Pintu utama baru saja terbuka ketika aku memasuki pagar, Messi keluar dengan tergesa-gesa. Gadis 20 tahun itu berlalu begitu saja seperti dikejar setan. Entah apa lagi yang sedang dilakukannya.
“Assalamu’alaikum!” seruku. Aroma sedap langsung menyeruak kala memasuki ruang depan. Tampaknya Mama sedang membuat rendang.
“Assalamu’alaikum!” Messi datang lagi, kali ini sambil membawa sepiring nasi. “Bim, baru pulang?” sapanya sambil lalu. Dia bahkan tidak peduli apa aku menjawab pertanyaan retorisnya atau tidak. Langkahnya cepat menuju dapur.
Aku mengikuti di belakang, sudah paham apa yang dilakukannya. Ini biasa terjadi. Gadis berambut hitam panjang yang selalu diikat seadanya itu sedang menyodorkan piring berisi nasi ke Mama, meminta rendang yang masih mengepul dalam kuali.
“Numpang makan mulu, Bunda enggak masak?” celetukku seraya mengambil minum dalam kulkas.
“Masak. Tapi enggak bikin rendang!”
Menarik kursi di seberang meja, aku duduk berhadapan dengan Messi yang sedang asik mengunyah makanannya. Kami tinggal bersebelahan sejak Mama belum mengandungku, secara tidak langsung dia menjadi teman masa kecilku, apalagi kami seumuran. Selain itu juga sama-sama anak tunggal. Sehingga saling membutuhkan kehadiran masing-masing dari rasa kesepian.
Nama Aslinya Andromeda, tapi biasa dipanggil Messi—nama lain dari galaksi Andromeda. Sedangkan aku Bima sakti. Kami benar-benar seperti ditakdirkan untuk bersama. Akan tetapi, semua tidak seromantis itu. Aku dan Messi murni sebatas sahabat, tidak lebih.. Setidaknya itulah yang selalu kuyakini.
“Enggak kuliah?” tanyaku lagi.
Messi menggeleng. “Sengaja enggak ambil SKS apa pun hari Jumat biar bisa libur panjang tiap minggu.”
“Emangnya bisa?”
“Bisa, dong! Makanya harus smart!”
“Itu bukan smart tapi ‘cadiak buruak’—licik!”
Messi mendelik tajam, menendang kakiku dari bawah meja. Untung saja refleksku cepat dan berhasil menghindar.
“Entar malam ikut, kan?!” tanyanya, langsung mengubah pembicaraan. Suasana hatinya memang secepat itu berubah.
“Belum tahu, males keluar.” Nanti malam ada rapat warga untuk perencanaan gotong royong, pemuda-pemudi se-RT 3 diundang untuk ikut, tapi rasanya malas sekali. Lagipula yang terpenting adalah hadir ketika hari H.
“Ikut aja! Aku ikut, loh!”
“Aku enggak!”
“Harus. Entar aku jemput!” putusnya. Lalu berdiri dengan piring kosong. Tanpa cuci tangan terlebih dahulu, dia segera pamit pulang. Ini bukan pemandangan yang aneh, sudah biasa seperti itu. Menganggap rumahku seperti dapur kedua.
+ + +
Seperti perkataannya, Messi benar-benar menjemputku setelah sholat Isya. Aku yang memang tidak berniat pergi, diseret paksa. Berbekal kaos partai dan kain sarung karena tidak sempat mengganti bokser dengan celana panjang. Tempat kumpulnya di masjid dekat rumah, hanya perlu jalan sepuluh meter.
“Berdua mulu, nih!” goda Bu Risma saat kami melewati rumahnya. Sebagai agen gosip cabang Kampung Loko, dia memang suka sekali mengomentari apa pun, dan kami adalah langganannya.
Sudah banyak gosip beredar; tentang kami yang pacaran, kelar kuliah bakal nikah, dan lain-lain. Bahkan ketika Messi pulang diantar teman kuliahnya—cowok—dia dianggap selingkuh di belakangku. Padahal jika pun selingkuh, itu tidak di belakang namanya, sebab aku melihatnya dari teras rumah.
