangka ada lembaran plastik bening dan transparan seperti kaca. Jadi bros di dalam kotak tetap terlihat saat ditutup.
***
Aku kembali datang ke laboratorium, menemui Robert untuk mengambil hasil analisisnya. Robert membawakan kotak mutiara peninggalan Bapak dan memberikan sebuah kartu berwarna hitam bertuliskan “Certificate of Identity” berlogo GIA. Dalam sertifikat itu disebutkan, mutiara berwarna oranye itu adalah original natural pearl, mutiara alam asli, jenis melo dari moluska spesies Gastropoda. Disebutkan juga, dimensi dan berat mutara serta pernyataan bahwa dalam mutiara itu tak ada nukleus yang tertanam.
***
Bapak sudah tiada. Ibu pun merenta.
Selamat jalan, Bapak. Selamat menempuh misi baru di surga. Insya Allah, Bapak husnul khatimah. Akan kulanjutkan perjuanganmu.
Aku sayang sekali pada bapakku. Dia sosok ayah yang baik; gigih mencari rezeki dan mempertahankan keluargaku. Aku juga sayang sekali pada Ibu, yang setia dan tak pernah mengeluh meski Bapak sangat lama tak pulang-pulang.
Aku pun selalu bertanya-tanya: siapa aku?
Ketika ada saudagar dari Mesir, Wael Samir, menawar mutiara oranye peninggalan Bapak seharga 70.000 dolar Amerika, aku menolak dengan senyuman. Aku tak akan menyerahkan mutiara ini kepada siapa pun, meski Ibu telah memasrahkan semua mutiara kepadaku. Bagiku, itulah monumen perjuangan dan cinta mereka. Monumen cinta Bapak dan Ibu.
Namun ketika kuceritakan penolakanku pada saudagar Mesir itu, istriku mendelik dan cemberut.