Disukai
2
Dilihat
4,169
MONAS
Romantis

"Akhirnya ... kita gak jauh-jauhan lagi! Baguslah kalau kamu dapat kerjaan baru di Jakarta." Suara itu terdengar sangat bersemangat kala aku memberitakan kabar bahwa aku diterima kerja di salah satu restoran di Jakarta. 

"Iya, besok aku berangkat. Doain, supaya dapat bos yang baik, sama temen-temen yang baik juga." Aku tersenyum, bisa membayangkan bagaimana wajah cantik yang sudah lama kurindukan. 

"Aamiin! Nanti kalau kamu libur kita ke Monas, ya! Aku udah lama pengen foto bareng kamu di Monas." 

Aku tersenyum mendengar betapa antusiasnya wanita di seberang telepon. Sampai-sampai beberapa kali aku harus menjauhkan ponsel dari telinga karena ia tidak sadar berkata dengan setengah berteriak.

Aku bisa memaklumi itu, karena sudah hampir setahun hubungan kami terpisah jarak yang cukup jauh. Aku bekerja di Kalimantan, sedangkan ia di Bekasi. 

Maka, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan baru di daerah Bekasi dan Jakarta supaya bisa mengikis jarak yang begitu menyiksa. Bagaimana tidak, kami hanya bisa bertemu saat masing-masing dari kami pulang ke kampung halaman yang untungnya kami satu daerah, yaitu Sumedang. Namun, karena aku merantau jauh, jarang sekali aku pulang. 

Hubungan kami berjalan hanya lewat pesan, telepon, atau panggilan video. 

"Iya, makannya besok aku ke Jakarta bawa motor. Biar bisa jemput kamu ke Bekasi. Kita bisa jalan kalau libur." 

"Mauuu ...!" 

Aku bisa membayangkan, bagaimana ia memajukan bibirnya sambil berseru dengan riang layaknya anak kecil yang diajak makan es krim. 

"Yaudah, aku mau persiapan dulu buat besok. Kamu tidur, gih. Nanti kerjanya kesiangan." Aku berniat untuk mengakhiri telepon. Jujur saja, aku belum mengemas pakaian dan barang yang dikira akan diperlukan di sana. 

"Ih, masih kangen!" Suara yang sedikit cempreng itu terdengar menggemaskan. Ingin rasanya langsung menemuinya dan menggigit pipi tembemnya itu. 

"Tidur, Sayang. Kemarin-kemarin juga tidurnya kemalaman kamu malah kesiangan." Beberapa kali memang ia pernah mengeluh kesiangan dan berakhir dapat peringatan. Untuk itu, sekarang ini aku sedikit menahan diri untuk tidak mengobrol lewat telepon sampai larut malam, meski kerinduan itu rasanya tidak akan pernah terobati meski mengobrol dengannya 24 jam. 

"Yaudah, iya." Belum sempat aku bicara, ia sudah lebih dulu menyela. "Lima menit lagi!" 

"Sekarang, Sayang." 

"Gak mau!" 

"Tidur sekarang, atau aku tidurin, nih." 

"Ihh ... mesum!" 

Aku terkekeh geli. Menggodanya selalu menyenangkan. 

"Yaudah, aku tidur. Kamu juga kalau udah beres-beres langsung tidur, ya. Nanti ngantuk pas bawa motor, kan, gak lucu." 

"Iya, Sayang. Tidur, ya. Good night, i love you!" 

"Love you too!"

*** 

Ternyata, realita tidak seindah ekspektasi. Bagaimana tidak, ternyata aku hanya akan mendapatkan libur setiap tiga bulan sekali, dan itu pun hanya diberi waktu tiga hari. Kalau pun izin cuti, itu hanya bisa dilakukan setelah enam bulan kerja dengan maksimal libur selama seminggu. 

Jam kerja yang cukup panjang pun membuat hubunganku dengan Dinda merenggang. Aku masuk kerja jam sepuluh pagi dan selesai jam satu malam, sedangkan Dinda kerja jam tujuh pagi dan pulang jam empat sore. Tidak banyak waktu untuk kami saling memberi kabar. 

Aku harus bangun pagi untuk bisa melihat wajah manis itu dalam panggilan video. Ini sungguh menyiksa. Bahkan, lebih menyiksa daripada ketika aku masih bekerja di Kalimantan. 

"Yaudah, Sayang. Kamu tidur lagi aja, lumayan masih ada berapa jam lagi sebelum jam sepuluh. Aku mau berangkat kerja dulu." 

"Iya," ucapku pelan dengan senyum terpaksa. 

"Kamu jangan lemes gitu, dong. Bentar lagi kita ketemu, loh. Kamu semangat kerjanya, ya." Dinda dengan senyum manisnya itu membuatku enggan mematikan panggilan video ini. Namun, waktu kami tidak banyak, Dinda harus segera berangkat kerja. 

"Enggak. Kamu juga semangat kerjanya. Love you." Aku mengecup layar gepeng itu seperti orang gila, berharap bibirku bisa menyentuh pipi tembemnya. 

"Love you too!" 

Panggilan berakhir dan aku mengembuskan napas panjang. Bersabarlah, hanya satu bulan lagi aku bisa menemuinya. Ya, hanya satu bulan lagi saja. 

*** 

Setelah sekian lama bersabar, akhirnya minggu depan aku mendapatkan jatah libur. Dengan senang hati, aku segera menelepon Dinda untuk memberitahukan kabar bahagia ini. Kebetulan ini hari Minggu dan Dinda libur. Aku bisa lebih leluasa menelepon sebelum aku berangkat kerja. 

"Sayang, minggu depan aku jemput ke sana, ya. Kita ke Monas." Setelah bertanya kabar, akhirnya aku memberitahunya. 

"Serius? Kamu libur? Yeay!" 

Sorakan lucu itu, membuatku tak bisa berhenti tersenyum. Entah bagaimana ekspresinya nanti kalau aku sudah ada di hadapannya. Ah, ingin rasanya sekarang juga menemuinya dan berhambur dalam pelukannya. 

"Iya, minggu depan libur pertamaku." 

"Ah, oke. Nanti mau pakai baju warna apa? Emm ... gimana kalo kita pake sweater couple yang waktu itu?" 

"Boleh." 

"Kalau enggak, pakai kemeja yang kita beli waktu di pasar malam aja?" 

"Iya, boleh." 

"Kamu, mah, boleh, boleh terus, sih." 

"Ya, terus aku harus apa?" Aku terkekeh mendengar celotehnya. 

"Ya, kasih saran, dong. Aku bingung." 

"Mau pakai baju apa aja juga kamu cantik, Sayang. Gak pake baju aja kamu cantik." 

"Iihhh ...!" 

Aku terbahak. 

"Oh, iya, Sayang. Hari ini aku mau jalan sama temen, boleh?" 

"Sama siapa?" 

"Hani." 

Setahuku, Hani adalah teman sekantornya yang juga tinggal di indekos yang sama, hanya beda kamar. 

"Mau ke mana?" 

"Muter-muter aja, nyari jajan, hehehe." 

"Yaudah, hati-hati bawa motornya. Jangan jauh-jauh mainnya, ya." 

"Siap, komandan." 

"Aku siap-siap kerja dulu." Aku pamit. 

"Oke. Sampai ketemu minggu depan, Sayang." 

"Iya." 

Aku mematikan telepon, dan bergegas untuk bersiap-siap berangkat kerja. 

Setengah jam berlalu kuhabiskan untuk mandi dan bersiap-siap. Akhirnya aku berangkat ke restoran yang cukup ternama di daerah Jakarta Barat. Seperti biasa, sebelum bekerja aku diwajibkan untuk mematikan ponsel dan menyimpan barang-barang lain seperti tas dan dompet di loker karyawan yang sudah disediakan. 

Karena pengunjung yang semakin ramai di akhir pekan, waktu istirahatku menjadi sedikit terlambat dari biasanya. Aku mengembuskan napas panjang, akhirnya bisa beristirahat sejenak dari pekerjaan yang cukup melelahkan. 

Tanganku sudah memegang satu piring nasi lengkap dengan lauknya, tetapi tiba-tiba aku ingin mengecek ponsel. Maka, aku mengambil ponsel di loker dan menyalakannya dengan sebelah tangan yang masih memegang piring. Betapa terkejutnya aku saat mendapati puluhan panggilan tak terjawab dari Dadan. 

Ini terasa aneh, tidak biasanya Dadan meneleponku dengan brutal seperti ini. Dadan adalah adik dari Dinda, aku sudah cukup akrab dengan keluarganya. 

Aku lalu memutuskan untuk menelepon balik. 

"Hallo, Dan? Kenapa?" Aku langsung to the point saat panggilan sudah tersambung. 

"Abang ke mana aja?" Suara Dadan terdengar serak. 

"Maaf, Abang tadi lagi kerja, gak boleh nyalain handphone." 

"Kak Dinda, Bang ...." 

"Dinda kenapa?" Aku panik. 

"Kak Dinda ...." 

Saat itu juga, piring yang tengah aku pegang jatuh menumbuk lantai. Ponsel yang kugenggam pun terlepas begitu saja. Duniaku seolah-olah berhenti. 

Aku mati rasa. 

*** 

"Hei, kamu senang, hm? Bukannya kamu pengen banget kita ada di sini. Foto bareng." 

Dadaku tercekat, rasanya sulit mengucapkan kata-kata lagi. 

"Sekarang aku ada di sini. Di tempat yang selalu kamu sebut." Aku tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi ingin keluar. 

"Sekarang aku di sini, Sayang. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mata itu menetes begitu saja meski tanganku berkali-kali menyekanya. 

"Hari itu, hari di mana kita telah berjanji untuk pergi ke sini. Nyatanya, aku harus pergi ke pemakamanmu. Itu menyakitkan, Sayang." Aku mengusap sebuah foto wanita cantik yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Wanita itu tersenyum ceria, dan dadaku semakin sesak dibuatnya. 

Setelah hari itu, setiap aku mendapatkan hari libur, aku selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke Monas. Duduk termenung sambil memandang potret wajahnya yang tersenyum ceria. 

Monas, tempat yang selalu disebut-sebut oleh Dinda. Tidak ada yang istimewa dari sebuah monumen tua yang menjulang tinggi itu. Tetapi entah mengapa, saat aku duduk di tempat itu, aku bisa merasakan kehadiran dan kehangatan Dinda. Meski, dadaku seringkali dibuat sesak seketika. 

Tuhan, aku merindukannya! 

*** 

Jakarta, 14 Agustus 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
nyesek.
@darmalooooo : Begitulah adanya 🤣🤣
@darmalooooo : Heheh, iyaa
Jadi meninggalnya Karena putus cinta, bukan almarhumah😂
Hahahaha so sweet aja lah
@darmalooooo : Kisah nyatanya lebih sad, Kak. Sebelum pergi ke Monas bareng keburu putus, wkwkwk
😭😭 ending sad. Kak Dinda, semoga tenang disurga. Ini kisah nyata kah Kak? Saya nangis baca Cerpen ini, sesek dada saya😭 cerpen pertama yang buatku nangis😭
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi