Disukai
0
Dilihat
93
Mimpi
Horor
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Rahasia semesta datang menjelma jadi firasat. Segala kenangan-kenangan yang pernah dan yang akan pernah, berkelebat di antara pergerakan benda-benda, di pandangan mata atau dalam mimpi yang digerakkan oleh alam bawah sadar. Membuncah-buncahkan buih, sampai tinggi, sampai keluarlah tanda-tanda itu dari sumur ingatan.

Sayangnya, kadang tanda-tanda itu tidak terdeteksi. Tanda-tanda itu diabaikan, mimpi-mimpi itu kadang dianggap hanya bunga tidur saja. Hanya orang-orang tertentu, perasa, yang perasa sekali, yang bisa lihat arti dari letak sebuah ranting di antara ribuan daun dan ranting patah lainnya di tanah. Rahasia itu kadang begitu dalam, kadang begitu sepele, sangat acak, sangat random. Orang-orang yang bisa mengartikan pun terkadang bisa saja terkecoh. Kadang malah tidak berarti apa-apa. Hanya sebuah ketakutan.

“Belakangan ini apa kau pernah bermimpi aneh?”

Rambut putih panjang sebahu, gigi merah sirih, bau parfum kayu-kayu di hutan terdalam, tapi terasa hangat, tidak dingin menggigil dan dengan baju compang-camping, wanita ini menanyaiku tentang mimpi. Sepertinya kantung mataku yang melebar ke bawah ini tidakcukup gambarkan betapa tersiksanya aku mendapatkan mimpi-mimpi aneh setiap malam. Dia kan “Orang Pintar”, kenapa dia tidak tahu hal-hal kecil seperti itu? Sebenarnya apa dia memang sepintar panggilannya?

“Kantung matamu sangat kendor, aku yakin mimpi datang bertubi-tubi padamu. Hampir setiap hari.”

Deg!!!

Ternyata benar dia orang pintar!

“Aku mungkin tidak sepintar kelihatannya, tapi aku tahu apa yang ingin kau tanyakan sebelum bertanya.”

 Mataku terbelalak. Dia tahu dari mana?

“Matamu mengatakan semuanya anak muda. Dari situ aku tahu.”

Hanya dalam sekejap saja setelah dia menjawab pertanyaan yang ada dalam pikiranku, tiba-tiba jantungku berdetak cepat, nafasku terengah-engah. Sesak. Aku tidak bisa bergerak. Kursi kayu yang kududuki seperti menarik tubuhku menempel. Angin di sekitar menekanku hingga tidak bisa bergerak sama sekali. Mereka menekanku kuat-kuat.

“Jangan percaya apa yang ada dalam pikiranmu sedalam itu. Tetapi jangan terlalu abai juga terhadap tanda-tanda semesta, Nina.”

Namaku disebutnya dan seketika tubuhku melemah bersamaan dengan kaburnya pandangan di depan mata. Lalu mataku menutup tanpa bisa kuhalangi, tubuhku menyusut ke lantai, berubah menjadi cairan kental mengelilingi kaki kursi. Bisa kurasakan kaki kursi tepat di depan mataku. Hidungku entah di mana tapi ini seperti bau lantai kayu. Mulutku menyentuh sesuatu yang sangat aneh. Berlendir.

Kukecap-kecap.

Kukecap-kecap lagi.

Nihil.

Aku tidak tahu apa itu. Semua alt inderaku tersebar. Aku jadi tidak bisa simpulkan benda apa itu. Di bawah meja bulat, bola mataku berputar-putar mencari tahu apa yang menyentuh bibirku.

Kukecap-kecap.

Masih kukecap-kecap.

Lendir itu sudah hilang. Kini berganti menjadi permukaan berduri. Durinya seperti rasa besi. Kujulurkan lidah lebih jauh, duri-duri itu menjauh. Lalu menubruk pelan bibirku. Ku julurkan lagi lidahku. Besi itu menjauh lagi lalu menubruk lagi. Lama kelamaan duri-duri itu semakin keras tabrak bibirku. Lama kelamaan terasa cairan berwarna merah menetes tanpa henti.

Mataku masih berputar-putar mencari tahu apa itu, sementara hidungku masih mencium lantai kayu bercampur tanah. Sekarang tubrukan itu semakin kencang. Lidahku penuh rasa asin darah. Lalu entah dari mana, telingaku datang melompat-lompat mendekati mata. Terdengar sangat kencang gigiku hancur tertabrak benda berduri itu.

Darah semakin kental di pangkal lidah, dan suara tubrukan semakin berdebam. Mataku berair. Padahal, anehnya, tidak ada rasa sakit. Hanya ada bau anyir darah yang pekat.

Debam-debam semakin kencang. Darah semakin kental. Masih tidak terasa apa-apa. Mataku sudah lelah berputar, air mata kencang mengalir. Lalu dari meja kayu di atasku, muncul benda berbentuk jantung. Awalnya berwarna pucat, lalu sedikit demi sedikit menjadi merah. Darah itu naik ke atas lorong-lorong jantung, perlahan-lahan diiringi suara dentaman benda berduri itu. Dalam hitungan detik berikutnya jantung itu sudah penuh merah, tapi dari bawah darah tetap mengalir, naik ke atas terus menerus. Jantung itu berdetak-detak kencang seperti mau pecah.

Tanpa disangka, sebuah benda berbentuk otak menggeliat-geliat lahir dari ujung jantung. Keluar sedikit demi sedikit. Awalnya merah pekat lalu lama kelamaan menjadi merah pucat. Banyak cahaya-cahaya kecil berjalan berlalu-lalang di permukaan otak itu. Mulanya pelan-pelan, sangat pelan. Dalam hitungan yang entah ke berapa mereka semua berkedip bersamaan mengikuti detak jantung, menyilaukan mataku, tapi rasa sakit tidak juga ada muncul.

Hitungan berikutnya, detak jantung, debam benda berduri, dan cahaya itu berdetak bersamaan. Rasa sesak semakin kacau. Aku hendak berteriak tapi bibirku akhirnya mulai terasa sakit ketika kugerakkan. Mungkin bahkan sudah tidak berbentuk lagi.

Dentaman bersamaan itu muncul lagi dan lagi. Sesak berubah menusuk-nusuk. Mati aku!! Mati aku!! Itulah yang kupikirkan. Begitu berulang-ulang. Menyiksaku. Menusuk-nusuk ulu hati. Aku tidak bisa bahkan hanya untuk berteriak saja. 

Entah detik ke berapa atau bahkan mungkin menit atau jam, aku sudah tidak tahu lagi, mereka semua tiba-tiba berhenti. Berhenti begitu saja. Aku yang telah bisa rasakan tubuhku sudah hancur tidak terkira, bukannya senang, malah was-was muncul. Hening sekali. Tidak ada apa pun suara-suara lagi. Telingaku berdenging sangking heningnya.

Bola mataku bergerak sendiri ke bawah. Terlihatlah sebuah bola berduri. Benda yang menabrak bibirku itu ternyata bola besi berduri besi dan berlumur darah di setiap inchi permukaannya. Bola pun bergerak melayang jauh. Jauuuh sekali, lalu lama kelamaan mendekat, mendekat dan mendekat. 

Bam!!!

Bola besi jatuh tepat di mulutku, menembus lantai. Aaaakh! Ingin kuberteriak seperti itu ekspresikan sakit yang tidak terkira, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengucapkannya. Mulutku sudah tidak bisa kurasakan lagi.

Belum habis rasa sakit, darah yang mengaliri jantung naik pelan-pelan, beriringan dengan tekanan berat seperti ditimpa ratusan ton besi baja. Aku tidak bisa mengambil nafas. Tidak bisa! 

Duar!!!!

Jantung itu ikut pecah kemudian saat darah sudah mencapai lubang atas. Di hidungku mengalir cairan tak henti. Sampai-sampai aku tercekat oleh darah asin.

“Tidak!! Tidak!!! Tidaaaaaaak!!!” teriakku ketika cahaya-cahaya biru di otak berkumpul menjadi satu, membentuk gumpalan besar. DAN....!!!

BLARRR!!!

....

“Dokter-doter... istri saya sudah sadar!! Suster!!!! Detak jantungnya...detak jantungnyaaa naik lagi!!!"

Seorang pria berkacamata kotak tebal berlari-larian di lorong menuju ruangan suster. Berteriak-teriak bagai orang kesurupan memanggil-manggil dokter dan suster. Di dalam ruangan yang dia tinggalkan, istrinya menggeliat-geliat kejang. Mulutnya berbuih, keluar dari setiap sudut bibir. Kaki dan tangannya mengejang-ngejang ke segala arah.

“Nina…Nina. Sadar, Nak. Ini ibu. Ayo cepat sadar, Nak,” ucap ibu wanita bernama Nina itu, ikut panik di samping tempat tidur, namun tidak bisa berbuat banyak.

Sementara, seorang wanita tua berambut putih sepinggang, memakai pakaian adat jawa yang sudah sangat lapuk, berdiri di sudut ruangan, tak jauh dari tempat tidur. Ia menatap tajam pada Nina dan ibunya. “Nduuk....Nduuk. Mbah sudah bilang beberapa kali. Jaga ucapan, jaga hati, jangan mikir yang jelek-jelek tentang orang lain,” ucapnya kemudian. Ibu Nina mendengar ucapan wanita tua. Lalu berlari ke arahnya sambil menangis dan berteriak, “Bu...tolongin Nina, bu. Dia cucumu bu. Tolong.”

Dia memohon-mohon pada wanita tua berambut putih itu, namun tak ada jawaban. Wanita tua itu tetap diam saja menatap tajam, tak bergeming sedikit pun meski ibu Nina memeluk kakinya, memohon-mohon.

“Tias, ibu bukannya tidak mau menolong cucu semata wayangku itu. Aku sudah sampaikan berkali-kali. Di setiap mimpi Nina, sudah kusisipkan dan sudah aku kasih peringatan. Putrimu itu yang tidak mau mendengar. Alasannya hanya bunga tidurlah, takhayullah, inilah, itulah. Dia yang keras kepala.”

“Tapi tidak mungkin Nina tiba-tiba langsung sakit seperti ini, bu. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Dia cuma terpeleset. Pasti ada yang ngirim. Ibu tolong cucumu ibuuu.”

Wanita tua itu tetap tidak bergeming membiarkan saja Tias menangis tidak karuan di lantai.

“Semua hasil pemeriksaan dokter normal, bu. Ini aneh. Sudah ke ahli syaraf, penyakit dalam, ke semua dokter yang di rujuk, tidak ada yang salah. Nina putriku satu-satunya, Tias enggak akan pernah siap kehilangan Nina, bu. Apalagi dengan cara seperti ini. Tias enggak kuat melihat Nina seperti ini. Nina anakku satu-satunya, bu. Cucu kecil yang sering ibu gendong dulu. Tolonglah, bu, tolong.” Tias duduk dan menangis kembali di kaki ibunya.

“Nina itu terlalu banyak mengurusi urusan orang. Ibu lihat, Nina banyak sekali membuat orang sakit hati karna omongannya. Dia terlalu mengikuti pikirannya yang rusak sampai-sampai siapa pun jadi terimbas. Sakit hati orang-orang sudah tidak bisa terbendung lagi. Banyak sumpah serapah, tangis sakit hati akibat ulah Nina. Aku sampai bingung apa yang terjadi karena yang kulihat, tidak ada ‘kiriman’ apa pun. Tidak ada aura hitam di sekitarnya atau rumah atau tempat di sudut-sudut rumahnya, Tias. Semua bersih.”

“Enggak mungkin buu. Engaak mungkin....”

“Sudah tidak usah menangis lagi, Nduk. Doakan saja anakmu selamat. Semoga ini bisa jadi pelajaran buat dia. Ibu sudah tidak tahu harus mengatakan apalagi pada Nina. Kamu saja yang selalu ingatkan dia nanti. Ibu pergi dulu.”

“Buuu…kita tunggu Nina sampai sembuh dulu...” teriak Tias pada bayangan yang perlahan menghilang di udara.

“Buuu...jangan pergi dulu buu...” teriaknya lagi menggapai-gapai udara kosong.

Brak!!! pintu kamar terbuka, dokter dan beberapa suster berhamburan masuk. Dalam sekejap mereka sudah saling berada di posisi masing-masing mencoba tenangkan Nina. Pria berkacamata tebal tadi berlari memeluk ibu mertuanya yang menangis meraung-raung. Dia menyesal betapa tidak bisa berpikir jernih. Panik buatnya kacau hingga lupa ada tombol panggilan di dekat tempat tidur.

Menunduk dia menangis, tidak bisa berbuat apa-apa. Tenaganya sudah terkuras habis selama beberapa bulan ini. Terkuras habis juga karna menangisi seorang manusia yang tersiksa atas ulahnya sendiri. Sebab, dia paham betul bagaimana istrinya itu memperlakukan orang-orang di sekitarnya, lewat tindakan dan ucapannya.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi