Jakarta panas. Memasuki jam pulang kereta antar kota yang akan penuh dengan manusia-manusia yang kelelahan. Lelah bekerja. Lelah berharap. Lelah gaji tidak naik-naik. Lelah bonus tak kunjung turun. Lelah tak punya kekasih. Yang terakhir mungkin hanya Jody yang begitu.
Siapa yang tidak jenuh mendengar pertanyaan "Kapan nikah?" Di mana-mana. Di kantor. Di acara pernikahan. Di warteg. Di udara yang dihela Jody setiap saat. Semacam virus yang menyebar cepat di kalangan pria-wanita belum laku. Pertanyaan singkat itu membuat gemas orang-orang yang mendengarnya. Ada yang menjawab sekadar guyon dan ada juga yang penuh pengharapan ingin disegerakan. Jody memilih untuk tidak menjawab. Lebih menyeramkan dari soal matematika paling sulit zaman sekolah dulu.
Di sudut ruangan kantor Jody memandangi kota Jakarta, pikirannya jauh menyusuri jalan padat. Dari lantai 10 ia dapat melihat jelas bahwa dirinya hanya sebagian kecil dari kehidupan yang maha luas, semua orang bergerak terburu-buru seakan waktu mereka tidak banyak. Atau mereka yang tidak pernah puas dan bersyukur dengan apa yang mereka miliki sekarang?
Seorang pria berperut buncit dengan kumis tebal bak Adolf Hitler keluar dari salah satu ruangan. Ia menegur Jody dan mengajaknya masuk ke dalam ruangannya. Terpampang nama sang pemilik ruang dengan jabatan ditempel di depan pintunya. ELDITON. Supervisor.
"Kamu harus fokus Jod. Fokus. Urusan perempuan jangan sampai mengganggu pekerjaan kamu dong." ujar Pak Eldi, supervisor Jody yang terkenal galak.
“Sudah dua bulan target kerjaan kamu molor. Klien pada komplain. Bisa tutup perusahaan kita, Jod.” lanjutnya lagi.
“Saya beri kamu kesempatan satu bulan lagi. Kalau saya masih terima input negatif dari proyek yang kamu pegang. Say Goodbye saja lah.” Setelah hampir setengah jam menerima "asupan bergizi", istilah anak-anak kantor untuk ceramah panjang lebar, Jody keluar dengan langkah gontai. Seseorang menepuk pundak Jody yang sedang berada di kubik kerjanya. Ia tidak terlalu peduli. Orang itu menepuk lagi kali ini lebih keras hingga Jody meng-aduh.
"Apaan sih Bri. Can i just sit and enjoy my loneliness?"
"Nope, Bro." sahut Brian yang puas memukul pundak kawan kerjanya tadi. Brian dan Jody sudah berteman sejak pertama kali perusahaan didirikan. Mereka berdua bisa dibilang senior di antara rekan-rekan yang lain. Tapi perjalanan karirnya tidak secerah matahari pagi. Lebih suram dari langit sedang mendung. Perusahaan tempat mereka bekerja bergerak di bidang media kreatif. Mengurusi proyek-proyek event besar dan periklanan.
“Oke, fine. Gue mau keluar dulu sebentar. Cari angin. Mau ikutan nggak?”
“Gayamu, Jod. Cari angin apa cari target baru.”
“Yee, target. Lo kira gue penjahat apa.” Jody menimpali, diam-diam dia melirik ke arah ruangan Pak Eldi. Takut urusan kabur mereka ketahuan.
Jody dan Brian akhrinya keluar dari kantor dengan selamat. Jam istirahat sudah usai sejam lalu. Namun mereka betah kerja di kantor tersebut karena punya peraturan yang luwes. Boleh meninggalkan kantor asal target harian bisa diselesaikan. Tidak terlalu sulit bagi mereka berdua, hanya dengan modal senioritasnya anak-anak magang pun sering kena imbasnya untuk menyelesaikan pekerjaan mereka berdua.
“Gue nggak habis pikir, Jod. Gimana elo mau dapat jodoh kalau ngomong sama lawan jenis aja masih minder.” Brian berbicara antusias dengan menggerakan kedua tangannya. “Bayangin nih. Masa elo gak berani ngobrol sama Mita anak magang sih? Doi kan cupu banget atau parahnya lagi sama Mbok Parmi di warung bawah. Kayaknya bakalan susah dapetin jodoh buat elo, Jod. Gue paham elo masih trauma sama kejadian tiga tahun lalu. Tapi kita gak bisa selamanya hidup di masa lalu. Waktu bergerak terus ke depan.”
“Sialan lo.” umpat Jody mengimbangi langkah Brian yang berjalan terlalu cepat. Mereka pergi ke sebuah minimarket kecil dengan bangku-bangku di depannya. Brian membeli dua kaleng minuman berenergi dan mereguknya penuh kepuasan seperti bintang iklan saking segarnya. Mereka duduk santai sambil memandangi jalanan penuh hilir mudik kendaraan.
“Gue salut juga sama lo, Jod. Elo bisa terus jatuh cinta sama cewek yang nganggap elo nggak ada. Dan sebenarnya salah elo sendiri sih. Kenapa nggak pernah ngungkapin isi perasaan elo yang sebenarnya. Gue masih heran banyak pria begitu di era milenial begini. Is it hard to say something like I love you?”
Mbak-mbak yang lagi baru mau masuk minimarket pas dengar kalimat terakhir Brian, mendadak melihat mereka berdua penuh kecurigaan. Dalam hatinya, ini jangan-jangan ada pasangan homo lagi berantem. Brian balas tatapan si Mbaknya seolah-olah mau kasih tahu. “Kami bukan homo.”
Jody yang dari tadi diam akhirnya bicara. Mukanya serius seperti dapat tagihan kartu kredit tapi bukan dia yang pakai.
“Yah, gue emang takut kalau ngomong sama lawan jenis. Gue mandang matanya aja udah gemetar. Dan kenapa gue putusin untuk tidak mengungkap isi hati sebenarnya ke dia. Karena gue takut setelah kami jadian malah bikin dia terluka atau dia sedih.”
“ Ah, cupu banget kalau gitu. Pikiran wanita itu ibarat lautan lepas. Kita harus berani menjadi penyelam untuk berusaha memahami mereka. Terus kalau kita belum nyebur aja udah takut, gimana elo mau nikah.”
Jody mengangguk sembari memainkan permukaan bibir kaleng. Brian beranjak dari kursinya.
“Oke mulai sekarang gue sebut lo. Si Penakut Jody. Nanti gue sebarin seisi kantor.”
“Sials.” Jody menimpuk Brian yang kabur dengan kaleng kosong . Jam pulang kantor mereka tinggal sebentar lagi.
***
Menjelang senja di stasiun kereta, Jody duduk di deretan bangku besi menghadap rel. Menunggu kereta tujuan Depok belum kunjung datang. Seorang wanita muda dengan wajah dihias hidung mungil dan lesung pipi menoleh ke arah Jody. Mereka terpisah hanya beberapa langkah di bangku tunggu. Si wanita tersenyum, Jody hanya diam. Tidak ada guratan bahagia dari wajahnya, pikirannya jauh melayang ke percakapan tadi sore bersama Brian.
“Mas.” Wanita itu memanggil Jody yang sedang melamun, ia ikut memiringkan kepala. Wanita itu mengeraskan suaranya, namun lamunan Jody belum juga buyar. Wanita itu akhirnya mendekati Jody, membungkukkan badan mengambil sesuatu dari lantai. Rupanya ponsel si pria lajang yang takut dengan perempuan ini terjatuh. Si wanita menyodorkan ponsel ke hadapan Jody. Si penakut itu tetap bergeming.
Ting tung ting tung. Perhatian, Perhatian kereta tujuan Depok segera tiba di jalur 2. Informasi dari pengurus suara menyadarkan jody dari lamunan panjang.
“Eh mampus, gue salah jalur.” Umpat Jody bergegas pergi takut ketinggalan kereta. Sementara si Perempuan terdiam mematung, tidak terhiraukan si penakut Jody yang hampir jatuh karena terburu-buru. Si Perempuan hanya tersenyum simpul, ia menyimpan ponsel itu ke dalam tas. Jika Jody menyadari senyuman perempuan itu seindah senja yang sering manusia lupakan karena dalih kesibukan. Dan Jody baru tahu ponselnya hilang saat berada dalam kereta yang telah melaju jauh dari stasiun dia naik. Ia berteriak mengejutkan seisi gerbong.
Sampai di rumah, belum berganti pakaian. Jody menghubungi Brian dari Messenger. Panggilan video dari laptop kerjanya. Lama menunggu Brian menjawab. Jody mengetuk meja berulang-ulang gugup dan cemas. Muka Brian yang sama lusuhnya muncul di layar.
“Bro, hape gue ilang!!” tanpa basa basi lagi Jody mengabarkan.
“Seriusan lo, Jod? Hilang di mana?”
“Ye kalau gue tau ilangnya di mana ya ngapain gue cerita.”
“Terus kalau elo cerita bisa ketemu gitu?”
Jody menggeleng.
“Udah coba di track belum?”
“Udah tapi kayaknya hape gue tadi lowbat. Mungkin udah mati sekarang.”
“Tenang aja bro. Tenang pasti ketemu. Berdoa. Elo jarang sedekah kali makanya itu hape ilang.”
Jody tidak benar-benar merasa tenang. Ia teringat cicilan ponsel terbarunya itu masih lama lunasnya. Belum lagi data-data kerjanya sebagian dikerjakan dan di simpan di dalamnya.
“Duh, itu ponsel udah kayak nyawa kedua gue, Bri.” Jody tampak cemas, sementara Brian terlihat lebih santai.
Ting Tung. Notifikasi dari peramban pelacak ponsel muncul. Jody langsung teriak kegirangan kayak habis menang lotre hadiah rumah beserta istri. Ponselnya aktif dan terdeteksi. Sekarang ponselnya berada di sekitaran daerah L.A alias Lenteng Agung.
“Eh kenapa lo, Jod. Udah ketemu hapenya?”
“Bro bantuin gih telponin kali aja diangkat.”
“Oke gue coba ya.” Brian sedang menelpon.
“Gak diangkat, Jod.” sambungnya
“Anjrit, dimatiin lagi.” umpat Jody kesal karena dari peramban ponselnya hilang dari pelacakan.
“Udah kan bisa ganti lagi. Beli lagi. Kayak gak punya duit aja lo. Gue mau mandi, capek, udah ya.”
Klik. Panggilan terputus. Dan malam itu Jody tidak bisa tidur.
Keesokan hari di kantor. Seorang perempuan memperkenalkan diri kepada semua karyawan kantor. Perempuan dengan lesung pipi dan hidung mungil. Nama lengkapnya Mirandeza. Panggilannya, Miran. Ia ditempatkan satu tim bersama Brian dan Jody. Pindahan dari kantor cabang Jakarta Utara. Brian kegirangan karena dapat rekan kerja yang cantik. Jody melihat wajah perempuan itu penuh tanda tanya. Sepertinya ia pernah bertemu di suatu tempat.
“Maaf, Mas Jody ya?” Miran menegur Jody.
“Eh, iya. Saya.”
“Ini mas.” Miran memberikan ponsel Jody yang telah dinyatakan hilang.
“Apa ini? Bentar. Eh, iya bener. Ini hape aku. Kamu dapat darimana?”
“Waktu itu aku ambilin pas jatuh di stasiun. Mas Jody ngelamun aja sih. Jadi pas saya mau kasih juga ditinggal pergi gara-gara ngejar kereta.”
Jody menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Lebih tepatnya malu. Membayangkan wajahnya yang bengong selama di bangku tunggu stasiun.
“Terima kasih ya.” Jawab Jody singkat. Dalam hatinya ia masih ingin melanjutkan, “Kok bisa ketemu sama kamu ya. Terus kita satu tempat kerja. Apa jangan-jangan kita jodoh?” Ia hanya senyum-senyum sendiri.
“Kenapa lo senyum-senyum gitu, Jod?” tanya Brian yang ternyata dari tadi mengikuti percakapan mereka berdua.
“Eh, nggak. Oke, kamu pelajari dulu ya job description untuk event kita selanjutnya ini.” jawab Jody seraya memberikan booklet kepada Miran. Ia menerimanya dengan setengah menunduk. Lalu tersenyum. Kemudia dua orang yang melihatnya itu hatinya meleleh, terpesona. Brian memberi kode, kalau ini kesempatan bagus buat memulihkan citra diri Jody yang sudah dicap Si Penakut oleh orang kantor termasuk Pak Elditon. Jody tampak bersemangat untuk mulai mendekati Miran. Dia harus menunjukkan diri bahwa ia pantas untuk jatuh cinta lagi. Dan tidak di cap penakut, karena ia bertaruh dengan Brian kali ini ia harus berhasil.
Sejak hari itu, konsentrasinya sedikit,banyak sebenarnya, terganggu dengan kehadiran Miran. Teman satu kubikel kerjanya yang berparas menawan. Tiga hari kemudian Jody akhirnya membawa sekotak martabak green tea untuk diberikan kepada Miran. Sebagai ucapan terima kasih telah menyelamatkan nyawa keduanya, si Ponsel yang hilang. Jody tampak kegirangan saat meletakkannya di meja kerja Miran dan menempelkan sticky notes warna kuning di atas kotak yang bertuliskan dua baris kalimat.
Saya mencintai buku seperti saya mencintai kamu. Buku-buku di rumah saya banyak.
Saya jatuh cinta kepada hujan seperti saya jatuh cinta kepadamu. Hujan itu deras.
Tulisan kerja keras semalaman itu tak terlalu buruk pikirnya. Tidak sia-sia ia membaca novel-novel melankolis belakangan ini. Saat itu ia ada agenda harus meeting ke luar kantor dan meninggalkan sekotak martabak itu di meja. Ia tahu Miran menyukai martabak setelah Jody bertanya kepada OB kantor yang sering disuruh beli. Selama rapat bersama klien, Jody mencuri pandang ke arah Miran. Kulitnya yang putih bersih bak salju di tengah negeri tropis ini begitu kontras dengan kemeja hitam yang dipakainya saat itu. Dua jam berjalan, mereka kembali ke kantor untuk membereskan dokumen-dokumen yang harus di bawa besok pagi untuk rapat lanjutan.
Sore itu, di beranda kantor. Brian dan Jody yang tengah menunggu jemputan taksi daring, mereka melambaikan tangan ke arah Miran. Ia juga berdiri, menunggu dengan gelisah. Sesekali melihat ponselnya, lalu memandangi jalan.
“Udah, samperin aja Jod. Mumpung dia lagi sendiri.” saran Brian setengah berbisik.
Jody tampak mengatur langkah agar tidak tergesa, tidak terlalu lambat mendekati Miran. Tidak berapa jauh jarak mereka berdua. Langkah Jody mendadak terhenti. Setelah seorang pria keluar dari mobil BMW hitam di depan kantor mereka, menggandeng gadis kecil. “Hey sayang. Udah nunggu lama ya? Maaf ya Papah agak telat nih jemput Bella pulang dari lesnya.” ujarnya mesra dan mereka saling berpelukan. Gadis kecil itu dicium keningnya oleh Miran.
“Mamah, tadi aku udah bisa main lagu Beethoven lho.” kata si gadis kecil itu bangga. Miran mengelus kepala anak itu, “Pinter ya anak mamah. Mau hadiah es krim nggak?”
Si gadis kecil mengangguk-angguk senang. Ternyata Miran menyadari kalau Jody sedang berdiri tidak jauh dari dirinya. “Hei, Mas Jody. Duluan ya, makasih lho martabaknya.”
Jody langsung balik badan. Mendatangi Brian yang melongo, kemudian raut wajahnya berubah merah dan tertawa terbahak-bahak melihat Jody kabur karena tengsin.
Percayalah, mungkin bukan hari ini, tetapi esok atau lusa, cinta sejatimu akan datang menghampiri dengan cara yang hebat dan kamu tidak akan pernah melupakannya. Jangan berhenti mencintai. Walau kadang penolakan secara tidak langsung itu lebih pahit.