Disukai
1
Dilihat
152
Manusia Berjantung Pisang
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

SUARA kasak-kusuk terdengar dari belakang poskamling. Malam ini suasana lebih senyap dari biasanya, sehingga suara yang sebenarnya tak terlalu keras itu cukup menyita perhatian. Membuat sekelompok jangkrik seketika bungkam, takut jika tiba-tiba ditikam.

Tak berselang lama, Jono dan Juned menyembul dari balik semak-semak. Sarung kotak-kotak lusuh tersampir di pundak, kontras dengan kulitnya yang cokelat mengilat terguyur sinar rembulan. Cukup berbekal senter dan masker, keduanya meloncat ke jalanan kampung yang lengang.

Butuh waktu beberapa detik bagi mereka untuk memindai sekitar, memastikan tak ada mobil yang patroli. Di saat yang sama, mereka juga berusaha meneguhkan niat. Setelah dirasa mantap, mereka berjalan ke Utara dengan langkah pelan dan mengendap.

Ini misi yang berbeda. Dan unik. Bayaran yang ditawarkan tidak sedikit. Tugas yang dibebankan pun tidak berat. Sederhana, tetapi menantang. Mereka berhenti di depan rumah tingkat tiga, bangunan yang mencolok di tengah perkampungan. Kemudian belok kanan, melewati gang sempit yang berada tepat di samping rumah mewah itu.

Sarung yang tadinya hanya bergelayut manja di bahu, kini beralih fungsi untuk menutup sebagian wajah. Lorong pengap dan gelap yang mereka lalui kian mencekam tatkala bau apak dan pesing menyergap indra pencium. Daripada manusia, lorong ini lebih sering dilalui curut dan pemuda mabuk. Pantas saja jika tak terawat dan jauh dari kata asri.

Meski bulu hidung nyaris protes sebab tak kuasa menahan bau, kaki jenjang keduanya tetap berjalan pelan. Sangat hati-hati hingga takut jika derap mereka lebih nyaring dari bisikan angin malam.

Di ujung gang, nyali mereka kembali menciut. Ketika dua pasang netra jatuh pada sebuah bangunan sederhana yang mengandalkan cahaya bulan sebagai sumber penerangan. Dari jarak lima meter, mereka bisa melihat betapa rapuh bangunan itu.

"Jon, kok aku kasihan, ya?" Juned menginterupsi. Membuat kepala Jono menoleh dengan alis yang nyaris berpaut.

"Terus, kau mau kembali?"

"Tidak tahu, tapi kan kita sama-sama tahu akan berurusan sama siapa kalau gagal."

"Juned bin Junaedi …." Jono memberi jeda agak panjang. "Kita maju melawan satu orang tak berdaya. Kalau kita mundur, nasib anak bini di rumah yang jadi taruhan. Kau pilih mana?"

Juned mendesah pasrah. Jika bukan karena paksaan dari Surti, istrinya, ia tidak mau menyetujui tawaran gila Jono. Dengan iming-iming demi kesejahteraan keluarga pada masa serba sulit sekarang ini, Surti terus memaksanya agar mengangguk. Apa boleh buat? Pinta istri tidak bisa dibantah.

•••

Tak jauh dari tempat Jono dan Juned menjalankan tugasnya, seorang pria tambun duduk di kursi goyang dengan perasaan tak menentu. Tangannya yang berhias batu akik mengelus gelambir kelenjar di sepanjang leher. Asbak yang berada di sisi kanannya telah dipenuhi abu kretek. Tanda bahwa ia telah menghabiskan banyak waktu untuk menunggu.

Tepat ketika puntung ketujuh mendarat di asbak, ponselnya menjerit lantang. Membuat empunya sigap meraih dan menekan layar. Ia sengaja mengaktifkan loudspeaker, membiarkan suara dari seberang sana memenuhi ruang.

"Lapor, Bos. Terduga kembali menunjukkan gejala, lebih mengerikan dari sebelumnya. Bahkan untuk berteriak pun tidak mampu. Tubuhnya semakin kurus seperti mayat hidup. Laporan selesai."

Tak ada jawaban hingga panggilan terputus sepihak. Pria yang dipanggil "Bos" itu tersenyum puas, sembari memilin juntaian kumisnya. Senyumnya kian mengembang ketika benda kotak di depannya menyerukan sebait kalimat.

"Penyebaran virus C yang kian meluas, menyebabkan korban terus berjatuhan. Upaya yang telah dikerahkan oleh pihak medis nyatanya tidak mampu menghentikan laju angka kematian...."

Belum selesai, suara pewarta cantik tersebut seketika lenyap. Terkalahkan oleh kelakar sumbang yang menggelora, memecah keheningan malam.

•••

Pukul 10 pagi, beberapa warga tengah celentang menantang matahari. Ada juga yang menyetel musik sebagai pemantik gerakan senam ala kadarnya. Aktivitas tersebut telah dikampanyekan oleh puskesmas setempat, agar warga terbebas dari jangkitan virus mematikan.

Di tengah semarak olahraga, warga dikejutkan oleh sirine ambulans. Mobil putih pembawa duka tersebut melaju kencang, menerobos polisi tidur dan rambu "hati-hati banyak anak-anak".

Warga sontak meloncat, terbirit ke dalam rumah. Ibu-ibu sibuk menenangkan anak yang terkejut dan menangis ketakutan. Sedangkan bapak-bapak mengunci pintu, lalu melongok di balik tirai jendela sembari melayangkan pelbagai praduga. Seperti yang terjadi di kontrakan sederhana keluarga Juned.

Baru beberapa hari mengembuskan napas lega setelah beredar informasi hilangnya Hartanti; wanita yang diduga kuat positif virus C. Tak berselang lama, masyarakat kembali dibuat gelisah. Apalagi ketika ambulans menuju ke Utara, arah di mana rumah wanita itu berada.

"Jangan-jangan itu mayat Hartanti, Mas." Surti menyembul dari balik gorden. Sambil membenarkan gulungan rambut, ia menatap suaminya bingung. "Ada apa, Mas? Kok kaget?"

"Eh, tidak apa-apa." Juned menjawab kikuk.

Meski curiga dengan gelagat sang suami, Surti tak bertanya lebih lanjut. Ia memilih berdiri bersisihan dengan Juned, membelah tabir lebih luas. Padahal, mobil ambulans sudah tidak terlihat, tapi mereka tetap siaga di balik jendela. Menunggu siapa gerangan yang lancang membuat perasaan dan pikiran mereka kocar-kacir tak keruan.

•••

Dua lelaki berseragam serba putih duduk bersandar batang pohon beringin. Salah satu di antaranya mengibaskan topi untuk meredakan gerah setelah beberapa jam bertarung dengan terik matahari dan tanah merah.

Meski lelah, tak sedikit pun terbesit dalam pikiran mereka niat untuk mengeluh. Bagi mereka, profesi yang diemban merupakan tugas mulia. Apalagi pada masa sekarang, ketika banyak pekerja yang dirumahkan tanpa kepastian. Mereka tetap bersyukur meski upahnya tak seberapa.

"Dunia semakin gila ya, Mas?" ujar Mulyo dengan mata terpejam.

Hening. Tak ada jawaban.

Di sampingnya, Sucipto memilih untuk menyerahkan jawaban kepada desiran angin. Kerongkongannya tercekat, lidahnya kelu. Terlalu miris melihat kehidupan di bumi yang kian ironi.

Karena tidak mendapat respon, Mulyo menegakkan tubuh. Ingin menagih jawaban atas pertanyaannya. Namun, baru saja membuka mulut, ia mengurungkan niat. Kepalanya menoleh, mengikuti arah pandangan Sucipto.

Kini, keduanya menatap nanar pada satu titik yang sama. Gundukan tanah yang diapit pohon pisang, dengan batu yang berdiri kokoh pada setiap ujungnya bertuliskan "Hartanti binti Hartanto".

"Padahal Mbak Har sakit asma, tapi warga tidak ada yang percaya," ucap Mulyo lagi.

"Bagaimana kamu bisa menemukan dia?" Akhirnya Sucipto membuka mulut, meski suaranya nyaris tercekat.

"Saya mendapat laporan, di kampung sini ada yang positif, tapi warga tidak berani bertindak. Karena takut menimbulkan keresahan, saya ke sini malam hari. Sengaja supaya tidak mengagetkan warga. Ketika sampai, saya melihat dua pria mengendap di samping rumah yang akan saya datangi. Di situ saya mulai curiga."

Mulyo diam beberapa saat, memutar memori pilu yang ia saksikan beberapa jam lalu.

"Saya sangat terkejut ketika ternyata, orang yang dimaksud adalah Mbak Hartanti. Perempuan yang banyak berjasa memgembangkan perekonomian ibu rumah tangga di kampung sini. Kondisinya sangat mengerikan, Mas. Lebih mengenaskan ketika dua pria itu hanya diam menyaksikan. Tanpa sedikit pun rasa iba." Sucipto menepuk bahu Mulyo pelan, memberi uluran kekuatan.

"Di ambulans saya sempat membantunya memberi pertolongan pertama. Berhasil. Dengan terbata, Mbak Har mengatakan kalau dia tidak berani keluar rumah. Tidak kuat dengan tatapan jijik dan cacian dari masyarakat, katanya. Saat persediaan makanan habis, meski sudah berusaha menghemat, Mbak Har mencoba memesan makanan melalui ojol. Tapi tidak ada satu pun makanan yang sampai. Saya menyesal, kenapa saya baru datang malam itu."

"Meski terlambat, apa yang kamu lakukan itu sudah benar. Setidaknya Hartanti dapat dimakamkan dalam kondisi utuh, belum membusuk dimakan ulat dan singgat."

Mulyo mengembuskan napas panjang. Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin berembus pelan, menguarkan aroma mawar dan melati yang bercampur tanah basah. Mengantarkan sesak pada lelaki bersarung kotak-kotak yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Begitulah, Mul. Manusia berjantung pisang. Jantungnya tetap berdetak, tapi tidak dilengkapi dengan hati dan otak."

Tiga kalimat yang meluncur dari mulut Sucipto, berhasil menancap ke dada lelaki yang tidak sengaja menguping pembicaraan mereka itu. Kini, kepalanya dipenuhi kegamangan. Apalah arti kesejahteraan meterial, jika hati dan pikirannya terus-menerus dihantui rasa bersalah?

•••

Hari berikutnya, pria gembrot jatuh tersungkur di ujung ruangan sempit dan pengap. Lantai dan dinding yang dingin kontras dengan perasaannya yang membuncahkan amarah. Panas membara.

"Bedebah! Sudah dikasih bayaran malah menjebloskan aku ke penjara. Kau kira aku kalah, ha? Tunggu pembalasanku! Tunggu pembalasanku, Juned!"

Pria itu terus mengoceh. Menghunus sumpah serapah dan umpatan yang sudah lama dipendam. Tapi, siapa yang peduli? Di luar sana, seluruh media justru gencar mewartakan hal yang sama. Sosoknya yang tertunduk ketika dituntun polisi memenuhi sampul berita utama.

IRONI, KETUA RT DI DESA XXX TELANTARKAN WARGANYA!

VIRAL! BUKAN KARENA VIRUS C, WARGA DI DESA XXX MENINGGAL MENGENASKAN KARENA KELAPARAN.

SAKIT HATI, PRIA ASAL XXX MENGHASUT MASYARAKAT UNTUK MENYERANG SEORANG WANITA YANG PERNAH MENOLAK CINTANYA.

•••

Semarang, Agustus 2020.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar