Disukai
0
Dilihat
645
Lurik
Slice of Life

Raka, tumbuh besar di desa, adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang baru saja lulus dari sebuah universitas di kota besar. Setelah lulus, Raka merasa bimbang, dan mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Di kota, dia melihat kehidupan yang serba cepat, penuh dengan ambisi dan keinginan untuk memiliki lebih banyak. Kota menawarkan berbagai impian dan kesempatan menjanjikan untuk diwujudkan, dan sayang untuk dilepaskan. 

Ketika kembali ke desa, Raka merasakan perbedaan yang sangat kontras antara kehidupan kota dan desa. Di desa, dia merasakan ketenangan yang berbeda.

***

Langit biru membentang luas. Angin lembut menyapa setiap dedaunan dan membawa aroma segar dari sawah yang baru dipanen. 

Di tengah desa, terdapat sebuah rumah sederhana milik Pak Haris, seorang petani yang terkenal dengan ketekunan dan kebijaksanaannya.

Pak Haris, adalah sosok tua yang dihormati di desa tersebut. Dia selalu memulai harinya dengan berdoa di halaman belakang rumahnya yang dipenuhi tanaman bunga dan sayuran. 

Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, semangatnya tetap membara. Setiap pagi, Pak Haris selalu tersenyum lebar, menunjukkan giginya yang sudah mulai ompong namun tetap memancarkan kebahagiaan.

"Ayah, mengapa Ayah selalu tampak bahagia meskipun kita sederhana?" Tanya Raka saat mereka duduk di bangku kayu di halaman rumah.

Pak Haris menatap anaknya. "Raka, kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi tentang bagaimana kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki," jawab Pak Haris bijak. "Ayah telah belajar bahwa menerima apa yang diberikan oleh kehidupan dan merasa cukup dengan itu adalah kunci kebahagiaan sejati."

***

Sepasang ayah dan anak tersebut berjalan ke sawah. Mereka melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan rindang dan burung-burung yang bernyanyi riang. Setiap langkah mereka disertai dengan cerita-cerita masa lalu tentang perjuangan dan kerja keras.

"Dulu ketika Ayah seusiamu, Ayah juga ingin merantau dan mencari kehidupan yang lebih baik di kota. Tapi, ketika Ayah di sana, Ayah merasa ada yang hilang," cerita Pak Haris. "Ayah kembali ke desa dan menyadari bahwa kebahagiaan tidak terletak pada harta atau kemewahan, tapi pada rasa syukur dan penerimaan terhadap apa yang kita miliki."

***

Setiap hari Raka ikut bekerja di sawah, menanam dan merawat tanaman bersama ayahnya. Perlahan, dia mulai merasakan kedamaian yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Di tengah sawah, dengan keringat mengalir di wajahnya, dia merasakan kepuasan dari hasil kerja kerasnya.

"Ayah, bagaimana kita tahu bahwa kita sudah cukup?" Tanya Raka saat istirahat di bawah sebuah pohon rindang. 

Pak Haris tersenyum dan menjawab, "Nak, cukup itu relatif. Bagi sebagian orang, cukup berarti memiliki segalanya. Tapi, bagi sebagian yang lain lagi, cukup itu adalah ketika kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki dan tidak terus-menerus merasa kurang. Ketika kita bisa menerima keadaan kita dengan ikhlas, itulah rasa cukup yang sejati."

***

Raka mulai belajar untuk menerima dan merasa cukup. Dia melihat bagaimana ayahnya selalu bekerja tanpa mengeluh. 

Apa yang selalu dilakukan sang ayah, membuat Raka menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki lebih banyak, tapi tentang bagaimana kita bisa menikmati apa yang ada di hadapan kita.

***

Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di tepi sawah menikmati senja, Raka berkata, "Ayah, aku merasa aku mulai mengerti apa yang Ayah maksud. Sepertinya aku merasa lebih tenang dan bahagia di sini, bekerja bersama Ayah, dan merasakan kedamaian yang ada di tempat ini."

Pak Haris menepuk bahu anaknya dengan bangga. "Kehidupan adalah tentang perjalanan menemukan rasa cukup dan penerimaan. Ketika kita bisa menerima keadaan kita dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki, itulah saat kita menemukan kebahagiaan sejati."

***

Waktu berlalu, dan Raka semakin menyatu dengan kehidupan desa. Dia mulai mengajarkan anak-anak desa tentang pentingnya rasa syukur dan penerimaan. Dia juga mengajak mereka untuk belajar mencintai dan menjaga lingkungan sekitar mereka. Raka merasa bahwa inilah tempatnya, di mana dia justru bisa memberikan kontribusi nyata, memberikan ilmu-ilmu yang sudah dipelajarinya semasa kuliah bagi masyarakat di sekitarnya. 

Seorang anak kecil bernama Budi mendekat dan bertanya kepada Raka, "Kenapa Kakak selalu tersenyum?"

Raka menjawab dengan lembut, "Karena Kakak merasa cukup dengan apa yang Kakak miliki. Kakak belajar dari Ayah bahwa kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak yang kita punya, tapi tentang bagaimana kita bisa menerima dan mensyukuri apa yang ada."

Budi mengangguk pelan, mencoba memahami kata-kata Raka. "Aku ingin seperti Kakak, selalu tersenyum dan merasa cukup."

Raka tersenyum dan mengusap kepala Budi. "Kamu bisa kok. Mulai saja dulu dengan mensyukuri hal-hal kecil di sekitar kamu. Setiap hari adalah berkah yang harus kita syukuri."

***

Raka menikah dengan seorang gadis desa bernama Siti, yang juga memiliki semangat yang sama. Bersama-sama, mereka membangun keluarga yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Anak-anak mereka diajarkan nilai-nilai yang sama, tentang rasa syukur dan penerimaan.

Suatu hari, ketika Pak Haris duduk di kursi goyangnya di teras rumah, dia melihat Raka dan Siti bermain dengan anak-anak mereka di halaman. Senyumnya mengembang, merasakan kebahagiaan yang dalam.

"Ayah, terima kasih telah mengajarkan kami tentang rasa cukup dan penerimaan," kata Raka sambil mendekati ayahnya.

Pak Haris mengangguk dan menjawab, "Ingat ya, Nak, kebahagiaan itu adalah tentang bagaimana kita bisa merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Ayah bangga melihat kamu bisa meneruskan nilai-nilai itu ke anakmu. Kebahagiaan sejati itu ada di dalam hati yang penuh dengan rasa syukur dan penerimaan.

***

Tahun demi tahun berlalu, Raka dan Siti terus mengajarkan anak-anak mereka tentang pentingnya rasa cukup dan penerimaan. Setiap pagi, mereka memulai hari dengan berdoa dan bersyukur atas berkah yang mereka terima.

Pak Haris menghabiskan hari-harinya dengan damai, melihat keluarganya hidup dengan penuh kebahagiaan. Dia tahu bahwa warisan terbesarnya bukanlah harta atau kekayaan, tapi nilai-nilai kehidupan yang dia ajarkan kepada anak-anak dan cucunya.

Di akhir hidupnya, Pak Haris menghembuskan nafas terakhir dengan senyum di wajahnya. Dia meninggalkan dunia ini dengan hati yang penuh dengan rasa syukur dan penerimaan. Raka dan keluarga kecilnya melanjutkan warisan kebijaksanaan, kebahagiaan, dan kedamaian dari Pak Haris. 


Epilog:

Kehidupan adalah perjalanan untuk menemukan rasa cukup dan penerimaan. Ketika kita bisa menerima apa yang kita miliki dan merasa cukup dengan itu, kita akan menemukan kebahagiaan sejati. Seperti yang diajarkan oleh Pak Haris kepada Raka, kebahagiaan bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi tentang bagaimana kita bisa merasa cukup dan bersyukur atas apa yang ada.

Kebahagiaan sejati ada dalam hati yang penuh dengan rasa syukur dan penerimaan, dalam kesederhanaan dan rasa cukup.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi