Malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Di sudut sebuah kelab malam yang riuh dengan dentuman musik, seorang perempuan duduk di meja pojok, mengamati dunia lewat jendela tanpa sekat. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kepenatan, meski matanya masih menyimpan harapan yang tak kunjung padam. Nama perempuan itu Mira. Usianya baru dua puluh lima tahun, tapi rasanya, dunia sudah memberinya beban seberat usia lima puluh tahun.
Suara denting gelas dan tawa riang pengunjung mengalir seperti aliran sungai. Mira memesan Earl Grey Cobbler Mocktail, berusaha menenangkan pikirannya yang tengah berkecamuk.
Dunia terasa tidak adil, dan dia merasa semakin jauh dari apa yang diinginkannya dalam hidup. Sebuah hubungan yang lebih dalam, bukan sekadar obrolan kosong penuh kepalsuan. Dia mendambakan seseorang yang tidak hanya bisa diajaknya berbicara tentang sesuatu yang berarti, tetapi juga bisa mendengarkan.
Itulah yang membawanya ke tempat ini malam itu. Berharap di antara keramaian akan menemukan seseorang yang bisa menyentuh hatinya. Meskipun menurutnya pilihan tempatnya absurd.
Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi, termasuk di malam itu.
Tiba-tiba pintu kelab terbuka. Seorang laki-laki masuk dengan langkah yang tenang tapi penuh percaya diri, seolah dunia ini miliknya. Dengan jaket kulit hitam dan celana jeans denim yang sedikit kekecilan di pinggang, ia tampak seperti seseorang yang tidak ingin terjebak dalam keramaian. Tapi ia memilih datang sendiri.
Mira tak langsung menoleh. Ia langsung menebak siapa yang baru saja masuk. Tentulah seorang pria yang tidak baik--paling tidak ia mungkin hoodlum-preman. Itu yang pertama kali terlintas dalam benaknya. Meskipun ia lupa ia sedang berada di tempat yang sama dengan laki-laki yang dianggap--bukan pria baik-baik itu.
Pria itu memancarkan aura kepercayaan diri yang berlebihan, meski wajahnya tampan tapi tertutup bayang-bayang keraguan. Menurut pikiran Mira, ada sesuatu yang menggelitik begitu melihatnya. Kenapa dia merasa ada yang lebih dari sekadar kesan pertama?
Laki-laki itu sejenak menatap sekitar ruangan, sebelum matanya berhenti di arah meja Mira. Dia tersenyum tipis, lalu berjalan dengan langkah mantap menuju meja di mana Mira duduk. Tanpa berkata sepatah kata pun, langsung duduk di hadapannya.
“Apa kabar, cantik?” suaranya serak, namun memiliki ketegasan yang tidak bisa diabaikan.
"Sendirian?" lanjutnya sebelum menunggu Mira bersuara.
Firasatnya mengatakan, "tuh kan benar--pria mesum". batinnya.
Mira mengangkat wajahnya, menatapnya dengan tatapan yang penuh rasa ingin tahu. “Kamu siapa?.” Itu pertanyaan yang langsung terlontar. Tak ada alasan untuk protes atau mengatakan sesuatu yang buruk, gara-gara sapaan bernada iseng itu--seperti, dasar laki-laki mesum--karena ia sendiri berada di tempat yang tak semestinya ditempati seorang perempuan biasa.
Pria itu tertawa, kemudian menarik ceruap-rokok elektrik dari kantung bajunya. "Nama gue Rafi. Biasanya orang seperti gue nggak banyak ngomong. Tapi kalau ada yang tanya, ya gue jawab. Kalau kamu mau tahu lebih banyak, kita bisa ngobrol." ia mengatakan seolah-olah ada yang berharap atau memintanya.
Mira diam sejenak. Tapi merasa ada yang aneh dengan sikap Rafi. Meskipun cara bicaranya kasar, entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Bukan seperti laki-laki yang biasa ia temui, yang hanya tahu bagaimana caranya mengejar perhatian. Rafi berbeda.
“Kenapa kamu duduk di sini?” Mira bertanya, suaranya tidak langsung menggiring percakapan ke arah yang mengarah pada pertanyaan yang lebih pribadi.
Rafi menghembuskan asap rokoknya pelan, matanya bersitatap lurus dengan mata Mira. "Gue nggak suka berlama-lama di tempat ramai. Gue cuma cari tempat teman bicara, dan lo kelihatan bisa jadi temen ngobrol yang nggak ribet."
Mira menatapnya, seakan mencoba memecahkan teka-teki dalam diri Rafi. Ini kan tempat rame. Rasanya ada yang salah dengan caranya bicara, dengan caranya memandang. Sama sekali bukan kesan seorang pemabuk atau pemadat.
Memang kesan pertama selalu membingungkan, dan sepertinya Rafi tahu persis bagaimana memainkan perhatian orang lain. Dan Mira kali ini seolah bisa merasakannya, seperti sedang "dipermainkan".
“Maksudnya? Kalau lo cuma butuh temen ngobrol, kenapa pilih gue?” Mira bertanya lagi, merasa perlu menggali lebih dalam.
Rafi mengangkat bahunya, seolah tidak ada yang lebih penting dari apa yang sedang terjadi di sini dan sekarang. “Ya, karena lo beda. Lo nggak terlihat seperti cewek-cewek lain di sini.”
Mira terkekeh kecil. “Cewek-cewek lain seperti apa?”
“Genit, manja, selalu cari perhatian. Lo nggak kayak gitu. Lo tenang. Gue suka itu,” jawabnya, wajahnya tetap serius, tapi ada raut yang tidak bisa disembunyikan.
Mira terdiam, merasa sedikit canggung. Ada semacam keterhubungan, meski caranya bicara penuh dengan kesan maskulin dan keras. Tapi dia merasakan ada sesuatu yang tidak tampak jelas di permukaan.
“Jadi lo... nggak suka cewek yang manja?” Mira melontarkan pertanyaan itu, namun sudah merasa bahwa ada sesuatu yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam.
Rafi mengedipkan mata, memiringkan kepala. “Nggak. Gue nggak mau cewek yang cuma mikirin penampilan. Gue nggak butuh yang semacam itu. Gue butuh seseorang yang tulus, yang ngerti siapa gue tanpa harus jadi orang lain.”
Kenapa jadi curhat, batin Mira. Tapi sebaliknya ungkapan yang spontan itu membuat Mira merasa jantungnya berdebar kencang. Tidak ada yang pernah berbicara begitu langsung dengannya sebelumnya. Pria seperti Rafi, dengan cara bicara yang terbuka, seolah tak ada rahasia yang disembunyikan. Tidak ada penutup, tidak ada topeng. Dia merasa Rafi berbicara dengan ketulusan, meski penampilannya bisa menipu siapa saja.
“Kenapa lo ngomong begitu? Apa lo mau ngajarin gue jadi cewek yang nggak manja?” Mira mencoba untuk bersikap santai, meski ada perasaan aneh yang muncul.
Rafi tertawa kecil, menatap Mira dengan mata yang lebih lembut. “Nggak, gue cuma ngomong apa adanya. Gue cuma butuh seseorang yang bisa ngajak gue ngobrol tanpa ngerasa risih sama hidup gue yang nggak selalu sempurna.”
Mira merasakan ada yang menyentuh hatinya dalam setiap kata yang keluar dari mulut Rafi. Lagi-lagi seperti curahan hati. Terkadang, dalam dunia yang serba terburu-buru ini, kita lupa untuk mendengarkan suara hati. Mungkin Rafi tidak berbicara seperti pria lain yang pandai beromantis-ria dengan kata-kata manis, tapi apa yang dia katakan terasa jujur.
“Apa lo nggak takut sama penilaian orang?” tanya Mira lagi, kali ini lebih lembut.
Rafi menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Mira dengan tatapan yang penuh arti. “Pernah. Tapi gue udah lewatin itu semua. Yang penting buat gue, bukan apa yang orang lain pikir, tapi apa yang ada dalam hati. Gue cuma nggak mau jadi orang yang salah dalam hidup lo.”
