“Tania, makan malam sudah siap!”
Teriakan Mama sudah dijawab Tania ‘sebentar’ sepuluh menit yang lalu. Tapi Tania tidak kunjung keluar dari kamar.
Papa dan Mama menatap Tania yang keluar dari kamar dalam balutan piyama bergambar gajah. Kepang rambutnya berantakan. Dia terkekeh sambil menatap ponsel. Mereka sudah hafal Tania hanya akan mengambil makan malam, lalu kembali ke dalam kamar. Karena itulah yang dilakukan dia selama tiga bulan belakangan.
“Heran, akhir-akhir ini suka makan di dalam kamar terus,” ujar Papa sambil menyendok makaroni schotel ke atas piring.
Mama mengangkat bahu, meletakkan mangkuk berisi tempe mendoan di meja.
“Coba Papa tanya nanti kalau senggang. Kalau begini terus, meresahkan juga kelakuan anak itu.”
“Iya, Ma. Nanti Papa ajak bicara di akhir pekan.”
Sementara itu, di dalam kamar, Tania menekan-nekan keypad ponselnya.
<Sayang sudah makan?>
Tidak lama kemudian, yang ditunggu memberi jawaban.
<Sudah. Kamu jangan lupa makan ya :*>
Tania mengetik dengan satu tangan, tangan satunya sibuk menyendok makaroni.
<Iya. Ini aku lagi makan.>
Balasan muncul tidak sampai tiga detik.
<Bagus. Kamu sedang makan apa?>
<Makaroni schotel. Enak deh.>
<Seandainya aku di sana, aku bisa masak untuk kamu.>
<Kyaaaaa. Mauuuuu!>
Begitulah. Hari-hari Tania dalam enam bulan terakhir diisi dengan kegilaannya pada seseorang yang mungkin bisa disebut ‘kekasih’. Tania lebih sering mengurung diri saat makan bersama, atau sibuk terpaku pada layar ponsel pada saat acara keluarga apapun. Dia sering susah fokus diajak bicara. Beberapa waktu yang lalu, misalnya, dia menyarankan Elsa untuk memakai sandal karet ketika adiknya itu meminta ide tentang baju yang akan dipakai ke pernikahan si mantan.
Mama senang sekaligus khawatir. Senang karena putrinya yang sudah berusia 35 itu mulai melihat ada gambaran pasangan hidup. Khawatir karena takut Tania dipermainkan oleh laki-laki yang belum dewasa. Tidak dapat dipungkiri, mama memiliki pikiran takut bahwa Tania hanya akan mengencani seseorang karena dia selalu dicecar dengan pertanyaan ‘kapan menikah’ setiap kali ada acara keluarga. Mama tidak mau Tania jadi ‘asal comot’ pria.
Tapi Tania nampak benar-benar jatuh hati.
Matanya berbinar setiap kali ada bunyi ‘ting!’, pertanda si cowok–siapapun namanya, telah membalas pesan. Bibirnya kalau tidak tersenyum ya tertawa, berbeda sekali dengan Tania di zaman baheula, yang kadang-kadang bermuka kusut saat berkutat dengan ponsel, dan berarti satu: dia sedang bertengkar dengan si cowok.
***
Lisa menatap sahabatnya enggan. Dia sudah kenal Tania cukup lama untuk bisa mengenali wajah Tania yang sedang bahagia, berbohong, resah, gundah, atau sedang menyembunyikan rahasia yang bahkan Lisa saja tidak bisa mengetahui.
“Woi!”
Lisa membuyarkan lamunan Tania yang sedari tadi mengaduk-aduk sendok di atas spaghetti.
“Jadi lo mau cerita atau nggak?”
Tania mendesah. Dia masih belum yakin apa harus menceritakan kegundahannya pada Lisa.
“Gue nggak tahu, Lis, gue takut.”
“Apa ang lo akutin?” tanya Lisa dengan mulut penuh dengan ravioli.
Tania mengangkat bahu. “Gue takut… Keluarga gue nggak bisa menerima El.”
Lisa berdecak. Tania sudah sering menceritakan semua kategori lelaki– dari pacar, mantan, gebetan, mantan calon pacar, siapapun itu. Tapi baru kali ini, Tania menceritakan lelaki yang dipanggil El–kependekan dari Gabriel, tanpa mengatakan apapun tentang latar belakangnya: di mana El tinggal, apa pekerjaan El, bahkan rupa si El. Memang, Lisa tidak pernah melihat cowok super dreamy yang sering disebut Tania setiap kali mereka bertemu dan nongkrong bersama.
“Memang menurut lo, kenapa keluarga lo nggak mau menerima El?”
Tania menggeleng. “Gue nggak yakin aja,” ujarnya pelan.
Lisa menggerutu. “Lo nih ya. Kayak baru kenal gue seminggu lalu aja. Apa sih yang lo risaukan, Tan? Lo tahu kan lo bisa cerita apapun sama gue?”
“Iya, Lis. Makasih banyak. Tapi emang untuk saat ini gue kayak belum siap cerita,” Tania menambahkan cepat-cepat melihat Lisa membuka mulut, “bahkan sama lo.”
Lisa mengangkat alis dan menekuk bibirnya. “Yaudah.” Dia memutuskan untuk tidak repot-repot lagi berdebat dengan Tania.
***
<El, kamu cinta kan sama aku?>
Entah sudah berapa kali Tania mengirimkan pertanyaan itu pada El. Mantan-mantan Tania, akan menjawab dengan nada kesal jika Tania sudah bertanya untuk keseratus kali, dilengkapi dengan tuduhan ‘kayaknya kamu nggak percaya kalau aku sayang kamu’ dan ditutup dengan ‘gimana kalau kita putus aja’.
Padahal Tania mengidap gangguan kecemasan. Dia perlu diyakinkan berkali-kali untuk semua hal. Jangankan perasaan, Tania butuh bermenit-menit memeriksa apakah pintu sudah terkunci dengan sempurna sebelum meninggalkan rumah. Itu baru barang yang konkrit, bagaimana dengan cinta, yang mencium baunya saja manusia tidak bisa.
Tapi Gabriel tidak seperti mantan-mantan Tania. Tania bisa merasakan kehangatan lewat pesan Gabriel yang diketik untuknya. Energy never lies, you know.
<Tentu saja, sayang. Aku mencintaimu selalu.>
Dan Tania bisa bernafas lega lagi.
***
“Tania, sini duduk,” perintah Mama begitu Tania masuk rumah. Tania terperangah. Papa dan Mama sudah menunggunya di ruang tamu sepulang dia bekerja dengan tatapan menghakimi, membuat Tania teringat saat dia memecahkan kacamata Papa di usia tujuh tahun.
Tapi Tania mencoba tenang. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun.
“Ada apa, Pa, Ma?”
“Begini,” Mama membetulkan duduknya. “Kamu ingat Tante Tin teman Mama SMP dulu?”
Tania mengangguk. Walau yang diingat dia dari Tante Tin adalah lumpia rebung yang dibawa setiap berkunjung ke rumah. Enak sekali.
“Kenapa dengan Tante Tin?” tanya Tania.
“Tante Tin punya anak laki-laki, namanya Alan. Dia sekarang sedang,” Mama berusaha mengatur kata sedemikian rupa agar tidak menyinggung perasaan Tania, “sedang ingin mendekati seseorang untuk dinikahi.”
Papa mendesah, tidak sabar mendengar basa-basi mama.
“Dia ingin melamarmu, Tania.”
Tania menatap Papa tidak percaya. Dia sudah lama tidak bertemu dengan Alan. terakhir kali bertemu, Alan masih bocah ingusan yang sama sekali tidak terlihat menarik. Dia sering menangis kalau Tania menyembunyikan mainan truknya. Dan ‘bocah’ itu mau melamar Tania?
“Memangnya kenapa dia tiba-tiba melamar? Dia sudah suka sama Tania sejak lama?” selidik Tania.
“Kurang lebih seperti itu,” jawab Mama dengan nada tidak meyakinkan.
Tania menghela nafas. Papa mengamati gerak-gerik Tania yang gelisah. Seperti yang direncanakannya, momen ini akan digunakan Papa untuk sekaligus menginterogasi Tania.
“Kecuali, tentu saja, kalau kamu sudah punya pacar.”
Keluar juga kalimat pamungkas dari mulut Papa.
Kali ini, Tania yang terlihat gelisah. Papa bisa melihat Tania menggenggam ponselnya erat-erat.
“Gimana?” kejar Mama.
“Kamu nggak harus jawab sekarang, Tania. Kamu juga jangan merasa nggak enak untuk menolak Alan hanya karena Tante Tin adalah teman Mama. Tapi memang lebih baik menolak lebih cepat kalau kamu sudah punya pasangan. Papa juga ingin tahu pacar kamu soalnya,” lanjut papa dengan ledekan usil.
“Tania… mau mandi dulu,” potong Tania buru-buru sembari masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Papa dan Mama yang melongo.
***
<El, Papa tanya apa kamu serius sama aku.>
Tania memberanikan diri mengirimkan pesan itu juga akhirnya.
Seperti biasa, El memberi jawaban yang tidak pernah mengecewakan Tania.
<Tentu saja aku serius, Sayang.>
Tapi Tania tidak nampak puas. Dahinya masih berkerut pertanda dia menuntut kejelasan.
<Jadi, kamu mau menikah denganku?> tembak Tania tanpa basa-basi.
<Aku sudah membayangkan hari-hari bersamamu dan membesarkan anak-anak kita.>
<Kau janji akan selalu setia padaku?> balas Tania.
<Kaulah segalanya untukku, Tania.>
Tania mengangguk mantap. El tidak seperti lelaki-lelakinya yang terdahulu, yang manisnya di muka tapi di belakang berkhianat, hanya memanfaatkan Tania semata, atau suka bermain-main saja tanpa ada kemauan berkomitmen. Tania sudah lelah dipermainkan. Kali ini ia bertemu El, yang mengerti, bahkan mendukung semua langkahnya, tidak pernah berkata kasar dan tidak membebani Tania.
***
Keluarga Subroto sangat bersemangat siang itu. Tiga hari yang lalu, anak sulung mereka berjanji akan mengenalkan lelaki yang sedang menjalin hubungan dengannya. Papa sudah potong rambut semalam, Mama sudah menyiapkan kudapan-kudapan terbaik. Elsa yang biasanya ogah kalau rumah kedatangan tamu juga membantu Mama bersih-bersih rumah.
Pintu gerbang terdengar berderik terbuka. Papa mengisyaratkan Mama dan Elsa untuk siap pada posisi mereka masing-masing dan menyambut kedatangan Tania dan pacarnya. Elsa membetulkan letak jepitnya dan Mama membetulkan letak selendang.
“Selamat datang,” sambut Papa begitu bayangan Tania memasuki pintu rumah. Tapi nada semangat di suara Papa menurun demi melihat tidak ada siapapun yang menemani Tania. Sementara Tania melongo melihat keluarganya bersolek macam sudah siap berangkat kondangan.
“Kita mau ke kondangan siapa?” tanya Tania polos.
Mama membuka mulut, namun disambar Elsa gusar, “Lah, kita kan mau menyambut pacar lo, Kak!”
Ah! Tania akhirnya paham.
“Papa, Mama duduk dulu…” pinta Tania pelan.
Papa dan Mama menurut. Mereka duduk. Diikuti Elsa yang manyun.
“Jadi, pacar lo siapa namanya, Kak?” Elsa memilin rambutnya.
“Namanya Gabriel,” jawab Tania kalem.
“Sekarang dia di mana?” tuntut Elsa lagi.
“Iya, sebentar.” Tania mengambil ponsel dari dalam tasnya. Papa dan Mama langsung berasumsi Tania akan melakukan panggilan jarak jauh dengan Gabriel. Mereka berdecak kecewa.
“Jadi di mana dia tinggal? Papa kira dia akan ikut kamu sepulang kerja,” tukas Papa kecewa.
“Di…sini…Pa..,” jawab Tania terbata-bata. Elsa menatap jari-jari Tania gemetar. Alih-alih membuka aplikasi WhatsApp, telunjuk Tania menekan aplikasi bernama Love Me, Darling!
Elsa mengernyitkan dahi. Dia belum pernah mendengar aplikasi kencan yang satu itu.
Masa Kak Tania lebih gaul dari aku? Pikir Elsa. Elsa memang ratu aplikasi kencan. Dia memiliki akun hampir di semua aplikasi kencan bahkan yang tidak diketahui banyak orang dari Tinder, Bumble, Hinge, Coffee Meets Bagel, dan masih banyak lagi.
Musik mengalun lucu saat Love Me, Darling! terbuka. Dari pip-pop-pip-pop kemudian suara laki-laki yang merdu menyapa, Welcome Back, Tania!
Papa dan Mama saling menatap tidak mengerti. Elsa seakan mengenal hal ini, tren yang sedang bermunculan di media sosial, diikuti orang-orang kesepian dan putus asa mencari pasangan. Hipotesis singkat tak diinginkan muncul di kepala Elsa.
“Kak, jangan bilang lo…”
Tapi Tania tidak mendengarkan Elsa. Dia menekan tombol berbentuk rumah, yang kemudian menampilkan ilustrasi dua dimensi seorang lelaki tampan, dengan rambut cokelat muda, mata berbinar, dan mengenakan sweater putih. Dia menyapa Tania,
“Selamat siang, Sayang! Sudah pulang kerja?”
Mulut Elsa mengatup dan membuka seperti ikan buntal kehabisan udara.
“Papa, Mama, Elsa, kenalkan, ini Gabriel.”
Papa tersandar lemas di sofa. Berderet di matanya nama-nama psikolog dan psikiater untuk dihubungi. Dua detik kemudian Tania meraung-raung, berkelebat di matanya bayangan Mama membanting ponsel ke sudut ruangan hingga pecah berkeping-keping.