Ini malam terakhirku berada di rumah besar ini. Esok hari adalah batas terakhir yang diberikan oleh Kanjeng Guru. Selama hidupku, yang masih terbilang sebentar ini, aku memang dikenal sebagai maling dan bajingan tapi tidak pernah sebagai pengingkar janji. Esok hari beliau harus sudah menerima pusaka itu atau kabar kematianku.
Hari itu Kanjeng Guru mengumpulkan lima murid terbaiknya di pendopo pasowanan. Aku tentu saja bukan salah satu di antaranya. Aku toh hanya jongos yang menyuguhkan minuman. Semenjak diambil murid, kira-kira tiga tahun lalu, aku tidak pernah diizinkan mengikuti pengajian maupun majelis-majelis Kanjeng Guru. Bagianku hanya di ndalem belakang, membelah kayu, mengisi kula, dan menyiapkan hidangan untuk para tamu. Namun, hari itu agak lain. Setelah meletakkan minuman di hadapan para tamu, Kanjeng Guru melarangku kembali ke belakang, dan memintaku duduk di sampingnya.
"Aku punya tugas khusus untukmu," kata beliau, langsung tanpa basa basi. "Tugas ini berat dan ada kemungkinan kau tidak akan kembali."
"Sendiko dawuh, Kanjeng," jawabku.
Lalu, beliau menceritakan perjalanan dakwahnya yang terakhir dan bagaimana pusaka beliau bisa sampai tertinggal di rumah besar ini. Tugasku adalah mengambil kembali pusaka itu tanpa sepengetahuan tuan rumah, sesuatu yang terasa hampir mustahil, karena rumah ini dijaga ketat melebihi penjagaan di rumah Kanjeng Rangga sendiri. Hanya angin dan barangkali kucing yang dapat keluar masuk tanpa dicegat.
Sudah lama aku mendengar pengaruh dan kekuasaan sang janda, namun menyaksikannya sendiri secara langsung tetap membuatku tercengang.
Aku datang, mulanya, dengan menyamar sebagai pencari ikan, menyusuri bantaran kali, yang airnya menyusut hanya tinggal sedengkul, dengan memanggul krondo bambu dan menyandang walesan, susuk, serta tombak sengkap lima jari. Lubang-lubang belut menggoda di sepanjang jalan, menganga di antara gundukan untuk yuyu. Lubang-lubang itu tersamar namun cukup jelas bagi mata yang awas. Kalau saja tidak sedang betugas, aku bisa membawa pulang belut sepenuh krondo sebelum tengah hari.
Kanjeng guru memberiku waktu lima hari. Menurut beliau, lewat dari masa itu hasil pekerjaanku akan jadi tak berguna.
"Berhati-hatilah," kata Kanjeng Guru. "Banyak nyawa yang bisa selamat dan banyak darah yang mungkin tidak akan tumpah jika kau berhasil melakukan tugas ini."
Aku mengiyakan tanpa dapat memahami dan melihat di mana letak pentingnya pekerjaan ini, toh aku hanya perlu menyatroni dan mengambil kembali pusaka dari rumah seorang janda.
Betapapun penting dan berpengaruhnya perempuan itu, kepalaku yang kecil, dan barangkali hanya berisi sebiji klenteng ini, tetap tidak dapat menghubungkan pekerjaan kecil mencuri dari rumahnya dengan kemungkinan adanya pertumpahan darah. Ah, berpikir jelas bukan keahlianku.
Dua hari pertama kuhabiskan untuk menyusuri tepian kali dan pematang, sambil menyusun rencana dan menentukan jalur pelarian. Daerah ini penuh dengan sungai-sungai, jublang, dan petak-petak tambak, hampir tidak ada jalan yang cukup lebar bagi kuda maupun pedati, orang-orang mengangkut dan memindahkan barang keperluan mereka dengan menggunakan rakit bambu. Terus ke selatan, ada jalan raja. Di utara menghampar rawa membusuk tanpa ujung yang dihuni oleh para demit, siluman dan ular jembel, yang ujung ekornya bisa sebesar pohon bambu. Kalau sampai kepergok dan harus kabur, dan itu sudah pasti, pilihanku hanya lari, mempertahankan jarak sejauh mungkin dari para pengejarku, sampai tiba di wilayah kekuasaan Kanjeng Guru yang berbukit-bukit.