Mira terdiam, meresapi setiap kalimat yang keluar dari mulut Rafi. Ada yang terasa begitu tulus. Ada yang lebih dalam daripada apa yang dia duga sebelumnya. Rafi mungkin bukanlah seorang hoodlum biasa.
Dia bukan hanya seseorang yang melukai orang lain dengan kata-kata tajam atau tindakan yang kasar. Dia hanya seorang lelaki yang sedang mencari seseorang yang bisa menerima dirinya apa adanya.
***
"Hei, Bos! Lama nggak nongol di sini. Lagi cari mangsa baru ya?", Mira menoleh, mendapati dua perempuan dengan sepatu hak tinggi muncul dari arah pintu. Wajah mereka penuh senyum genit, dan pandangan mereka langsung tertuju pada Rafi.
Salah satu perempuan, dengan rambut panjang yang diikat ekor kuda dan lipstik merah mencolok, melambai ke arah Rafi sambil tertawa, memperlihatkan gigi putih yang sempurna. Disusul suara tawa cekikikan yang mengalun seperti angin malam yang membuat bulu kuduk berdiri.
Rafi memutar bola matanya, menampilkan ekspresi lelah. "Gue nggak mangsa siapa-siapa, Lala. Lo selalu aja bikin cerita aneh."
Lala tertawa lagi, kini sambil mendekatkan tubuhnya ke meja. Dia bersandar di pinggir meja dengan sikap santai tapi provokatif. “Ah, masa sih? Kalau nggak cari mangsa, terus ngapain duduk sama kencur kayak dia?” Ia melirik Mira dengan pandangan meremehkan.
Mira, yang sejak tadi diam, menegakkan tubuhnya. Matanya tajam menatap Lala, tapi ia memilih tidak berkata apa-apa.
“Lala, udah deh,” kata Rafi dengan nada malas. “Gue lagi ngobrol serius di sini. Nggak ada urusan sama lo.”
Sementara itu, teman Lala yang berambut pendek dan memakai gaun mini duduk di kursi kosong di sebelah Rafi tanpa diundang. Namanya Dina, dan dari caranya melirik Mira, jelas dia tidak menyukai keberadaannya di sana.
“Aww, Rafi. Jangan judes-judes gitu dong,” Dina berkata sambil memainkan ujung rambutnya. “Kita kan cuma mau say hi. Lagian, tumben-tumbenan lo ngajak ngobrol cewek model begini. Biasanya tipe lo kan yang... lebih menarik seperti akyu?” Dia menekankan kata terakhir dengan nada menyindir.
Rafi mendesah panjang, lalu menoleh ke Dina. "Dina, kalau lo nggak punya urusan penting, mending cabut. Gue lagi nggak mood main-main."
Lala terkikik, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Rafi, membuat Mira semakin tidak nyaman. "Yah, masa nggak mood sih? Jangan gitu dong, Bos. Gue sama Dina kan selalu bikin suasana jadi asik.”
Mira akhirnya membuka suara, suaranya tenang tapi tegas. “Kalau kalian udah selesai bercanda, mungkin bisa kasih kami ruang? Kami lagi ngobrol serius di sini.”
Lala menatap Mira, seolah baru benar-benar memperhatikan keberadaannya. "Ih, galak banget, Dek. Rafi, lo yakin nih? Jangan sampai lo nyesel karena nyia-nyiain waktu sama anak baru kayak gini."
Rafi tersenyum kecil, lalu menatap Lala dengan sorot mata yang tiba-tiba berubah dingin. "Gue nggak main-main, Lala. Jadi, kalau lo cuma mau ganggu, silakan cari meja lain."
Dina mengembuskan napas keras, lalu berdiri sambil memutar matanya. “Yah, baiklah. Jangan lupa kita udah lama temenan ya, Rafi. Kalau dia ngecewain lo, lo tau harus ke siapa balik lagi.” Dina menambahkan, menunjuk dirinya sendiri sambil tertawa kecil.
