Kemiskinan memang jahanam. Dia akan terus mencengkram. Kuku-kukunya membenam dalam. Hingga sakit tak lagi sakit, kebas. Sampai sedih tak lagi sendu, biasa.
Sukar. Demikian nama lelaki yang berumur belum empat puluh tetapi bertampang serenta enam puluh. Seperti ia biasa dipanggil, begitupulalah hidupnya. Berisi kesukaran senantiasa.
Segala yang menempel di tubuhnya adalah bekas. Semua yang masuk ke dalam tubuhnya adalah sisa, kadang basi. Semua.. semua kecuali si mbok. Cuma si mbok yang matanya selalu sendu, yang kupingnya rapat tak bersubang, yang tubuhnya telanjang tanpa kalung dan gelang, pun cincin. Cuma si mbok yang memberinya kasih sayang yang hangat tak basi, cinta yang selalu baru. Di dalam tubuh renta wanita itu, Sukar seperti menemukan pelabuhan untuk dirinya berkeluh kesah. Matanya bagai sungai yang maha luas, siap direnangi bila Sukar ingin melepas lelah dari hidup yang selalu kalah.
Maka, bisa dibayangkan betapa hilang separuh hidupnya ketika si mbok melepas nyawa dengan tenang. Di rumah kardusnya itu ingin Sukar menghabisi hidupnya yang celaka. Tapi pesan orang yang kini tinggal jasad itu mencegahnya.
“Janji sama si mbok Le, sesusah apapun tetap ingat gusti pangeran, gusti Allah. Jangan bunuh diri.”
Ya, sesudah mengucapkan itu si mbok mati. Mati juga setengah diri Sukar. Ingin mematikan seluruh diri terhalang wasiat si mbok. Sukar tahu persis kenapa si mbok berpesan seperti itu. Sebab waktu si mbok masih hidup pun Sukar sudah dua kali mencoba bunuh diri. Dua-duanya ketahuan si mbok, digagalkan si mbok. Hidup jangan menyerah, begitu kata si mbok. Tapi sekarang, ketika si mbok sendiri sudah diambil. Apalagi yang harus dipertahankannya dalam hidup. Apalagi mbok?
Jadilah Sukar menjalani hidup sekedar hidup saja. Sekedar tak bunuh diri saja. Ia mulung sampai jauh malam. Ia ingin begitu tiba di rumah kardusnya langsung pulas tertidur. Tak lagi teringat akan hidup, terutama akan si mbok yang sudah tak hidup.
***
Tapi, hidup memang aneh. Di saat Sukar menempuh hidup sesuka-suka dia. Menikmati kesepiannya, sambil tunggu mati yang entah kapan datangnya. Di saat itulah Tuhan pertemukan dia dengan Jum. Jum, seorang perawan desa yang tak lagi perawan. Direnggut oleh orang kota yang janjikannya kerja. Untung Jum bisa lari dari orang itu, kalau tidak, mungkin Jum sudah dijadikan lonte untuk lelaki berorang-orang. Untung Jum bertemu Sukar. Rasa hangat yang dulu ditemui Sukar pada si mbok, kini seperti hadir juga pada diri Jum. Rasa hangat yang mirip tapi tak serupa. Rasa hangat yang membuat Sukar lancang menawarkan hidup kerakapnya untuk ditemani. Tawaran yang disambut angguk malu-malu. Anggukan yang membuat hidup Sukar berkobar lagi. Tak lagi pikirkan cepat mati.
Sukar dan Jum menjalani hidup bak raja dan ratu di istana kardus. Tenaga Sukar pun serasa berlipat-lipat mencari barang untuk dipulung. Jum sudah mengandung. Akh, kalau saja si mbok masih hidup. Pasti dia akan senang sekali karena akan dapat cucu. Yah, ternyata gusti Allah itu ada. Akhirnya Sukar menemukan apa arti tak sukar itu. Hari-harinya memulung, dipenuhi keceriaan akan jabang bayi yang dikandung.
Tiba waktu Jum untuk melahirkan. Hasil memulung yang ditabung ternyata cuma cukup untuk biaya bidan. Seolah abadi waktu bagi Sukar, ketika akhirnya Bu bidan ke luar dari ruang periksa dengan keringat bersimbah di wajah.
“Istrimu pendarahan, harus dibawa ke rumah sakit.”
Sukar hanya bisa bengong. Bingung. Ia berkeras agar istrinya bisa melahirkan di bidan.
"Kalo miskin makanya urus BPJS-nya," demikian celoteh orang lain yang memag mahir mengomentari kemalangan orang lain.
Sukar adalah penduduk yang tak diakui negara, tanpa KTP dan KK. Dan sungguh, segala singkatan itu selalu jadi panjang dan butuh uang saat Sukar mau mengurusnya.
Pada akhirnya, di akhir hari, lagi penghangat hidupnya terbang. Mati. Entah nasib macam apa yang sedang berdendang untuk Sukar.
Kemiskinan memang jahanam. Dia akan terus mencengkram. Kuku-kukunya membenam dalam. Hingga sakit tak lagi sakit, kebas. Sampai sedih tak lagi sendu, biasa.
***
Meninggalnya Jum dibarengi kehidupan baru dari rahimnya. Seorang bayi perempuan montok. Entah ia harus apa dengan nasib serupa ini. Ia tak bisa tertawa dan menangis untuk waktu yang sama. Maka serupa hidupnya, dinamai pulalah oleh Sukar bayi perempuan itu, Prihatin.
Tin, demikian anaknya biasa dipanggil tumbuh dan berkembang. Heran juga Sukar, padahal tak pernah bayi itu menyentuh ASI, susu pun sebulan sekali bila ada rezeki, kebanyakan air tajin. Seorang bayi yang tahu diri. Seorang bayi yang prihatin, sesuai namanya. Sukar pun terpaksa membawa anaknya ini bekerja, ditaruh dalam gerobak untuk menaruh hasil pulungan. Bukan apa-apa, tak ada yang bisa ia titipi si Tin. Semua orang di kolong jembatan Cawang juga punya urusan sendiri-sendiri. Dan Sukar memilih untuk menjalaninya sendiri. Tak mau buat susah kanan-kiri.
Tin tumbuh dengan perkembangan tak wajar. Dua tahun barulah Tin bisa berjalan, itu pun jatuh lagi dan lagi. Kakinya kecil dan bengkok. Sukar sudah mencoba membawanya ke tukang urut di terminal, tapi tak juga sembuh. Malah si Tin menangis seharian dengan panas sekujur badan. Sukar menerima itu sebagai nasib yang memang harus diterima.
***
Tin sakit meriang. Badannya yang memang kurus makin kerontang. Berkali-kali muntah, buang hajat berulang-ulang. Sukar sudah membawanya periksa ke puskesmas. Tapi seperti juga bidan celaka itu, perawat di puskesmas pun menyuruh ia membawa Tin ke rumah sakit. Penghasilannya cuma 25.000 perak, untuk membayar periksa puskesmas saja sudah 5000. Sukar tak berani bayangkan bila ia harus ke rumah sakit.
Akhirnya Sukar tak peduli. Ia bertekad menantang nasib. Menantang Tuhan. Dibawanya Tin, bukan ke rumah sakit tapi ke jalan. Seolah tak ada apa-apa, Sukar bekerja. Sementara Tin tetap saja muntah berkali, buang hajat berulang. Belum lagi berakhir hari, Tin berpulang.
Kemiskinan memang jahanam. Dia akan terus mencengkram. Kuku-kukunya membenam dalam. Hingga sakit tak lagi sakit, kebas. Sampai sedih tak lagi sendu, biasa.
***
Sukar gerah. Ia marah pada si mbok yang wasiatnya membuat ia tak bisa akhiri hidupnya yang celaka. Di bawanya jasad Tin dalam gendongan. Hendak dibawa ke pemakaman gratisan untuk orang-orang serupa dirinya. Di Bogor sana. Hmm.. kalau saja penumpang kereta ini tahu bahwa ada mayat di dalam gendongannya, betapa akan ribut mereka semua. Betapa akan banyak yang meradang, marah mungkin terharu. Atau malah lebih banyak yang bersyukur tak di limpahi takdir secelaka ini.
Usai kuburkan Tin, Sukar seperti terkubur dalam kenangan. Di hidupnya yang jahanam ada tiga orang yang begitu dikasihinya. Tiga orang yang bisa membuat ia bertahan. Tapi kini, jika semuanya sudah diambil yang berpunya dia bisa apa. Untuk apa dia bertahan. Akh, mbok, bolehkah tak ku tunai wasiatmu itu. Tapi Sukar tahu jawabannya tidak. Ia tak mau merusak kenangnya akan si mbok dengan melanggar pesan terakhirnya.
***
Waktu merayap pelan. Mati diharap tak kunjung menyergap. Sukar menyusur jalan entah dimana. Ia tak peduli. Gerobaknya terus ditarik. Hujan-panas tak membuatnya henti, lapar-haus hanya membuatnya jalan terus. Ia berketetapan untuk menantang saja mati itu, bila memang tak bisa ia jemput. Ia terus berjalan menantang mati yang entah kapan datang, ketika tiba-tiba saja..
“BRUK!”
Seorang lelaki muda usia duapuluhan menubruknya. Wajahnya panik luar biasa. Ditangannya terlihat sebuah tas tangan wanita.
“To.. tolooong Sa.. saya.. Mmmass..”
Sukar tak bereaksi. Sudah lama ia lupa cara berkomunikasi. Ia hanya menatap kosong.
“Maliiiing!.. maliiiing!!”
Di kejauhan terdengar suara gemuruh puluhan orang, mungkin ratusan menuju mereka. Nasib yang durjana mengarahkan pemuda ini ke jalan ini. Ya, jalan di belakang Sukar adalah sebuah gang buntu dengan sedikit rimbun semak. Tak cukup sembunyikan aroma bersalah seorang maling.
Mata kosong Sukar tiba-tiba berbinar.
“MALIIIIIING!.. MALIIIIIIING!!”, suara gemuruh makin dekat.
“Cepat!”, segera Sukar membuka pakaiannya, menyuruh si pemuda melakukan hal serupa. Sukar ingin berganti rupa. Ia ingin menjadi maling itu.
Tak pikir lagi si pemuda segera mengenakan baju Sukar. Ia ingin jadi siapa saja, asal bukan dirinya.
Sebelum menyuruh pemuda itu bersembunyi di semak, masih sempat Sukar menghibah uang tak seberapa yang ia punya. Toh ia sudah tak butuh ini lagi. Di genggamnya erat tangan pemuda itu.
“Kalo kau ada niat maling lagi, ingat-ingat saja kejadian ini.”
“Ttt.. terrimakasiih..”, si pemuda menatap penuh rasa terimakasih tak terkira.
“MALIIIIIIIIIIIING!!.. MALIIIIIIIIIIIIIIIIING!!!!..”, suara gemuruh sudah di depan gang.
Segera pemuda berpakaian Sukar bersembunyi dalam semak. Sukar dengan pakaian si pemuda memegang tas tangan, mementang kaki, menantang mati yang dirindunya.
“ITU MALINGNYA!!” , massa sudah melihatnya.
“HAJAAAAR!!!”
BAK! BUK! BAK! BUK!
Kemiskinan memang benar-benar jahanam. Dia akan terus- menerus mencengkram. Kuku-kukunya membenam dalam-dalam. Hingga maut tak lagi takut, dijemput…
***
Catatan: Terilhami dari berita menyedihkan di media massa, tentang jenazah anak seorang pemulung yang digendong naik KRL sebab ketiadaan uang.