Sarman dicerai istrinya ketika sakit gigi dan menganggur. Sudah dua hari ini ia ingin mengumpat sekeras mungkin. Alih-alih mengeluarkan caci maki, dia malah mengucapkan mantra. “Tinebihna rasa lara seka angganing wang. Wungkal ora kenal, pedang ora rajang. Luk sanga bakal jaja.” Mantra ini diajarkan ayahnya dulu untuk pagar badan. Istilah umumnya adalah ilmu kebal. Dapat dikatakan, ia tak pernah merapalkannya. Dan di saat semua doa seperti sia-sia, tiba-tiba mantra yang lama terjebak di ingatan itu muncul tanpa permisi.
Dulu, ia harus menghapalkan mantra itu di depan obor menyala di tengah sawah. Matanya harus menyaksikan setiap lenggok api. Dari jarak tujuh langkah, nyala itu seperti penari bondan yang berdiri di atas kendi. Semua bagian terus bergerak, sementara ujung kaki tetap menempel di penampangnya. Setelah tujuh ribu kalimat yang sama diucapkan, barulah dia harus diam. Ia menunduk, sebagai tanda hitungan sudah sampai tujuh ribu. Ia melihat bayangan tubuhnya dari sudut bulan yang sudah bergeser mendekati pagi.
“Pejamkan matamu!” suara Sang Ayah menimpa gericik sungai kecil samping sawah. “Api itu sudah berkenalan denganmu. Kau ingatlah, dia adalah temanmu.”
Sarman mencoba mengingat setiap lenggok api. Yang ia ingat adalah lapar. Sehari semalam ia tidak makan sebagai bagian dari lelaku. Lenggok api itu hanya menyisakan bayangan kuning. Ia memilih untuk mengingat Sari, gadis anak juragan beras di seberang sungai. Ia membayangkan api itu adalah Sari yang sedang menari bondan. Ia suka dengan lirikan Sari ketika nyeblak dengan selendangnya.
Di hari kedua, ia menyaksikan obor dari jarak tiga langkah. Dengan intensitas cahaya sedemikian berlimpah, Sarman bisa menyaksikan bahwa api itu tak seindah tarian bondan. Yang ia lihat adalah Srikandi yang sedang berkelit dan bertempur. Sosok yang tenang sekaligus mengerikan. Cantik tapi penuh jebakan. Ia tidak tahu sampai hitungan berapa ia harus mengucap mantra.
Begitu ayahnya menyuruh untuk memejamkan mata, ia mengangsurkan napas. Bayangan Sari kali ini lebih tepat disebut sebagai titisan Bethari Durga murka. Bukan, itu bukan Srikandi. Itulah Durga yang menebar petaka bersama Bathara Kala. Ia masih lapar.
Sarman tahu, ayahnya tidak pernah puas dengan semua lelaku yang pernah ia jalani. Ayahnya tidak pernah memaksa juga. Sarman hanya penasaran dengan kedalaman ‘ngelmu’ ayahnya.
“Sebenarnya kau boleh saja memiliki keris ini, tapi aku rasa kau sama sekali tidak berjodoh.” Mantra tadi sangat bergantung kepada keris tak bernama itu. Kalaulah diamsalkan, mantra itu adalah peluru dan keris itu pistolnya.
Keris itu merupakan warisan lima generasi. Lebih tepatnya sebuah titipan dari masa lalu. Entah apa kesaktiannya, Sarman tidak pernah peduli sampai ayahnya meninggal sembilan tahun yang lalu. Yang ia ingat, konon kakek buyutnya adalah salah satu prajurit Pangeran Diponegoro.
“Keris itu makhluk yang memiliki jatidiri. Keris warisan ini misalnya, luk-nya sembilan, hanya tepat untuk orang-orang berjiwa pemimpin. Bukan pemimpin besar, tetapi pemimpin yang mengabdi. Orang jujur seperti kamu lebih tepat menggunakan keris lurus, tanpa luk. Watakmu juga keras, tidak akan kuat menerima sifat yang bertolak belakang dengan pusaka ini. Neptumu kecil.”
Ya, Sarman adalah anak satu-satunya yang lahir Selasa Wage, angka terkecil dalam hitung-hitungan hari Jawa.
“Selasa itu angkanya tiga, Wage empat, totalnya cuma tujuh. Tidak ada hari yang lebih rendah dari angka tujuh. Kalau kamu jadi pemimpin, anak buahmu bakal ngeyel semua. “
Entah berpengaruh atau tidak, tapi ayahnya memang seorang pemimpin. Wetonnya Sabtu Pahing. “Ini weton Kanjeng Sultan,” kata dia bangga suatu ketika.
Mungkin itu tuahnya sehingga dia dipercaya menjadi kepala bagian di perusahaan karoseri mobil. Katanya, keris dan weton itu yang menuntutnya agar menjadi kepala bagian. Entah itu karena pengaruh keris atau sifat malu-malu orang jawa, pikir Sarman. Mungkin tuah weton itu pula yang membuat aku dipecat.
“Aku tak suka dengan intrik-intrik ini, tapi keris itu selalu menuntutku. Jabatan itu semacam wahyu yang harus diterima, siap atau tidak siap. Kau tahu, kan?” suatu ketika ayah menggerutu kepada kakakku. Eka, kakak sulungku, menggeleng. Ia sebenarnya agak jengkel karena keris itu sudah direncanakan untuk diberikan kepada kakakku yang nomor dua, Dwiatno. Sekali lagi, itu urusan hitungan hari. Dwiatno lahir Sabtu Kliwon, dan Eka lahir Kamis Pahing. Mereka cuma selisih satu angka, delapan belas dan tujuh belas.
Mungkin karena tuah keris yang akhirnya ada di tangan Dwiatno, hampir dikatakan kelima adik-adiknya selalu menganggapnya sebagai pengganti ayah. Kalau ada masalah, mereka akan mengadu, bermanja, dan menanyakan solusinya. Seakan, Dwiatno adalah titisan ayah.
Dan ketika Sarman menelan duka selaksa, ia pun menelepon Dwiatno.
“Mas, aku nyuwun ngampil kerisnya.”
“Buat apa?”
“Untuk baca mantra.”
“Mantra apa? Kamu kan bisanya cuma satu mantra itu. Mau berkelahi?” Dwiatno tak terbiasa berbasa-basi. Suaranya tegas dan datar. Dengan suara setegas itu, Sarman yakin, dia kalah abu dan kalah neptu. Ia dulu memang suka berkelahi, tapi tidak kali ini.
“Tidak, aku sedang sedih saja.” Sarman yakin, ayahnya benar bahwa dia tidak memiliki jiwa pemimpin. Ia tak pernah bisa membantah omongan kakaknya. Padahal ia sudah merencakan skenario kalau Dwiatno menanyakan alasannya. Tapi, ia tidak tega. Bukan tidak tega dengan Dwiatno, tapi tidak tega dengan dirinya sendiri. Pendusta itu berteman dengan celaka, kata ayahnya.
“Hus, jangan main-main dengan pusaka. Mantramu itu untuk urusan duk-deng, bukan urusan main-main itu.”
“Tapi aku tidak tahu mantra lainnya dan aku sedang sedih.” Apakah Sarman harus cerita bahwa istrinya menceraikannya ketika sedang sakit gigi? Itu pasti akan menjadi pengakuan paling konyol yang pernah ia ungkapkan. Tidak. Lebih baik tidak. Ia hanya mengucapkan, “Aku cerai sama istriku.” Biarkan urusan bahwa aku sekarang juga pengangguran itu tak usah disebutkan. Ia ingin kakak-kakaknya tidak ikut-ikutan kalut.
Seperti diduga, Dwiatno tetap tidak mau meminjamkan keris itu. Apa hubungan antara mantra kebal senjata dengan perceraian? Jangan-jangan Sarman mau mengajak berkelahi orang yang mungkin merebut istrinya, pikir Dwiatno.
“Kamu pulang saja sini.”
“Tidak, Mas. Aku butuh menenangkan diri dulu. Aku sudah pasrah saja soal itu,” Sarman tidak melihat bahwa kepulangan itu akan menyelesaikan masalahnya. Yang terjadi mungkin malah dia mengerang kesakitan di sepanjang jalan pulang Malang-Wonosobo. Sarman tidak berminat untuk melibatkan kakak-kakaknya dalam urusan domestik seperti ini.
Ia ingin menyepi. Sarman ingin segera pulang ke rumah. Tidak ada sesiapa lagi di rumah itu, tapi setidaknya ia menumpuk kenangan di sana.
Hujan deras melengkapi sakit gigi, patah hati, dan uang yang tinggal lima puluh ribu rupiah. Ia mengutuk kenapa memilih jalan ini. Ia harus mencari tempat untuk berlindung di sepanjang jalan yang lengang. Tidak ada bangunan besar, hanya lampu-lampu jalan di sisi kiri jalan. Sarman berlari menuju ke gardu kecil dengan sebuah antena televisi yang sudah patah salah satu cabangnya di sisi kanan jalan. Lumayan jauh juga gardu itu. Ia terus membaca mantra untuk melawan pikiran tentang kedinginan dan nyeri. Bahkan ketika terpeleset ia tidak jadi mengucapkan makian. Ia memilih tetap mengucap, “Tinebihna rasa lara seka angganing wang. Wungkal ora kenal, pedang ora rajang. Luk sanga bakal ja ...” Petir menyambar tepat sebelum suku kata terakhir. Sarman kembali terjatuh.
Tiba-tiba ia jatuh cinta kepada cahaya. Sarman suka pendarnya. Ia bisa memahami mengapa dulu ayahnya mengatakan, “api itu temanmu.” Ia ingat itu. Setiap lenggok api adalah serupa keris berpamor walang sinuduk milik Dwiatno itu. Api adalah keris yang sesungguhnya. Ayahnya benar, ia tidak butuh keris itu. Yang ia perlu lakukan adalah mengucapkan “Alhamdulillah” karena petir itu menyambar antena di gardu yang berjarak tiga ratus meter.