Mereka berdua akhirnya pergi dengan langkah-langkah genit, meninggalkan aroma parfum yang terlalu menyengat di udara. Setelah mereka hilang dari pandangan, Mira menatap Rafi dengan alis terangkat.
“Mereka selalu kayak gitu?” tanyanya.
Rafi menyandarkan punggung ke kursi dan tertawa pelan. “Hampir selalu. Gue udah terbiasa. Tapi lo jangan peduliin mereka. Mereka cuma suka bikin keributan.”
Mira memutar gelas Earl Grey Cobbler Mocktail, lalu menatap Rafi dengan tatapan yang lebih dalam. “Kalau lo bener-bener nggak suka sama cewek kayak mereka, kenapa masih berurusan?”
“Gue nggak urusan sama mereka. Mereka aja yang nganggep gue urusan,” jawab Rafi sambil tersenyum tipis. "Tapi gue rasa sekarang mereka udah ngerti kalau gue nggak tertarik."
“Semoga aja,” kata Mira sambil tersenyum. "Soalnya kayaknya mereka nggak mudah nyerah."
Rafi tertawa lagi, kali ini lebih santai. “Tenang aja. Gue nggak bakal kabur cuma karena dua orang pengganggu.” Ia menatap Mira dengan serius, senyumnya berubah menjadi lebih tulus. “Kalau mereka bikin lo nggak nyaman, gue minta maaf.”
Mira mengangkat bahu, tersenyum kecil. “Gue bisa hadapin orang kayak mereka. Tapi gue nggak tau gimana lo tahan sama dramanya.”
Rafi menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Mungkin karena gue udah lama nunggu ketemu orang yang nggak drama. Dan kayaknya gue nemu satu malam ini.”
Mira merasakan pipinya memanas, tapi dia tetap menatap Rafi, mencoba menyembunyikan perasaannya yang mulai goyah. Malam itu, meski penuh dengan gangguan, percakapan mereka terus berlanjut, lebih jujur dan lebih dalam dari sebelumnya. Di balik tampilan kasar dan sikapnya yang seperti hoodlum, Mira tahu bahwa Rafi adalah seseorang yang layak untuk dikenali lebih jauh.
“Lo bukan siapa-siapa buat gue, tapi...” Mira memandangnya, mencoba membaca lebih dalam lagi, “Kenapa lo pilih gue untuk teman ngobrol?”
Rafi tersenyum, kali ini lebih lebar. “Karena lo nggak berpura-pura.”
"Darimana lo tahu isi hati gue, kita baru ketemu sekali" balas Mira.
Tapi Mira merasa seolah ada tembok yang runtuh di antara mereka. Tembok yang selama ini dia bangun untuk melindungi dirinya dari orang-orang yang hanya datang untuk mencari keuntungan atau sekadar ingin tahu tanpa tujuan yang jelas. Tembok itu mulai retak, dan di hadapannya, kini ada Rafi, seorang laki-laki yang tampaknya jauh lebih dari apa yang tampak di permukaan.
“Lo nggak takut kalau gue bohongin lo?” tanya Mira akhirnya, dengan keraguan yang masih tersisa.
Rafi mengangkat alis. “Gue nggak pernah takut sama yang nggak gue kenal. Tapi... lo mungkin bisa jadi pengecualian.”
Mira tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti.”
Rafi tersenyum dengan mata berbinar. Aku berharap kamu akan menjadi gadisku, batin Rafi seolah menemukan "pujaan hati" yang telah lama hilang.
glossary
*hoodlum--preman, kata tersebut berasal dari hudelum, kata sifat yang berarti "tidak tertib" dalam dialek bahasa Jerman yang digunakan di dan sekitar wilayah Swabia. Kita akrab menyebutnya--preman--seseorang yang berperilaku tidak baik.
Rafi dalam cerita ini mewakili kelas tertentu seperti di drakor--mencari pasangan yang ngak matre dengan cara menyamar, bahkan di tempat yang mungkin tidak layak untuk seorang perempuan biasa.