“Iya, dong. Berdua lebih baik!” seru Messi seolah tidak peduli—yah, dia memang tidak pernah peduli ucapan orang lain.
“Kapan, nih makan gulai cempedaknya?”
“Entar, kelar wisuda. Aman aja, Tante. Pasti aku undang!”
Gulai cempedak maksudnya bukan berarti makan-makan bareng, tapi kiasan untuk acara nikahan. Di Sumatera Barat, kalau ada acara baralek—pernikahaan—pasti identik dengan gulai cempedak—selain rendang tentunya. Makanya sering dijadikan sebagai bentuk kiasan atau sindirian kalau ingin menanyakan kapan seseorang bakal nikah.
Sebab Messi yang dengan senang hati menjawab semua ocehan Bu Risma, aku terpaksa gantian menyeretnya untuk kembali berjalan sebelum rapat dimulai. Benar saja kami datang beberapa detik sebelum Pak RT beridir memimpin pertemuan. Ruangan masjid sudah ramai oleh orang-orang sepantaran kami, hampir semuanya aku kenal, makanya segera merapat ke barisan cowok. Sementara Messi sudah lebih dulu pergi, duduk di dekat Dina—temannya.
Selama rapat, hanya beberapa orang yang serius mengikuti, sebagian lagi sibuk berbisik membicarakan hal lain. Begitu pula Messi yang dari tadi mengirimi chatt berisi meme ke WhatsApp-ku.
“Heh, kalian beneran pacaran?” Bang Dimas yang duduk di samping menyenggolku. Dia anak orang depan rumah. Setahun lebih tua dariku.
“Enggak, Bang. Temenan doang!”
“Tapi berdua mulu, sekarang juga sibuk chattingan, padahal sebelah rumah!” godanya.
“Jangan mulai lagi!” Aku mengunci layar ponsel dan menatap bosan ke arah Pak RT yang sedang menjelaskan jalur mana saja yang akan kami bersihkan besok pagi.
“Serius, nih enggak pacaran?” Bang Dimas masih saja berbisik membahas hal itu padahal aku mendiamkannya. “Jangan marah kalau entar aku nikung!”
“Hah?” Perkataannya sukses membuatku berpaling, mengernyit ke arahnya.
Bang Dimas mengembangkan seringaian. “Cemburu?”
“Maksudnya nikung apaan?” Aku sungguh tidak mengerti. Namun, belum sempat mendapat jawaban, Pak RT mulai membagikan tugas sehingga mau tidak mau, kami fokus padanya.
Sebagai warga yang masih muda, kami diberi tugas untuk mengkoordinasikan semuanya. Mulai dari memimpin tiap tempat dan memastikan semuanya bersih tepat waktu, hingga mengatur konsumsi—tentu ini tugas para cewek. Bagian inilah yang membuatku enggan untuk ikut rapat, lebih baik menjadi warga biasa yang hanya perlu bersih-bersih lalu pulang jika ada kesempatan.
Setelah diperbolehkan bubar, aku ingin menanyakan maksud Bang Dimas tadi tapi urung sebab Messi lagi-lagi menyeretku untuk ke kedai di ujung gang. Dia bilang ingin membeli eskrim. Padahal ini sudah malam dan dingin. Ditambah lagi, dia malah ingin meminjam uangku, yang tentu saja tidak ada karena aku pergi hanya berbekal badan dan ponsel.
“Yah ... hutang dulu ya, Pak. Besok Bunda yang bayar!” seru Messi sembari nyengir.
“Iya, iya. Seperti biasa!” sahut pemilik kedai, santai. Reaksi yang wajar ketika kejadian ini sudah berkali-kali. Selain tukang numpang makan di rumah orang, dia juga suka ngutang dan jual nama mamanya.
+ + +
Pukul 6 pagi aku sudah berdiri di depan pintu rumah Messi. Sebentar lagi gotong royong akan dimulai dan sebagai ‘panitia’ kami diharapkan untuk berkumpul dahulu di lapangan Voli. Namun, satu hal yang hampir saja kulupakan, kenyataan kalau Messi tidak bisa bangun pagi.
