Menjadi dewasa membuat Aku sadar akan satu hal. Bahwa yang sudah berlalu, tidak akan mungkin bisa terulang lagi. Tapi hanya perlu dianggap sebagai pelajaran berharga untuk bekal mengarungi masa depan atau hal yang belum datang.
Ada kalanya Aku merasakan kelelahan. Seakan ingin beristirahat lalu pulang ke sebuah tempat yang disebut dengan sebutan 'rumah' sebuah tempat yang nyaman untuk sekedar singgah dan bercengkrama dalam ikatan keluarga.
Aku tidak tau rumah seperti apa yang Aku harapkan? Sedangkan rumah yang Aku punya, kadang kala terasa menyesakkan. Usia ku bukan lagi remaja tapi lebih tepatnya remaja yang beranjak dewasa. Aku sudah bekerja dan itu kenapa kadang kala Aku di derap rasa lelah. Belum lagi Aku juga menopang perekonomian keluarga ku.
Ada kalanya Aku merasa iri dengan rekan kerjaku yang lain. Mereka bisa bekerja sambil berkuliah yang Aku tau rasa lelah yang mereka dapati adalah dua kali lipatnya dari rasa lelah yang Aku rasakan. Itu kenapa selain Aku iri dengan mereka tetapi Aku juga ikut bangga dengan mereka. Di mata ku mereka itu keren bisa membagi waktu dengan porsi istirahat yang terkikis.
Aku tidak bisa membayangkan betapa besar perjuangan mereka dalam meraih sebuah gelar kebanggaan demi meraih prekonomian lebih baik di kemudian hari.
Aku ingin seperti mereka tetapi kondisi ku lah yang belum mendukung untuk itu. Jangankan untuk kuliah, uang jajan ku saja terbatas meskipun Aku yang mencari uang tetapi Mamaku lah yang mengurus keuangan.
Aku diberitahu oleh mamaku akan masalah keuangan dan rute-rute keuangan agar Aku tahu uang gajian Aku itu jelas perginya. Aku tidak masalah akan itu karena Aku pun tak bisa melarang apa yang mama mau akan uang itu.
Aku sudah berbicara perihal keinginan ku akan ingin belajar mengatur keuangan sendiri. Akan tetapi mamaku malah merajuk karena Mama punya kebijakannya sendiri. Jadi Aku tidak punya pilihan lain selain menurut.
Aku bisa memaklumi sikap yang Mama ambil atas ku. Itu semata-mata demi kebaikan ku sendiri.
Kata Mama, "Biar Mama aja yang atur. Kamu cari uang saja. Biar Mama aja yang pusing ngatur uangnya."
"Nanti kalau sudah menikah nanti kamu tau pusingnya ngatur keuangan."
Menurut ku apa yang dilakukan oleh Mama ya demi kebaikan Aku sendiri. Agar Aku tidak terlalu boros dan bisa fokus kerja saja tanpa pusing memikirkan pengeluaran rutin. Tapi efek yang Aku rasakan. Aku seperti menjalani hidup sesuai apa yang Mama mau. Sering kali Aku merasakan nelangsa. Bagai, "Ini hidup ku. Tapi kok begini ya. Aku ingin menjalani apa yang Aku mau. Apa tidak bisa?"
***
Aku merasakan kerisi identitas. Belum lagi Aku seperti mencari rumah baru meskipun Aku punya rumah. Ada situasi Aku terlalu iri dengan adik ku sendiri yang Aku rasa lebih di sayang oleh Mama. Rasanya apa yang adik ku mau lebih gampai dipenuhi sedangkan Aku harus bersabar dulu padahalkan Aku ikut mencari rezeki Aku ikut membantu ayah dalam memenuhi kebutuhan rumah. Tapi kenapa saat Aku minta ini dan ingin itu seakan Aku diminta untuk bersabar dan memaklumi bahkan tunggu gajian lagi itu pun belum tentu di belikan kalau Mama kelupaan. Biasanya kalau nunggu gajian Aku udah keburu bosan dan tak ingin lagi. Jadilah saat gajian datang Aku hanya meminta dibelikan es krim saja.
Aku sayang sama adik ku tapi Aku bisa kesal juga kalau apa yang adik mau selalu mudah di penuhi sedangkan Aku. Harus menunggu, jarang sekali langsung ada.
Aku bahkan suka berfikir apakah Aku pantas untuk protes. Yang ada segala emosi yang ada hanya Aku tahan dan membuat mood ku tak karuan buruknya, emosian pula. Aku jadi sensitif dengan adik ku. Kasarnya Aku itu seakan membuat benteng diantara kita sehingga kalau Aku sedang bad mood adikku itu jadi takut terhadap ku.
Bahkan ada selogan yang terucap dari mulut mungilnya, "Ma. Kok Kakak galak ya kayak Macan."
Sedih sih mendapatkan kalimat itu tapi mau bagaimana lagi. Rasanya sangat sulit untuk dijelaskan. Tau tidak rasanya sudah berjuang untuk bekerja dan menghadapi segala drama di dunia pekerjaan yang tidak mudah. Terus pas menginginkan sesuatu seakan di suruh sabar dulu padahal belum lama gajian cair tapi di suruh nunggu gajian lagi karena uang yang ada telah punya alamatnya sendiri.
Mau teriak Aku! Kayak Aku harus sabar harus ikhlas tanpa batas. Kalau bisa ya Allah Aku gak mau punya keinginan apa pun. Aku gak mau ingin ini ingin itu. Aku gak mau mengharapkan apa pun yang terasa mustahil untuk ku gapai dalam situasi seperti ini. Berat banget ya Allah. Rasanya Aku cuma jadi robot yang gak boleh punya keinginan di tengah gempuran teman-teman ku yang bisa beli ini. Bisa kesana ke sini. Berbeda dengan Aku yang apa-apa selalu dibatasi.
Uang jajan ku sebatas seratus ribu perbulan. Sedangkan gaji ku habis untuk angsuran motor dan arisan. Kalau diingat-ingat ya memang mengalir untuk kepentingan ku sendiri tapi kalau Aku boleh memilih Aku ingin merasakan rasa pusing mengatur keuangan sendiri agar Aku tidak merasa seperti robot.
Setidaknya Aku akan jauh lebih senang kalau begitu. Aku juga bisa tega dengan diri sendiri dengan membatasi uang jajan ku. Mungkin Aku akan memiliki mental yang lebih dewasa lagi bukan seperti sekarang yang memiliki mental anak kecil. Aku belum matang untuk berfikir dewasa. Aku hanya bisa menahan keinginan yang sebatas angan. Takut berkembang.
***
Aku banyak mengeluh. Seumur hidupku hanya mengeluh. Aku bahkan masih bingung dalam mencari jati diri. Bingung harus apa karena takut mengecewakan lagi orang tua. Aku merasa apa yang Aku lakukan selalu kurang. Aku seakan harus berpikir lebih keras untuk mencukupi atau memaklumi keadaan yang ada. Boleh tidak Aku beristirahat sekali saja. Istirahat tanpa harus sakit dulu walaupun Aku tau sepertinya Mamaku tidak ingin Aku sakit.
Tidak boleh sakit. Mama lupa kalau Aku itu seperti manusia biasa yang bisa sakit. Aku jadi ingat. Saat adik ku bertanya suatu hal yang diluar pikiran ku.
"Ma. Kok Kakak gak sakit-sakit ya?"
Pertanyaan itu timbul karena seingat adikku Aku jarang sekali sakit tidak seperti adik yang beberapa bulan sekali sakit demam atau cacar sehingga harus di bawa ke klinik. Sedangkan Aku, sekali sakit paling hanya batuk pilek atau demam yang bisa sembuh dengan minum obat warung.
Mama pun memberikan pengertian kepada adik. Aku tidak ingat pengertian seperti apa yang Mama tuturkan tetapi yang pasti Mama seakan berharap agar adik selalu mendoakan kesehatan keluarga kami.
Tapi tau tidak. Sejujurnya saat tau obrolan itu menyelipkan permohonan agar Aku bisa sakit yang lama. Intinya Aku ingin sakit agar Mama bisa merawatku. Aku ingin disayang Mama. Padahal Mama kan udah terbaik dalam mengurus keluarganya. Tapi Aku malah ingin sakit agar bisa merasakan kasih sayang Mama lebih ekstra. Egois sekali ya Aku.
Lalu bertepatan saat Corona sedang naik-turun Aku pun sakit. Untungnya setelah di cek darah bukan penyakit Corona tetapi tipes. Lucunya Aku sempat senang saat terkena tipes intinya Aku senang karena bukan sakit Corona. Mengingat kalau Corona bakalan dilakukan karantina dan itu sangat merepotkan dan Aku gak suka hal itu.
Meskipun Aku tetap menjalani perawatan di rumah dan dua Minggu lamanya tidak masuk kerja. Lalu dua Minggu sembuh dari tipes Aku pun sakit lagi. Kali ini kena cacar air dan kembali dirawat di rumah selama dua Minggu lamanya. Tidak bekerja lagi. Hingga Aku pun diturunkan jabatannya semula di akuntansi jadi ke bagian admin gudang.
Aku tidak masalah soal jabatan yang turun pun gaji yang ikut menurun. Tapi setelah melewati fase sakit itu Aku jadi teringat akan keinginan ku dulu (satu tahun yang lalu Aku ingin sakit yang lama agar di perhatikan Mama)
Memang benar Aku di perhatikan Mama tapi Aku juga tidak kuat melihat mama nangis. Ada satu kondisi saat Aku sakit dan penglihatan ku samar-samar melihat Mama menangis akan kondisi ku. Saat itu Aku antara sadar dan tak sadar tapi ingatan itu cukup membekas dalam ingatan belum lagi Mama menangis tanpa berkata sepatah kata. Seperti menangis yang tak tahu harus berbuat apa lagi bahkan ada istilah 'kalau bisa jangan anak saya yang sakit biar saya aja yang sakit'
Rasanya jelebb dan sejak saat itu. Kalau bisa ya Allah Aku gak mau sakit-sakit lagi. Aku gak mau nyusahin Mama gak mau buat Mama nangis lagi kayak waktu itu. Aku gak mau ya Allah. Maapin gak lagi-lagi berkeinginan ngelantur kayak gitu.
***
Aku dan segala pemikiran ku yang belum dewasa itu. Sangat lucu karena Aku terlalu fokus dengan gaya hidup dan pola asuh teman-teman ku yang berbeda. Seharusnya Aku sadar karena setiap orang itu punya jalan hidup masing-masing. Tidak harus melewati jalan yang sama dan setiap orang juga memiliki garis Star dan finishnya. Jangan suka membanding-bandingkan apa yang orang lain punya dengan diri kita yang serasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Setidaknya Aku tau Aku bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan rumah saja seharusnya Aku sudah merasa cukup karena tidak semua anak bisa melakukan apa yang Aku lakukan untuk orang tua ku.
Seharusnya Aku tidak terus menerus meminta untuk dimengerti dan bisa mengambil makna tersembunyi di balik sikap orang tua ku yang demikian. Memang rasanya sekilas tidak adil tapi apa salahnya kalau Aku berusaha untuk ikhlas tanpa batas apa lagi untuk orang tua sendiri. Seharusnya tidak sulit bukan.
***
Untuk Aku dimasa dulu. Aku sadar kamu udah berusaha sebaik mungkin. Berusaha untuk ikhlas dan sabar tanpa batas tetapi kamu juga manusia yang memiliki sifat buruk terutama di kendala kontrol emosi. Kalau Aku bertemu diriku dimasa lalu. Aku ingin sekali memeluk kamu erat. Ingin jadi teman cerita kamu sampai kamu menangis lega karena semua unek-unek yang tertahan itu (racun yang tertahan itu) sudah keluar semua. Kurang-kurangi berpikiran yang tidak perlu. Jalani saja sampai kamu menemukan jalan yang terbaik yang sebelumnya tak pernah kamu sangka-sangka akan kamu jalani di masa depan. Tetap semangat dan ingat masih banyak cobaan yang harus kamu cobain.
***