Disukai
0
Dilihat
207
M2
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dari semua anak yang pernah ditemuinya selama membimbing skripsi, hanya ada satu anak yang selalu terlihat antusias. Melissa menyukai mahasiswi itu. Mahasiswi itu menyiapkan semua hal dengan sangat teliti. Melissa berasumsi jika mahasiswi itu tidak menyukai ketidakpastian. Jadi ia benar-benar memastikan semua hal sebelum mengambil judul penelitian itu. Pertama kali bimbingan, mahasiswi itu telah membawa 10 judul jurnal yang telah ia baca. Dia adalah Melinda mahasiswi angkatan 2019. Bagi Melissa, Melinda adalah anak yang aktif. Di kelas maupun saat di lapangan. Pernah suatu hari di kelas Melissa menantang seluruh siswanya untuk mengulang apa yang telah ia paparkan di kelas. Melinda mampu melakukannya, ia menjelaskan materi yang diajarkan Melissa tanpa melihat catatan. Saat para dosen melaksanakan pengabdian masyarakat, Melinda menjadi pembawa acaranya. Ia berhasil menghidupkan suasana di sekolah saat itu. Di hari terakhir acara pengabdian masyarakat sekolah menengah atas banyak siswa yang memberikan coklat kepadanya. Bisa dikatakan Melinda sukses memberikan kesan selama satu semester awal ia berkuliah sebelum akhirnya Pandemi Covid-19 menyerang. Tidak hanya Melissa, semua dosen memiliki kesan yang dalam kepadanya. Begitu juga keputusan akhir dalam hidupnya yang telah ia buat.

 “Aku ingin mengangkat judul hal-hal yang membuat

seseorang tidak melaporkan kasus kekerasan seksual. Ada satu jurnal yang

membahas jurnal itu mengatakan bahwa keluarga menjadi faktor pendukung.

Keluarga tidak ingin melanjutkannya ke ranah hukum karena semua bisa

diselesaikan secara kekeluargaan. Terlebih jika pelakunya kerabat.”

“Menarik.” jawab Melissa.

“Jadi bukan karena proses yang menyudutkan korban? Aku

membaca salah satu artikel  ketika seseorang melaporkan kasus kekerasan

seksual aparat malah bertanya tentang baju yang dikenakan atau kenapa dia

keluar di malam hari,” tanya Winda (salah satu mahasiswi bimbingan Melissa)

“Ya mungkin itu juga termasuk. Tapi respondenku mengatakan

itu karena keluarga,”

“Tunggu. Responden? Kau sudah mencari responden? Bukankah

kita sedang bimbingan proposal penelitian dan kita sedang membahas judul untuk

proposal bukan skripsi,” tanya Melissa bingung.

“Ya. jika tidak, saya tidak akan mengambil judul ini.

Maksud saya dimana saya akan menemukan seorang korban yang tidak melaporkan

kasusnya. Itu terlalu berbahaya dan mengancam penelitian saya. Ya mungkin ada

tapi biasanya orang tidak akan menceritakan pengalamannya apalagi kepada orang

asing. Saya tidak ingin membuang waktu saya dengan berkenalan dari awal.”

“Lalu dimana kau bertemu dengan responden ini?”

“Dia teman saya.”

“Dia mengalami kekerasan seksual dari saudara kakeknya yang

juga satu desa. Kalian tau bagaimana pelaku itu melakukannya? Dia mengajaknya

ke kandang ayam miliknya. Di sana ia melancarkan aksinya. Sangat bejat."

“Ew, menjijikkan. Kandang ayam bukankah bau,” ucap Raisha

(mahasiswi bimbingan Melissa juga)

“Benar.” tambah Melissa.

“Ya memang bau. Pelaku jika sudah nafsu di tempat tai pun

akan melakukannya juga,” ucap Melinda.

“Seperti manusia yang tidak punya otak,” ucap Winda

“Winda jika dia memiliki otak dia tidak akan memperkosa

gadis berumur 14 tahun.”

“Astaga 14 tahun?” Melissa terkejut

“Ya 14 tahun, dia lebih muda dari saya. Oh ya Bu untuk

metodenya saya akan menggunakan kualitatif dan subjek saya adalah remaja dengan

pengalaman kekerasan seksual.”

“Baiklah silahkan dibaca lebih dalam metodologi

kualitatifnya. Ada tambahan lagi?”

Ketiga mahasiswa itu menggeleng terlihat dari layar laptop.

Melissa mengakhiri bimbingannya. Ia menekan tombol x pada layar laptopnya.

Pandemi Covid-19 telah berakhir. Tapi Melissa lebih nyaman melakukan bimbingan

melalui daring. Bimbingan diadakan kembali pada Minggu selanjutnya. Winda dan

Raisha tidak ingin kalah juga, mereka telah mencari calon responden juga untuk

menjawab kuesioner mereka. Winda dan Raisha juga memaparkan proposal mereka

dengan bagus. Mereka telah menemukan alasan kenapa penelitian itu diangkat dan

menuangkannya dalam latar belakang sama dengan Melinda. Tapi suasananya akan

berbeda ketika Melinda yang memaparkan. Winda dan Raisha takjub termasuk juga

Melissa. Melinda selalu membawa hasil penelitian baru. Ia akan menyatakan

hasil-hasil penelitian itu dan mengundang simpati. Menurut Melissa, latar

belakang Melinda alurnya seperti novel namun tetap pada kaidah ilmiah. Untuk

seorang yang berkuliah sarjana tulisan Melinda sudah lebih dari cukup.

“Ini pertama kalinya saya memiliki anak bimbingan yang

sangat semangat. Sepertinya Januari tahun depan kalian sudah bisa lulus.”

“Ibu saya memang memiliki cita-cita lulus 3.5 tahun,” ucap

Melinda dengan penuh semangat.

“Saya juga bu. Tapi karena memang tidak sanggup bayar

kuliah lagi,” kata Winda.

“Saya sama dengan Winda. Alasan saya ingin lulus 3.5 tahun

karena uang beasiswa saya untuk semester delapan akan saya gunakan untuk

merantau ke luar pulau,” ucap Melinda.

“Oh, bisa begitu?”

“Bisa bu, Yayasan memberikan saya beasiswa setiap enam

bulan sekali. Januari awal dan awal Juli. Jadi saat Januari awal saya masih

terhitung sebagai mahasiswa karena belum wisuda, sementara kebijakan dari

Kampus mengatakan mahasiswa yang menunggu untuk wisuda hanya membayar 500 ribu.”

“Oh iya benar juga. Oke kalau begitu semangat untuk

mengejar 3.5 tahun nanti saya bantu. ”

“Kamu ingin merantau kemana Melinda?” tanya Raisha

“Hm, entahlah yang jelas keluar dari pulau ini. Jika

memungkinkan sejauh mungkin. Bisa jadi Hokkaido?"

“Ikut,” ucap Melissa, Raisha dan Winda berbarengan.

Ucapan yang berbarengan itu membuat mereka tertawa. Mereka

tetap melanjutkan obrolannya. Obrolan berlanjut pada Winda dan Raisha

mengeluhkan tugas yang banyak selama kuliah online. Bahkan Raisha bercerita ia

sampai lupa bernafas. Tentu saja itu hanya hiperbola yang dikatakan untuk

mengekspresikan betapa kacaunya jadwal perkuliahan mereka. Sementara Melinda

hanya tertawa mendengar keluhan mereka.

Ketertarikan Melissa terhadap penelitian Melinda membuat

mereka menjadi dekat. Belum lagi saat itu Melinda mengikuti acara

konseling  peer group yang dilakukan oleh fakultasnya. Ia melakukan

supervisi langsung kepada Melinda dan membuat mereka semakin akrab. Melinda

mulai menceritakan banyak hal tentang teman-teman kampusnya atau bertanya

mengenai pelajaran yang ia tidak mengerti. Melinda tipe anak yang sangat

bersemangat. Ketika selesai melakukan konseling peer grup

ia akan menghubungi Melissa. Ia akan bertanya banyak hal kepadanya.

Suatu hari Melinda pernah menghubungi Melissa. Suaranya

yang serak terdengar jelas. Mendengar suara tersebut membuat Melissa khawatir.

Ia berusaha tetap tenang untuk mendengarkan Melinda bercerita.

“Ada apa Melinda? Apa yang terjadi?”

“Ibu responden saya mengundurkan diri. Saya tidak tahu

letak kesalahan saya dimana. Tiba-tiba saja responden saya mengundurkan diri.”

Melissa juga ikut terkejut. Namun ia berusaha tetap tenang.

Sejak awal tema penelitian Melinda mengangkat isu yang sensitif. Tidak menutup

kemungkinan responden akan mengundurkan diri. Sebab ketika mencari data

penelitian yang digali adalah trauma. Pengalaman kekerasan seksual bukan hal

yang bisa korban ajak berdamai selama satu atau dua hari, ada yang sampai

bertahun-tahun. Bahkan ada yang dibawa sampai mati. Ketika seseorang mengalami

kekerasan seksual mereka menganggap hidup mereka telah berakhir.

“Melinda, kamu baru melakukan proposal penelitian. Masih

ada waktu sebelum sidang proposal pertengahan Juni nanti. Jika ingin lulus 3.5

tahun, saya sarankan kamu mengambil tema yang sama tapi respondennya

menggunakan korban yang telah melaporkan kasusnya. Itu akan memudahkan mencari

responden. Kamu bisa mencari masalah-masalah apa saja yang mereka alami terkait

dalam proses melaporkan kasusnya.”

Melinda tidak menjawab apapun. Tapi dalam suaranya yang

serak ada kegigihan yang ia pegang “Saya akan berusaha dulu bu, berikan saya

waktu dua minggu baru saya akan mengikuti saran ibu.”

“Baiklah jika itu maumu."

Melissa menutup telponnya. Kegigihan dalam suara Melinda

terdengar sangat kuat. Melissa memahami jika terkadang memang ada mahasiswa yang

sangat ingin melakukan penelitian yang sensitif sekaligus jarang diangkat untuk

skripsi. Melissa mendeskripsikan perasaan itu semacam ingin melakukan sesuatu

hal sekaligus ingin menjadi yang terbaik dalam melakukan hal itu. Tidak apa

memiliki ambisi seperti itu. Namun saat itu harusnya Melissa menyadari jika

ambisi Melinda akan menghabisinya. 

Seandainya dia bisa menghentikannya saat itu. Seandainya

dia mengatakan bahwa penelitian dengan tema sensitif seperti itu lebih baik

dilakukan oleh seorang magister dan Melinda hanya sarjana. Seharusnya sebagai

dosen pembimbing ia membuat Melinda menyadari jika tujuan skripsi itu untuk

sarjana adalah mengaplikasikan teori yang di kelas pada kasus nyata. Banyak

pengandaian yang ia pikirkan saat melihat foto Melinda dengannya. Foto itu

diambil saat melakukan pengabdian masyarakat di sekolah. Senyuman Melinda saat

itu masih cerah dan penuh semangat. Foto itu dicetak setelah ia melayat dari

pemakaman Melinda. Melissa meletakkannya pada kubikel tempatnya di ruangan dosen.

Saat para dosen tidak sengaja lewat dan melihat foto tersebut mereka akan

menghela nafas.

“Melinda si anak ceria… Jangan terlalu menyalahkan diri

Mel, emosi dan keputusannya bukan kendali kita. Ayo ke atas, yudisium akan

segera dimulai.”

Itu memang benar tapi jika saja ia menyadari tanda-tanda

itu. Jika saja ia percaya dengan intuisinya. Melinda akan di sini menyandang

gelar Sarjana Psikologi bersama Winda dan Raisha. Ia merasa gagal menjadi dosen

pembimbing dan seorang Psikolog. Harusnya saat itu itu ia menanyai bagaimana

cara Melinda meyakinkan respondennya kembali namun ia malah ikut senang dengan

kabar Melinda.

“Bu Melissa.”

Melinda berteriak dari arah parkiran. Suara dengan intonasi

yang nyaring menghentikan langkahnya. Melinda berlari mendekatinya. Rambutnya

masih berhamburan keluar dari kuncirannya. Ia masih mengenakan jaket hoodie

warna krem. Melissa menatapnya sambil tersenyum. Baru dua minggu yang lalu ia

mendengar suaranya serak kini suaranya telah kembali.

“Responden saya kembali. Dia bersedia diwawancara.”

Melissa terkejut sekaligus merasa lega. Ia tidak dapat

memungkiri bahwa penelitian itu menarik untuk diangkat. Sempat Melissa

memikirkan untuk bertanya bagaimana cara Melinda meyakinkannya, namun saat itu

ada hal yang lebih penting. Rasa aman responden dan kemungkinan trauma yang

muncul setelah wawancara harus ditanggulangi. Melissa menduga kemungkinan

trauma responden muncul karena dia harus mengingat kembali peristiwa itu.

“Syukur jika begitu. Melinda katakan kepadanya saya akan

memberikan konseling gratis untuknya”

“Benarkah? ibu tidak keberatan?”

“Tidak apa, bila perlu saya akan melakukan terapi untuknya.”

Melinda memeluk Melissa kegirangan. Ia bahkan

berloncat-loncat. Melissa merasakan tembok dosen dan mahasiswi bimbingan runtuh

saat itu. Ia juga tidak keberatan karena kedekatan mereka akhir-akhir ini

membuat Melissa merasa bahwa Melinda adalah rekan tim sekaligus teman bukan

dosen pembimbing dan mahasiswi.

“Terima kasih bu, saya kemarin berpikir untuk menanggungnya

pergi ke tempat terapi. Tapi tempat konseling atau terapi terlalu mahal.

Sementara responden saya tidak ingin masuk komunitas manapun untuk mendapatkan

akses konseling atau terapi gratis.”

“Tidak apa-apa biar saya yang memberikan terapi gratis.

Katakan seperti itu kepadanya.”

“Baik ibu.”

Melinda mengeluarkan catatan kecil dari tasnya. Ia menulis

perkataan Melissa untuk menghubungi responden bahwa ia akan mendapatkan terapi

gratis.

“Apa itu?” tanya Melissa

“Ini list to do. Saya suka mencatat hal yang harus dilakukan.

Saya membaginya dalam dua kolom. Satu yang harus dikerjakan sekarang sementara

satunya lagi yang harus konsisten dikerjakan. Dengan begini memudahkan saya

mengingat hal-hal yang harus saya lakukan”

“Kau benar-benar mengaplikasikan pelajaran di kelas ke

dalam hidupmu”

“Tentu saja harus, saya harus sehat mental dan raga dengan

menyeimbangkan kegiatan saya karena suatu hari nanti saya akan menjadi

Psikolog.”

Melinda tersenyum. Ia berlari ke arah motornya yang

terparkir Saat itu Melissa memperhatikan Melinda. Setelah ia menaruh jaketnya

di dalam bagasi motor, ia pergi kerumunan mahasiswa 2018. Ia terlihat akrab

dengan mereka padahal mereka lebih tua satu tahun. Melinda memberikan bunga

kepada mahasiswi 2018 yang memakai selempang sarjana. Melissa tau mahasiswi

itu, ia baru lulus ujian skripsi. Kebetulan Melissa adalah pengujinya. Melissa

kembali ke ruangan dosen sambil mengenang masa-masanya dulu saat lulus sarjana

dan magister profesi.

Dua minggu lebih Melinda menghilang. Ia tidak ikut

bimbingan yang rutin diadakan setiap dua minggu sekali. Ia juga tidak ikut

bergabung dalam grup diskusi. Biasanya Melinda selalu ikut karena ada saja hal

yang ditanyakan. Jika tidak ada yang ditanyakan maka dia akan memberikan

masukan kepada penelitian Winda dan Raisha. Setelah itu Melinda akan membahas

hal-hal yang lucu. Grup diskusi tersebut akan hidup. Selama lima tahun Melissa

mengajar baru kali ini ia melihat grup proposal yang aktif bahkan chatnya bisa

sampai 100 lebih. Menghilangnya Melinda tiba-tiba itu membuat Melissa khawatir.

Ketika bimbingan online selanjutnya Melissa bertanya kepada Winda dan Raisha

Winda dan Raisha tentang Melinda yang tiba-tiba menghilang. Namun mereka berdua

juga tidak mengetahuinya.

Tepat setelah tiga minggu Melinda menghilang, Melissa

memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Melissa mengirimkannya pesan dan

menanyakan kabarnya. Saat itu Melinda menjawab dia tidak dalam kondisi yang

baik. Melinda mengatakan bahwa ia sakit maag. Ia tidak bisa bangun ataupun

makan. Setiap ia memasukkan sesuatu ke mulutnya ia selalu berakhir dengan

muntah. Ia juga sempat dilarikan ke UGD dan menginap beberapa hari. Setelah itu

ia beristirahat di rumah. Tapi sakitnya tidak kunjung sembuh. Ia tetap muntah.

Walaupun muntahnya tidak sesering sebelumnya tetapi ia tetap muntah dan

perutnya terasa sakit. Akhirnya Melinda memutuskan pergi ke akupuntur. Melinda

mengatakan ia sudah jauh lebih baik. Melinda bahkan meminta jadwal bimbingan

untuk minggu depan. Melissa ragu, ia berpikir lebih baik jika Melinda

beristirahat saja, tapi Melinda tidak mau. Ia mengatakan ingin ujian proposal

bersama teman-temannya. Jika ia istirahat lagi, ia tidak akan bisa berbagi

kebahagiaan setelah ujian proposal bersama teman-temannya. Melissa tidak

sanggup menolak. Ia mengiyakan permintaan Melinda. Minggu depannya mereka

melakukan bimbingan.

“Ini sudah bagus Melinda, kau bisa ikut ujian bersama Winda

dan Raisha minggu depan.”

“Terima kasih bu.”

Melinda terlihat tidak bersemangat. Ia menundukkan kepalanya

dan beberapa kali meminum air. Keresahan itu terlihat jelas pada layar laptop

Melissa.

“Ada apa Melinda?”

“Ibu, saya cemas. Saya merasa proposal saya dibuat terlalu

buru-buru. Saya takut bu. Saya merasa saya tidak maksimal dalam pengerjaannya.

Tapi disatu sisi saya tidak mau mengundur waktu ujian proposal saya.”

Ujian proposal penelitian jurusan Melinda dilakukan secara

serentak satu angkatan. Jika ia tidak dapat mengikuti ujian maka harus menunggu

sekitar dua sampai tiga bulan lagi.

“Melinda cemas adalah hal yang wajar karena akan sidang.

Tapi ingat ini baru proposal. Penelitian yang baik adalah penelitian yang

selesai. Kamu sudah menyelesaikan proposal ini, kekurangan-kekurangannya bisa

kamu benahi saat pengerjaan skripsi. Tidak apa-apa. Secara keseluruhan

proposalmu sudah cukup baik”

“Benarkah? Tapi tetap saja saya merasa cemas dan takut”

“Melinda jika kamu masih merasa cemas dan takut, coba

lakukan butterfly hug. Itu akan membantu. Ingat juga untuk mengatakan

afirmasi positif kepada diri sendiri. Sadari nafasmu.”

Melinda mengangguk. Ketika sidang proposal dari ketiga

mahasiswa hanya Melinda yang terlihat tenang saat memaparkan proposalnya. Ujian

dilakukan secara luring. Melinda memaparkan materi selama 15 menit sesuai

dengan ketentuan ujian proposal.  Berbeda dengan Winda dan Raisha yang

memaparkan proposal mereka lebih dari 20 menit. Pemaparan Melinda juga jelas

dan tidak terkesan buru-buru. Melinda benar-benar menampilkan yang terbaik.

Mereka berempat kumpul di depan ruang ujian dan melakukan

foto bersama. Ada Raisha yang terlihat kecewa karena ia merasa sangat buruk

saat melakukan pemaparan proposal. Ia mengatakan pandemi covid-19 membuatnya

lupa cara berbicara di depan umum. Melissa mengatakan tidak apa karena masih

bisa diperbaiki saat sidang skripsi. Ia menenangkan ketiga muridnya. Namun

Melinda sudah terlihat tenang dari awal.

“Melinda tadi sudah bagus,” kata Melissa.

“Benarkah,” Melinda tersenyum dan mencakupkan kedua

tangannya di depan dadanya, “saya berlatih seharian kemarin. Setiap rasa cemas

muncul saya melakukan hal yang ibu perintahkan.”

“Bagus jika begitu.”

“Ibu membagi tips hanya kepada Melinda, apakah ini yang

dirasakan bawang putih selama ini,” ucap Winda.

Winda dan Raisha berpelukan sambil berpura-pura menangis.

“Bukan begitu kemarin kebetulan Melinda bimbingan dan dia

mengatakan sedang cemas. Kalian juga jika cemas tentang skripsi jangan segan

menghubungi saya.”

“Baik ibu," jawab Winda dan Raisha.

Melissa dan Melinda bertemu lagi dua minggu setelahnya.

Ketika ada webinar yang diadakan oleh fakultasnya. Webinar itu membahas tentang

kode etik penelitian. Acara itu dilakukan online, namun beberapa perwakilan

mahasiswa dan dosen diminta untuk ke kampus langsung. Melissa merekomendasikan

Melinda agar ia dapat ikut langsung di kampus.

Tempat duduk pada ruangan itu berbentuk U. Pembicara duduk

di tengah. Di hadapannya terdapat kamera yang terhubung langsung dengan zoom.

Ada tiga mahasiswa yang menjadi relawan untuk menjalankan operator. Mereka

duduk di pojok menggunakan jas almamater. Mereka sangat fokus pada laptop yang

ada di depan mereka. Melissa melihat Melinda yang duduk bersama perwakilan

mahasiswa lainnya. Senyuman Melinda masih sama, ramah dan ceria. Ia melambaikan

tangannya kepada Melissa yang sedang mengobrol pada kolega dosennya. Lambaian

tangan itu memicu Melissa untuk menghampirinya.

“Ibu saya sudah mengirimkan naskah revisi saya.”

Melissa terkejut sambil menepuk pundaknya, “Pelan-pelan

nikmati libur semester genapmu.”

“Saya menikmatinya bersama pacar saya.”

“Kamu punya pacar?”

“Iya, skripsi saya,” Melinda menjawab santai, “saya

bertekad memacari skripsi saya dan menyelesaikannya secepat mungkin. Karena

hubungan kita sangat toxic.”

Toxic?”

“Ya, skripsi saya sangat posesif dengan saya. Dia membuat

saya memikirkannya”

“Melinda, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Cobalah

lebih mindful pada setiap hal yang kau kerjakan dan kau lalui.”

“Ibu tidak usah khawatir saya baik-baik saja.”

Melissa mengangkat kedua jempolnya. Obrolan mereka berakhir

ketika acara sudah dimulai. Melissa duduk bersama dengan para koleganya di

seberang tempat duduk Melinda. Pembicara saat itu mengatakan untuk tema-tema

penelitian yang sifatnya sensitif sebaiknya mengajukan uji etik. Melissa

mengangguk sekaligus melihat Melinda. Penelitian Melinda termasuk isu yang

sensitif jadi Melinda harus mengajukan uji etik. Ia mengirimi Melinda pesan

sebelum melupakan hal yang penting itu. Acara webinar yang singkat itu diakhiri

dengan pernyataan moderator yang menurut Melissa memang mewakili setiap

peneliti.

“Penelitian dilakukan biasanya berasal dari keresahan

pribadi, jadi pastikan saat kalian menggali data tidak terjadi bias pada

hasilnya. Lebih penting lagi tidak menjadi pemicu trauma pada kalian.”

Melissa menyadari kenapa ia begitu tertarik dengan

penelitian Melinda. Saat itu ia terlempar kembali pada kenangannya pada saat

kuliah sarjana psikologi. Ia mengikuti organisasi kampusnya. Saat itu ada rapat

organisasi sampai malam. Tahun 2000an, lampu-lampu jalanan belum seterang

sekarang. Kendaraan juga belum ramai. Angkutan umum sulit ditemukan pada malam

hari. Kakak tingkatnya saat itu yang juga satu organisasi dengannya menawarkan

tumpangan pulang. Jarak indekos kakak tingkat itu lebih dekat dari kampus

daripada Melissa. Jadi saat itu tidak terbesit pikirannya jika ia akan

melakukan hal aneh. Melissa hanya menganggapnya sebagai orang baik yang mau

direpotkan. Lagi pula banyak kakak tingkat yang seperti itu, merasa bertanggung

jawab dengan adik-adik tingkatnya. Setidaknya sebagian kakak tingkat

benar-benar memiliki perasaan itu sisanya hanya mencari kesempatan. Kakak

tingkat itu mengatakan bahwa ia harus mengambil charger handphone di

indekosnya. Jadi Melissa ikut ke indekosnya sebelum diantar pulang.

Saat itu gang indekosnya sangat sepi. Melissa turun dari

motor dan menunggu di luar. Dari luar terlihat bangunan itu memiliki banyak

kamar kos. Bangunannya juga terlihat baru. Kakak tingkat itu masuk ke

indekosnya. Ia sempat memaksa  Melissa untuk masuk tapi Melissa menolak.

Ia lebih memilih menunggu di depan indekosnya. Melissa bermaksud ingin

menikmati suasana sepi yang menenangkan kala itu. Saat berdiri melihat jalan di

ujung gang, tiba-tiba saja Melissa merasakan seseorang memeluknya dari

belakang. Ia meraba lengan Melissa dan pinggangnya. Melissa sangat ketakutan.

Tubuhnya membeku. Tenggorokannya seolah dicekik ia tidak bisa berteriak. Ia

mengetahui jika yang memeluknya saat itu adalah kakak tingkatnya. Ia terus

memeluk Melissa dan hampir memasukkan tangannya ke dalam roknya. Beruntungnya

saat itu suara derit pagar berbunyi. Kakak tingkat itu melepaskan pelukannya.

Seorang perempuan keluar dari bangunan itu. Wajahnya yang anggun dan

memancarkan aura positif. Perempuan itu terlihat familiar, ia menggunakan jaket

almamater kampus Melissa juga. Perempuan itu mengetahui nama Melissa. Ia

menawarkan Melissa tumpangan untuk pulang karena jalannya searah dengannya.

Melissa mengangguk dan langsung naik motornya. Ia melihat wajah kakak tingkat

itu kesal. Melissa dan perempuan itu tidak mengucapkan apapun dan pergi begitu

saja.

“Ternyata Ibu juga pernah mengalami kekerasan seksual,

terus sekarang laki-laki itu jadi Psikolog?” Melinda bertanya serius.

Melissa menggeleng, “Dia bukan dari jurusan psikologi. Saya

ikut organisasi Universitas. Jadi ada beragam orang dari fakultas lain yang

ikut.”

“Ibu tidak melaporkannya?”

‘Tidak. Saya langsung menghilang dari organisasi itu.

Terlebih orang itu katanya pindah kampus. Saat itu kekerasan seksual topiknya

tidak sehangat sekarang.”

“Benar, sekarang saat seseorang mengalami kekerasan seksual

netizen akan ada di belakang ibu”

“Ya. Itu adalah langkah bagus. Tapi bisa jadi bumerang.

Bisa saja seseorang memfitnah orang lain. Kau tau sendiri netizen jika sudah

mengamuk informasi pribadi bahkan sampai kesalahan nenek buyutnya bisa

terbongkar."

“Benar. Itu semacam konsekuensi.”

“Ya, orang lain cenderung menghakimi jadi persepsi awal

sangat memicu reaksi. Benar atau tidak selanjutnya, manusia akan tutup mata.

Kebenaran yang diketahui diakhir akan sedikit mendapatkan dukungan. Seolah-olah

mereka menutup mata karena tidak mau disalahkan”

“Tapi bu, terlepas dari konsekuensi, merasakan jika kita

memiliki seseorang yang mau mendengarkan kita dan berdiri di belakang kita

adalah hal yang berharga”

“Benar,” Melissa mengangkat kedua tangannya seperti

menyembah, "biarkan netizen yang menghukum.”

Melissa dan Melinda tertawa. Mereka duduk pada kubikel

Melissa. Sambil minum kopi, Melissa membaca hasil revisian Melinda. Sementara

Melinda duduk membaca buku. Melissa termasuk cepat dalam memberikan revisi.

Dengan sangat mudah ia akan menemukan kesalahan tulisan kata, penulisan sitasi

dan kata hubung yang diletakkan pada awal kalimat. Tapi Melinda tidak akan

melakukan kesalahan-kesalahan itu.

"Tapi Bu siapa perempuan yang menolong ibu saat itu?"

"Bu Erlina, kita sama-sama kuliah di psikologi tetapi

beda kelas. Dia ada di indekos itu karena menghampiri temannya yang sakit. Jadi

Erlina yang merawatnya"

Melinda mengangguk mulutnya membentuk huruf o. Melissa

tersenyum sambil melihat kembali file Melinda.

“Oke sudah. Untuk pertanyaan wawancaranya kau tidak perlu

menanyakan kronologi terjadinya kekerasan seksual rasanya kita kurang berempati

saat menanyakan itu"

“Baik bu”

“Melinda, menggunakan penelitian kualitatif sebaiknya

responden yang ikut lebih dari satu. Apa yang akan kau lakukan”

“Saya juga sudah memikirkannya bu. Menurut Komnas Perempuan

kekerasan seksual tersebut terdiri dari beberapa jenis, jadi responden saya

tidak harus yang mengalami persetubuhan saja.”

“Baiklah. Oh ya ingat untuk mengajukan uji etik.”

“Siap bu.”

Bulan Agustus merupakan bulan terakhir libur semester. Maka

dari itu banyak mahasiswa skripsi yang akan mengambil data. Sebab saat semester

tujuh tiba mereka tidak akan sempat menyentuh skripsi. Tugas-tugas akan banyak

karena mereka harus membuat laporan lapangan. Jadi para mahasiswa memanfaatkan

bulan itu untuk mengambil data. Tentu saja itu hanya sebagian yang memiliki

keinginan lulus cepat. Ada juga mahasiswa yang tidak ingin ambil pusing mereka

menikmati liburan dan mengambil data di sela-sela perkuliahan atau semester

depan. Melinda adalah tipe mahasiswa yang ingin mengambil data bulan Agustus

namun terpaksa harus menikmati liburnya.

Selama bulan Agustus banyak mahasiswa yang mampir ke

kubikel Melissa. Mereka meminta pendapat Melissa tentang kuesioner yang akan

dibagikan. Terkadang ada juga yang meminta pendapat terkait analisis yang

digunakan untuk mengolah data. Raisha dan Winda juga kerap datang ke kubikel

Melissa untuk bimbingan. Saat membuka pintu ruangan dosen akan banyak mahasiswa

yang terlihat. Mereka membuka laptop membentuk kelompok-kelompok kecil. Winda

dan Raisha juga ada di sana bersama dengan yang lainnya. Namun hanya Melinda

yang tidak ada.

“Bu Melissa,” Sapa Raisha

“Hai”

“Bu uji etiknya Melinda belum keluar ya?” tanya Winda.

Semua orang tiba-tiba melihat Melissa. Mata mereka seolah

mencari jawaban.

“Belum. Mengajukan uji etik memang cukup memakan waktu.”

Melissa melanjutkan langkahnya ke toilet. Samar-samar ia

dapat mendengar mahasiswa lainnya berbicara tentang Melinda. Ada yang

mengatakan kasihan Melinda. Ada yang mengatakan bahwa itu memang akibat dari

mengambil tema penelitian yang sulit. Ada juga yang mengatakan jika ia menjadi

Melinda maka akan mengubah penelitiannya. Ada juga yang bertanya apakah Melinda

tidak boleh mengambil data, namun semua orang kompak menjawab tidak bisa.

Awal september telah datang, mahasiswa mulai ramai untuk

kuliah. Tentu saja itu khusus untuk gedung perkuliahan. Berbeda dengan gedung

dosen yang cukup sepi. Hanya mahasiswa semester akhir yang menghabiskan waktu di

depan ruang dosen. Sore itu Melissa berjalan keluar untuk pulang. Ia melewati

banyak mahasiswa yang duduk di lantai sambil sedikit membungkuk. Namun teriakah

renyah dan nyaring menghentikan langkahnya.

“Bu Melissa”

Melinda mencakupkan kedua tangannya di depan dada. Gerakan

tangan yang khas. Senyuman cerah terukir di wajahnya.

“Hai, bagaimana sudah ada jawaban dari dewan komisi etik?”

Melinda menggeleng, ia menjatuhkan tangannya lemas. Melinda

berdiri dan menghampiri Melissa. Sambil berjalan ke arah parkir Melinda

membicarakan skripsinya.

“Saya baru saja ingin mengabari ibu, jika saya telah

menemukan tiga responden lagi yang bersedia saya wawancarai”

“Benarkah?”

Melinda mengangguk. Sorot mata Melinda tiba-tiba saja

berubah. Ia sadar ini seperti bukan Melinda. Ketika ia menemukan sesuatu maka

Melinda akan menceritakan detail-detailnya. Seperti kekerasan seksual seperti

apa yang dialami atau hal lainnya. Sama seperti saat ia memaparkan jurnal

penelitian, ia selalu menceritakan karakteristik responden penelitian yang

dibaca tapi kali ini berbeda. Semacam ada ketidakpuasan dalam dirinya. Ia

terlihat putus asa.

“Saya bingung Bu,” Melinda menghentikan langkahnya, “setiap

teman-teman saya mengajak saya untuk pergi ke kafe atau perpustakaan

mengerjakan skripsi saya bingung harus mengatakan apa. Jika saya menolak saya

telah kehabisan alasan. Sementara jika saya ikut, melihat teman-teman sudah

mulai mengambil data membuat saya sedih dan tidak nyaman. Jadi saya bingung.

Saya ingin pergi bersama mereka tapi saya merasa tidak nyaman karena saya tidak

akan melakukan kegiatan apapun sebab skripsi saya belum bisa dilanjutkan"

“Melinda kesedihan dan kebingungan adalah hal wajar. Tapi

kamu harus ingat, ini masih awal semester tujuh”

“Tapi Bu saya takut tidak bisa lulus Januari tahun depan.

Semester tujuh akan dipenuhi dengan membuat laporan lapangan, sementara saya

belum mengambil data. Apalagi penelitian saya kualitatif, saya harus membuat

verbatim hasil wawancara.”

Seketika senyuman itu muncul dan sorot matanya berubah.

Perubahan itu hanya Melinda yang bisa melakukannya. Ia tersenyum dan matanya

kembali cerah.

“Tapi saya harus berdamai dengan semua itu. Saya akan

mencoba melakukannya.”

Melissa tersenyum bangga. Mereka melanjutkan langkah menuju

mobil Melissa. Melinda membukakan pintu ketika bunyi bip

pada mobil terdengar. Melissa masuk ke dalam mobil dan menaruh semua

barang-barangnya di kursi penumpang. Sebelum menutup pintu, Melissa mendongak.

“Kau bisa pergi bersama teman-temanmu ke kafe atau

perpustakaan. Jika kau bingung harus melakukan apa kau bisa membaca

jurnal-jurnal penelitian. Kau juga bisa meminta bantuan temanmu untuk berlatih

wawancara.”

Melinda mengangkat jempolnya. Dia memang anak yang penuh

dengan ekspresi, begitulah ingatannya tentang Melinda. Melissa menutup pintu

dan menyalakan mobil. Dari spion mobilnya ia melihat Melinda berdiri masih di

tempat tadi. Melinda mendongak melihat langit.

Surat rekomendasi dari dewan etik keluar pada akhir September. Melissa duduk di kubikelnya sambil membaca surat rekomendasi tersebut. Ia memberitahu Melinda apa saja yang harus dimasukkan ke dalam skripsinya sesuai dengan saran dari surat rekomendasi itu. Setelah itu Melissa meminta Melinda untuk memulai proses wawancara. Jika bisa dikatakan saat itu adalah senyuman yang paling cerah yang pernah dilihatnya.

Setiap seminggu sekali mereka bertemu di kelas. Di akhir kelas Melinda akan menghampirinya. Sambil menggulung charger laptop, merapikan alat test, menutup laptop dan memasukkan semuanya ke dalam tas, Melissa akan mendengarkan Melinda. Ia melaporkan hal yang telah dilakukannya dalam mengerjakan skripsi. Seperti jadwal bertemu dengan responden, latihan wawancara yang dilakukannya bersama teman kelasnya dan perasaan khawatirnya. Melinda melaporkan hal tersebut setiap minggu selama bulan Oktober.

 “Melinda rileks,

kamu hidup saat ini.”

Saat itu juga Melinda akan menarik nafas panjang,

menahannya lalu menghembuskannya. Setelah itu Melissa akan menepuk bahu Melinda

lalu berjalan keluar kelas. Melissa sadar jika ia belum keluar kelas maka tidak

akan ada mahasiswa yang keluar. Melissa tidak ingin menyita waktu makan siang

mahasiswanya.

Di akhir Minggu bulan Oktober, Melinda datang terlambat

saat kelas Melissa. Pandangan semua orang di kelas tertuju padanya termasuk

Melissa. Melinda masuk dan duduk di belakang. Melissa melihat jam di tangannya,

jam pelajaran telah berlangsung selama 20 menit. Sesuai aturan  batas

waktu toleransi keterlambatan hanya 15 menit. 

"Melinda, kamu terlambat sudah lebih dari 20 menit.

Silahkan menunggu di luar."

Di hari yang sama ketika sore hari datang, Melissa telah

memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dan bersiap pulang. Tapi Melinda

muncul dari balik kubikel. Melissa menghentikan aktivitasnya dan duduk lagi.

Melinda juga ikut menarik kursi dan duduk.

“Saya tidak mengerti kesalahan saya dimana dan apa yang

salah. Kemarin saya sudah melakukan wawancara. Setelah menyalin verbatim

wawancara, saya membacanya lagi. Ketika saya melakukan wawancara untuk kedua

kalinya jawabannya masih sama. Saya lelah karena hasilnya tidak memuaskan.”

“Tidak memenuhi apa yang saya inginkan dan apa yang ingin

saya sampaikan melalui penelitian ini.”

Melissa terdiam, ia berusaha memahami maksud Melinda.

“Melinda, penelitian memang seperti itu kau akan menemukan

fakta baru di lapangan terutama penelitian kualitatif. Tidak selamanya data

yang kau ambil akan memenuhi ekspektasimu.”

“Hanya saj–,” Melinda menghela nafas, “Ibu benar, mungkin saya yang terlalu berambisi.”

“Melinda penelitian hanya menulis fakta di lapangan.”

“Benar. Baiklah Bu, kalau begitu saya permisi dulu”

"Melinda, tadi kenapa datang terlambat"

Melinda nyengir, "saya bangun terlambat"

Melissa melihat goresan di tangannya. Melinda seolah ingin

menutupi itu dengan memakai lengan panjang. Dan meletakkan buku di atas

tangannya. Ia melihat kantung mata Melinda yang tebal dan mulai menghitam.

"Apa yang kau lakukan sampai terlambat bangun?"

"Ibu apalagi yang dilakukan oleh remaja akhir seperti

saya selain overthinking?" Melinda terkekeh, "tapi itu hanya

sebagian saja. Saya kemarin begadang mendengar wawancara dari responden saya.

Memang datanya tidak memuaskan, tapi mendengar responden mendengarkan cerita

mereka entah mengapa membuat saya sedih."

"Sedih adalah hal yang wajar. Saya juga sering

kepikiran jika ada yang bercerita tentang kekerasan seksual karena saya juga

pernah mengalaminya. Tapi ingat jangan sampai kebawa arus."

Setelah berbincang-bincang cukup lama. Melinda pergi dari ruangan itu. Ketika berjalan tiga langkah ia membalikkan badannya.

“Ibu Melissa.”

Melinda membuat bentuk hati dari jempol dan telunjuknya.

Gaya itu memang cukup terkenal belakangan ini. Melissa membalasnya dengan

senyuman.

Memasuki awal november, anak-anak semester tujuh memenuhi

lobi ruang dosen. Bukan untuk bimbingan skripsi, mereka berkonsultasi untuk

laporan lapangan yang mereka buat. Melissa memeriksa laporan dan mengadakan

bimbingan dengan cepat di meja lobi. Meja itu menempel pada tembok. Tidak

terlalu lebar namun memanjang sepanjang tembok. Biasanya para dosen meletakkan

helmnya di sana. Mahasiswa lainnya yang masih menunggu dosen duduk di lantai

sambil membuka laptopnya.  Sepertinya duduk lesehan adalah hal yang paling

nyaman. Mereka bisa duduk melingkar dan memudahkan diskusi. Setelah memeriksa

dan memberikan saran kepada kelompok yang disupervisi, Melissa berdiri dan

hendak pergi. Ia melihat sekitar dan matanya tertuju pada Melinda. Melinda

duduk di lantai bersama dengan teman-temannya. Tapi sorot matanya sangat jauh.

Ia seperti tidak sedang disitu, hanya ada tubuhnya.  Ia duduk memeluk

lutut. Saat teman-temannya tertawa Melinda ikut tertawa. Tapi tawanya palsu,

tidak ada ketulusan dan keceriaan yang terdengar. ia seolah mengikuti temannya

tertawa padahal tidak mengerti bagian mana yang lucu. Sampai sekarang Melissa

masih menghukum diri karena telah mengabaikan firasatnya.

“Melinda bagaimana kabarmu?”

Melinda mendongak dan melihatnya. Seketika senyuman cerah

dan sorot matanya berubah menjadi ceria lagi. Ia kemudian menurunkan kakinya

perlahan dan duduk dalam posisi bersila.

Melinda menyengir, “Baik bu,” ia mengangkat kedua jempolnya.

“Skripsi bagaimana?”

Semua orang yang melihat ekspresi Melinda tahu bahwa itu

senyum kepalsuan. Ia menarik ke atas bibirnya dan menimbulkan kerutan di atas

hidungnya. Setelah itu ia menyipitkan matanya.

“Kenapa dengan skripsimu Mel?"

“Tidak apa-apa. Oh ya Bu saya akan wawancara dengan

responden baru. Kemarin saat menyebarkan kriteria responden di media sosial ada

yang menghubungi saya dan bersedia diwawancarai.”

“Kamu mencari responden lagi?”

“Iya bu. Supaya datanya lebih beragam. Ibu saya sudah

mengobrol dengannya dan dia terbuka. Dia dilecehkan oleh guru olahraganya tapi

dia tidak bisa melaporkannya karena guru itu yang memberikannya beasiswa. Orang

tuanya juga mengatakan tidak ingin memperpanjang karena mereka pesimis dengan

hasilnya. Guru olahraga ini salah satu pendiri yayasan di SMAnya. Bu dia bahkan

sempat ingin bunuh diri. Tetapi ia terlalu takut. Ia melakukan self-harm

untuk mengalihkan perhatiannya.”

Melissa ragu untuk mengizinkannya. Ia merasa seolah-olah

Melinda terobsesi dengan penelitian ini. Melissa merasa mungkin Melinda ingin

menjadi yang terbaik. Tapi setiap Melinda menceritakan hasil penelitian jurnal

dan respondennya ia selalu menceritakan kengerian yang mengundang simpati. Ia

seperti ingin menjual ketidakberdayaan korban dan ingin menyampaikan itu dengan

sempurna pada penelitiannya. Memiliki ambisi di dalam hidup memang bagus tetapi

jika sampai ambisi memakanmu maka hanya ada keputusasaan yang ditemui. Melissa

tidak ingin Melinda menjadi seperti itu.

"Empat responden sudah cukup Melinda"

"Tapi Bu mereka tidak mewakili apa yang di benak saya."

"Memangnya apa yang ada di benakmu? Melinda ini hanya

penelitian skripsi, bukankah kamu ingin lulus 3.5 tahun?"

Semua orang melihat Melinda dan Melissa. Melinda melihat

teman-temannya. Matanya seolah ingin mengungkapkan sesuatu.

“Tapi Bu, saya sudah terlanjur mengatakannya dan kita akan

bertemu besok."

Melissa menghela nafasnya. Ia menyerah dengan kegigihan Melinda.

Sebenarnya Ia memiliki firasat yang tidak enak tentang ide Melinda ini

“Baiklah," Melissa menatap Melinda dengan penuh

perhatian "Melinda, trauma itu seperti lautan yang dalam. Menggali data

sama saja dengan menyelaminya. Kamu dan responden  akan berenang ke laut

yang pekat, gelap dan sunyi. Butuh tenaga yang kuat untuk kembali ke permukaan.

Jika tidak kau akan terjebak di dalam sana, dalam lautan biru yang dingin.

Apakah kau sudah memastikan kau memiliki tenaga untuk kembali bukan untukmu saja

tapi tenaga untuk menarik respondenmu nanti."

Melinda terdiam. Ia seperti sedang berpikir. Setelah itu

Melinda mengangguk. Ia tersenyum. Melissa tidak mampu mendeskripsikan senyuman

itu. Keraguan, kegigihan, ketulusan dan kehampaan bercampur dalam ekspresi

wajahnya. Ia berpikir mungkin lebih baik tidak mengizinkan Melinda melakukan

wawancara karena senyumannya yang ambigu itu. Tapi saat Melissa melihat

tumpukan verbatim yang ada di atas tas Melinda. Ia menyerah.

"Melinda, jika kau merasa terjebak di lautan sana,

ketahuilah bahwa aku sudah bersiap di permukaan. Kapan pun kau meminta bantuan

aku ada di atas sana."

Memasuki bulan November, surat pengunduran diri Melinda

diterima. Melissa terkejut mendengar kabar tersebut. Kabar tersebut juga mengejutkan

semua dosen dan pihak tata usaha fakultas. Pihak fakultas tidak menerima surat

itu langsung, mereka memerintahkan dosen pembimbing akademik untuk menghubungi

Melinda. Melissa menghampiri Erlina dosen pembimbing akademik Melinda sekaligus

temannya dari sarjana sampai magister profesi.

“Terakhir dia mengatakan bahwa dia senang kuliah di sini,”

kata Erlina

Erlina duduk di ruang rapat. Ia menuangkan teh hangat dari

botol minumnya. Ruang rapat tersebut kecil dan kedap suara. Hanya ada satu meja

berbentuk persegi panjang dan berisi 10 kursi. Ruangan ini menyatu dengan

kubikel para dosen. Penghubung ruangan dosen dan ruang rapat ini adalah pintu

kaca. Pada sisi kanan ada ruang kecil yang dibatasi dengan pintu lipat dari

kayu. Di dalam ruangan sangat kecil itu ada rak yang menjulang sampai

langit-langit. Rak tersebut digunakan untuk menyimpan alat-alat tes psikologi

milik fakultas. Di depan rak terdapat dua kursi. Biasanya ruangan kecil itu

dipergunakan untuk konseling. Jika ada yang melakukan konseling maka pintu

lipat itu akan ditutup. 

“Katanya dia bertemu teman-teman yang baik dan dosen-dosen

yang baik. Dia merasa tiga tahun ini sangat menyenangkan. Tetapi di satu sisi

kuliah di psikologi memiliki beban moral yang tinggi. Ia tidak ingin memberikan

kesan buruk kepada jurusan yang membuatnya lebih baik," kata Erlina.

“Kesan apa dan beban yang bagaimana?”

“Kata Melinda pernah suatu hari ia menceritakan

kesedihannya kepada teman SMAnya. Kata temannya mengatakan Melinda harusnya

bisa memecahkan masalahnya sendiri karena Melinda anak psikologi jadi

seharusnya dia tidak boleh sedih. Untuk kesan, dia tidak ingin menceritakannya.

Dia hanya bercerita tidak ingin psikologi disangkut pautkan olehnya lagi."

“Ya tidak heran masih banyak yang salah persepsi. Mereka

mengira jika sudah kuliah di Psikologi maka mereka akan memiliki kekuatan untuk

mengantisipasi masalah mental seperti mengelola emosi. Padahal orang-orang

ketika masuk psikologi masih tetap menjadi manusia. Dan emosi seperti sedih,

senang dan kecewa merupakan bagian dari mereka.”

“Benar, aku sudah mengatakan hal itu kepadanya.”

Selama menjadi temannya Melissa memahami Erlina. Dia sangat

dewasa dan lebih pengertian. Bahkan banyak mahasiswa yang menyukainya. Pernah

suatu hari ia mendengar beberapa mahasiswa memanggilnya ibu peri. Itu

membuatnya menjadi bahan bercandaan di kalangan dosen. Banyak dosen juga yang

ikut memanggilnya ibu peri. Ketika mendengar Melinda menemuinya sebelum

memberikan surat pengunduran diri ada perasaan sakit hati yang muncul di dalam

hatinya. Ia merasa Melinda dan dia sudah cukup dekat. Tapi kenapa Melinda lebih

memilih untuk menemui Erlina.

“Aku sudah menghubungi mereka, Rara, Citra, Anggi dan Mei.

Teman-teman dekat Melinda tapi mereka tidak tahu apapun. Kemarin saat di

indekos Mei, mereka sempat mengadakan acara barbeku. Mereka juga menginap di

indekos Mei dan paginya Melinda pulang lebih dulu karena harus ke percetakan.

Mereka mengira Melinda mencetak tugas yang akan dikumpulkan sekarang tetapi

ternyata tidak. Jangankan mengumpulkan tugas Melinda juga tidak masuk kelas.

Mereka juga sudah menghubunginya sejak pagi tadi karena takut Melinda ketiduran

di indekosnya. Kabar tentang pengunduran Melinda hari ini membuat mereka

terkejut,” kata Erlina.

“Aku akan bertanya kepada Raisha dan Winda”

Erlina menggeleng, “Aku sudah melakukannya. Mereka juga

tidak tahu karena mereka jarang berdiskusi lagi masalah skripsi dengan Melinda.

Mereka mengatakan metodologi penelitian mereka berbeda jadi Melinda lebih

banyak berdiskusi dengan teman-teman yang mengambil metodologi kualitatif”

“Benar, Winda dan Raisha mengambil metodologi penelitian

kuantitatif.”

“Aku sudah meminta Melinda ke kampus hari Senin. Aku

mengatakan masih ada hari Sabtu dan Minggu untuk memikirkan ulang apakah

mengundurkan diri adalah langkah yang tepat? Tinggal sedikit lagi kamu bisa

mendapatkan gelar sarjana.”

“Melinda menjawabnya?”

 “Belum”

Melinda tidak datang ke kampus hari Senin. Itu karena hari

Senin tidak pernah datang untuk Melinda. Kabar Melinda mengakhiri hidupnya

tersebar hari Sabtu siang. Anggi menghubungi Erlina. Ia menghubunginya sambil

menangis. Suara tangisan dari telepon itu memenuhi ruang rapat dosen. Para

dosen yang sedang berada di kampus untuk rapat terkejut. Rapat persiapan

akreditasi dihentikan. Semua orang di ruangan itu termasuk Erlina mendengarkan

suara Anggi. Sambil terbata-bata Anggi menyalahkan diri sendiri. Anggi mengatakan

harusnya mereka pergi saat itu juga ke rumahnya. Tapi saat itu mereka memilih

untuk beristirahat. Dan memutuskan pergi hari Sabtu, namun semuanya terlambat.

Saat mereka sampai tubuh Melinda sudah menggantung di pohon nangka belakang

rumahnya. Anggi menangis tersedu-sedu. Begitu juga di ruangan rapat semua orang

hening. Mereka seolah tidak berani mengedipkan mata. Sekali mereka mengedipkan

mata bendungan air pada mata mereka akan terjatuh. Bendungan air penyesalan.

Bendungan air rasa bersalah. Bendungan air kegagalan karena beberapa dari

mereka ada yang menjadi psikolog.

Erlina menarik nafasnya lalu menenangkan Anggi. Hanya

Melissa yang tetap diam. Ia tidak mengerti situasi itu. Kabar itu masih belum

bisa diproses oleh otaknya. Ia tidak tahu harus bereaksi apa. Melissa berdiri

dan pergi dari ruangan itu tanpa mengatakan apapun. Ia pergi ke kubikelnya. Ia

membuka laci lalu membaca formulir pendaftaran penelitian Melinda. Formulir

tersebut berisi alamat Melinda. Melissa mengambil tas dan kunci mobilnya dan

pergi. Saat akan masuk ke mobil Erlina menghentikannya. Ia menyarankan

sebaiknya Erlina yang menyetir.

Rumah Melinda berada pada dataran rendah. Cuacanya sangat

berbeda dengan kampus yang berada di pusat kota. Saat itu rumah Melinda sudah

ramai dengan kerabat. Ada Rara, Citra Anggi dan Mei yang saling bersandar.

Mereka mengepalkan tisu di depan mulut mereka. Saat melihat Erlina mereka

datang dan memeluknya. Mereka juga memeluk Melissa. Ayah mereka yang sudah

paruh baya menghampiri mereka. Ayahnya menyalami Melissa dan Erlina. Wajahnya

terlihat sangat tegar. Tapi perasaan sedih yang bercampur dengan emosinya

terlihat dari tangannya. Saat ayahnya menunjuk memberi tahu dimana letak kursi

dan meja tangannya bergetar. Beberapa kali ia mengepalkan tangannya namun

tangan itu kembali bergetar.

Tiga hari setelahnya pemakaman Melinda diadakan. Perwakilan

dosen dan teman-teman Melinda datang. Melissa membantu merapikan gelas-gelas

yang ada di rumah Melinda setelah pemakanan berakhir. Ayah Melinda ikut

mengambil gelas-gelas. Namun ia tidak sengaja menumpahkannya. Air kopi

membasahi karpet. Melissa bergerak cepat dan mengambil surat kabar. Ia melihat

surat kabar tersebut, keraguannya untuk menyerap air kopi yang tumpah muncul

ketika ia membaca tanggal surat kabar itu. Tanggal itu hari ini 9 November

2022. Koran itu berarti baru, ia tidak enak jika menggunakan koran baru untuk

mengelap lantai. Tapi Ayah Melinda mengambilnya, ia membuka koran tersebut dan

meletakkannya di atas permukaan air. Melissa membaca sekilas tajuk utama koran

itu yang menampilkan judul siswa SMA bunuh diri karena perlakuan bejat gurunya

sebelum akhirnya Ayah Melinda merenyukkan koran itu dan menyeka lantai. 

“Bu Melissa terima kasih sudah menjaga anak saya selama di

kampus. Maaf sebelumnya saya tidak mengenali Ibu.”

“Saya tidak melakukan apapun.”

Ayahnya menggeleng, “Jika ibu tidak melakukan apapun,

Melinda tidak akan mengatakan bahwa ibu dosen favoritnya.”

Obrolan singkat itu berakhir ketika para dosen dan

teman-teman Melinda memutuskan untuk pulang. Erlina dan Melinda tidak langsung

pulang. Mereka singgah pada bar di pusat kota. Lilin dalam gelas

bergoyang-goyang. Sementara Melissa meneguk gelas cocktail keduanya.

“Sudah lama kita tidak seperti ini. Duduk berdua sambil

minum alkohol.” ucap Erlina.

“Benar, terakhir saat kita menyelesaikan magister profesi,

sekitar enam tahun lalu”

“Waktu cepat berlalu.”

“Benar, waktu juga cepat berhenti pada orang-orang yang

tidak terduga.”

Erlina menghela nafasnya. Ia menatap keluar jendela.

“Saat itu ujian tengah semester satu, Melinda datang ke

ruang dosen. Ia ingin berkonsultasi masalah akademik. Tapi semakin lama aku

mendengar ceritanya semakin banyak hal yang dia ceritakan. Mulai dari

orang-orang disekitarnya hingga cita-citanya. Ceritanya lompat-lompat sehingga aku

tidak benar-benar memahami apa sebenarnya masalahnya. Aku menyarankannya untuk

mengikuti hipnoterapi tetapi dia menolak. Dia mengatakan sudah berdamai dengan

dirinya. Tapi ternyata dia menipuku. Jika saja saat itu aku sedikit memaksa

apakah kita tidak perlu memakai pakaian hitam-hitam begini?”

Melissa menggeleng. Ia hanyut dalam ingatannya bersama

Melinda. Dia sangat ceria dan penuh semangat. Tidak akan ada yang menyangka

bahwa ia akan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Sekilas bayang Melinda muncul.

Wajahnya penuh dengan senyuman ketika ia mengangkat jempolnya. Tidak ada

tanda-tanda ia akan mengakhiri hidupnya. Andai saja jika manusia memiliki alarm

kebohongan di tubuhnya, Melissa akan mengetahui bahwa Melinda tidak baik-baik

saja. Ia sudah pasti akan memeluknya. Mendengarkan semua ceritanya. Membantunya

menghilangkan tali berduri yang menjerat tubuhnya. Bayangan Melinda selalu

menghiasinya setiap malam. Setiap ia membimbing mahasiswa skripsi. Setiap ia

mengajar di kelas. Setiap ia melangkahkan kaki menuju mobilnya. Melinda selalu

ada. Bayangan itu seperti belati yang menusuk dadanya. Setiap hari.

***

 Januari 2023 fakultas mengadakan yudisium. Mereka

melepas beberapa mahasiswa 2019 yang sudah menyelesaikan sidang skripsi. Mereka

merayakannya di depan kampus. Berfoto bersama. Bercengkrama dengan kerabat yang

datang. Menerima bunga dari beberapa kurir. Melissa melihat dari kaca lobi

kampusnya. Ia membayangkan Melinda juga ada di sana. Senyumannya yang cerah

sambil memeluk buket. Sampai akhir tidak ada yang tahu pasti alasan Melinda

mengakhiri hidupnya. Melinda adalah produk dari trauma yang diceritakan.

Melinda seperti harta Karun yang terkubur di dasar laut. Sampai kapanpun tidak

akan ada yang tahu pasti tentang kebenaran dari harta karun itu. Kita hanya

bisa menduga-duganya dari teka-teki yang ditinggalkan Melinda.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar