Mamamia, kami memanggilnya demikian.
Dia seorang wanita introvert paruh baya yang cenderung tersisihkan karena tabiatnya yang pendiam, tak terlalu banyak bicara ketika berada dalam kumpulan orang banyak, bahkan ketika ditanya pun sering kali menjawabnya dengan gelengan atau anggukan kepala saja tanpa mengutarakannya lewat kata-kata. Nada bicaranya terkesan lemah tak seperti kebanyakan ibu-ibu pada umumnya yang dominan bawel dan suka ngobrol saat bertemu dengan sesama kaumnya. Terlalu pelit untuk mengeluarkan suaranya, hanya senyum simpul yang menjadi ekspresi terbaiknya sejauh pengamatan saya selama ini.
Dia selalu dianggap orang aneh oleh para tetangga di kampung kami.
Kami, para ibu-ibu arisan ini termasuk golongan yang aktif berkumpul karena memang sudah menjadi tradisi dari sejak sebelum saya tinggal di kampung ini, bahkan sekarang sudah menjadi sebuah kewajiban tiap bulan.
Hanya dengan bermodalkan uang arisan seratus ribu rupiah saja, kami sudah bisa makan kenyang dan minum sepuasnya di rumah tetangga yang mendapat giliran menjadi tuan rumah arisan. Ini bukan perkara uangnya atau sajian menu yang menjadi tujuan kami berkumpul, tetapi sebagai bentuk solidaritas agar terjalin keakraban dan menumbuhkan rasa kekeluargaan diantara kami para ibu-ibu arisan yang tinggal di kampung ini.
Saking kentalnya rasa kekeluargaan itu, terkadang pembicaraan kami saat berkumpul terlalu kepo dengan urusan rumah tangga si A si B si C dan lainnya tanpa ada rasa pakewuh.
Bahkan tak jarang dari kami, kebanyakan ibu-ibu arisan ini suka spontanitas menumpahkan segala unek-unek yang sepertinya sudah agak lama terpendam. Dan yang lebih serunya lagi, mereka yang mendengarkan curhatannya seringkali ikut menimpali dengan guyonan ala ibu-ibu halu jaman kini yang suka mengompori dengan hal-hal yang lebih heboh. Maka canda tawa riang gembira itu tak akan pernah terhindarkan dari setiap pertemuan kami.
Hingga suatu hari, tiba giliran bu Windy, nama asli dari julukan mamamia, yang menjadi tuan rumah arisan. Sepertinya bu Windy sudah mempersiapkan konsumsi untuk kami dari sejak pagi, terlihat dari belanjaannya dua tas keranjang penuh yang dibawanya keluar dari mobil sedan abu-abu metalik yang dikendarai oleh suaminya. Karena posisi rumah bu windy persis berada didepan rumahku, maka ketika saya keluar rumah tentu saja akan berpapasan dengan bu Windy.
Pagi itu, ada suatu pemandangan yang menurutku agak ganjil, yakni bu Windy keluar dari pintu belakang pengemudi mobil, sementara disamping suaminya ada sesosok wanita muda lainnya yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Siapakah gerangan? Bukan maksudku untuk membuat gosip atau kabar burung yang tak ada buktinya, tapi karena budaya kepo yang sudah terlanjur melekat pada kami dengan alasan kekeluargaan itu, maka segala sesuatu yang menurut saya belum atau tidak jelas seringkali kukorek agar menjadi jelas sejelas-jelasnya tanpa memfitnah.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, saatnya kami para ibu-ibu kampung berkumpul di rumah bu Windy sebagai tuan rumahnya. Seperti biasa, sambil menyantap hidangan yang disajikan, kami duduk mengobrol kesana kemari.
Tiba-tiba seorang tetangga berkata “Wah, ternyata masakan opornya mamamia maknyus juga ya, bisa open PO nih.” Bu Windy hanya tersenyum mendengar pujian tersebut.
Lalu ibu RT pun berinisiatif ingin mengumpulkan pesanan opornya bu Windy bila diantara kami masih ada yang mau menikmatinya di hari lain. Namun ekspresi wajah bu Windy mendadak kaget dan salah tingkah, dengan gelagapan dia berujar “Jangan, saya tidak bisa masak!” Spontan kami melongo mendengar jawaban bu Windy.
“Jadi yang masak opor ini siapa donk?” tanyaku kepada bu Windy, tapi hanya dijawab dengan gelengan kepala saja, saya tidak bisa memaksanya untuk menjawab secara lisan karena itu hak dia.
Setelah kami semua berpamit pulang dari rumah bu Windy, tak selang beberapa lama kemudian, seorang wanita muda yang tadi pagi kulihat berada didalam mobil itu keluar dari rumah bu Windy dan segera masuk ke dalam mobil bersama suami bu Windy lagi, tapi kali ini bu windy tak ikut bersama mereka. Saya masih terpaku penasaran melihat dari balik jendela rumahku sambil bertanya-tanya dalam hatiku, mengapa bu Windy tak ikut bersama mereka? Apa mungkin wanita muda itu saudara suaminya, sehingga bu Windy tak perlu ikut mereka? Begitulah kira-kira yang ada dibenakku berusaha untuk positif thinking.
***
Hari Minggu tiba, saya bangun lebih awal karena ingin menikmati jalanan car free day bersama keluargaku. Saat saya membuka pintu pagar rumahku, saya sangat terkejut melihat wanita muda itu tampak keluar dari rumah bu Windy dan langsung masuk ke dalam mobil duduk disamping suami bu Windy lagi. Setelah mobil suaminya melaju kencang dan bu Windy sedang menutup pagar rumahnya, saya berusaha menyapanya.
“Selamat pagi mamamia.” Lagi-lagi dia hanya membalas sapaanku dengan bahasa tubuhnya lewat senyuman. Kali ini rasa penasaranku mulai bangkit dan bertekad ingin mencari tahu siapakah wanita muda itu? Kuberanikan diriku bertanya “Pagi-pagi begini bapak pergi kemana, kok mamamia tidak ikut pergi?” Ternyata dugaanku benar, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala lalu bergegas segera masuk ke dalam rumahnya.
Sepulang dari jalan sehat, saya membeli beberapa macam makanan yang dijajakan di sepanjang area car free day. Saya membeli lebih banyak karena ingin kubagikan juga untuk bu Windy. Ada bubur madura, semanggi, kue pancong yang sengaja kubungkus tersendiri untuknya, agar nantinya tak dihabiskan semua oleh anak-anakku.
Sesampainya didepan rumah, anak-anak dan suamiku langsung masuk kedalam rumah, sedangkan saya menghampiri rumah bu Windy. Kuketok pagar rumahnya berkali-kali namun tak kunjung muncul juga orangnya, maka saya berusaha memanggilnya dengan suara yang agak nyaring agar suaraku bisa terdengar sampai ke dalam rumahnya.
“Mamamia….Mamamia….” tak lama kemudian muncullah bu Windy dengan tergesa-gesa. Ia keluar dengan rambut yang masih basah kuyup, sepertinya ia baru saja keluar dari kamar mandi.
“Maaapp” hanya sebuah kata pendek ini saja yang keluar dari mulutnya ketika membuka pagar rumahnya, tanpa memberitahu kelanjutannya untuk apa dia minta maaf kepadaku, apakah permohonan maaf karena tak segera keluar sehingga membuatku menunggu agak lama atau permintaan maaf karena tak mendengar ketokan pintu pagar yang sudah kuketok berkali-kali atau maaf karena apa tak dijelaskannya, tapi itu tak terlalu penting bagiku, yang terpenting adalah bu windy tahu bahwa masih ada tetangganya yang mau memperhatikannya dengan tulus dan sepenuh hati.
Ketika saya menyodorkan bungkusan yang berisi makanan yang tadi kubeli, respon bu Windy hanya tersenyum sambil mengucapkan “Terima kasih.”
Melihatku masih berdiri mematung didepannya dan tak segera menyingkir dari hadapannya, ia segera mengurungkan niatnya untuk menutup kembali pintu pagarnya. Dengan sebuah keberanian ekstra saya menawarkan diri untuk mengajaknya mengobrol agar hubungan kami semakin akrab tak hanya sebatas bertegur sapa saja.
”Bolehkah kita ngobrol barang sebentar saja, mamamia?” tanyaku penuh nyali dan seperti biasanya dia hanya mengangguk pertanda setuju sambil mempersilahkanku masuk kedalam rumahnya.
Untuk pertama kalinya terjadi perbincangan empat mata diantara kami. Mengawali percakapan dengannya bukanlah sesuatu yang mudah bagiku, namun didalam hati kecilku selalu berkecamuk rasa iba terhadapnya karena tak ada seorangpun tetangga yang mau menjalin hubungan lebih dekat dengannya, sekalipun mungkin baginya hal itu tak terlalu mengganggu kehidupannya.
Namun benarkah sebagai mahluk sosial kita bisa hidup sendirian tanpa relasi yang intim dengan orang lain? Sebuah kebohongan bila kita berkata bisa hidup sendiri tanpa orang lain, meskipun hidup kita tidak bergantung pada orang lain tetapi kita membutuhkan jalinan relasi dengan orang lain untuk menghidupkan kehidupan kita.
“Mamamia, kau tiap hari dirumah biasanya ngapain aja?” tanyaku basa basi dan tak terlalu berharap mendapatkan jawaban lisan darinya. Namun ternyata apa yang kupikirkan salah!
Tiba-tiba dia memandangiku dengan serius sambil berkata “Aku selalu menunggu.” Kali ini saya berusaha mencerna kalimat yang dilontarkannya itu, namun tetap saja saya tak bisa memahami apa maksud dari perkataannya itu.
Sekali lagi saya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya dengan lebih serius “Maksudmu menunggu apa, mamamia?” Dengan tertunduk dan raut wajahnya yang mulai berubah lesu, dia terdiam sesaat. Saya berusaha sabar menunggu jawabannya, agar dia lebih leluasa menyampaikan segala unek-unek yang ada didalam hatinya.
Perlahan-lahan dia mulai berani mengutarakannya dengan berkata “Aku hanya menjalankan perintah dari suamiku.”
“Perintah yang seperti apa, mamamia?” tanyaku penuh selidik, sepertinya ia sudah mulai mau membuka diri dan mempercayaiku sebagai seorang teman yang tak sekedar teman biasa.
“Apapun perintah suamiku, aku harus menurutinya.” matanya mulai sendu, suaranya mulai terdengar lirih, dan saya sudah mulai memahami perasaannya.
Mendengar curhatannya yang masih terlalu singkat ini membuat rasa penasaranku terhadap wanita muda yang sering terlihat keluar masuk rumah ini semakin memuncak. Saya mulai mengkorek lebih dalam lagi dengan bertanya “Lalu siapa wanita yang kemarin masuk ke dalam mobil suamimu, mamamia?”
Kulihat matanya mulai berkaca-kaca ketika ia mendengar pertanyaanku ini. Kali ini dia kembali menjawab dengan menggelengkan kepalanya tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya, tetapi kuamat-amati bibirnya mulai gemetaran seperti ada sesuatu yang ingin dilontarkannya namun tak mampu diucapkannya.
Saya mengambil tissue yang kebetulan berada di meja dekat tempat dudukku, lalu kusodorkan tissue itu untuk mengusap air mata bu Windy yang mulai meleleh dipipinya. Tanpa kuminta untuk tarik nafas sejenak, ternyata dia telah melakukannya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia kembali mengutarakan perasaannya dengan lebih tenang.
“Wanita itu….” kata-katanya mulai terhenti dan suaranya kembali menjadi parau.
“Dia ingin menjadi istrinya juga.” Makjleb! Mataku mulai terbelalak, jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kejujurannya yang sangat menyakitkan itu.
Tak pernah kusangka dan tak bisa kubayangkan bagaimana bu Windy kok bisa menjalani kehidupan rumah tangga seperti ini dijaman yang notabene masyarakat sudah berusaha meminimalisir perselingkuhan dalam keluarga. Ada perasaan marah dan geram didalam hatiku terhadap ego suami bu Windy yang menurutku terlalu kejam, berani sekali berselingkuh terang-terangan didepan istrinya bahkan sampai membawanya pulang ke rumah, masihkah ia memiliki hati nurani hingga tega menyakiti hati wanita selembut mamamia ini? Sungguh jahat sekali!
Sesaat kemudian saya memeluk bu Windy, dan tangisnya pun makin meledak, tak ada kata-kata penghiburan yang bisa keluar dari mulutku, hanya rasa belas kasihan yang sangat dalam yang berkecamuk dalam relung hatiku. Namun seketika itu pula, saya mulai berpikir, apa alasan yang mendasarinya sehingga suami bu Windy tega berbuat demikian? Saya berusaha mencari tahu setelah tangisan bu Windy mulai mereda.
Sekali lagi, bukan karena saya suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain, melainkan karena simpati saya yang tak menginginkan siapapun menjadi korban perselingkuhan pasangannya. Bukan untuk menjadi sok pahlawan, tapi ini masalah harkat dan martabat wanita yang harus dijunjung tinggi juga oleh para pria, agar tak terus-terusan menindas wanita. Karena sejatinya, semua manusia baik itu pria maupun wanita dihadapan Tuhan itu sama derajatnya, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
“Mamamia….sebenarnya apa alasan bapak kok sampai tega berbuat seperti itu?” saya mulai bertanya penuh selidik.
Sambil mengusap air matanya yang masih tersisa di ujung pelupuk matanya, ia menjawab dengan tegar “Karena aku tidak bisa punya anak.” Makin iba saya mendengar pengakuan dirinya terhadap aib yang harus ia tanggung.
Kuhembuskan nafas panjangku agar saya bisa berpikir jernih, “Kenapa mamamia tidak bercerai saja dan membiarkan bapak menikahi wanita itu, daripada kau harus dimadu dan tersakiti seperti ini?” pertanyaanku kali ini lebih menjurus ke arah saran agar bu Windy berani mengambil langkah tegas terhadap suaminya.
Namun tak disangka jawaban yang dibalas dengan pertanyaan balik kepadaku justru menggetarkan hatiku “Bukankah apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan seharusnya tidak dipisahkan oleh manusia?” Saya mendadak speechless!
Well, saya mulai menyadari bahwa komitmen dan cintanya yang tulus membuat bu Windy bisa bertahan untuk menghadapi semuanya ini. Tentunya dengan sebuah kekuatan dari Yang Maha Kasih maka ia mampu menjalani realita kehidupan yang tak lazim terjadi pada kehidupan rumah tangga masa kini.
Tak terasa perbincangan kami sudah memakan waktu cukup lama. Sebelum saya berpamit, saya bertanya satu hal lagi kepadanya.
“Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya, jika bapak tetap bersikekeh menikahi wanita itu, mamamia?”
Kali ini saya melihat hatinya yang tegar tampak dari ucapannya yang tegas “Gusti mboten sare! (Tuhan tidak pernah tertidur!)” Sebuah jawaban yang sungguh menggelitik hatiku.
Saya pulang dengan membawa sebuah gambaran misteri kehidupan, apa yang akan terjadi pada kehidupan mamamia selanjutnya? Saya hanya bisa mendoakan agar yang terbaik terjadi padanya dikemudian hari.
***
Hari demi hari, satu per satu peristiwa yang terjadi pada kehidupan bu Windy mulai tersingkapkan. Diam-diam tanpa sepengetahuan warga kampung, suami bu Windy akhirnya menikahi wanita muda itu tanpa menceraikan bu Windy dan membiarkannya untuk tinggal serumah bersamanya, bahkan memperingatkan bu Windy agar bu Windy menganggap wanita yang menjadi istri mudanya ini sebagai adiknya sendiri. Dan apabila ada warga kampung yang mempertanyakan status wanita muda itu, tak boleh seorangpun yang mengetahui rahasia rumah tangganya.
Bisa kubayangkan betapa tersiksanya batiniah bu Windy menjalani hidup rumah tangga yang seperti demikian. Cintanya tak hanya dikhianati oleh suaminya, tapi juga harus berbagi dengan orang yang tak pernah dikenal sebelumnya namun harus diakui sebagai adik. Sebuah kehidupan manipulatif yang cukup berat untuk dilakoni seorang wanita yang dipandang rendah hanya karena tak mampu memberikan keturunan.
Alih-alih menjadi istri yang baik, perlakuan suami bu Windy terhadap dirinya tak pernah adil. Semenjak memiliki dua istri dalam satu atap, setiap kejadian apapun yang terjadi dirumahnya selalu bu Windy yang menjadi sasaran kesalahan, karena dianggap yang lebih tua seharusnya lebih mengerti dan mau mengalah.
Hingga suatu hari bu Windy mulai bersahabat dengan keadaan dirinya. Ia berusaha menerima kenyataan hidup yang sedang dijalaninya, memang tidak mudah tetapi mau tidak mau harus bisa menghadapinya dengan tegar. Air matanya yang sudah terlalu banyak dicucurkannya serasa tak lagi mempan untuk mengalir, kering kerontang!
Beberapa bulan kemudian, saya memperhatikan perut wanita muda itu mulai terlihat membuncit, dengan mengenakan long dress yang agak kedodoran keluar dari pagar rumahnya memanggil penjual bakso yang setiap hari keliling di daerah perkampungan kami. Saya yang kebetulan saat itu juga ingin membeli bakso akhirnya tak sengaja bertatap muka dengannya, maka kami pun bertegur sapa.
"Lagi ngidam bakso ya neng?" kataku sekedar berbasa-basi sambil mengantri bakso.
"Eh, iya mbak, kok tahu sih kalau saya lagi ngidam, dulu sering ngidam bakso juga ya mbak?" tanyanya padaku dengan renyah seperti orang yang sudah pernah kenal lama.
Saya tertegun melihat keceriaan wanita muda ini, pembawaannya sangat berbeda dengan bu Windy yang cenderung lemah letih lesu, dia sangat supel meskipun kami tak saling kenal sebelumnya. Apakah mungkin kelebihannya inilah yang membuat suami bu Windy lebih tertarik padanya? Batinku. Lalu saya kembali menanggapinya.
"Hehehe....iya neng, orang hamil itu biasanya suka ngidam bakso, lumrah kok. Ngomong-ngomong sudah hamil berapa bulan neng?" saya berusaha memastikan apakah dia benar-benar hamil.
"Sudah hampir jalan lima bulan mbak." jawabnya tersenyum ramah sambil mengelus-elus perutnya yang memang keliatan lebih buncit dari sebelumnya.
Fix! Wanita muda ini sebentar lagi akan menyandang status sebagai ibu dari anak kandung suami bu Windy sementara bu Windy hanya berstatuskan istri saja. Sungguh saya prihatin melihat kehidupan bu Windy yang makin nelangsa. Masih adakah kesempatan bagi Mamamia untuk mencicipi kebahagiaan seperti yang dirasakan wanita muda ini? Hanya Tuhan yang tahu jalan hidupnya.
***
Tiba saatnya wanita muda itu menjalani persalinan. Dia melahirkan seorang bayi laki-laki, namun nahasnya beberapa jam setelah melahirkan, ia meninggal dunia.
Semua warga kampung ikut berbela sungkawa, termasuk saya tetangga depan rumahnya yang sering memantau kehidupan keluarga mereka. Tak jarang saya mendengar para tetangga yang datang melayat berdesas desus membicarakan siapakah sosok almarhum ini sebenarnya. Saya yang sudah tahu sejarahnya hanya bisa diam dan menyimpannya dalam hati agar tak menjadi gosip yang mengusik kehidupan bu Windy.
Bayi laki-laki mungil dari wanita muda itu akhirnya dirawat dan diasuh oleh bu Windy dengan penuh kasih sayang seperti layaknya anak kandungnya sendiri hingga anak ini bertumbuh besar menjadi anak yang baik dan saleh. Namun dibalik semua peristiwa yang terjadi ini, ternyata tersimpan sebuah kisah yang membuat saya terbelalak ketika bu Windy menceritakannya kepadaku.
Sebulan sebelum wanita muda itu melahirkan bayinya, disuatu malam yang penuh keheningan bu Windy kembali merenungkan tentang bagaimana nasibnya selanjutnya dan apa yang harus dilakukannya untuk mengakhiri kehidupan rumah tangganya yang dinilainya tak normal ini? Akhirnya ditengah malam itu, ia memberanikan diri memanggil suami dan istri mudanya untuk membuat kesepakatan bersama.
"Wah, kesepakatan seperti apa yang kau inginkan mamamia?" tanyaku penasaran.
"Aku berkata kepada mereka, jika bayi itu nanti lahir, aku yang harus menjadi ibunya dan aku akan hidup bersama anak itu selamanya, sedangkan aku rela untuk berpisah dengan suamiku jika memang mereka ingin membangun rumah tangganya sendiri." perkataannya yang tegas mengalir begitu saja, tak pernah kuduga sebelumnya jika ia bisa melakukan ini semua.
Lanjutnya "Ternyata manusia hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan yang menghendaki."
Saya meresponi ucapan bu Windy dengan mengangguk tersenyum, bukan karena senang dengan peristiwa kematian wanita muda yang merusak rumah tangga bu Windy namun melihat ketabahan bu Windy yang mampu membuat dirinya merendahkan diri dan iklas menghadapi pencobaan ini, tentunya tak akan pernah luput dari pengamatan Sang Khalik.
***
Sejak sepeninggalnya istri mudanya setelah melahirkan bayi laki-lakinya, suami bu Windy perlahan-lahan mulai mengalami banyak perubahan. Egonya mulai terkendalikan. Tampak dari caranya memperlakukan bu Windy tak lagi seperti dahulu kala yang sesuka hatinya. Hidupnya kembali fokus memperhatikan keluarganya.
Hingga suatu hari, ketika anak semata wayangnya ini mulai menginjak usia sekitar dua tahunan, masa dimana anak sangat aktif bergerak, bu Windy mulai kewalahan mengajaknya bermain, dan tiba-tiba bu Windy jatuh terpeleset saat bermain kejar-kejaran dengannya.
Mendengar suara anaknya yang menangis keras, saya bergegas membuka pintu pagar menghampiri rumah bu Windy. Saya terkejut ketika masuk kedalam rumahnya melihat bu Windy sudah tergeletak berlumuran darah dibagian kakinya dengan tak sadarkan diri. Segera saya memanggil ambulans dan dengan dibantu oleh para tetangga lainnya membawa bu Windy ke rumah saki sambil saya menjaga anak laki-lakinya.
Setelah beberapa saat bu Windy menjalani pemeriksaan di rumah sakit dan diperbolehkan dokter untuk pulang kerumah, tampak bu Windy turun dari mobilnya digandeng oleh suaminya masuk kedalam rumah. Untuk pertama kalinya, saya melihat pemandangan yang indah seperti ini dari balik jendela rumahku, hatiku terasa sejuk.
Ternyata kesejukan hatiku tak sebanding dengan berita yang kuterima ketika saya bertandang ke rumah bu Windy dengan membawakan bubur hangat baginya. Suami bu Windy menerimaku diruang tamu karena bu Windy sedang terbaring istirahat dikamarnya akibat dari pendarahan yang hebat kemarin. Dengan nada penyesalan, untuk pertama kalinya suami bu Windy menyampaikannya dihadapanku.
"Saya menyesal telah menganggap istriku selamanya akan mandul, kupikir tak akan pernah bisa memberiku keturunan, sampai-sampai saya tak pernah memperhatikan kondisi fisiknya selama ini." ujarnya sambil mengusap keringat didahinya.
"Saya tak pernah menyangka jika sekarang ini dia harus mengalami keguguran dalam kondisi kehamilannya yang lemah, saya terlalu meremehkannya." lanjutnya dengan nada penyesalan yang sangat dalam dan saya bisa merasakan hal itu. Memang penyesalan selalu datangnya terlambat, pikirku.
Saya hanya bisa terdiam dan ikut bersedih atas keguguran yang dialami bu Windy, namun didalam hati kecil saya terbesit sukacita bahwa buah kandung mamamia telah terbuka dan itu pertanda bahwa ia telah terbebas dari belenggu aibnya yang selama ini dipikulnya.
Saya yakin suatu hari nanti hatinya akan bersuka ria karena doa yang dipanjatkannya selama ini didengar oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, meskipun jawaban atas doanya mungkin terkesan terlambat, namun satu hal yang pasti bahwa waktu Tuhanlah yang terbaik untuknya. Sebuah penantian yang penuh dilematis namun memberikan sukacita tersendiri bagi mamamia ketika penantiannya itu membawanya kepada pengharapan yang baik bagi wanita bijak yang dipandang lemah namun sejatinya kuat.
-Tamat-