Pada pagi hari ketiga aku mengubur pakaianku di bawah naungan pohon waru, dekat jublang lele yang kutandai sebagai jalur pelarian terbaik, lalu mengubah diri menjadi seekor kucing. Mengubah wujud adalah kepandaian mutlak yang harus dikuasai oleh pencuri dari grombolan kami, selain menghitung naga hari dan menghindari weton apes.
Sebelum terang tanah, aku telah berjalan di belakang rombongan perempuan yang menyunggi tampah di atas kepala mereka, harum kotok dan putihan asap menguar dari tampah-tampah itu, menusuk-nusuk hidungku, membuat perut kosongku berkeriuk ramai. Sebagai seekor kucing, ingin sekali rasanya melompat ke atas kepala mereka dan menggondol barang sepotong kotok. Di belakang rombongan itu para lelaki berjalan terhuyung, memikul keranjang besar berisi sombro dan lele segar. Pada musim kemarau begini sungai-sungai menjadi terlalu dangkal untuk dilalui rakit. Tujuan mereka dan tujuanku sama: rumah besar Mbok Rondo.
Sepagi itu halaman rumah Mbok Rondo sudah penuh orang: para perempuan menyunggi tampah dan mengendit keranjang kecil, para lelaki memikul keranjang besar. Mereka semua diterima oleh lima belas lelaki gagah yang memamerkan lengan besar dan dada bidang. Melihat otot pejal dan luwes gerakan mereka, aku langsung tahu mereka bukan begawai biasa. Menurut perkiraanku, setidaknya mereka telah menerima latihan keperwiraan yang setingkat dengan pengawal kadipaten. Jika harus berhadapan dengan mereka semua, satu-satunya kesempatanku untuk selamat hanyalah lari. Mereka bekerja cepat dan cekatan, dan ketika matahati mulai memanjat setinggi ujung pagar halaman, keranjang-keranjang sudah dinaikkan ke atas pedati, siap untuk diantar ke pasar kota.
Sepanjang hari itu aku terus mencari jalan untuk masuk ke bangunan utama yang ditinggali Mbok Rondo. Rumah malang berdinding papan jati, nyaris tanpa celah yang mungkin dilalui oleh seekor tikus. Jendela-jendela memang terbuka tapi dihalau dengan jari-jari besi, sementara angin-angin terlalu tinggi untuk dilompati, lagipula tidak ada pohon di sekitar rumah sebagai pijakan untuk memanjat.
Keberuntungan mendatangiku menjelang magrib. Waktu itu, karena terlalu bosan, aku bermain-main dengan seekor tikus kebun. Seorang perempuan, yang kemudian kutahu bernama Simbok Dowo, melihat bagaimana tangkasnya aku menangkap tikus malang itu dan kemudian berteriak kepada para lelaki yang berjaga di regol untuk menangkapku. Perempuan itu membawaku masuk dan mengikat leherku pada tiang meja dekat pendaringan.
"Jangan kemana-mana," kata perempuan tua itu sambil mengelus lembut kepalaku, "besok pagi kuberi kau sarapan otak-otak bandeng."
Aku menyahutinya dengan dua kali eongan girang. Perempuan itu untuk sekejap terlihat kaget, tapi nampaknya langsung menindas lintasan pikirannya sendiri.
Asem! otak-otak bandeng nyaris saja membongkar penyamaranku.
Malam itu aku memang sudah berhasil masuk rumah, tapi belum bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa berjalan hilir mudik di sekitar pendaringan, sebatas yang bisa dimungkinkan tali yang mengikat leherku. Namun, dengan pendengaran yang kutajamkan dengan tenaga dalam, aku bisa mendengar lamat-lamat percakapan orang-orang di balai-balai sampai ke dapur. Tamu-tamu datang dan pergi sampai jauh malam. Mbok-mbok dapur sibuk menyiapkan minuman dan hidangan. Tidak ada hal berarti yang bisa kutangkap dari percakapan-percakapan itu.
Keesokan harinya rumah itu menjadi lebih sibuk lagi. Mbok Rondo nyaris tidak dapat beristirahat menemui tamu. Semula kukira rumah besar ini akan mengadakan hajatan.
Simbok Dowo menepati janjinya. Aku menemukan sepotong otak-otak di dekat kepalaku ketika bangun tidur. Ia juga melepaskan tali rami yang mengikat leherku, dengan mewanti-wanti bahwa aku tidak boleh jauh-jauh dari pendaringan.
Mbok Rondo adalah seorang perempuan parubaya, kutaksir usianya menjelang lima puluh, dengan tubuh sintal dan kulit bening, roman wajahnya memancarkan wibawah dan kecantikan yang menundukkan pandangan. Selama hidupku, aku belum pernah melihat sang ratu, namun jika saja ada ratu di daerah ini maka Mbok Rindo-lah orangnya.
Mbok Rondo menerima tamu-tamunya di balai-balai. Dari pakaian dan cara mereka berbicara aku menduga orang-orang itu adalah para petinggi dari kampung-kampung sekitar. Macam-macam hal mereka omongkan, mulai dari pengerukan kali, pembebasan pajak tanah hingga pengerasan jalan pedati, hal-hal yang semestinya mereka sampaikan pada Kanjeng Rangga. Lalu masing-masing mereka, sebelum pulang, mengikrarkan kesetiaan pada Mbok Rondo.
Menjelang petang, datang serombongan lelaki berkuda yang membawa persenjataan lengkap. Pimpinan rombongan itu diterima secara langsung oleh Mbok Rondo di bilik pribadinya. Mereka tampak begitu akrab, seperti sepasang kekasih. Sayang sekali aku tidak dapat mengikuti mereka masuk ke dalam bilik.
Setelah sekian dengusan, lenguhan dan kriut amben, akhirnya mereka mulai bercakap-cakap.
"Benarkah dinda sudah menerima pusaka itu?"
"Benar, Kanda. Akhirnya setelah berbilang tahun menunggu."
"Apakah Kanjeng Sunan sendiri yang memberikannya secara langsung?"
"Tidak secara langsung, tapi beliau memberikannya."
"Bagus, dinda. Pusaka itu setara dengan wahyu pulung, restu dari langit untuk adinda. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Hanya dengan itu langkah kita menjadi absah di hadapan langit dan bumi."
"Aku simpan di bawah bantalku, kanda. Siapapun yang mencoba mengambilnya selagi aku tidur harus menggorok leherku lebih dulu. Jadi kapan kanda akan mulai bergerak?"
" Besok malam. Dengan pasukan yang kubawa, juga pengawal adinda, ditambah para perwira yang akan bergabung dengan kita di perjalanan, setidaknya kita bisa mengumpulkan dua ratus perwira, lebih dari cukup untuk melakukan pengepungan dan penakhlukan."
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk, lalu suara Simbok Dowo.
"Ampun, Nyai. Ada pengawal minta menghadap."
"Selarut ini?"
" Penting sekali, Nyai."
Mereka bergegas menuju balai-balai.
"Tadi sore ada warga menemukan pakaian ini terkubur di dekat blumbung lelenya, karena merasa curiga ia melaporkannya pada hamba."
"Jadi, hanya untuk gombal ini kau mengganggu istirahatku?"
"Ampun, nyai. Ini bukan model pakaian yang biasa dikenakan orang di sekitar sini, jadi saya berpikir mungkin ini milik mata-mata."
"Secepat itu mereka mengendus gerakan kita?"
"Kukira tidak, Dinda. Jika dilihat dari potongannya, ini seperti pakaian cantrik."
"Mengapa seorang cantrik mengubur pakaiannya?"
"Mengubur pakaian adalah kebiasaan grombolan maling cluring saat malih raga."
"Tidak mungkin. Kanjeng Sunan sudah menakhlukkan mereka bertahun-tahun lalu."
"Cantrik kanjeng sunan. Malih raga. Apa kalian melihat binatang mencurigakan masuk rumah ini?"
"Ampun, Nyai kemarin sore hamba membawa masuk seekor kucing untuk menjaga pendaringan."
"Kau mengikatnya kan, mbok?"
"Tadinya saya ikat tapi sudah saya lepaskan."
"Dinda, pusakamu!"
"Siagakan pengawal. Kepung rumah ini!"
Terdengar langkah-langkah kaki bergegas mendekat. Sayang sekali mereka terlambat. Saat itu aku sudah berada di atas atap, berdiri telanjang sambil menggenggam pusaka Kanjeng Guru, bersiap untuk lari, menyongsong hujan anak panah, lontaran tombak dan sumpah serapah.