Disukai
2
Dilihat
2,921
Maafkan Saya, Yu Nah
Religi

“Haus, Tris?” tanya Mahmud kepada Sutris. “Kalau haus ya minum…”

“Sudah tahu, nanya!!” jawabnya, disambut gelak tawa Kemat juga beberapa teman yang lain. Kami yang baru saja menyeleseikan jam olahraga basah kuyup oleh keringat. Napas yang masih memburu membawa rasa haus luar biasa pada tenggorokan kami. Ingin rasanya berlari ke warungnya Yu Nah. Tetapi warung sekolah yang sederhana milik Yu Nah tampak kosong. Kata teman-teman tadi, janda beranak tiga tersebut absen berjualan karena menunggui anaknya di rumah sakit. Entah, anak Yu Nah sakit apa.

Aku dan teman-teman memandang warung Yu Nah dengan gurat sesal, mengapa perempuan berumur itu tidak berjualan sementara tenggorokan kami kering. Kuperhatikan wajah-wajah Joni, Kemat, Sutris, Mahmud, dan Pa’at. Mereka memasang ekspresi wajah serupa. Kami kehausan. Rasa haus kami akhirnya terpaksa diusir jauh-jauh dengan air kran di toilet sekolah. Sementara rasa pahit itu krasan di lidah dan mulut kami. Rasa pahit tersebut terus mengikuti meski kami telah masuk ke kelas mengikuti jam pelajaran. Rasa pahit itu pula yang menyita perhatianku sehingga hanya sepotong dua potong penjelasan Pak Guru di depan kelas masuk ke dalam otakku.

Tiba-tiba sebuah ide melintas cepat di benakku yang sedang galau karena rasa pahit di lidah dan mulut. Bagaimana jika aku berjualan jajanan di sekolah? Toh hanya ada warung Yu Nah seorang yang berjualan di SDN Pajaran I. Aku juga punya tabungan untuk modal. Ibu selalu mengajariku untuk menabung di celengan sejak taman kanak-kanak.

Lalu, aku harus berjualan apa ya? Kalau harus jual oteote, rondo royal, atau pohung goreng, sebagaimana Yu Nah, bisa-bisa aku kerepotan sendiri membawanya. Belum lagi, kalau juga berjualan minuman seperti es teh, ataupun es strup. Aku membayangkan betapa repotnya nanti.

“Nadiem!!! Kalau tidak memperhatikan pelajaran di luar saja!!” bentak Pak Guru di depan kelas. Aku menoleh ke kiri ke kanan. Sutris tertawa cekikikan sembari menutup mulutnya. Aku belum sadar apa yang sedang terjadi. Mataku memandang Kemat di sebelahku, mencari tahu. “Malah tengak-tengok, tolong perhatikan ke depan!!!” bentak Pak Guru lagi.

Aku menunduk. “Maaf, Pak,” bibirku membuka.

“Jadi ketua kelas bukannya bisa dicontoh teman-temannya malah nglamun sendiri. Nglamun apa kamu?” bentak Pak Guru lagi sembari mendekatiku. Aduh, Pak Guru yang satu ini biasanya suka memberikan hadiah jeweran pada murid yang nakal. Aku menunduk lebih dalam.

“Mikir Susanti, ya?” nada suara Pak Guru terdengar turun. Kalimat terakhir Pak Guru disambut pecahnya tawa teman-teman sekelas. Tentu saja, meninggalkan aku dan Susanti. Wajahku langsung merah padam menahan malu. Tundukkan kepalaku semakin lebih dan lebih. Ekor mataku coba melompat ke bangku Susanti, ia juga tampak menunduk dengan pipi memerah jambu.

Duh, aku merutuk dalam hati. Aku merutuk keasyikanku memikirkan usaha jualanku. Aku juga merutuk Pak Guru yang menghubungkan kesalahanku dengan Susanti.

“Perhatikan!! Sekarang, kita kembali ke pelajaran,” suara terakhir Pak Guru terdengar bagai sejuknya air pegunungan Wonosalam yang menyelamatkan diriku dari rasa malu pada Susanti. Aku bernafas lega.

Masih banyak waktu untuk memikirkan usaha jualanku.

***

Lalu, kakiku mengayuh pedal sepeda kuat-kuat. Dua buah tas plastik besar berisi rencengan makanan ringan menggayut di stang sepedaku. Tidak berat. Namun karena kecepatan sepedaku dan jalanan Pajaran yang berbatu membuat dua buah tas plastik besar belanjaan usaha jualanku itu bergoyang ke sana kemari. Ini hari ketujuh aku resmi menjual jajanan di sekolah.

Aku kulak jajanan ini di toko Haji Syamsul yang merupakan toserba terbesar di Pajaran. Teman-teman banyak yang membeli jajanan jualanku. Tidak hanya teman sekelasku. Bahkan, kakak-kakak kelas lima dan enam juga membeli jajanan jualanku. Kata mereka, jajanan jualanku berbeda dengan jajanan yang dijual Yu Nah di warungnya. Banyak juga yang bilang, dari pada berjalan ke warungnya Yu Nah yang berada di sudut sekolah, lebih enak membeli jajanan jualanku karena cukup di dalam kelas saja. Satu minggu berlalu sudah, aku resmi menjadi penjual jajanan di sekolah, dan modalku telah balik seratus persen.

Dari kejauhan aku mendengar suara adzan tanda shalat ashar akan segera didirikan. Aku semakin kuat mengayuh pedal sepedaku. Aku tidak ingin terlambat ngaji di TPQ. Aku khawatir Bapak dan Ibu bisa naik darah jika aku sampai terlambat. Kedisiplinan itu akan sangat menentukan nasib kita di masa depan, begitu Bapak dan Ibu seringkali mengatakan padaku.

Aku segera melemparkan sepedaku di halaman samping rumah. Setengah berlari, tubuhku melenting cepat menuju pintu kamar mandi. Tak kuperhatikan Bapak yang sedang memeriksa dua tas plastik besar yang masih menjadi satu dengan stang sepedaku. Dengan rambut basah dan air yang masih menetes di sana-sini, aku bergerak cepat ke kamar untuk berganti pakaian. Lagi-lagi, aku tak tahu kalau Bapak mengikutiku sambil membawa dua tas plastik besar belanjaanku di toko Haji Syamsul.

Bapak sudah berdiri di depan pintu ketika aku keluar kamar. Wajahnya tenang seperti tidak terjadi apaapa. Langkah kakiku yang sedari tadi sepesat kilat mulai beranjak turun. Aku mendekati beliau. Mencium tangannya dan berpamitan. Bapak menjawab salamku masih dengan tenang. Hanya ketika aku mendekati sepedaku yang tadi kulempar begitu saja, beliau berkata dengan nada yang berbeda; “Nadiem, sehabis isya’ nanti Bapak ingin bicara soal daganganmu,”

Hanya satu kalimat. Tetapi cukup untuk membuatku gelisah. Apakah Bapak tidak berkenan dengan acara jualanku?

Lewat isya’, jalan-jalan di Pajaran sudah menyepi. Suara-suara binatang malam mengisi kesenyapan. Setelah memasukkan buku-buku pelajaran untuk esok hari, aku menuju ruang tengah. Bapak tampaknya sudah menantiku. Ibu tidak terlihat. Mungkin beliau sedang berada di dapur. Atau, mungkin beliau sedang di kamar. Dengan seakan tanpa membuat satu suara pun yang bisa memecahkan kesenyapan suasana, aku duduk.

“Sudah selesei belajarnya, Nadiem?” Bapak mengawali. Aku mengangguk perlahan. “Daganganmu laris?” aku mengangguk cepat. Bapak tersenyum. “Sampeyan itu memang persis Ibumu, tidak bisa diam ketika membaca peluang,” disamakan dengan Ibu, aku menunduk malu. Tampaknya ketakutanku akan ketidakberkenannya beliau dengan aksi jualanku di sekolah tidak terjadi. “Ibumu itu juga bergitu, tidak bisa melewatkan peluang apa saja. Katanya, kesempatan itu belum tentu datang lagi,”

Bapak kemudian bercerita panjang lebar tentang Ibu. Tentang kecerdasannya membaca peluang. Tentang keenggannya untuk duduk diam. Tentang keuletannya untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang tengah membelit. Tentang keikhlasannya berbagi dengan kerabat, tetangga, teman sejawat, bahkan dengan orang yang baru dikenalnya selama beberapa hari.

“Lalu, untuk belanjanya, sampeyan habis berapa? Dan uangnya dari mana?”

“Hampir lima puluh ribuan. Dari tabungan, Pak,”

Sampeyan tidak meminta uang ke Ibumu, kan?”

Mboten,”

“Bagus... Bagus...” Aku menghela nafas penuh kelegaan. “Hanya saja, besok sampeyan jangan berjualan lagi di sekolah,”

Kalimat terakhir Bapak seakan mengguncang keras tanah yang sekarang ku pijak. Aku limbung. Beberapa waktu lalu Bapak memujiku. Tapi kemudian membalikan keadaan. Ketakutanku akan ketidakberkenannya Bapak menemukan kebenarannya. Aku hampir bertanya; “Mengapa?”

Bapak masih dengan ketenangannya, menjawab; “Yu Nah habis shubuh tadi ke rumah. Yu Nah datang dengan menangis. Yu Nah menangis sambil memeluk kaki Ibumu. Yu Nah memohon agar Ibumu menyuruhmu untuk tidak lagi membawa dagangan ke sekolah karena larisnya daganganmu telah mengurang rejekinya. Rejeki itu memang salah satu rahasia yang dipegang langsung oleh Gusti Allah selain jodoh dan kematian. Ketika ada dua pedagang berjualan dengan dagangan dan tempat yang sama, dengan sendirinya rejeki dari jualan mereka akan dibagi dua,”

“Tapi, Pak, jualanku tidak sama persis dengan jualan Yu Nah,”

“Benar, memang berbeda. Tapi, pembelinya samakan? Anak-anak SDN Pajaran I,” Bapak membalas sanggahanku. “Sampeyan pasti juga sudah tahu kalau suami Yu Nah meninggal empat tahun yang lalu. Sekarang Yu Nah harus bekerja sendiri untuk membesarkan tiga anak-anaknya. Apa sampeyan tega bersaing jualan dengan seorang janda yang menghidupi anak-anak yatim?” suara Ibu terdengar di belakangku. Aku tidak tahu sudah berapa lama, Ibu berdiri di belakangku.

Aku segera menoleh ke arahnya. Tangan halusnya memegang pipiku penuh kasih.

“Yu Nah itu juga ibu seperti Ibumu ini, Nadiem? Demi anak-anak, kami rela berbuat apa saja, bahkan menjatuhkan kehormatan dengan memohon di kaki orang lain seperti yang dilakukan Yu Nah shubuh tadi,” air mataku hampir jatuh mendengar kata-kata Ibu tentang Yu Nah. Aku tidak menyadari bahwa apa yang kulakukan dengan aksi jualanku di sekolah telah mengurangi rejeki seorang janda dengan tiga anak seperti Yu Nah.

Penyesalan sebesar banjir brantas membanjiri hatiku. Bagaimana aku bisa tanpa sadar telah membuat orang yang telah susah justru semakin susah? “Apa saya melakukan sebuah kesalahan yang besar?”

Mereka berdua menggeleng. “Tidak ada yang benar dan salah di sini,” suara Bapak terdengar penuh wibawa,

“Yang ada hanyalah bener belum tentu pener, tetapi yang pener sudah pasti bener. Semua orang yang berjualan itu bener, asalkan yang dijual itu barang yang halal dan tidak melanggar aturan. Tetapi belum tentu pener, jika tempat dan waktunya tidak tepat. Misalnya, penjual sate. Dia penjual yang bener ketika satenya menggunakan daging yang halal, bersih, dan jujur dalam mengambil untung. Tetapi, dia menjadi penjual yang tidak pener ketika menjual satenya di dalam bangunan masjid, gereja, atau di tengah-tengah medan latihan tentara,” aku tersenyum.

Ibu beranjak duduk di sebelahku, dipeluknya tubuh kecilku dari samping dengan erat,

Sampeyan juga penjual yang bener. Karena menjual barang-barang yang halal, dan insya’allah juga jujur dalam mengambil keuntungan. Iya kan?” lanjut Bapak, aku mengangguk. “Tapi tidak pener, karena sampeyan itu seorang murid yang berjualan di dalam kelas dan bersaing dengan seorang janda yang menafkahi anak-anaknya,” pungkas Bapak.

Ibu memelukku semakin erat. Dikecupnya kepalaku dengan penuh kasih sayang. Besok aku tidak akan berjualan. Jajanan yang sudah telanjur kubeli sore tadi akan kuberikan pada Yu Nah. Sekalian, aku meminta maaf kepadanya.

--- ooOoo ---

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Rekomendasi