Mulut Mama keluar busa. Semprot nyamuk habis ditelan Mama. Mama pintar mengeja tetapi Mama pura-pura tak bisa membaca nama minuman jahat. Yang gunanya supaya nyamuk tidak menguing-nguing di kuping. Supaya nyamuk tidak membikin kulit gatal. Nyamuk punya sedotan tajam yang bila kena tusuk, darah bakal tercuri. Si kulit lalu bentol-bentol. Bentol merah digaruk-garuk. Bisa sampai memborok bila kuku terlalu panjang dan bila garukan terlalu kasar.
Maunya Mama bagaimana, aku kehabisan ide. Itu kan bukan jus apel atau wedang jahe yang biasa Mama minum pagi-pagi? Mama suka minuman manis bukan minuman jahat. Aku ragu selera Mama berubah. “Meong, meong,” yang artinya “hey Mama!”
“Meong, meong, meong, meong,” yang artinya “jangan diam saja Mama!” Mama oh Mama. Mama tidur melotot. Badan Mama kaku. Mama bisa masuk angin bila terlentang terus di lantai. Aku ini kucing. Tidak mungkin kuat menggendong manusia seperti Mama ke kasur.
Ruang makan sepi. Kamar Papa Mama sepi. Kamar anak sepi. Kamar mandi sepi. Televisi sepi. Ruang tamu sepi. Dapur sepi. Loteng ribut, tikus-tikus pesta makanan. Siang sampai malam. Mereka senang Mama dan Papa tidak memakan sarapan. Tiga roti berselai kacang di masing-masing piring (milik Mama Papa) tak tersentuh. Toples selai kacang pecah, isinya tumpah ke lantai. Bungkus roti belum diikat. Roti berkerubung semut. Roti berkerubung tikus. Meja makan belum sempat Mama tutup. Tudung saji menganga di lantai. Tikus-tikus kerja bakti sejak pagi. Menggotong-gotong roti (dari dalam bungkus dan piring) dan pecahan toples berisi selai ke loteng. Mereka banyak sekali. Hitam-hitam layak koloni semut. Mereka gemuk-gemuk. Aku yakin besok pagi berat badan mereka bertambah. Gelar mereka berubah. Dari tikus-tikus gemuk menjadi tikus-tikus obesitas. Saat itu aku tak tergiur mengejar mereka, aku kenyang. Mama memberiku sepiring ikan utuh sebelum Mama meneguk minuman jahat. Sebelum tikus-tikus lapar berkeliaran.
Mataku ini. Mata kucing yang kupunya ini ajaib. Ajaib seperti sim salabim. Percayalah! Mendekatlah! Pak Mata dan Bu Mata, baik yang ronanya cokelat, biru, merah, kecoklatan, kuning, hijau, abu-abu, hitam. Kuajak Pak Mata dan Bu Mata sekalian menyelami masa lalu (ku). Tatap mataku dalam-dalam. Jangan berkedip. Sim salabim!
***
Blackjack! sekali main. Dua puluh satu persis, total nilai kartunya. As keriting (sebelas) dan king merah hati (sepuluh). Si Alis Tebal dapat uang berlipat. Si Alis Tebal pasang taruhan seratus juta, maka terima seratus lima puluh juta dari bandarnya (bayaran 3:2 bila kartu blackjack). Si Alis Tebal merasa dicintai Dewi Fortuna. Ia raup duit-duit dari meja judi. Tawanya berisik, mendongkolkan pemain lain. Ia pulang. Di atas motor, kuping si kepala botak panas. Si Alis Tebal tak henti-hentinya menyombongkan keberuntungannya. Si Botak kalah. Ia rugi sembilan puluh juta.
“Hei Botak, kau ajak aku ke sana lagi kapan-kapan.” Mau kukumpulkan duit-duit ini sampai satu miliar, imbuh si Alis Tebal.
“Baru sekali menang sudah sok sekali kau!” Tak ada ceritanya pejudi menang berturut-turut, si Alis Tebal dimarahi si Botak.
“Kau terlalu pesimis, Botak!”
“Kau itu yang kelewat percaya diri,” ucap Si Botak makin berang.
Si Botak dan Si Alis Tebal saling memaki. Yang begitu sudah biasa antar sahabat sekaligus tetangga. Si Alis Tebal dan Si Botak masuk rumah masing-masing. Istrinya, si Cantik sudah tidur. Di kamar lain, anaknya, si Bisu tidur memeluk guling beruang. Si Alis Tebal menaiki kasur. Ia menciumi muka si Cantik. Si Cantik terganggu. Matanya melek sedikit demi sedikit. “Abang baru pulang?” suami istri itu berpelukan. “Abang bawa uang banyak, Dik.” Besok saja bahas uangnya, kita tidur sekarang, kata si Cantik. Ia terlelap. Hidung, mata, mulut, pipi, alis. Si Alis Tebal suka semua yang si Cantik punya. Pemandangan indah si Cantik, ia bawa sampai alam mimpi.
Si Bisu tidak bisu sebetulnya. Si Alis Tebal yang buat ia bisu. Suatu waktu, si Cantik pergi menari di kampung Seni. Ia dan kawan-kawannya tampil mewakili kampung Pencuri. Si Alis Tebal menggandeng pelacur ke rumah. Mereka saling menghisap. Lelaki itu pikir, rumah sedang tak berpenghuni. Nyatanya, “Papa…” Tautan bibir terlepas. Si Alis Tebal menyeret si Bisu sampai kamar. Si Bisu diancam. Akan kubuang kau ke kampung Pembunuh biar badanmu dicincang-cincang kalau bilang-bilang Mama, kata si Alis Tebal. Membayangkan badannya dipotong-potong, Si Bisu menggigil ketakutan. Mulut sendiri ia bungkam dan keterusan hingga sekarang.
Pagi-pagi si Cantik memasakkan suami dan anaknya. Si Bisu dan si Alis Tebal telah siap di meja makan. Si Bisu mengenakan seragam merah putih. Nasi goreng bikinan si Cantik memang tiada duanya. Si Bisu dan si Alis Tebal lahap sekali menyantapnya. Si Bisu berangkat sekolah. Si Alis Tebal dan si Cantik bermesraan di rumah.
Kerja si Alis tebal itu malam-malam. Saat orang-orang kampung lain mengeloni anak atau istri atau suami atau selingkuhan atau simpanan atau pelacur atau guling atau anjing atau kucing atau selimut atau bantal atau uang, si Alis Tebal beraksi. Ia disuruh bos besar menggarong istana si Gendut, di kampung Acak Adul. Si Gedut ngorok kalau tidur. Napasnya bau sekali. Uang-uang si Gendut bertumpuk-tumpuk di ruang rahasia. Si Alis Tebal tahu cara membukanya. Tinggal memencet tombol merah yang bersembunyi di belakang rak buku-buku. Ia dan si Botak berlomba. Cepat-cepatan menyorong uang ke dalam tas. Si Alis Tebal pemenangnya. Meski tas mereka penuh, uang-uang di ruang rahasia terlihat masih banyak. Si Gendut tak bakal sadar bila hartanya berkurang. Lagi pula ia masih bisa korupsi triliunan. Apalagi sampai sekarang si Gendut aman-aman saja. Aparat segan mau menangkapnya. Kalau pada orang-orang macam si Alis Tebal atau si Botak, aparat mendadak tolol. Aparat tak mampu menyergap. Aparat tak tahu caranya menggali bukti-bukti. Kalau pada para pembunuh beda cerita. Aparat takut. Tak mau menangkap, tak mau terlibat. Kalau pada para penjudi, aparat justru berkawan. Aparat tak tega menangkap, sebab kerap mendapat cipratan uang.
Isi perut si Gendut mencurigakan, kata si Botak. “Aku yakin ia menyimpan benda paling berharga dalam perutnya.” Si Botak mulai berteori.
“Belah saja perutnya kalau kau penasaran.” Si Botak menolak usul si Alis Tebal. Kampung Pembunuh punya aturan. Siapa pun yang bertingkah menyerupai orang-orang kampung Pembunuh, ia harus diusir dari kampung asalnya dan kampung Pembunuh berhak mengklaimnya sebagai penduduk mereka. “Aku tak bisa membunuh dan aku tak mau jadi pembunuh.” Terlalu mengerikan, membayangkan orang mati mengenaskan karena dirinya. Bos besar membagi hasil pada si Botak dan si Alis Tebal. Masing-masing mendapat tiga puluh persen dari uang curian.
Si Botak tadi kalah lomba. Si Botak kudu mengabulkan permintaan si Alis Tebal. “Ajak aku ke kampung Judi.” Si Botak terpaksa mengantarnya. Di sana, si Botak tidak ikut main karena peruntungannya jelek. Ia menonton sahabatnya saja. Si Alis Tebal pasang taruhan dua puluh lima juta. Ia kalah. Ia pasang dua puluh lima juta lagi. Ia kalah lagi. “Ayo pulang.” Si Alis Tebal tidak mau. “Uangmu nanti habis.” Si Alis Tebal ngotot bermain. Si Alis Tebal misuh-misuh, begitu uangnya betulan habis.
Jadilah berjudi rutinitas si Alis Tebal. Sendirian ia di sana. Si Botak menolak mengantarnya. Si Botak jengkel, si Alis Tebal makin tergila-gila berjudi. Nasihat si Botak tak digubris sama sekali. Si Alis Tebal menang. Kalah. Kalah lagi. Lagi-lagi kalah. Kalah terus. Banyak rugi ketimbang untung. Tapi si Alis Tebal belum kapok. Cincin kawinnya ia korbankan. Cincin kawin si Cantik ia rebut paksa, lalu mempertaruhkannya pula. Dua-duanya raib di meja judi. Si Cantik mengamuk. Si Alis Tebal balas menamparnya sampai pingsan. “Sayang, maafkan aku.” Laki-laki itu menyesal.
Si Alis Tebal setop berjudi. Tiap hari menyanding si Cantik di kamar. Merawatnya, menyuapinya, memandikannya sampai awak si Cantik sehat-sehat. Tetapi kondisi batinnya belum tentu sama. Ia tak banyak bicara seperti dulu. Sering meringkuk gemetar ketimbang menempel sayang ketika didekati si Alis Tebal. Bahkan sekarang si Cantik sekamar dengan si Bisu. Si Alis Tebal tidur sendirian. Si Alis Tebal gelisah di atas kasur. Ia merindukan si Cantik. Tetapi ia sadar, si Cantik tak bakal mau melayaninya. Ia memungut jaket, pergi ke rumah bordil.
Si Alis Tebal memesan si Manis. Pelacur yang pernah ia gondol ke rumah. Ia berkeluh kesah pada si Manis, sekalian menikmatinya. Impian si Manis ialah memiliki keluarga. Ia bilang, ia ingin mencari suami seperti si Alis Tebal.
“Kalau begitu jadilah istri keduaku.” Goda si Alis Tebal.
“Istri kedua kepalamu peang!” teriak si Cantik. Tahu-tahu si Cantik sudah seatap dengannya. Ia ikuti suaminya keluar dan betapa terperanjatnya ia, begitu tahu suaminya salah satu pelanggan. Takutnya pada suami menghilang. Si Cantik naik pitam. Ia memaksa masuk. Berlarian, menabraki orang-orang yang berkeliaran di rumah bordil. Ia pukuli si Alis Tebal dengan sepatu haknya. Si Manis menjerit-jerit kesakitan sebab ia juga dijadikan sasaran. Si Cantik diusir dua penjaga rumah bordil karena menimbulkan keributan.
Rumah tangga si Alis Tebal makin kacau. Si Cantik ingin pisah tetapi ditolak mentah-mentah. Si Alis Tebal malas. Mengurus perceraian di kampung Birokrasi amat rumit. Lebih dari setahun lamanya. Bisa-bisa uang keburu habis, sebelum urusan rampung. Maka di rumah, suami istri itu hidup sendiri-sendiri. Si Alis Tebal tetap mengulurkan uang belanja karena ia merasa bersalah. Si Cantik tidak mau memasak. Tidak mau bersih-bersih rumah. Tetapi ia masih mau mengurus si Bisu. Malahan, ibu dan anak itu makin lengket dan bergantung satu sama lain.
Mau si Alis Tebal membawa-bawa pelacur ke rumah, mau si Alis Tebal berjudi, si Cantik sudah tak peduli. Memiliki si Bisu di sisinya, cukup bagi si Cantik.
“Ikut Papa jalan-jalan yuk!” si Bisu menggeleng. Ia lebih suka pergi dengan mamanya. Papanya sudah dianggapnya binatang buas karena pernah memukul mamanya sampai luka. Ia sendiri sampai mengira mamanya mati. Ia berhenti menangis setelah tahu mamanya masih berdetak dan masih bernapas.
“Mama sudah menunggu di sana. Tinggal kamu sama Papa. Ayo kita susul Mama.” Si Bisu pun percaya. Mamanya menari di kampung Seni. Motor papanya mengarah ke kampung lain. Si Bisu tidak tahu di mana itu karena ia dilarang mendekati perbatasan, lebih-lebih bermain di luar kampung Pencuri. Berbahaya, gurunya bilang.
“Mama di gubuk sana. Kamu masuk dulu. Papa mau parkir sepeda.” Gubuk itu sendirian. Sekitarnya cuma pohon-pohon kelapa.
“Mama?” tidak ada sahutan. Di dalam, ada kain menutupi tumpukan jerami, tulang belulang berceceran, pakaian-pakaian lusuh, sepatu dan sandal yang sudah kusam, pisau-pisau mengkilat tajam tergantung di dinding-dinding. Barangkali, tak sehari pun pemiliknya lupa mengasah.
Di belakang si Bisu, seorang lelaki melet-melet. Ia menjilat air liur sendiri yang tetiba menetes sebab menyaksikan mangsa berserah diri tanpa perlu ia kejar. Ia masuk perangkap dengan kaki sendiri tanpa perlu diseret-seret. Mangsa berbudi baik.
“Halo gadis kecil.” si Bisu menoleh. Lehernya patah. Si Bisu mati seketika. Daging anak-anak sangat empuk. Gampang diiris apalagi dimakan. Lelaki itu tidak terlalu lama memanggangnya. Ia berdoa sebelum giginya mulai mengunyah si Bisu.
***
Aku kucing. Aku hidup lagi, tapi jadi kucing. Aku bukan anak sekolah lagi. Aku bukan anak Mama dan Papa lagi. Tetapi aku bisa mengeong. Aku tak lagi bisu. Aku mengeong-ngeong di pasar. Mama ketemu aku. Mama mengajakku pulang. Aku digendong. Tangan Mama bau ikan. Mama kegelian karena aku menjilat-jilat jarinya. Mama menamaiku si Oren.
“Awas kau kalau bunuh kucingku. Kau sudah bunuh anakku. Jangan lagi kau rampas milikku!” Papa bilang ia tak bunuh aku. Ia jalan-jalan denganku lalu dicegat pembunuh. Aku diculik, dibawa ke kampung Pembunuh. Aku dibunuh di sana. Papa berbohong. Mama tahu kalau Papa berbohong. Ia teriak di muka Papa berkali-kali. Pembohong! Pembohong! “Kau bunuh anakku demi uang asuransi kan? Aku tahu semuanya. Si Botak cerita padaku. Gara-gara kegilaanmu pada judi, kau bunuh satu-satunya kebahagiaanku! secepatnya kau akan kulaporkan ke polisi!” Mama marah-marah sambil sebelah tangannya mengangkat parang. Papa takut dibacok. Papa lari dari rumah. Sehari-hari aku bersama Mama. Mama menonton televisi sambil memangkuku. Pangkuan Mama sangat nyaman. Aku tertidur di sana berkali-kali.
“Meong, meong, meong, meong, meong, meong, meong,” yang artinya “tidak Mama, ada aku, Mama tidak sendirian.” Tangan Mama maju mundur mengelusku. Mama tidur di kamarku. Mama memeluk fotoku sebelum tidur.
Aku masih tidur, Mama sudah bangun. Aku melek sebentar, kudengar Mama sibuk di dapur. Dan terlelaplah aku kembali di kursi ruang tamu. Mama memanggilku. Aku disuruh sarapan. Aku makan di bawah kaki Mama. Mama duduk di kursi meja makan. Mama bilang ia benci Papa tetapi juga rindu Papa. Mungkin itu sebabnya Mama tetap menyiapkan sarapan untuk Papa. Mama kemudian menuang minuman jahat di botol semprot. Kukira Mama mau membasmi nyamuk-nyamuk. Aku salah. Mama membasmi Mama.
***