Disukai
1
Dilihat
33
Menampung Air Hujan
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Yang ada melulu... hanya hujan! Hujan terus!” keluh Akbar sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

“Kenapa, Bar? Buat aku, justru hujan itu enak. Kita bisa menyantap mie hangat dan minum teh panas. Kita juga bisa hujan-hujanan. Enak, bukan?” ujar temannya, Arjuna, yang kebetulan sedang berkunjung ke kamar kosnya Akbar.

“Bagimu enak! Selama musim hujan, aku jadi gagal berwisata ke suatu tempat. Jadinya aku harus diam di kamar, baca buku atau kalau tidak nonton TV. Bosan rasanya di kamar kos terus!”

“Hei, Bar, coba dengar. Kalau misalnya kamu punya tanaman, kamu pasti harus menyiraminya tiap hari, bukan? Nah, kalau hujan turun, kamu nggak perlu lagi turun dari ranjang dan menyiram tanamanmu. Terus, kalau misalnya kamu kekurangan air, nggak usah takut! Letakkanlah ember di halaman, terus tunggu sampai ember itu terisi oleh air hujan. Lebih hemat air, bukan?”

Akbar terdiam. Matanya menatap ke arah jendela. Tampak hujan turun deras lagi hari ini.

“Tips-mu tadi mungkin saja bagus, Jun,” kata Akbar pada sahabatnya. “Aku jadi ingin coba. Tapi masalahnya, aku malas keluar rumah, kecuali saat waktunya kuliah. Dan dari mana aku dapat ember, coba? Aku, kan, mandinya pakai air di bak mandi. Nggak ada ember!”

“Yah, kalau nggak ada ember, lebih baik pinjam ke ibu kosnya, dong!” sahut Arjuna sambil tertawa. “Cerdas sedikit, dong, Bar! Masa begitu saja harus dipermasalahkan? Ibu kosnya pasti mau meminjamkan ember, walau hanya sebuah. Tapi yang penting, kamu bisa melakukan tips dan trik yang kuberikan saat musim hujan.”

“Jun, pintar juga, ya, kamu itu! Bangga, deh, punya sahabat sepertimu!” kata Akbar setengah tertawa. “Jun, ada tips dan trik lagi, nggak, yang bisa kucoba? Barangkali saja ternyata hasilnya bermanfaat! Aku juga mau salurkan trik ini ke teman-temanku yang lain kalau berhasil!”

“Aku nggak tahu lagi, Akbar! Hanya itu saja yang kuketahui. Kamu coba dulu saja dua itu, yaitu membiarkan tanaman tersiram hujan, dan juga menampung air hujan pakai ember, biar lebih hemat penggunaan air keran! Nanti kalau berhasil, telepon aku, ya.”

“Siap, Bos! Eh, tunggu dulu. Air hujan yang ditampung itu mau buat apa? Mau buat masak?”

“Ya, enggaklah, Bar! Gila aja kamu ini, masa masak-masak begitu pakai air hujan? Belum tentu juga terjamin kebersihannya! Air yang tertampung sebaiknya buat mandi. Enak, kan, mandi dingin-dingin? Oh, iya, jangan pakai air hujan itu buat diminum. Kalau ternyata airnya kotor, bisa-bisa kamu sakit, Bar.”

Akbar mengangguk-angguk. Dalam hati, dia berharap semoga trik ini berhasil.

“Ya, udah, Jun, besok kucoba trikmu. Kalau berhasil, kamu kuberi uang sepuluh ribu!” janji Akbar.

Arjuna tertawa. “Nggak usah pakai janji-janji begitu, Akbar. Dulu, kamu pernah janji mau kasih aku kue kalau aku berhasil mengerjakan soal matematika yang rumit. Aku udah berhasil menyelesaikannya, tapi kamunya malah nggak kasih kuenya. Mending nggak usah janji-janji daripada nantinya jadi susah!”

“Iya, iya, Jun.”

Usai mengobrol dan belajar cukup lama, Arjuna kembali ke kamar kosnya yang berseberangan dengan kamar Akbar.

***

Esok harinya, kampus Akbar libur sehari. Akbar menggunakan kesempatan itu untuk menguji trik Arjuna.

“Bu, bolehkah saya pinjam embernya?” tanya Akbar kepada ibu kos, yang sedang sibuk menata ruang tamunya.

“Hah? Mau buat apa, Akbar?” tanya ibu kos dengan ramah.

“Saya pakai sebentar saja, Bu. Nanti malam atau besok saya kembalikan,” jawab Akbar. Dia tak ingin bercerita panjang lebar mengenai trik yang kemarin dibicarakan bersama Arjuna.

“Hmm,” balas ibu kos, “okelah kalau begitu. Ambil saja di dapur saya. Pilih yang kecil, jangan yang besar. Kalau ember yang besar mau saya pakai!”

“Oh, oke, Bu. Kalau yang kecil, saya ambil dua boleh tidak, Bu?”

“Iya, Nak, ambil saja. Nanti kalau sewaktu-waktu saya perlukan dan saya minta, tolong kembalikan, ya!”

Akbar berterima kasih. Dia bergegas ke dapur. Rupanya, ada banyak ember bertumpukan di pojok. Akbar mengambil dua ember, lalu kembali ke kamarnya.

Akbar menunggu hujan tiba. Sambil menunggu, dia bermain game di ponselnya. Akbar juga sesekali baca buku yang ada di rak.

Namun, sayangnya, ditunggu berapa lama pun hujan takkan datang. Akbar menunggu sampai makan siang tiba, tetapi hujan tak kunjung datang. Berulang kali dia melirik arloji yang dikenakannya.

“Duh, lama sekali, sih, hujannya turun! Saat tidak diharapkan turun, dia malah datang, deras pula. Tapi saat diharapkan turun, dia malah membolos. Bagaimana, sih?” gerutunya dalam hati.

Tok, tok, tok, terdengar suara ketukan pintu. Akbar membukanya, dan rupanya itu adalah ibu kos yang mengantarkan makan siang untuk dirinya.

“Ini makan siangnya, ya, Akbar. Dimakan sampai habis, ya! Kalau sudah selesai makan, letakkan saja di dapur,” kata ibu kos sembari memberikan nampan pada Akbar.

“Terima kasih, Bu. Wah, menunya rawon, ya, Bu. Hmm… sedap sekali!” sahut Akbar sambil mengambil nampan tersebut.

“Oh, iya, embernya sudah selesai kamu pakai?”

“Eh, belum, Bu. Saya masih pakai, hehehe.”

“Lama benar kamu memakainya. Mau buat apa, sih?”

“Rahasia, Bu. Yang jelas, saya tidak berhak membicarakannya dengan Ibu.” 

Ibu kos lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Akbar buru-buru menutup pintu.

“Fiuh, untung saja Ibu tidak mengerti bahwa embernya kupakai buat menampung air hujan. Kalau sampai dia tahu, aku kena marah, dong!” bisik Akbar sambil duduk di kursi.

Akbar memakan rawon yang disediakan ibu kos dan juga makan sedikit roti. Hatinya sedikit geram karena mendapati cuaca tetap cerah, tak ada tanda-tanda hujan bakal turun.

“Huh, kenapa hujan belum turun juga? Aku mau cepat-cepat mencoba triknya si Arjuna. Aku mau lihat apakah airnya berguna bagiku!” pikirnya ketika dia mengembalikan nampan dan piring ke dapur.

Siang itu, Akbar tidur di ranjangnya. Bangun-bangun, didengarnya suara telepon berdering.

“Halo, siapa ini?” ucapnya di telepon.

“Halo, Bar, ini kamu, kan?” sebuah suara menjawab sapaan Akbar tadi.

“Eh, kamu rupanya, Arjuna? Iya, ini aku, Akbar. Ada apa?”

“Bar, sayang, ya, nggak hujan. Kamu jadi nggak bisa mencoba trikku yang kemarin!”

“Iya. Dasar hujan menyebalkan! Malah bolos di saat-saat penting begini!”

Arjuna tertawa. “Haha, Bar, jangan mencak-mencak begitu, dong. Ya, sudah, ikhlaskan aja. Sabarlah dulu, nanti pasti hujan!”

“Oke, oke! Eh, Jun, kamu di mana?”

“Aku lagi di toko alat tulis, nih. Mau beli buku cerita sama kamus bahasa Prancis!”

“Oh, kalau begitu aku titip, ya! Tolong belikan aku dua buku tulis sama lima bolpoin. Cari yang murah saja, tapi bermutu!”

“Loh, terus pakai uang siapa, Bar?”

“Pakai uangmu dulu saja, Jun. Nanti sampai di kos aku ganti uangmu.”

“Ya, udah.”

Telepon berhenti. Akbar menatap ke luar jendela. Langitnya berawan, tapi tidak mendung.

“Mudah-mudahan nanti malam hujan. Aku tidak sabar untuk mencoba trik Arjuna!” gumamnya dalam hati.

Akbar pun menyalakan TV. Dia menonton live sepak bola yang sedang tayang saat itu. Beberapa menit kemudian, terdengat ketuk pintu.

“Oh, itu pasti Arjuna, yang membawakan pesananku!” katanya sambil beranjak dari kursinya.

Akbar membukakan pintu. Rupanya itu bukan Arjuna, melainkan ibu kos.

“Bar, Ibu butuh embernya saat ini. Mau dipakai buat menampung air keran yang bocor. Boleh Ibu minta embernya?” tanya ibu kos.

“Loh, Bu, kenapa nggak pakai ember yang lain? Ember Ibu, kan, masih banyak! Saya masih butuh embernya,” jawab Akbar.

“Tidak bisa, Akbar! Ibu butuh ember kecil, bukan ember besar. Habis ini, saya mau panggil tukang buat membetulkan kerannya. Untuk sementara Ibu tampung dulu airnya pakai ember kecil. Ayo, mana embernya?” ujar ibu kos sambil memandang ke sekeliling kamar Akbar.

Akbar terpaksa masuk ke dalam, lalu mengambil dua ember yang tergeletak di kamar mandi. Diserahkannya ember-ember itu pada ibu kos.

“Ini, Bu, embernya. Terima kasih, ya, karena sudah dipinjamkan!” ucapnya.

“Embernya berarti tadi nggak kamu pakai, ya? Sia-sia saja tadi Ibu pinjamkan padamu!” kata ibu kos sambil berjalan ke dapur.

Akbar menutup pintu. Dia kembali duduk di kursi dengan kesal. Duh, gagal, deh, aku menguji triknya Arjuna. Dia sendiri pasti kesal! batinnya. Dia memutuskan untuk lanjut menonton pertandingan bola.

Kira-kira satu jam kemudian, Arjuna kembali. Dia pergi ke kamar kos Akbar dan memberikan barang pesanannya.

“Jun, rupanya gagal. Ember pinjaman Ibu kos sudah diminta sama dia. Aku terpaksa kembalikan, karena kalau tidak dia pasti mengobrak-abrik isi kamarku. Maaf, ya, Jun!” sesal Akbar sesudah memberikan uang ganti kepada temannya itu.

“Yah, mau bagaimana lagi. Sudahlah, nggak apa-apa, Bar. Kapan-kapan bisa kamu coba!” balas Arjuna. “Eh, eh… rupanya ada pertandingan bola, ya? Aku kelewatan, nih. Tim Indonesia masih berusaha bertahan, ya, Bar?”

“Ya,” jawab Akbar. Suasana hatinya kembali gembira mendapati Arjuna ikut menonton sepak bola. “Ayo sini, Jun, nonton sama aku! Mau kudapan?”

Arjuna menggeleng. Pandangannya tertuju pada TV. Mereka berdua hanyut dalam pikiran mengenai bola. Sekali-dua kali kedua laki-laki itu memberi semangat pada tim sepak bola yang sedang bermain.

***

Besoknya, Akbar kembali masuk ke kampusnya. Bersama dengan Arjuna, dia menaiki sepeda bututnya ke kampus.

“Seru, ya, sepak bola kemarin?” tanya Arjuna.

“Iya, seru sekali! Walaupun tim Indonesia kalah, tapi, kan, mereka takkan menyerah segampang itu!” balas Akbar.

Arjuna mengiyakan. Sesampainya di kampus, keduanya langsung memarkir sepeda di bangsal. Lalu mereka pergi ke kelas masing-masing.

Sementara satu kelas sibuk mengobrol mengenai pertandingan bola yang kemarin, Akbar masih memikirkan bagaimana caranya dia bisa mencoba trik Arjuna. Dia tak bisa meminjam ember pada ibu kos lagi, karena bila dia meminjam padanya, ibu kos pasti heran, atau malah tidak meminjamkan. Akbar terus memutar otak.

“Aha!” sebuah pikiran melintas di benak Akbar.

Laki-laki itu membuka ponselnya dan mencari aplikasi berbelanja. Dia mengetik di kolom pencarian ‘ember’. Sejenak, aplikasi itu menunjukkan berbagai macam pilihan ember. Menurutnya, banyak ember yang bagus-bagus, namun Akbar yang sedang krisis keuangan juga harus memikirkan harganya.

Akbar terus mencari ember dengan harga termurah, namun dapat menampung banyak air. Kemudian dia melihat ada ember besar yang dijual di situ. Menariknya, harganya hanya sepuluh ribu rupiah. Cihuuuy… murah sekali!

Akbar langsung memesan satu ember. Dia melihat estimasi tibanya ember itu. Rupanya, baru besok embernya tiba. Akbar menutup ponselnya dengan rasa bahagia.

Malamnya, Akbar pulang ke kamar kos. Dia segera makan malam, dan tak lupa membayar sewa bulanan. Dia menanti-nanti saatnya tiba ember itu besok. Tak lupa, Arjuna dikabarinya serta.

***

Esok paginya, saat hendak berangkat ke kampus, Akbar menerima paket embernya. Dia langsung membuka paket itu di kamarnya. Embernya berwarna biru, dan ada tutupnya. Akbar bersorak melihatnya. Seketika, dia meletakkan ember itu di kamar mandi dan berangkat kuliah.

Malam hari telah tiba. Hujan mulai turun sangat deras. Akbar buru-buru pulang, lalu mengeluarkan embernya. Dia mencari tempat yang pantas untuk meletakkan embernya di luar. Matanya melirik ke arah balkon kamarnya yang dekat dengan atap, dan rupanya atap itu bocor sehingga airnya meluber ke mana-mana. Akbar segera meletakkan ember di bawah atap, tepat di atas air yang tumpah. Sambil tertawa-tawa, Akbar memvideokan hal tersebut dan membagikannya ke media sosial.

Paginya, Akbar bangun, dan menengok embernya. Ternyata sudah penuh dengan air. Tergopoh-gopoh dia mengangkutnya ke kamar dan meletakkannya di dekat toilet, lalu menutupnya. Sesudah itu, sambil menunggu sarapan, Akbar melihat postingannya yang kemarin.

Banyak komentar dan penyuka di video itu. Namun, Akbar hanya penasaran dengan komentarnya. Dibacanya komentar-komentar netizen mengenai percobannya.

“Percobaan apa-apaan ini? Buat apa ditampung? Jangan-jangan mau dimasak, hihihi.”

“Memangnya boleh sekonyol ini? Hahaha…”

“Buat apa ditampung segala, Mas? Mau diminum, ya? Memangnya kebersihannya sudah terjamin?”

“Beginilah sikap orang gabut saat musim hujan…”

“Kasihan, karena bosan dan menganggur, akhirnya bikin konten begini, padahal aslinya nggak tahu mau diapain airnya. Konyol banget, sih!”

Akbar sedih melihat komentar-komentar itu. Akbar tidak menyangka, rupanya orang-orang lebih banyak menghujat daripada memuji. Dilaporkannya hal itu pada Arjuna.

“Udah, nggak apa-apa, Akbar. Memang, netizen itu kadang-kadang suka berkomentar yang tidak mengenakkan hati. Buat apa kita peduli sama mereka?” balas Arjuna.

Akbar mengangguk pelan. Dia kembali ke kamarnya. Kebetulan, ibu kos sudah menyiapkan sarapan untuknya. Sambil makan, Akbar menonton video-video di media sosial.

Sebelum berangkat ke kampus, Akbar memotret embernya yang sudah terisi penuh oleh air hujan. Dia menyebarkan foto itu di media sosial, dengan caption bertuliskan: ‘Air hujan yang semalam kutampung sekarang mau kubuat mandi. Bagi kalian yang tidak setuju, harap diam, tak usah berkomentar’.

Ajaibnya, dalam waktu 24 jam, tak ada yang berkomentar di postingan terakhir Akbar. Malahan, jumlah penyuka di postingan itu makin banyak. Akbar senang. Dia memakai air hujan itu untuk mandi pada malam harinya. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi