Wanita itu sungguh sangat biasa. Rambut hitam diikat ke belakang, blus longgar krem dan celana cokelat tua, tak ada aksesori apapun di tubuhnya. Wajahnya bukan tipe yang akan membuat terpana sekali lihat. Tidak mencolok, tidak berfitur istimewa hingga mudah dikenang atau dikenali. Jika bertemu dengannya sekali, kita pasti akan langsung lupa. Tidak jelek, namun bukan cantik sekali. Jika berada di manapun, wanita itu pasti akan langsung terbaur dengan latarnya, seperti bunglon hampir tak kelihatan. Satu-satunya yang membuatnya menarik adalah jalan dan bahasa tubuhnya. Tegas, begitu pula sorot mata bagai elang yang siap mencatut siapa saja yang meremehkannya.
Bahkan Nila yang menganggap dirinya sendiri berfisik menarik yang bisa membuat siapapun menoleh saat pergi ke mana saja, gugup di hadapan wanita itu. Nila merapikan blus ketatnya yang sama sekali tak perlu dirapikan, membenarkan posisi buku di atas meja kopi agar lurus sempurna. Jemarinya yang memegang pena semakin erat saat wanita itu duduk di hadapannya sambil menghidangkan teh rosella warna merah. Aroma asam khas rosella menguar, tercium di hidung Nila. Di rumah Mawar, begitu wanita itu mengenalkan dirinya, Nila merasa berada di kandang induk singa yang taring dan cakarnya siap keluar kapan saja.
Mawar, nama wanita itu. Tapi Nila yakin itu bukanlah nama sesungguhnya. Ada Mawar-Mawar lainnya yang pernah ditemuinya seminggu belakangan ini. Bedanya dua lainnya bernomor. Mawar 45 dan Mawar 60. Hanya wanita di depannya ini yang tanpa nomor. ‘Mawar’ saja. Hanya dia ‘Mawar’ yang boleh tak bernomor.
“Apa saja yang Anda tawarkan kepada klien Anda biasanya? Anggap saya sebagai calon klien.” Nila siap dengan pulpen dan buku. Tujuannya kemari adalah mewawancarai Mawar, wawancara ekslusif yang susah payah didapatkannya. Meskipun sekarang ia dan Mawar nampak santai duduk di ruang tamu rumah Mawar, nyatanya wawancara itu begitu ketat, bersyarat-syarat. Tak boleh ada perekam elektronik, kamera, HP, perekam suara atau lainnya. Tak boleh menggambar sosok Mawar di hadapannya. Hanya boleh mencatat. Peralatan yang dibolehkan hanya buku dan pulpen. Satu buku, satu pulpen. Nila yakin,di luar rumah ia diawasi oleh Mawar-Mawar bernomor. Mungkin sampai ia pulang nanti.
Mawar meneguk teh Rosella santai. Mata hitamnya yang jernih menatap Nila.
“Apa dendam yang ingin Anda balaskan?”
Kelebatan lelaki itu lewat di kepala Nila. Lelaki itu bersama wanita bergincu oranye, tertawa-tawa. Nila mengalihkan pandangannya dari Mawar ke vas bunga kaca being dengan bunga mawar berwarna merah pekat.
“Apa yang Anda tawarkan selalu pembalasan dendam?”
“Tak mesti juga. Meskipun 90%, bukan, 95% klien meminta dendamnya dibalaskan. Pelecehan, perselingkuhan, penghianatan dan bahkan,” Mawar mengetuk jari di lututnya. ”Pembunuhan.”
“5% nya meminta apa?”
“Pemenuhan keinginan. Di luar dendam tentu saja. Bertolak dengan tadi, kadang seperti pernyataan cinta, bahkan lamaran pernikahan. Ada juga versi ekstrimnya yang bisa dibilang mirip penguntitan.”
“Apa bentuk pembalasannya? Maksud saya, apa yang Anda lakukan untuk penuhi keinginan klien?”
Mawar mengangkat bahu. “Kebanyakan klien yang memberi rencana secara gamblang, tapi kami berikan saran terbaik untuk mereka. Eksekusi tak selalu mudah, Anda tahu.”
Mawar bicara dengan enteng, memberikan contoh kasus-kasus kliennya. Dia tak sebut nama atau kapan terjadinya, mungkin karena masalah kerahasiaan. Kasus-kasus diselesaikan dengan tangan dingin, bahkan kejam dan agak sadis. Di akhir eksekusi, Mawar bernomor sebagai eksekutor akan meninggalkan setangkai mawar merah. Seperti sebuah simbol. Pengingat agar jangan macam-macam. Begitu ditakuti bisnis yang dijalankan Mawar ini oleh para korban atau ‘target’ kliennya. Klien Mawar semua wanita, perempuan. Kebanyakan wanita berduit tebal yang rela habiskan uang demi wujudkan dendam dan keinginan terdalam lewat Mawar. Namun ada juga beberapa kasus yang kliennya sedikit uangnya, bahkan tak bisa bayar. Kasusnya akan dinilai lebih dulu dan kadang diloloskan. Mawar-Mawar akan mengabulkan keinginannya secara bersyarat.
“Syaratnya dia harus jadi rekanan.”
Rekanan artinya, kapanpun Mawar dan Mawar-Mawar bernomor membutuhkannya dalam suatu kasus, klien tak berduit itu harus mau dimintai ‘tolong’. Menjadi klien Mawar juga rumit, tak kalah prosesnya seperti Nila berusaha mendapatkan janji temu dan wawancara seperti sekarang. Nila tahu pergerakan dan ‘bisnis’ Mawar ini pun berkat teman kuliahnya yang seorang apoteker, yang diam-diam pernah memakai jasa Mawar untuk menguntit profesor muda yang ia gilai saat kuliah. Biasanya klien mendengar dari kenalan yang kemudian akan merekomendasikannya ke Mawar bernomor. Hampir tak ada yang pernah bertemu Mawar tak bernomor. Hanya Nila saja. Seperti tampilannya, Mawar di hadapannya ini memang harus tak kelihatan, tak terdengar, tak dikenal pun dikenang. Mawar tak bernomor seperti hantu.
“Bisnis Anda terdengar seperti pembunuh bayaran, yang tak selalu membunuh ya?” hati-hati Nila mengucap kalimatnya. Ia sangat yakin jika Mawar di depannya tersinggung, akan ada peluru bersarang di kepalanya dari Mawar bernomor di luar yang mengawasi mereka.
Mawar tertawa, di saat ini dia tampak cantik. Nila melirik ke arah foto keluarga di atas lemari di ruang tamu. Dia bertanya-tanya apakah pria dan anak yang di foto itu asli atau palsu.
“Bounty hunter ya, bahasa kerennya? Tidak....tidak...”
Mata Mawar berkilat. Sekilas Nila melihat kebuasan di sana.
“Saya lebih suka menyebutnya super anti-hero.”
“Maaf?”
“Anti-hero. Kami bukan penegak keadilan, saya sadari itu. Kami agak terlalu kotor juga untuk bisa disebut superhero, atau pahlawan. Meskipun beberapa orang memang menganggap kami pahlawan mereka. Kami dibayar, tentu saja, makanya Anda menyimpulkannya begitu. Sejatinya kami penyedia jasa. Bisnis. Profesional.”
“Berarti tanpa ideologi atau arah moral?”
Agaknya kata-kata Nila keterlaluan. Mawar mengernyit, wajah santainya mengeras sejenak. Namun sebentar kemudian wajahnya melembut lagi. Tapi sepertinya Nila menyinggungnya. Keringat di tangan dan dahi Nila makin banyak.
“Moral. Apakah Anda bisa menyamakan kompas moral Anda dengan semua orang?”
Mawar tersenyum, senyumannya lebih tampak seperti tantangan.
“Pernahkah Anda merasa sangat membenci seseorang, bahkan ingin menghilangkannya namun tak bisa apa-apa? Sedang dia nampak bahagia saja dan terus menginjak-injak Anda?”
Nila mengusap keringat di dahi dengan tisu, Tisu itu hampir kuyup. Nila merasa ruang tamu Mawar terlalu dingin. Kelebatan lelaki dengan wanita bergincu oranye menari-nari di kepalanya. Wanita itu mencium pipi lelaki mesra. Nila di tempatnya berdiri, mengelus perutnya yang tak lagi bunting, air matanya jatuh akan sesuatu yang hilang dari dirinya. Nila menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Mawar di depannya mengangguk pelan, kilat matanya hilang dan senyum ancamannya raib. Seakan Mawar melihat kelebatan di kepala Nila juga.
“Anggap kami sebagai perantara. Tangan ketiga yang kotor dan mau Anda sembunyikan. Soal moral, kami serahkan sepenuhnya pada klien. Ketika memakai jasa kami, tak ada jalan kembali. Bubur telah diaduk. Salju putih sudah tercampur lumpur, itu urusan yang harus diselesaikan sendiri. Begitu juga yang ditanamkan ke mawar-mawar kami. Mawar-mawar kami, mereka harus tahu bahwa mereka lepas dari kepentingan klien. Dan jika mereka mau berhenti, ya berhenti sudah.”
Nila tahu bahwa sangat sedikit Mawar-Mawar bernomor yang berhenti. Upah mereka besar. Makin banyak juga klien-klien dengan urusannya yang minta diselesaikan.
Mawar tersenyum, menepuk punggung tangan Nila. “Sebelum kami laksanakan keinginan klien kami, kami berikan pilihan. Masih ada jalan lain. Agar salju tetap putih.” Mawar menatap Nila lekat. “Memaafkan dan melepaskan. Itu pilihan lainnya.”
Wawancara itu Nila selesaikan. Kelebatan lelaki itu makin tak karuan membuatnya tak tahan lagi. Nila berjalan pulang, di luar rumah Mawar, ia bisa melihat lalu lalang orang-orang. Laki-laki, perempuan. Nila yakin di antara perempuan-perempuan itu ada Mawar-Mawar bernomor yang siap sedia kapan saja.
Langkah Nila mantap. Kelebatan lelaki dan wanita bergincu oranye masih ada di kepalanya. Bedanya, sekarang ia tersenyum lega. Di tangan kiri ia memegang tangkai mawar merah yang diberikan Mawar sebelum ia pamit. Tangan kanannya memegang ponsel. Nila melihat layar ponselnya yang menunjukkannya ke sebuah kontak. Mawar 46.
Nila menekan tombol telepon.
Februari, 2023