Bunda Des sudah heboh menggedor pintu kamarnya tapi tidak ada sahutan dari dalam. Aku juga berusaha menelepon berharap nada panggil akan membantu membangunkannya. Suara ponsel terdengar hingga keluar tapi Messi masih di dalam tidak merespon. Harusnya ini mengkhawatirkan, bisa saja dia pingsan atau kenapa-kenapa, tapi percayalah padaku, Messi memang seperti itu. Susah sekali dibangunkan.
“Bunda nyerah, coba kamu yang ketuk, deh! Masuk aja!”
Sebenarnya tetap tidak akan berpengaruh kecuali Bunda mempersilakanku mendobrak pintu kamarnya. Akan tetapi tidak ada pilihan lain. Gadis itu harus bangun dan ikut gotong royong. Lagi pula sedari awal ini idenya. Andai tidak memaksa ikut rapat, kami hanya perlu kumpul pukul 8 pagi seperti warga yang lain.
“Mess, kalau kamu bangun, aku beliin coklat dan eskrim!” panggilku dari luar setelah mengetuk beberapa kali.
Suara sahutan terdengar dari dalam. Serak seperti geraman, bersambut suara kunci dan pintu terbuka, menampilkan gadis pendek—hanya setinggi bahuku—sedang mengucek mata. Rambutnya berantakan seperti habis terkena badai. Baju tidur serba panjang bermotif polkadot kuning stabilonya begitu mencolok.
“Beneran?”
“Apanya?”
“Coklat dan eskrim?”
“Dalam mimpi! Cepat cuci muka, kita udah enggak ada waktu!”
Messi berdecih. “Ngantuk!” Dia hendak menutup pintu tapi aku menahannya dengan kaki.
“Bunda!” teriakku. “Messi udah keluar tapi mau tidur lagi!”
Langkah kaki terdengar mendekat cepat. Bunda berlari mengejar dan menahan tangan Messi—menggantikanku. “Cuci muka dan jangan tidur lagi! Kamu udah gede, jangan kayak anak kecil. Lihat Bima, udah dewasa. Enggak perlu diatur-atur lagi.”
Messi merengut tapi juga tidak melawan. Dia pasrah ditarik ke kamar mandi sementara aku duduk di ruang tamu.
“Ini sekalian bawa! Entar Bunda nyusul sama Mamanya Bima!” Bunda memberikan sekotak penuh bakwan yang masih hangat. Gadis itu hanya mengangguk, tatapannya nanar jelas sekali masih mengantuk.
Kami berpamitan, tidak lupa aku mengambil cangkul yang tadi diletakkan di depan pagar rumah Messi.
“Kenapa, sih harus pagi. Ngeselin!” gerutu Messi.
“Kalau siang panas.”
“Sore kalau gitu.”
“Udah, enggak usah banyak protes!”
+ + +
“Loh, enggak barengan sama Messi, Nak Bima?” tanya Bu Risma. Ini kesialan memang, ketika kau harus satu tempat dengan ibu-ibu julid itu.
Aku hanya membasnya dengan anggukan dan senyum tipis. Lalu bergegas menjauh, mendekati Bang Dimas yang sibuk mencabut rumput di tepi selokan. Ikut berjongkok, aku pura-pura sibuk agar tidak diajak bicara lagi. Akan tetapi, Bang Dimas menjadi penggantinya.
Rasa penasaranku kembali menyeruak. “Tentang semalam, apa maksudnya soal nikung itu, Bang?” tanyaku langsung. Bang Dimas nyengir dan bergeser untuk semakin dekat.
“Bentar dulu. Harus ada kepastian, nih biar sama-sama enak!” ujarnya.
“Kepastian apa?”
“Kalian beneran enggak pacaran, kan?”
“Iya. Cuma temenan.”
“Bagus. Jadi, sebenernya aku mau deketin Messi!”
“Kan, emang udah deket?!”
“Bukan deket sebagai tetangga, tapi lebih.”
Aku mengerti maksudnya. “Abang suka Messi? Kok bisa?”
“Kok nanya? Lawak!” Bang Dimas terkekeh, berdiri membawa segenggam rumput liar untuk dimasukkan ke karung yang tidak jauh dari tempat kami duduk. Dia berdiri di sampingku sambil berkacak pinggang karena lelah.
Aku ikut berdiri. “Lawak gimana? Kan, cuma nanya.”
“Karena dia cantik. Walau agak kekanak-kanakan dan kadang bertingkah aneh, tapi dia baik dan polos.”
Bukan ‘agak’ lagi, tapi Messi itu sangat kekanak-kanakan. Apa yang menarik darinya? Pemalas, nilai pas-pasan, suara cempreng, buta nada, dan tidak bisa masak. Namun ... dia memang tidak jelek. Kulit kuning langsat, bibir mungil, dan rambut lurus tebal seperti bintang iklan sampo.
“Kalau gitu, selamat berjuang!”
Ucapan semangat itu hanya basa-basi, tentu saja. Bang Dimas juga paham, makanya dia hanya terkekeh dan merangkul bahuku, lalu berbisik, “Bantuin, dong!”
“Bantu apa?”
“Dia suka film apa? Mau aku ajak nonton.”
“Horor, thriller.”
Bang Dimas meringis dan melepas rangkulannya. “Serius?”
Aku mengangguk. “Kenapa?”
“Aku takut horor, anjir!”
Sudahlah, aku lelah dengan obrolan aneh ini. Bisa-bisanya Bang Dimas yang disukai cewek sekampung itu naksir Messi yang serampangan.
“Bim!” panggilan Messi mengejutkanku. Gadis itu sudah berdiri di belakang dengan tangan yang ditutupi kain. Kenapa dia ada di sini padahal tempat kami bertugas cukup jauh.
“Kenapa?” tanyaku. Menaruh cangkul dan mengelap keringat dengan handuk kecil yang terlampir di leher. “Kok ke sini? Di sana udah kelar?”
Messi menggeleng. “Aku luka dan kayaknya dalam,” ujarnya. Ia menyodorkan tangan yang berbalut handuk putih-kecil yang sudah memerah karena darah. “Tapi enggak berani liat. Ngilu!”
Sontak aku panik. Aku segera mengajaknya untuk pulang, meninggalkan pekerjaan yang baru selesai sebagian. Kami masuk ke halaman rumahku, menuju keran air dekat carport. Aku membantu membasuh luka pada jarinya yang tersayat. Darahnya memang banyak, membuatku semakin panik, sementara Messi memejamkan mata. Dia memang takut melihat luka menganga. Aneh memang, padahal tontonannya film pembunuhan dan berdarah-darah.
Kami masuk ke dalam, mengambil kotak P3K. Aku membantu membersihkan dan menutup lukanya dengan plester. Sayatannya tidak panjang, tapi memang dalam. “Kenapa bisa luka?”
“Lagi motong rumput pake golok Pak RT, eh malah kena jari.”
Aku mendengkus. Selain kekanak-kanakan, dia juga ceroboh.
“Makasih.”
“Yaudah, kamu pulang aja. Istirahat, entar aku bilang ke yang lain kalau kamu sakit.”
Messi tersenyum lebar dan memelukku. Sekali lagi, tidak perlu didramatisir. Dia memang suka seperti ini, sejak kecil setiap kali aku menolongnya pasti dihadiahi pelukan. Itu semua gara-gara mama cerita ke Messi kalau ketika Ayah masih hidup, aku sering dipeluk sebagai imbalan atas perbuatan baik atau pencapaianku.
Masih teringat jelas, saat itu kami masih kelas lima SD. Setelah mendengar fakta itu, Messi melakukan hal yang sama seperti ayah. Memberi pelukan. Aku senang setiap kali itu terjadi. Hanya saja seiring berjalannya waktu, harusnya kami meninggalkan kebiasaan ini karena tidak elok jika dipandang. Namun ... ada ketidak-relaan ketika membayangkan kalau Messi tak akan memelukku lagi sebagai imbalan.
“Udah, pulang sana!” suruhku setelah melepas pelukannya. “Jangan lupa mandi, bau!”
Messi mengerucutkan bibir dan memukul bahuku, lantas berlalu pergi.
+ + +
Seminggu berlalu sejak gotong royong, Bang Dimas akhirnya memulai pergerakan. Aku pikir hari itu dia hanya sedang mencoba membuatku cemburu, padahal sama sekali tidak berhasil. Ketika mendengar Messi yang heboh soal Bang Dimas yang mengajaknya nonton film horor , aku tidak merasakan apa pun. Biasa saja. Aku dan Messi memang tidak memiliki perasaan khusus. Gadis itu juga semudah itu menerima.
“Kamu enggak diajak Bang Dimas?” tanya Messi. Dia mengambil remot TV-ku dan seenaknya mengganti chanel seperti di rumah sendiri.
“Ngapain juga dia ngajak aku.”
“Kasian.”
Lihatlah, dia menyebalkan. Apa yang menarik darinya?
Seperti yang sudah diperkirakan, ketika Messi pergi bersama Bang Dimas, Bu Risma langsung mendatangiku yang sedang mencuci motor. Dia mengintip dari balik pagar dan berkata, “Kalian udah putus? Messi jalan sama Dimas tuh!”
“Iya, mereka kencan.”
“Kok, bisa putus?”
“Kami enggak pernah pacaran, Tante.” Aku menutup keran air—menyudahi pekerjaan rutin setiap minggu pagi itu.
“Yakin?”
Aku melengos pergi, tidak peduli jika sikap ini akan membuatku digosipkan sebagai anak yang tidak sopan.
Di dalam rumah, ponselku berbunyi. Ada pesan dari Messi, ‘kasian enggak ikut nonton.’ Ditambah foto tangan yang sedang memegang sekotak popcorn. Aku hanya membacanya. Enggan membalas, tidak penting. Lebih baik tidur dan menikmati waktu libur sebelum besok harus kembali kuliah dengan jadwal yang padat.
Senin memang sebiadab itu. Menghantui.
Sore harinya, ketika suara motor terdengar berhenti di depan rumah, aku bergegas keluar. Mereka baru saja pulang. Messi turun seraya tertunduk. Dia memberikan helm, berlari masuk melewati pagar rumahku. Gadis itu tergesa membuka sepatu, lalu masuk begitu saja. Bahkan menutup pintu padahal aku masih berada di teras. Dia salah masuk rumah?
“Ada apa?” tanyaku yang menyusul ke dalam.
Messi duduk di sofa, wajahnya memerah. “Gila!” ucapnya. “Gila!”
“Gila apaan?”
“Bang Dimas bilang kamu suka sama aku!”
“Hah?” Lelucon macam apa ini?
“Enggak mungkin, kan?!” Messi menatap lekat. Tatapan kami bertemu. Rasanya jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Ya, enggaklah!” tampikku.
“Tuh, kan!” Messi berdiri dan menepuk-nepuk bahuku. “Kita, kan sahabat!” Gadis itu tersenyum dan pulang begitu saja.
Entah mengapa, ada rasa yang mengganjal ketika dia mengatakannya. Tentang kami yang hanya sahabat.
Seperti sebuah firasat, kejanggalan itu berbuah pemandangan yang membuatku risih. Sejak pergi nonton film bareng, Messi dan Bang Dimas jadi sering bertemu, ngobrol depan rumah, sesekali nganterin ke kampus, bahkan hari ini, ketika harusnya aku dan Messi pulang bersama, dia menolakku karena bakal dijemput Bang Dimas.
Banyak hal yang berubah dalam seminggu ini. Messi jadi jarang ke rumah, ketika Mama masak rendang, dia hanya datang membawa piring dan meminta jatah, lalu pergi. Saat libur, dia juga tidak datang padahal biasanya akan menggangguku atau mengambil alih PS4 milikku.
Aku duduk menyandar pada sofa di ruang santai. TV menyala tapi tidak tertonton, hanya untuk sekadar penghilang sepi. Rasanya membosankan, seperti ada yang hilang. Sudah 20 Tahun hidup, baru kali ini aku merasa Messi begitu jauh. Biasanya dia selalu ada ke mana pun mata memandang.
“Bim, Messi pacaran sama anaknya pak Syahrir?” tanya Mama dari dapur yang menyambung dengan ruang santai.
“Enggak tahu. Emang kenapa?”
“Itu, Bu Risma yang bilang. Messi udah berpaling dari kamu.” Aku diam. Berpaling apanya? Kepala Mama menyembul dari balik dinding, mengintip dan menatapku, matanya menyipit. “Kalian pernah pacaran?”
“Kalau iya, pasti aku kasih tahu, Ma!”
Lama-lama semua ini makin mengesalkan. Aku berdiri dan bergegas ke rumah Messi yang hanya selangkah dari rumah. Akan tetapi, urung ketika gadis itu sedang ngobrol di depan pagar bareng Bang Dimas. Aku duduk di kursi teras, menunggu mereka selesai. Saat Messi melambai dan masuk pagar, secepat mungkin aku berlari dan langsung melompati pembatas perkarangan kami yang hanya tembok setinggi pinggang orang dewasa.
“Lewat depan sana, jangan curang!” protes Messi. Dia memang selalu marah kalau aku lompat dari samping.
“Mess, kamu pacaran sama Bang Dimas?”
Gadis ber-hoodie merah jambu itu gelagapan. Sesekali menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga dan menunduk, tidak mau menatap langsung ke mataku.
“Beneran kalian pacaran?”
“Enggak, kok. Tapi ... menurutmu Bang Dimas suka aku?” tanyanya malu-malu. Sungguh bukan Messi sekali. Jika saja aku percaya pada hal mistis, pasti aku akan menganggap kalau dia kerasukan setan centil dan langsung membawanya ke masjid untuk di rukiyah.
“Entah.” Rasanya mengesalkan, tapi juga lega. “Kalau enggak pacaran, kenapa belakangan ini sibuk sama dia terus?”
“Habisnya ... dia yang ngajak, sih.”
“Kalau enggak suka, jangan terlalu dekat. Entar jadi gosip!” ketusku.
“A-aku suka, kok!” tukasnya. Wajahnya memerah dan segera pergi masuk ke dalam rumah.
Reaksi macam apa itu. Sejak kapan Messi jadi malu-malu kucing? Biasanya dia tidak tahu malu dan suka seenaknya!
Aku kembali pulang. Kali ini dengan cara yang lebih beradab—lewat pagar depan. Akan tetapi, baru saja keluar dari perkarangan rumah Messi, Bang Dimas menghampiri.
“Bim, Messi ada cerita sesuatu tentangku?” tanyanya berbisik. Sepertinya dia melihat kami berbincang di teras tadi.
“Enggak, Bang!” Aku menjawab sekenanya. Suasana hatiku begitu buruk. Lantas segera pamit dan pulang.
+ + +
Sebenarnya, cepat atau lambat hal ini memang akan terjadi. Seperti cerita teman-temanku yang lain. Mereka semula selalu diekori adik, tapi setelah bertambah dewasa semua akan punya jalan masing-masing. Kakak akan pergi ke arah lain, begitu pula adik yang sudah tidak butuh bimbingan. Mungkin ini pula yang sedang kualami. Memang sudah waktunya bagi Messi untuk pindah.
Lagi pula kami hanya tetangga sebelah rumah yang kebetulan bersahabat karena seangkatan. Tidak lebih.
Kejutan terjadi ketika Messi kembali datang ke rumah setelah lebih dari dua minggu sibuk dengan dunianya sendiri. Ingin sekali aku berlonjak kegirangan. Gadis itu tersenyum di depan pintu, lalu menyeretku untuk masuk, duduk di sofa ruang tamu. Ia memperhatikan sekitar, berharap tidak ada Mama yang akan mendengarkan kami.
“Tahu enggak, sih!” bisiknya, sok misterius. “Bang Dimas nembak aku!”
Ini sungguh sebuah kejutan walau aku sudah tahu dari awal. “Trus, kamu terima?”
“Aku enggak tahu. Belum jawab!” Messi menggigit bibir bawahnya, kebiasaan jika sedang panik atau bingung. “Tadi pas lagi makan di kafe dekat kampus, dia bilang suka. Karena kaget, aku langsung lari dan pulang pakai taksi.”
“Kabur?” Aku tergelak. Ini Messi sekali, dia memang suka tidak terduga. Dulu juga pernah, pas kami masih SMA. Aku bilang akan kuliah ke luar kota. Dia tidak terima dan memilih lari, pulang sendiri. Padahal saat itu kami sedang makan nasi goreng yang jauh dari rumah. Kucoba mengejar tapi dia malah naik ojek pengkolan dan teriak minta abangnya ngebut.
“Jangan ketawa!” sungutnya sambil memukul bahuku. “Aku harus gimana?”
Tawaku sulit sekali ditahan tapi melihat wajah marahnya, aku berusaha diam meski sampai mengeluarkan air mata. “Kamu suka enggak sama dia?”
Messi terdiam. Sebuah reaksi yang tidak kuduga. Dia orang yang spontan, tidak biasanya berpikir keras seperti itu. Gadis yang kukenal selama 20 Tahun ini sudah benar-benar berubah. Berpindah.
“Aku—“
“Tolak aja!” Aku terkejut dengan ucapanku sendiri dan sepertinya Messi juga sama. Dia menatap dalam diam.
“Ke-kenapa?”
Aku berdehem, lalu berpaling. “Enggak, maksudku kalau kamu emang suka, yah ....” Tunggu! Apa yang ingin kukatakan sekarang? Rasa yang sebelumnya mengganjal jadi semakin mengganggu. Aku tidak boleh egois dengan menyuruhnya menolak.
Egois? Egois dalam hal apa?
“Bim, kenapa diam?” tanya Messi. “Kenapa nyuruh aku nolak?”
“Entah.”
“Tapi aku suka, kok. Bang Dimas bisa jadi pelepas kutukan jomlo abadiku!” Messi berdiri dan kembali bersemangat. “Aku tungguin dia pulang, deh. Baru jawab!”
“Mess!” Aku menahan tangannya saat hendak keluar. Tidak rela jika membayangkan pacar pertama Messi adalah orang lain. Itu artinya segala pengalaman pertamanya akan ditemani oleh orang itu. Bukan denganku, seperti sebelum-sebelumnya. “Aku aja yang lepas kutukannya gimana?”
“Ma-maksudnya—“
“Messi, udah lama enggak mampir!” celetuk Mama yang baru saja keluar dari belakang. “Kebetulan, Mama kelar masak dendeng balado. Ayo, makan siang dulu!”
Kami sama-sama mengangguk dan mengikuti Mama ke dapur. Messi langsung berbinar dan mengambil piring. Dia paling suka masakan Mama, soalnya sering bervariasi, kalau di rumahnya cuma menu biasa, goreng atau gulai ikan. Itu saja ganti-gantian.
“Soal yang tadi!” ujar Messi tiba-tiba. Aku hampir saja tersedak karena dia membahasnya ketika ada Mama bersama kami. “Aku pilih kamu aja, deh!”
“Hah?”
“Pilih apa, Mess?” tanya Mama. Aku hanya bisa diam. Ini ... memalukan, Messi!
“Ada deh ... rahasia!” Messi tersenyum menggoda pada Mama, membuatku bernapas lega. “Rahasia kami berdua.”
“Eh, Mess. Kamu ... ada hubungan apa sama Dimas anak Pak Syahrir?” Sepertinya Mama masih penasaran, tapi aku juga. Kira-kira bagi Messi, hubungan mereka itu apa?
“Temen aja, Ma. Enggak lebih. Lagian Bang Dimas banyak yang suka. Aku sering dapat chatt labrakan dari cewek enggak dikenal. Takut banget, loh!”
Tanpa sadar aku tersenyum. Menyimak pembicaraan Mama dan Messi yang makin bercabang, ngalor-ngidul. Pemandangan yang jadi terasa sangat berharga padahal biasa terjadi. Apakah efek karena sempat kehilangan sosok Messi dalam keseharianku? Entahlah, hanya saja aku ingin semua terus seperti ini.
Kalau Messi pindah, aku ikut pindah bareng dia, deh!
Selesai.