Disukai
0
Dilihat
140
Mati Itu Pasti; Lapar Itu Setiap Hari
Slice of Life

Makan untuk hidup, atau hidup untuk makan; mana yang benar dari dua ungkapan itu, si Keong tidak tahu, bahkan tidak peduli. Sebagai si Bungsu dari kedua orang tua yang menganut paham kolot ‘banyak anak banyak rezeki’, si Keong ketiban sial. Sedari kecil hingga dewasa, prihatin selalu meliputinya, melilit perutnya. Meski tinggi tubuhnya, tapi kerempeng. Dalam sehari bisa mengunyah nasi bersama lauk tempe dan sayur bening, itu adalah rezeki bagi si Keong yang Kerempeng sebagai penghilang lapar.

Nasib baik berupa umur panjang yang terlimpah atas diri si Keong dari Tuhan, dia masih bisa hidup untuk makan. Rutinitas hidup untuk makan si Keong adalah bangun pagi, memanaskan motor, menjemput langganan ojek serta mengantarkan mereka sampai ke sekolah dasar. Lalu dia beristirahat barang beberapa jam di pangkalan; syukur-syukur ada orang yang mau menyewa jasa ojeknya ketika dia mengaso di pangkalan. Kemudian dia menjemput anak-anak langganan ojeknya dan mengantarkan mereka kembali ke rumah masing-masing. Sesudah itu, si Kerempeng bisa tidur barang satu jam sebelum berangkat bekerja. Pekerjaannya adalah mengantarkan laporan klinik laboratorium. Setidaknya pekerjaannya itu cukup membuat si Keong bangga ketimbang dulu saat dia mengantarkan koran kepada para langganan. Dari sepeda, naik tingkat ke sepeda motor. Pada malam hari, dia pulang ke rumah, tidur. Begitu terus setiap Senin hingga Sabtu. Hingga genap sebulan, dia mendapat gaji dan uang sewa ojek bulanan dari para pelanggannya. Gaji dan uang dari hasil mengojek itu dia berikan kepada istrinya, Prihatiningsih. Bila sudah begitu, Prihatiningsih sebisa mungkin memanfaatkan pemberian suaminya itu supaya keluarga mereka bisa makan untuk hidup.

Lain si Keong, lain Arini, sepupu si Keong. Arini setia dengan rutinitas hidupnya merawat pasien-pasien di rumah sakit tempatnya bekerja. Meski dia bekerja dengan pamrih—karena Arini mendapatkan gaji bulanan—, merawat pasien dengan tulus ikhlas tetap dia lakukan. Alasan Arini cukup sederhana. Pekerjaannya itu adalah dambaan Arini saat dia dulu masih bocah. Arini menjalani rutinitasnya tanpa beban.

Jakarta, tempat tinggal si Keong (Arini sering memanggil Nuryaman dengan julukan itu) dan Arini, belakangan waktu didera musibah. Virus Covid-19. Musibah itu membuat Nuryaman yang baru saja beberapa bulan lolos kemudian bermitra dengan perusahaan ojol ternama menjadi ketar-ketir dan Arini makin sibuk merawat pasien yang membeludak. Lama-kelamaan pagebluk itu jadi pandemi serta menjadi momok di Jakarta.

Anggota keluarga besar Arini yang terdiri dari ibu, bapak, suami, adik, adik ipar, kakak, kakak ipar beserta anak-anak tinggal serumah di permukiman Jakarta yang padat. Mereka sudah lebih dari dua puluh tahun tinggal di permukiman itu. Gang sempit, got hitam pekat di kiri kanan gang. Bau. Ramai. Bising. Semua itu lazim bagi Arini.

Tidak berbeda jauh dengan lingkungan tempat tinggal Arini dengan Nuryaman dan Prihatiningsih. Hanya saja, lingkungan sekitar rumah Prihatiningsih terdapat jalan yang lumayan lebar. Namun tetap saja jalan itu terasa sempit oleh gerobak nasi goreng, ketoprak, mi ayam, bakso, bubur ayam; meja seblak, sosis bakar, nasi uduk dan sebagainya yang menjamur di kedua sisinya. Kedua sisi jalan itu siang-malam enggak pernah sepi dari pedagang. Di lingkungan seperti itulah keluarga Nuryaman tinggal, di sepetak rumah warisan orang tuanya, sedangkan kakak-kakak Nuryaman sudah berkeluarga semua dan meninggalkan rumah warisan itu.

“Lia!” seru Prihatiningsih.

Tidak ada jawaban pada pukul 07.30. Ikan-ikan di dalam akuarium, di pojok rumah Nuryaman, berenang ke sana kemari menelan makanan yang diberikan oleh Juan. Anak yang gemar akan binatang itu kelihatan asyik sekali memperhatikan mulut-mulut ikan peliharaannya menelan makanan pemberiannya.

Sekali lagi Prihatiningsih memanggil anak pertama perawannya.

“Iya, Mak.”

“Turun!”

“Iya, ada apa, Mak?”

“Lia! Turun!”

Pintu rumah terbuka perlahan-lahan dan menampakkan wajah, tubuh Nuryaman yang bergerak dengan lamban. Gerak lamban tubuhnya itulah yang membuat Nuryaman dijuluki Keong.

Nuryaman berkata, “Ada apa sih lo tereak-tereak, Sih?”

Di langit-langit rumah terdengar suara langkah kaki Lia yang sedang berjalan untuk memenuhi panggilan ibunya.

“Itu, tempat dagang nasi uduk gue masih kotor, Bang.” Tangan Prihatiningsih masih cergas menata hasil racikan masakannya yang sudah dibuatnya sejak pagi tadi. Beberapa tupperware berisikan telur balado, oseng kentang, semur jengkol, ayam goreng, dadar telur, tumis kacang panjang, dan lain-lain sedikit demi sedikit rapih tertata dan siap untuk dijual.

Begitu mendengar Prihatiningsih berkata, Nuryaman membalikkan badannya dengan lamban. Dia mengambil sapu lidi yang tersandar dan berlalu. Dia menjadi lebih perhatian kepada sang istri yang tengah hamil muda anak ketiga.

Tanpa wajah merengut, di depan sang ibu, Lia bertanya lagi, “Ada apaan, Mak?”

“Kagak jadi!” sahut Prihatiningsih. “Itu, lo siapin tutup taperwer, teko teh, sendok sayur sama...,” Prihatiningsih berhenti berujar sementara satu telunjuknya menuding sesuatu.

Lia celingukan, mencari tahu apa benda yang ditunjuk ibunya. “Botol sirop?”

“Bukan.” Telunjuk Prihatiningsih bergerak-gerak masih menunjuk-nunjuk.

“Kaleng duit?”

“Bukan.”

“Tempat nasi?”

“Bukan.”

“Apaan seh, Mak?” tanya Lia. “Kertas cokelat buat bungkus nasi uduk?”

“Bukan!” Telunjuk Prihatiningsih masih bergerak-gerak. “Duh.”

“Iya apaan, Mak?”

Matiin kompor.” Prihatiningsih akhirnya tepat mengatakan apa yang dia inginkan. Kelelahan perempuan paruh baya itu tampak dari kantung matanya yang tebal kecokelat-cokelatan akibat kurang tidur.

Cepat-cepat Lia mendekati penggorengan yang menebarkan bau hangus tempe goreng. Dia cekatan mematikan kompor gas. Kemudian dia angkat tempe-tempe goreng kecokelat-cokelatan itu menggunakan sodet untuk ditiriskan. Suara butiran-butiran minyak goreng panas yang jatuh ke dalam penggorengan membuat lega hati Prihatiningsih. Tempe-tempe goreng yang sedianya akan dijual Prihatiningsih masih terselamatkan oleh kedua tangan cekatan anak pertama perawannya.

Langkah-langkah kaki Nuryaman walau masih berkesan lambat memasuki rumah sambil memanggil istrinya. Jelas tampak raut wajahnya nanar.

“Ada apa, Bang?”

Lia dan Juan berhenti bergerak. Serempak wajah mereka menoleh kepada Nuryaman.

“Gue dapat we a (WA) dari Arini. Mereka sekeluarga diisolasi mandiri.”

Momok itu makin jelas tampak dari raut wajah Prihatiningsih, Lia, juga Juan.

—÷—

“Te,” panggil basa-basi si Keong.

“Yoo....”

“Itu aluminium jangan dipelototin aje, Te.”

Yang dipanggil “Te” cuma cengengesan. “Mau ke mana lo? Jemput si Putri?”

“Iye,” jawab Nuryaman kepada Jaroni, ketua RT. Dia tetap memenuhi tanggung jawabnya meski besok dan hari-hari selanjutnya si Putri takkan berlangganan antar-jemput lagi.

Mereka berdua pun bersitabik.

Nuryaman melaju, Jaroni melanjutkan pekerjaannya membuat etalase berbahankan aluminium dan kaca.

Bulan-bulan musibah masih dilalui oleh hampir seluruh umat manusia di pelosok dunia. Pandemi Covid-19 mendunia. Perekonomian negara-negara di dunia kebanyakan luluh lantak. Tak terkecuali Nuryaman, Arini, Jaroni, mereka juga kena imbas akibat Pandemi Covid-19.

Sudah lewat bulan Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober pada tahun 2020, tetapi pertanda bahwa Pandemi Covid-19 akan sirna belumlah tampak.

Si Keong yang gerak tubuhnya lamban ketika berjalan makin kesulitan sesudah klinik laboratorium tempatnya bekerja memutuskan bahwa gaji dari pekerjaannya sebagai kurir dipotong setengah. Lebih dari empat bulan sudah dia bekerja selang-seling. Hari ini masuk, besok libur, besok lusa libur karena hari Minggu, besok tulat masuk, besok tubin libur. Ditambah lagi, Nuryaman harus kehilangan pelanggan ojek bulanan, sepi orderan ojol, sepi orderan opang ‘ojek pangkalan’. Namun dia tetap harus bersabar.

Oleh Tuhan, selain diberkahi umur panjang lamun dalam keprihatinan, Nuryaman diberkahi dengan kehadiran Prihatiningsih. Dia, seorang istri penurut, bukan penuntut. Dia, seorang istri yang bawelnya naudzubillah, tapi rela lillaahi ta’ala bersuamikan Nuryaman yang kehidupannya senantiasa prihatin. Dia, seorang perempuan yang masakan racikannya sungguh digemari tetangga sekitar sehingga akhirnya istri penurut itu memutuskan berdagang nasi uduk semenjak Nuryaman megap-megap penghasilannya.

Selepas bersitabik dengan si Keong, ketua RT kelihatan masih sibuk mengukur aluminium untuk etalase pesanan ketika Toha, bos tenda datang. Toha duduk di kursi panjang, menghela napas panjang.

Kenape lo, Ha?”

“Huh, susah banget sekarang dapet orderan.”

Jaroni lepas fokus dari batangan aluminium yang tengah dia ukur. Lantas, dia membalikkan badan untuk melangkah masuk ke dalam rumah sedang Toha memperhatikan punggung ketua RT-nya itu.

“Lah, gue ngeluh, malah Pak Erte buang badan,” Toha menggumam.

“Heh! Mau ke mana lo?” tanya Jaroni saat melihat Toha hendak pergi. “Dulu-dulu-dulu!”

Toha enggak jadi pergi kemudian balik lagi dan duduk.

“Nih, buat lo,” kata Jaroni seraya mengangsurkan sebuah masker. “Ngeluh sih ngeluh,” lanjut ketua RT, “tapi maskeran mah kudu. Lah lo yang kelayar-keluyur ke mane-mane ujug-ujug nangkring di depan gue, mana tahu gue kalo lo bawa virus kopit.”

“Enak aje...,” timpal Toha, “Pak Erte, gue kelayar-keluyur ke mane-mane tu buat cari orderan tenda, bukan buat cari kopit. Lagian kopit kagak kelihatan. Yang mati mah mati..., yang laper mah laper.” Tangan Toha menerima masker pemberian Jaroni.

“Ente kan ude rutin dapet banpres, bansos, ame ban- ban- yang laen, masih kurang juga lo?”

“Tapi, Te, tetep aje yang namanye manusia kudu tetap aktipitas. Begerak. Ayam aje ke luar kandang pagi-pagi buat cari makan. Masak kite yang orang cuma ngendon, di rumah aje. Mau sampe kapan, Te?”

Pertanyaan Toha itu membuat ketua RT bungkam. Tidak ada satu pun manusia di kolong langit ini yang tahu kapan Pandemi Covid-19 bakal berakhir. Tidak juga kau!

Bungkamnya mulut Pak RT disambut dengan kedua tangan Toha memasang masker pemberian Jaroni tadi.

Tak berselang lama, gantian Pak RT yang berkesah soal pendistribusian bansos maupun banpres. Toha mendengarkan keluhan Jaroni dengan saksama bagaimana sulitnya menerapkan keadilan penyaluran bansos maupun banpres. Hal itu diakibatkan oleh karena tidak semua warganya memiliki KK. Ada juga warga pendatang, warga yang KK-nya belum jadi dan lain sebagainya. Belum lagi kasak-kusuk emak-emak yang nyinyir karena tidak kebagian jatah banpres maupun bansos.

“Nih, Ha,” kata Pak RT, “Lo tahu sendiri kan, gue setiap kali ada banpres dan bansos turun, yang gue terima itu selembar kertas di mane isinye ude ada nama-nama warga yang bakal nerima bansos atau banpres.

“Gue ude bekali-kali ngomong, ngasih tau mereka prosedurnya pegimane supaya dapet jatah bansos atau banpres.”

“Lah, terus?” sahut Toha.

“Lah gue mah ikutin prosedur aje, Ha. Ada update KK penerima bansos atau banpres ya gue ajuin ke atas. Soal dapet kagak dapetnye, ya gue kagak punya kuasa.”

“Ente kan bisa bilang ke atas buat negor, Te.”

“Ya. Intinye, gue ini kayak ujung tombak.”

Toha diam sejenak sebelum berkata, “Wah, ente kagak kalah dong sama dokter-dokter juga nakes-nakes yang rela merawat pasien, padahal bisa aje die-die kena kopit juga. Ye kan?”

Jaroni enggak menggubris omongan Toha. Dia terus berkata, “Gue sempet kesel banget gegare dinyinyirin sampe-sampe mikir, ‘gue ogah deh jadi RT lagi’.”

“Kan pemilihan erte masih lama, Te.”

“Iye juga sih.”

Biarpun begitu, ada kebijaksanaan dari rembukan para pamong supaya benar-benar mendahulukan warganya yang memang begitu membutuhkan makanan. Dari situ, minimal enggak ada yang enggak kebagian jatah bansos maupun banpres.

—÷—

Berita keluarga besar Arini yang diisolasi mandiri bukanlah hoaks. Anggota keluarga Arini benar-benar mandiri mengisolasi diri di dalam rumah mereka. Melalui video call, Nuryaman bersilaturahmi kepada Arini. Tampak wajah Arini tersenyum walau si Keong melihatnya agak cekung, pipinya, kelopak matanya. Dengan gaya candanya yang khas Nuryaman membuat Arini beberapa kali tertawa. Nuryaman berharap, setidak-tidaknya candanya mampu mengurangi beban Arini sehingga mampu sehat seperti sediakala.

“Salam buat emak-bapak lo ya, Ar,” ujar Nuryaman sebelum mengucapkan salam penutup panggilan video call.

Arini mengambil frame situasi sekelilingnya melalui video call. Tampak oleh Nuryaman, Bik Neti tersenyum; Ani dan Budi sedang bermain berdua; Sodik berjalan sambil melambaikan tangan; Tina sekelebat menghilang menuju ruang dapur; Dedi tidur; Dodo tidur-tiduran di samping Dedi; Cici menemani Ani dan Budi yang sedang bermain; Paman Sugi yang duduk hanya menggunakan kaos singlet. Sudah beberapa tahun ini dia kena penyakit diabetes.

“Waalaikumsalam,” Arini menyudahi panggilan video call dengan si Keong.

Arini menghela napas lalu membuang udara dalam rongga dadanya seakan-akan ingin membuang beban yang selama ini bersarang dalam hati dan benaknya selagi langkah kaki Arini mengantarkan tubuhnya yang semampai menuju kamar. Sehelai pakaian berwarna hijau yang tergantung di balik pintu kamarnya seolah-olah menjadi saksi peristiwa yang dialami oleh keluarga besarnya. Pakaian itu adalah pakaian dinas Arini bila sedang bertugas merawat pasien. Pakaian itu begitu membuat Arini bangga. Namun kali ini, pakaian dinas itu justru patut jadi biang keladi menurut suaminya.

“Sudahlah, Ar, kamu berhenti deh jadi perawat,” pinta Dodo dengan sangat.

Malam itu, mereka berdua baru saja bisa bertatap muka setelah sekian lama terpisah akibat kesibukan Arini merawat pasien. Dodo ingat persis video call itu. Arini kebingungan, kecapaian tampak jelas dari raut wajahnya.

Saat itu Arini berusaha meyakinkan Dodo bahwa apa yang tengah dia lakukan akan baik-baik saja. Arini memastikan Dodo bahwa dia tetap menjaga tubuhnya agar selalu fit. Namun Dodo mengetahui dengan pasti kelelahan yang tengah dialami sang istri. Kendati Dodo merestui pekerjaan Arini, tetapi kali ini sebagai suami, sungguh-sungguh dia tidak tega melihat wajah sang istri yang kuyu berusaha tersenyum tegar. Melalui video call itu, permintaan Dodo diabaikan oleh Arini.

Ekses Covid-19 di Jakarta akhirnya membuat Dodo mengikuti tagar DiRumahSaja. Perusahaan tempat Dodo bekerja memutuskan untuk merumahkan saja kebanyakan karyawannya. Meski Dodo di rumah saja, dia selalu memikirkan keselamatan Arini. Ditambah lagi, tanggung jawabnya sebagai lelaki yang menafkahi anak-istri dan mertua tidak lantas menghilang dari pundaknya akibat di rumah saja. Dia memutar otak untuk mencari pekerjaan lain, tapi bagaimana? Ketika sebagian besar sektor usaha lambat laun menjadi goyah, adakah perusahaan yang membuka lowongan kerja? Sempat terpikir dia mengikuti program pemerintah yang mengentaskan orang-orang yang senasib seperti dirinya. Sayangnya, dia gagal. Dan beban itu masih tetap ada di pundaknya bahkan serasa makin berat saja. Beban berat itu agak meringan oleh banpres maupun bansos. Setidak-tidaknya, meski otak panas akibat berpikir keras, perut Dodo dan anggota keluarga besarnya tidak merasa lapar. Mereka senantiasa prihatin serta berharap Pandemi Covid-19 segera lalu.

Sial itu datang menyeringai sambil meludahi semua wajah anggota keluarga Arini, sepuluh hari sesudah Arini pulang ke rumah. Melalui ludah itu, virus Covid-19 berhasil menemukan inangnya di dalam tubuh anggota keluarga Arini. Dodo dan Arini nyaris bertengkar hebat akibat kabar kesialan yang menyebabkan mereka sekeluarga harus benar-benar di rumah saja.

“Kalian berdua kagak usah saling menyalahkan, deh,” ujar Pak Sugi berusaha melerai pertengkaran mulut antara Dodo dan Arini. Dari kursi roda, lengannya menggerakkan bilah bundar roda untuk mendekati mereka yang sedang bertengkar. “Ini virus kagak kelihatan, Dod. Kamu enggak bisa menuduh Arini. Kan bisa juga virus itu dari tempat lain.”

Dodo sempat membantah dengan mengatakan bahwa kemungkinan terbesar anggota keluarganya terkena virus itu adalah melalui pekerjaan Arini.

Pak Sugi berargumen, “Justru Arinilah yang kecil kemungkinannya jadi penyebab datangnya virus itu masuk ke sini, Dod.

“Kamu mau tahu alasannya?” Sebelum melanjutkan kalimatnya, sorot mata Pak Sugi tajam menatap bola mata Dodo. “Arini itu perawat. Dia pasti tahu dan pasti berbuat yang terbaik untuk anggota keluarganya. Untuk pasien-pasiennya saja dia disiplin menegakkan protokol kesehatan, apalagi buat anggota keluarganya.”

Mereka berdua akhirnya menekuri lantai pada waktu rembang magrib. Arini sesenggukan, sedangkan Dodo merah padam wajahnya menahan gelegak hatinya yang sebagian sudah tumpah melalui nada bicaranya yang lumayan keras.

—÷—

Isolasi mandiri tidak seseram apa yang ditakutkan orang kebanyakan. Anggota keluarga Arini sebisa mungkin untuk tidak ke luar rumah selama lebih dari empat belas hari. Dan lagi, lingkungan tetangga rumah mereka tidak terlalu ambil pusing. Kebanyakan dari mereka cepat merasa pusing bila seharian perutnya belum kemasukan makanan. Mereka cukup menghindar untuk menjaga jarak bila salah satu anggota keluarga Arini ke luar rumah untuk membeli sesuatu. Jatah banpres maupun bansos untuk keluarga Arini cukup diletakkan di depan pintu rumah Arini. Dengan demikian, isolasi mandiri anggota keluarga Arini mampu mencegah meluasnya penyebaran virus itu di lingkungan permukiman mereka.

Hal yang mendera anggota keluarga Arini saat menjalani isolasi mandiri adalah kebosanan. Mereka bosan di rumah saja. Meskipun mereka mengatasinya dengan berkegiatan di dalam rumah dengan menonton teve, olahraga ringan, bersosialisasi daring melalui media sosial, mencuci, memasak, dan pekerjaan rumah lainnya, tetap saja kebosanan mendera mereka. Dodo di rumah, Arini di rumah, Tina dan Dedi terpaksa mengajukan cuti sakit akibat isolasi mandiri. Anak-anak mereka pun belajar di rumah selain bermain di rumah. Boleh jadi Arini, Tina dan Dedi membersit, akankah mereka tetap bisa bekerja sesudah selesai masa isolasi mandiri?

“Bang,” panggil Tina.

Malam itu, di dalam kamar mereka berdua, mata Dedi sudah terlihat mengantuk. Namun tetap saja dia memaksakan diri untuk menonton acara televisi.

“Bang,” panggil Tina lagi.

“Apaan, Na?”

“Saya dapet kabar dari temen lewat we a (WA), manajemen minimarket mulai ngurang-ngurangin karyawan, Bang,” ujar Tina dengan buncah jelas melalui nada bicaranya.

Dedi diam terpaku memandangi layar TV. Namun tatapannya kosong. Sejenak lalu dia menghela napas kemudian mengacak-acak rambutnya serta mengusap-usap wajahnya. Dia seperti mendapat firasat, istrinya bakal menganggur akibat diisolasi mandiri, atau memang minimarket tempat istrinya bekerja sudah tak mampu lagi menanggung beban merugi semenjak pertengahan bulan Maret 2020.

“Mau ke mana, Bang,” tanya Tina. Sepasang matanya tak lepas memandangi tubuh suaminya yang bangkit berdiri dan melangkah hendak keluar dari kamar.

“Mau ambil wudu. Abang belon Salat Isya.”

Malam itu, tidak ada satu pun anggota keluarga Arini yang mengetahui isak tangis Dedi membasahi sajadah usai mendirikan Salat Isya. Dedi mendoa, mendoa sambil terisak, terisak selama mendoa untuk kebaikan Tina, kebaikan anaknya, kebaikan orang tuanya. Dedi mendoa seraya memohon ampun serta berharap ujian berupa wabah ini tidak membuat dirinya dan anggota keluarganya lalai bersabar serta bersyukur. Dia ingat pesan sang kakek bahwa seorang muslim itu senantiasa berada dalam dua kebaikan; bila mendapatkan kesusahan, ia bersabar; bila mendapatkan kesenangan, ia bersyukur.

Doa Dedi beberapa waktu kemudian dikabulkan oleh Tuhan. Masa isolasi mandiri untuk anggota keluarga mereka pun berakhir sudah. Sodik kembali bekerja sebagai Pasukan Kuning. Itu adalah kabar baik untuk mereka. Namun Dedi, Dodo, Tina masih harus berjibaku mencari sumber penghasilan baru. Mereka nekat menggunakan kedua tangannya untuk berjualan makanan dan racikan minuman di depan rumah mereka. Meski dirumahkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja, mereka tetap harus bekerja mencari uang dengan jalan halal.

Hari demi hari mereka lalui dengan update Covid-19 yang sudah lazim di telinga dan mata mereka sehingga berita update itu seakan-akan bukanlah informasi yang menakutkan lagi. Dedi tetap memulai kegiatannya dengan bebersih di depan rumah sebelum menggelar lapak dagangannya selagi Cici menemani Ani dan Budi belajar di rumah sementara Tina hilir mudik membawa jajanan rumah bikinannya untuk dia letakkan di atas meja persegi panjang saat Dodo ke luar menggunakan motornya untuk membeli persediaan seperti meses, susu krim, gula pasir, gelas plastik, kantong plastik, sirup botolan, es batu, ekstrak minuman saset beragam rasa untuk racikan minuman yang mereka sediakan.

Di tengah perjalanannya, Dodo berlawanan arah dengan satu mobil ambulans yang sirenenya riuh terdengar untuk menghalau pengendara lainnya supaya menepi. Sirene ambulans itu lama-kelamaan melenyap seiring jalanan yang tidak seberapa ramai pada jelang siang.

Laju mobil ambulans itu masuk, membelah keramaian jalan permukiman, membuat beberapa gerobak di sisi jalan untuk menyisi lebih dalam. Sirene ambulans itu kemudian berhenti meraung. Tidak jauh dari pos RT, beberapa orang petugas turun lengkap dengan APD. Mereka membuka pintu belakang ambulans lantas mengeluarkan serta mengangkat peti jenazah. Mereka membawa peti jenazah itu menuju satu musala lalu meletakkan peti jenazah itu tak jauh dari mihrab.

Dengan tetap menjaga jarak, Jaroni berbincang dengan satu orang yang ber-APD,

“Terima kasih ini ya, Pak. Bapak ude mau suse-suse bawa almarhumah untuk disolatin dulu di musola ini sebelum dikubur.” Maskernya berhenti bergerak-gerak setelah dia berkata.

Orang ber-APD lengkap itu berkata, “Sama-sama, Pak. Kami memberi kemudahan ini. Tapi Protokol Kesehatan tetap harus kami jalankan, ya, Pak.”

Pak RT manggut-manggut. Seragam batiknya meski terlihat lusuh, tetap kelihatan rapih. “Selesai disolatin, kite sebagai warga ngikutin aje prosedur dari pemerintah.”

Kedua telapak tangan orang ber-APD saling bertemu sebagai tanda untuk menyudahi perbincangan. Pak RT pun lantas mengambil air wudu bersama beberapa orang warganya untuk melaksanakan salat jenazah selagi langkah orang ber-APD mendekati mobil ambulans.

Sementara itu, Dodo menyisi dari jalan ketika HP di saku celananya berdering berulang kali. Dengan masih duduk di atas jok sepeda motor, dua notifikasi panggilan tak terjawab dia lihat. Lalu wajah Dodo jelas teperanjat begitu membaca isi SMS dari Nuryaman: inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Telah berpulang Prihatiningsih, istri saya tercinta, pada waktu subuh.

Tak lama berselang, Dodo menerima pesan WA dari Arini: Bang, buat sementara, Arini bakal tinggal di rumah dulu ya, Bang. (*)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi