Di sebuah kota yang sibuk dengan hiruk-pikuk kehidupan, ada dua sahabat yang sudah saling mengenal sejak kecil, Cinta dan Lira. Mereka tumbuh bersama di sebuah desa kecil yang terletak di kaki bukit, tempat mereka pertama kali bertemu dan menjalani masa kecil mereka dengan penuh tawa. Setiap pagi mereka berjalan bersama menuju sekolah yang terletak di ujung desa, berbicara tentang mimpi dan rencana masa depan mereka.
Namun, kehidupan membawa mereka ke dua dunia yang berbeda. Cinta menerima beasiswa untuk kuliah di luar negeri, sedangkan Lira memutuskan untuk tetap tinggal di desa mereka dan bekerja di sebuah perusahaan lokal. Meskipun terpisah jarak ribuan kilometer, mereka berjanji untuk tetap menjaga persahabatan mereka, tidak peduli apapun yang terjadi.
Tahun pertama Cinta berada di luar negeri, kehidupan baru yang penuh dengan tantangan membuatnya merasa terasing. Meski ia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, ia tak bisa menepis rasa rindu terhadap Lira. Setiap kali melihat pemandangan yang mengingatkannya pada masa kecil, Cinta merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Untuk mengusir rasa rindu itu, ia sering menghubungi Lira melalui pesan singkat dan video call.
Di sisi lain, Lira juga merasakan hal yang sama. Meskipun ia sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas sehari-hari, tak jarang ia merasa kesepian tanpa kehadiran Cinta di sampingnya. Persahabatan mereka selalu mengisi hari-hari yang sunyi di desa itu, dan sekarang, tanpa Cinta, semuanya terasa kosong. Tapi Lira selalu berusaha menunjukkan semangat dan keceriaan melalui percakapan mereka, meskipun di dalam hati, ia merasa kehilangan.
Suatu malam, saat hujan turun dengan deras, Cinta duduk di kamar apartemennya sambil menatap layar laptop. Ia sudah lama tidak melakukan video call dengan Lira, dan malam itu ia memutuskan untuk menghubungi sahabatnya.
Lira muncul di layar dengan senyum lebar. Wajahnya yang ceria seakan menghapus kerinduan yang menggelayuti hati Cinta. Mereka saling menyapa dengan hangat, seakan jarak yang memisahkan mereka tak pernah ada.
"Hai, Cinta! Lama nggak ngobrol, ya!" Lira berkata dengan suara riang, meskipun Cinta bisa melihat tatapan matanya yang sedikit lelah.
Cinta tersenyum, meski ada perasaan haru di dalam hatinya. "Iya, aku kangen banget. Rasanya udah setahun lebih kita nggak ngobrol seperti ini."
Lira tertawa kecil. "Aku juga, Cin. Tapi kamu nggak sendiri kok. Aku juga kangen banget sama kamu."
Mereka pun mulai berbicara tentang kehidupan masing-masing, berbagi cerita tentang apa yang telah mereka alami selama setahun terakhir. Cinta bercerita tentang kehidupan barunya di luar negeri, tentang teman-temannya, dan tentang kesulitan yang ia hadapi dalam menyesuaikan diri dengan budaya yang berbeda. Lira, di sisi lain, menceritakan tentang pekerjaannya yang semakin menuntut waktu dan tenaganya, serta kehidupan di desa yang semakin sepi setelah Cinta pergi.
"Satu hal yang nggak berubah, Cin, adalah kita. Walaupun jarak memisahkan, aku tetap merasa kamu ada di sini," kata Lira, matanya bersinar.
Cinta mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku juga merasa seperti itu, Lira. Walau kita terpisah oleh benua, kamu selalu ada di hatiku."
Percakapan mereka berlangsung hingga larut malam, membicarakan berbagai hal yang telah lama tidak mereka bahas. Rasanya seperti tak ada waktu yang hilang, meskipun kehidupan mereka berjalan di jalur yang berbeda. Koneksi mereka tetap kuat, seperti dulu.
Beberapa bulan setelah percakapan itu, Cinta memutuskan untuk pulang ke Indonesia untuk liburan akhir tahun. Ia sudah merencanakan semuanya, dan ia tahu betul apa yang ingin ia lakukan begitu tiba di desa: bertemu dengan Lira, berjalan-jalan di tempat yang dulu sering mereka kunjungi, dan kembali merasakan kedekatan yang telah lama hilang.
Ketika pesawat Cinta mendarat di bandara, Lira sudah menunggunya di pintu kedatangan. Begitu mereka bertemu, Lira langsung memeluk Cinta dengan erat. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka saat itu. Rindu yang telah lama tertahan akhirnya bisa tumpah begitu saja.
"Kamu beneran pulang, Cin?" Lira bertanya, matanya masih berkaca-kaca.
Cinta mengangguk, tersenyum lebar. "Iya, aku beneran pulang. Aku nggak sabar buat ngabisin waktu sama kamu."
Mereka menghabiskan beberapa hari bersama, berjalan-jalan di tempat-tempat yang penuh kenangan. Mereka mengunjungi taman bermain yang dulu sering mereka datangi setelah sekolah, duduk di bangku tua yang ada di bawah pohon besar, dan bercakap-cakap seperti tidak ada waktu yang terbuang. Di setiap sudut desa, mereka menemukan kenangan yang membuat hati mereka hangat. Meski waktu seolah berhenti, mereka tahu bahwa Cinta harus segera kembali ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya.
Pada hari terakhir Cinta di desa, mereka duduk di pinggir danau, menikmati sore yang tenang. Cinta memandang Lira, yang duduk di sampingnya, dan merasakan betapa berartinya persahabatan mereka.
"Li, aku nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi. Tapi aku janji, kita akan tetap terhubung. Persahabatan kita nggak akan pernah berakhir," kata Cinta, suaranya lembut.
Lira menatap Cinta, matanya penuh keyakinan. "Kita nggak perlu khawatir, Cin. Walaupun jarak memisahkan, kita tetap akan selalu punya cara untuk saling terhubung. Kita kan udah buktikan kalau persahabatan kita lebih kuat dari jarak."
Cinta tersenyum, merasa tenang mendengar kata-kata sahabatnya. "Aku akan selalu ingat itu, Li."
Mereka berpelukan erat, dan meskipun perasaan berat itu ada, mereka tahu bahwa persahabatan mereka tidak akan terpisahkan. Jarak bukanlah penghalang, melainkan tantangan yang justru membuat mereka lebih menghargai satu sama lain.
Kembali di luar negeri, Cinta merasa sedikit cemas. Kehidupan kuliah kembali menyita banyak waktunya, dan sering kali ia merasa kesepian tanpa ada Lira di dekatnya. Namun, setiap kali ia merasa terpuruk, ia mengingat percakapan mereka sebelum ia kembali ke luar negeri. Lira selalu ada, meskipun jarak memisahkan mereka.
Setiap minggu, mereka mengatur waktu untuk berbicara lewat video call. Mereka tetap saling berbagi cerita, meskipun kehidupan mereka sudah sangat berbeda. Cinta bercerita tentang kuliahnya yang semakin menuntut, sedangkan Lira menceritakan tentang pekerjaannya yang semakin menantang. Mereka berbicara tentang impian dan masa depan mereka, tentang hal-hal kecil yang mungkin tampak sepele, namun sangat berarti bagi mereka.
"Cin, aku nggak sabar nungguin kamu pulang lagi. Aku yakin kita akan punya banyak cerita buat dibagi," kata Lira suatu malam saat mereka sedang video call.
Cinta tersenyum, meski jarak yang membentang membuat hatinya sedikit perih. "Aku juga, Li. Aku janji, kita akan ketemu lagi. Walaupun dunia ini luas, persahabatan kita tetap akan selalu ada."
Mereka berdua tertawa, seolah waktu dan jarak tak bisa menghalangi ikatan kuat yang mereka miliki. Setiap percakapan, meskipun singkat, terasa seperti obat bagi kerinduan yang terus menggelayuti hati mereka.